1 / 7

protestan

Most wanted achive

EfremIndra
Download Presentation

protestan

An Image/Link below is provided (as is) to download presentation Download Policy: Content on the Website is provided to you AS IS for your information and personal use and may not be sold / licensed / shared on other websites without getting consent from its author. Content is provided to you AS IS for your information and personal use only. Download presentation by click this link. While downloading, if for some reason you are not able to download a presentation, the publisher may have deleted the file from their server. During download, if you can't get a presentation, the file might be deleted by the publisher.

E N D

Presentation Transcript


  1. KONGREGASI SUCI AJARAN IMAN NORMA-NORMA PELAKSANAAN PROSES PEMUTUSAN PERKAWINAN DEMI IMAN Pendahuluan KEKUASAAN GEREJA untuk memutuskan perkawinan demi iman, di samping privilegium paulinum, sampai sekarang masih diatur pelaksanaannya oleh Instructio pro solutione matrimonii dan Normae procedurales yang telah disetujui oleh Paus Paulus VI dan diterbitkan oleh Kongregasi Suci Ajaran Iman pada tahun 1973. Dalam dokumen ini bukan saja ditunjukkan syarat-syarat agar kasus pemutusan perkawinan demi iman dapat diajukan, tetapi juga diberikan pedoman pelaksanaannya yang harus diikuti di keuskupan-keuskupan, sebelum berkasnya dikirim kan ke Kongregasi Suci ini. Tetapi setelah diundangkan bagi Gereja Latin Codex Iuris Canonici [CIC] dan bagi Gereja-gereja Timur Codex Canonum Ecclesiarum Orientalium [CCEO], perlulah, bahwa, setelah meninjau kembali dokumen-dokumen tersebut, menyesuaikan beberapa ketentuan- ketentuannya dengan perundang-undangan yang baru ini. Maklumlah, bahwa perkawinan antara orang-orang yang tidak katolik, daripadanya sekurang- kurangnya seorang tidak dibaptis, demi iman dan demi keselamatan jiwa-jiwa, setelah dipenuhi persyaratan-persyaratan yang ditentukan, dapat diputuskan oleh Santo Bapa. Adapun pelaksanaan kekuasaan ini, dengan memperhatikan baik kebutuhan-kebutuhan pastoral semasa dan setempat, maupun hal-hal lain yang berkaitan dengan kasus itu, semuanya berada di bawah keputusan Bapa Suci itu. Dalam Codex Iuris Canonici (kan. 1143-1147) dan dalam Codex Canonum Ecclesiarum Orientalium (kan. 854-858), diatur penggunaan yang disebut privilegium paulinum, yakni kasus pemutusan perkawinan yang diizinkan dalam Surat pertama S. Paulus kepada Jemaat di Korintus (7:12-17). Sebab Gereja menafsirkan kata-kata Sang Rasul itu dalam arti bahwa kepada pihak yang beriman diberikan kebebasan yang sesungguhnya untuk melangsungkan perkawinan baru, "kalau pihak yang tidak beriman itu mau bercerai" (ibid., ay 15). Dari pihak yang lain, Gereja, dengan bergulirnya waktu, senantiasa semakin memperkuat penggunaan privilegium paulinum itu dengan norma-norma positif, yang terutama di antaranya adalah, baik definisi kata "mau bercerai" maupun ketentuan agar "perceraian" itu nampak jelas melalui "interpellationes" di hadapan Gereja, seperti juga norma yang menetapkan bahwa perkawinan tidak dapat diputuskan kecuali pada saat ketika pihak yang beriman melangsungkan perkawinan yang lain. Dengan demikian maka lembaga teologiko-kanonik privilegium paulinum yang dengan sempurna mendapatkan pembatasannya, sudah sejak awal abad XIII ditentukan dan hal ini dalam abad-abad berikutnya secara esensial telah tetap tinggal tak berubah, bahkan dalam hukum yang baru saja diundangkan ini, setelah diperhalus bentuknya, tetap diterima kembali. Hal itu dengan jelas pula membuktikan bahwa Gereja dengan secara sehat menyadari bahwa ia memiliki kekuasaan untuk menetapkan batas-batas privilegi tersebut dan menafsirkannya secara lebih luas, seperti yang telah dilakukannya dengan misalnya kata "bercerai" yang menjadi sendi dari privilegium paulinum ini. Bahkan, ketika pada abad XVI dengan semakin meluasnya karya missi Gereja muncul tambahan- tambahan pastoral baru, Para Paus tidak ragu-ragu untuk menyambut para poligamis yang bertobat dengan "privilegi-privilegi" baru yang lebih luas, yang jauh melampaui batas-batas privilegium paulinum, seperti hal itu dilukiskan dalam kutipan St Paulus tadi, yakni yang menyangkut pemutusan perkawinan yang dilangsungkan in infidelitate. Untuk hal ini terutama berlakulah Konsitusi-konstitusi Apostolik Altitudo dari Paus Paulus III, 1 Juni 1573; Romani Pontifices dari St. Pius V, 2 Agustus 1571; Populis dari Paus Gregorius XIII, 25 Januari 1585, yang berlaku bagi daerah-daerah di mana dokumen-dokumen itu menyebar luas, sampai dengan diundangkannya Codex tahun 1917. Adapun Codex ini memberlakukannya secara lebih luas bagi segenap Gereja 1

  2. (kan. 1125); dan hal itu secara resmi berlaku juga hingga diundangkannya Codex tahun 1983. Adapun untuk kasus-kasus pemutusan perkawinan yang dulunya bagi bangsa tertentu diatur oleh Consitutiones tadi, sekarang oleh CIC ini, dengan mengubah secara sangat tepat hal-hal yang sudah usang, disediakan kan. 1148-1149, seperti juga CCEO mengaturnya dalam kan. 859-860. Akan tetapi hedaklah dimaklumi, bahwa perkawinan-perkawinan, yang mendapat penerapan privilegium paulinum dan yang diatur oleh kan. 1148-1149 CIC serta kan. 859-860 CCEO, terputus demi hukum ketika dipenuhi persyaratan yang dituntut oleh undang-undang yang berlaku, kecuali bila suatu recursus memang harus dibuat pada kekuasaan yang lebih tinggi.Adapun mengenai perkawinan-perkawinan lain yang telah dilangsungkan oleh pihak-pihak yang sekurang-kurangnya salah satu pihaknya tidak dibaptis, apabila akan diputuskan, dalam kasus-kasus tertentu harus diserahkan kepada Bapa Suci, yang, setelah lebih dahulu diteliti oleh Kongregasi Suci Ajaran Iman, akan memutuskan berdasarkan kebijaksanaan pastoralnya, entah perkawinan itu akan diputuskan atau tidak. Praktek untuk memberikan pemutusan perkawinan dalam kasus-kasus tertentu oleh Bapa Suci ini baru dimulai sejak diundangkannya Codex tahun 1917. Pada masa sebelumnya cukuplah diterapkan privilegium paulinum atau Constitutiones yang telah disebutkan di atas tadi, karena di luar tanah missi jarang terjadi kasus-kasus yang membutuhkan penyembuhan sedemikian. Sebab bertambahnya stabilitas perkawinan dan keluarga baik secara sipil maupun secara keagamaan dalam wilayah-wilayah kekristenan lama, dan kecilnya jumlah dipensasi untuk halangan nikah disparitas cultus berarti sangat jarang terjadi perkawinan sah antara orang yang dibaptis dengan orang yang tidak dibaptis. Akan tetapi dalam abad XX jumlah perkawinan yang membutuhkan penyembuhan pastoral dengan pemeutusan perkawinan selalu semakin bertambah. Penyebabnya bermacam- macam. Antara lain dapat disebutkan: perpisahan di antara kelompok-kelompok keagamaan, yang tertutup dalam diri mereka sendiri, yang berlaku dalam abad-abad sebelumnya, dalam abad ini sudah hampir tidak ada lagi, sehingga perkawinan campur menjadi begitu semakin berlipat-ganda, begitu juga perkawinan yang dilangsungkan antara pihak yang dibaptis dan pihak yang tidak dibaptis dengan mendapatkan dispensasi dari halangan disparitas cultus; demikian juga Codex tahun 1917 menghapus halangan disparitas cultus sejauh menyangkut orang-orang yang tidak dibaptis katolik, sehingga dengan demikian sahlah perkawinan antara orang-orang yang tidak katolik ini dengan orang-orang yang tidak dibaptis tanpa dispensasi apapun; dari situ bertambahlah jumlah perkawinan, yang membutuhkan penyembuhan pemutusan perkawinan; tambahan pula semakin lama semakin bertambahlah ketidakkokohan dan ketidaktetapan ikatan keluarga sehingga dengan demikian terjadilah bahwa perceraian selalu menjadi semakin meluas (lih. Gaudium et Spes 47) dan jumlah perkawinan yang kandas tenggelam semakin hari juga menjadi semakin bertambah. Santo Bapa, yakin akan kekuasaan yang dimiliki Gereja untuk memutuskan perkawinan antara orang-orang yang tidak katolik, yang sekurang-kurangnya satu pihaknya tidak dibaptis, tidak ragu- ragu untuk menghadapi kebutuhan-kebutuhan pastoral yang baru ini dengan memasukkan praktek untuk menjalankan kekuasaan Gereja ini dalam kasus-kasus tertentu apabila, setelah menyelidiki semua hal yang masuk yang terjadi dalam tiap-tiap kasus, ia berpendapat bahwa hal ini memang harus dibuat demi iman dan keselamatan jiwa-jiwa. Lima belas tahun setelah Codex Pio-Benedictus [= CIC 1917] diundangkan, kasus-kasus pemutusan perkawinan demi iman sudah sangat sering terjadi, sehingga Kongregasi Suci Sancti Oficii [= Sacra Congregatio Pro Doctrina Fidei] pada tanggal 1 Mei tahun 1934 mengeluarkan Instructio yang berjudul Norma-norma untuk melaksanakan proses dalam kasus-kasus pemutusan perkawinan demi iman atas kekuasaan tertinggi Bapa Suci. Dalam Instructio ini ditegaskan: (art. 1) kekuasaan Santo Bapa untuk memutuskan perkawinan yang dilangsungkan antara orang-orang tidak katolik, yang sekurang-kurangnya salah satu pihaknya tidak dibaptis, demikian juga (art. 2) kewenangan eksklusif Kongregasi Suci Sancti Officii untuk menerima hal ini, dan (art. 3) untuk menunjukkan tuntutan-tuntutan agar anugerah pemutusan perkawinan ini bisa diberikan, serta menunjukkan (art. 4-18) norma-norma prosedural untuk melaksanakan proses ini di keuskupan, sebelum mengirimkan semua aktanya ke Kongregasi Suci Sancti Officii. Instructio ini diberikan 2

  3. kepada para Uskup setempat yang berkepentingan dan tidak dijadikan hukum publik dalam Acta Apostolicae Sedis, karena dikhawatirkan bahaya bahwa, dengan sarana-sarana komunikasi sosial yang ada, Gereja ditampilkan seakan-akan sudah mengizinkan perceraian. Setelah Konsili Vatikan II Paus Paulus VI memutuskan untuk meneliti kembali seluruh masalah ini secara lebih mendalam, dan meninjau kembali Instructio dari tahun 1934 serta melengkapinya dengan tambahan-tambahan baru. Setelah selesai semuanya itu Kongregasi Suci Ajaran Iman pada tanggal 6 Desember tahun 1973 menerbitkan Instructio baru pro solutione matrimonii in favorem fidei bersama dengan Normae procedurales yang disertakannya. Namun, seperti juga yang terjadi dengan Intructio tahun 1934, yang inipun tidak dijadikan ius publicum di Acta Apostolicae Sedis, tetapi dikomunikasikan secara bijaksana kepada para Ordinaris Wilayah. Baru kemudian dipublikasikan juga melalui beberapa ephemerides (terbitan berkala). Sementara Codex Iuris Canonici direvisi kembali, disusunlah skema kanon-kanon di mana secara sintetis baik prinsip-prinsip hukum maupun pedoman-pedoman prosedural untuk pemutusan perkawinan demi iman diajukan. Namun Takhta Suci berpendapat bahwa lebih baiklah apabila materi yang sukar ini tidak dimasukkan ke dalam Codex, tetapi dikembalikan kepada pedoman- pedoman khusus, yang disetujui secara khusus pula oleh Santo Bapa dan diserahkan kepada Kongregasi Suci Ajaran Iman. Adapun sekarang, setelah diundangkannya Codex Iuris Canonici maupun Codex Canonum Ecclesiarum Orientalium, kepada para Uskup diosesan dan para Uskup eparchialis dikirimkanlah Normae bagi pemutusan perkawinan, yang telah direvisi dan disesuaikan dengan perundang- undangan yang berlaku untuk dilaksanakan di kuria-kuria, baik yang berhubungan dengan peneriman kasus-kasus sesuai dengan prinsip-prinsip dasar, maupun yang berkaitan dengan penyusunan proses, sebelum seluruh akta itu dikirimkan ke Kongregasi Suci Ajaran Iman ini. Akan tetapi agar umat beriman jangan dirugikan baik secara lahir maupun secara batin, hendaknya para Uskup mengusahakan agar kasus-kasus pemutusan perkawinan demi iman, apabila ada yang terjadi di dalam wilayah kekuasaannya, sebelum diterima, diteliti dahulu dengan saksama untuk dapat diputuskan entah menurut Normae yang disertakan ini kasus itu memang dapat diterima; apabila nampaknya memang dapat diterima, hendaknya para Uskup juga mengusahakan agar proses di keuskupan sendiri dijalankan secara ketat dan saksama sedemikian rupa menurut Normae ini, sehingga akta yang harus dikirimkan ke Kongregasi Suci ini sungguh-sungguh telah dikerjakan dengan lengkap dan benar. Terhadap norma-norma baru yang ditetapkan ini maka sama sekali dihapuslah segala norma- norma terdahulu yang diberikan untuk melaksanakan proses semacam ini, juga semua yang bertentangan dengan norma-norma ini. Santo Bapa Joannes Paulus II, dalam audiensi pada tanggal 16 Februari 2001, menyetujui dan memerintahkan supaya ditaati Norma-norma yang telah dibahas dan dipertimbangkan oleh Kongregasi Suci ini. Dikeluarkan di Roma, dari Gedung Kongregasi Suci Ajaran Iman, pada tanggal 30 April, pada hari peringatan St Pius V, tahun 2001. + Joseph Card. Ratzinger, Prefek +Tharsicius Bertone SDB, Uskup Agung Emer.Vercellen, Sekretaris. 3

  4. BAGIAN I Art. 1 – Perkawinan yang dilangsungkan oleh pihak-pihak, yang sekurang-kurangnya satu di antara pihak-pihaknya tidak dibaptis, dapat diputuskan oleh Santo Bapa demi iman, asal perkawinan tersebut telah tidak disempurnakan dengan persetubuhan setelah kedua pasangan menerima baptisan. Art. 2 – Kongregasi Suci Ajaran Iman berwewenang menyelidiki kasus-kasus tertentu dan, bila bermanfaat, menyerahkannya kepada Bapa Suci untuk mendapatkan kemurahannya. Art. 3 – Uskup diosesan dan mereka yang setara dengannya dalam hukum, atau Uskup eparchialis, adalah yang berwewenang untuk menjalankan proses. Art. 4 – Untuk mendapatkan kemurahan pemutusan perkawinan dituntut persyaratan bahwa, pada saat persetujuannya: 1) tidak ada kemungkinan lain untuk memulihkan persekutuan hidup perkawinan; 2) pihak pemohon bukan yang menjadi penyebab yang bersalah, secara eksklusif atau terutama, dari gagalnya perkawinan; dan bukan juga pihak, dengan siapa perkawinan baru akan disembuhkan atau dilangsungkan, yang karena kesalahannya menjadi penyebab berpisahnya pasangan. Art. 5. §1 – Jika pihak katolik bermaksud melangsungkan perkawinan baru atau mensahkan perkawinan dengan seorang yang tidak dibaptis atau dibaptis bukan katolik, hendaklah ia membuat pernyataan untuk menghindarkan diri dari bahaya kehilangan iman dan pihak bukan katolik menyatakan bersedia memberikan kebebasan kepada pihak katolik untuk menjalankan agamanya dan membaptiskan serta mendidik anak-anaknya secara katolik. §2. Kemurahan pemutusan perkawinan tidak akan diberikan kecuali bila permohonan tersebut dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak. Art. 6 – Proses pemutusan tidak dapat dilaksanakan untuk perkawinan, yang telah dilangsungkan atau disahkan setelah mendapatkan anugerah pemutusan demi iman dari perkawinan sebelumnya, juga tidak dapat diajukan ke Kongregasi Suci Ajaran Iman untuk diselidiki. Art. 7 §1 – Permohonan pemutusan perkawinan bukan sakramental yang dilangsungkan dengan dispensasi dari halangan beda agama dapat diajukan kepada Bapa Suci, bila pihak katolik bermaksud melangsungkan perkawinan baru dengan seorang yang dibaptis. §2. Dalam kasus yang sama, permohonan dapat diajukan Kepada Santo Bapa, bila pihak yang tidak dibaptis menerima baptisan dan hendak melangsungkan perkawinan dengan pihak yang dibaptis. § 3. Permohonan kepada Kongregasi Suci Ajaran Iman jangan diajukan oleh Uskup, apabila ada keraguan yang arif mengenai kesungguhan pertobatan pihak pemohon atau pihak pasangannya, meskipun salah satu atau keduanya sudah dibaptis. Art. 8– Mengenai perkawinan yang akan dilangsungkan oleh seorang katekumen, perkawinan hendaknya ditunda sampai setelah baptisan; namun apabila hal ini dengan alasan yang sangat berat tidak dapat dilaksanakan, haruslah ada kepastian moral bahwa baptisan memang akan segera dilaksanakan. Art. 9 – Sejauh mana kesukaran-kesukaran tertentu tentang cara, bagaimana pihak pemohon hendak memenuhi kewajiban-kewajibannya terhadap pasangannya yang terdahulu dan terhadap anak yang mungkin diterimanya, atau kekawatiran terjadinya skandal karena dikabulkannya permohonan kemurahan itu, hendaknya dikonsultasikan kepada Kongregasi Suci Ajaran Iman oleh 4

  5. Uskup. Art. 10 – Baik dalam (tahap) proses di Keuskupan maupun dalam (tahap) pemeriksaan pada Kongregasi Suci Ajaran Iman, apabila ada keragu-raguan yang muncul secara positif dari salah satu pokok yang menyangkut sahnya perkawinan yang dimohonkan pemutusannya, permohonan hendaknya diajukan ke Takhta Suci dengan menyebutkan keragu-raguan itu. BAGIAN II Art. 11 §1 – Pelaksanaan proses ini dapat dilakukan atau oleh Uskup sendiri atau diserahkan kepada seorang instruktor yang dipilih atau dari hakim-hakim tribunal atau dari orang-orang yang telah disetujuinya bagi tugas ini, dibantu oleh seorang notarius, dan didampingi seorang defensor vinculi. §2. Penugasan ini harus dilaksanakan secara tertulis dan harus dilampirkan dalam berkas perkara. Art. 12 §1 – Pernyataan-pernyataan harus dibuktikan sesuai dengan norma hukum, entah berdasar dokumen-dokumen, entah berdasar pernyataan saksi-saksi yang pantas dipercaya. §2. Dalam pelaksanaan proses kedua pihak pasangan harus didengarkan. §3. Pada pernyataan kedua belah pihak tidak dapat diberikan kekuatan pembuktian yang penuh, kecuali ada unsur-unsur lain yang mendukung pernyataan itu dan dari padanya dapat diperoleh kepastian moral. Art. 13 §1 – Dokumen-dokumen baik yang asli maupun turunan-turunannya yang sah harus mendapat pengakuan dari seorang notarius. §2. Dokumen-dokumen harus dikirimkan ke Kongregasi Suci Ajaran Iman hendaknya lengkap dan itupun harus merupakan salinan dari yang diakui oleh notaris Uskup. Art. 14 §1 – Pemeriksaan terhadap pihak-pihak yang bersangkutan dan saksi-saksi dilaksanakan oleh instructor, dengan mengikutsertakan defensor vinculi, yang harus dibantu oleh notarius. §2. Instructor harus mengambil sumpah dari pihak-pihak yang bersangkutan dan para saksi untuk mengatakan kebenaran atau tentang kebenaran pernyataan-pernyataan; apabila ada yang menolak untuk disumpah, hendaklah ia tetap didengarkan tanpa disumpah. §3. Instructor hendaknya bertanya berdasarkan pertanyaan-pertanyaan yang sudah disiapkan terlebih dahulu oleh dia sendiri atau oleh defensor vinculi; pertanyaan-pertanyaan lain, bila perkaranya menuntut, bisa ditambahkan. §4. Jawaban-jawaban harus ditandatangani oleh pihak yang bersangkutan, oleh instructor itu sendiri dan oleh notarius. Art. 15 §1 – Apabila ada pihak atau saksi yang tidak mau atau tidak mampu menghadap instructor, pernyataan mereka dapat diperoleh di hadapan notarius atau melalui cara lain manapun yang legitim, asalkan jelas ketulusan dan keotentikannya. §2. Ketidakhadiran salah satu pihak di dalam proses, harus dijelaskan menurut norma hukum, dan harus dicantumkan di dalam akta. Art. 16 §1 – Tidak adanya baptis pada salah satu pihak harus ditunjukkan sedemikian, sehingga semua keragu-raguan yang arif dihilangkan. §2. Untuk mendapatkan seperti yang sebenarnya ada pada orangtua dan saudara-saudara sedarah pihak yang tidak dibaptis, hendaknya ditanyai dengan saksama, dengan mempertimbangkan kualitas mereka, para saksi atau mereka yang berada bersama dengannya di masa kecilnya dan yang mengetahui seluruh perjalanan hidupnya. 5

  6. §3. Para saksi harus ditanya, bukan saja tentang tidak adanya baptisan, tetapi juga tentang hal- ikhwal dan petunjuk-petunjuk, dari padanya mungkin menjadi jelas bahwa baptisan memang tidak diberikan. §4. Hendaknya diusahakan juga untuk memeriksa buku-buku baptis di tempat di mana ternyata pihak yang katanya tidak dibaptis telah hidup di masa kecilnya, terutama di gereja-gereja di mana dia barangkali sering mendatangi atau di gereja di mana ia melangsungkan perkawinannya. § 5. Seandainya perkawinan telah dilangsungkan dengan dispensasi untuk halangan beda agama, hendaknya instructor mendapatkan salinan dispensasi itu serta berkas persiapan perkawinannya dan memasukkannya ke dalam berkas perkaranya. Art. 17 §1 – Apabila pada waktu kemurahan pemutusan perkawinan sedang diajukan, pihak yang tidak dibaptis mendapatkan baptisan, hendaknya diselidiki tentang kemungkinan sudah terjadinya konkubinat setelah diterimanya baptisan; tentang hal inipun hendaknya para saksi ditanyai. §2. Pihak-pihak dalam perkara itu sendiri hendaknya ditanyai juga entah setelah perpisahannya mereka telah menjalin suatu hubungan tertentu, dan terutama entah mereka telah mengadakan hubungan suami-isteri. Art. 18 §1 – Hendaknya Instructor mengumpulkan informasi tentang status hidup pihak yang lain, dan janganlah melewatkan pemeriksaan entah pihak itu setelah perceraiannya pernah berusaha untuk melangungkan pernikahan baru. §2. Ia juga harus menanyai pihak-pihak yang berperkara dan para saksi tentang penyebab perpisahan atau perceraian, sedemikian sehingga jelaslah karena kesalahan pihak mana yang menyebabkan retaknya perkawinan. Art. 19 §1 – Salinan surat cerai atau surat pembatalan sipil perkawinan kedua belah pihak harus ditunjukkan. §2. Jika ada, hendaknya ditunjukkan salinan surat cerai atau surat pembatalan sipil perkawinan dan penetapan pernyataan pembatalan kanonik perkawinan dari perkawinan-perkawinan yang dicoba dilangsungkan oleh salah satu calon pasangan. Art. 20 §1 – Instructor hendaknya menyebutkan entah pihak pemohon mempunyai anak dan bagaimana ia telah mengusahakan atau akan mengusahakan pendidikan keagamaan anaknya itu sesuai dengan hukum dan kemampuannya. §2. Hendaknya instructor juga menanyakan tentang kewajibannya baik secara moril maupun secara sipil terhadap pasangannya yang pertama dan anak yang barangkali sudah dipunyainya. Art. 21 §1 – Pihak pemohon atau pasangannya, apabila ia bertobat dan dibaptis, harus ditanya juga tentang saat dan maksudnya menerima baptisan. §2. Tentang alasan mengapa dibaptis hendaklah ditanya juga pastor paroki, terutama mengenai kejujuran pihak-pihak itu. Art. 22 §1 – Dengan tegas harus disebutkan dalam berkas tentang hidup rohani baik pihak pemohon maupun pihak calon pasangannya. §2. Surat baptis atau surat pengungkapan kepercayaan atau keduanya harus dilampirkan dalam berkas. Art. 23 – Setelah seluruh pemeriksaan selesai dijalankan, Instructor mengirimkan semua berkas, namun jangan mempublikasikannya, kepada defensorvinculi dengan uraian yang cermat, sebab tugas defensor vinculi-lah menemukan alasan-alasan, jika ada, yang mengarah pada pemutusan perkawinan. 6

  7. Art. 24 §1 – Setelah menerima semua berkas Uskup hendaknya membuat keputusan tentang permohonan itu, yang menyebut dengan saksama tentang syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk mendapatkan kemurahan, terutama entah cautiones yang disebut dalam art. 5 dilaksanakan. §2. Hendaklah sebab-sebab yang menyarankan pengabulan kemurahan diungkapkan, senantiasa dengan menambahkan keterangan entah pihak pemohon dengan salah satu cara telah mencoba menikah lagi atau hidup dalam konkubinat. Art. 25 §1 – Uskup harus mengirimkan berkas itu dalam tiga rangkap kepada Kongregasi Suci Ajaran Iman, semuanya diketik, disertai dengan pendapatnya sendiri dan catatan-catatan dari defensor vinculi, dilengkapi dengan daftar isi dan rangkuman keseluruhannya. §2. Harus pula diusahakan, agar berkas perkara itu, apabila telah disusun dalam bahasa daerah, diterjemahkan ke dalam salah satu bahasa yang dipahami dalam kalangan Kuria Roma, ditambah dengan sebuah penegasan di bawah sumpah tentang kesetiaan penyalinan dan penerjemahan dokumen-dokumen itu. 7

More Related