1 / 19

makalahhegemoni

hegemoni quraisy

halilintar
Download Presentation

makalahhegemoni

An Image/Link below is provided (as is) to download presentation Download Policy: Content on the Website is provided to you AS IS for your information and personal use and may not be sold / licensed / shared on other websites without getting consent from its author. Content is provided to you AS IS for your information and personal use only. Download presentation by click this link. While downloading, if for some reason you are not able to download a presentation, the publisher may have deleted the file from their server. During download, if you can't get a presentation, the file might be deleted by the publisher.

E N D

Presentation Transcript


  1. Mekkah dan Madinah Pra dan Pasca Islam: Upaya Memahamai Kontektualitas Dakwah Islam Andy Hadiyanto Universitas Negeri Jakarta 1. Pendahuluan Merupakan pandangan umum umat Islam, bahwa al-Qur‟an diturunkan secara bertahap menyesuaikan dengan realita dan kondisi yang dihadapi oleh da‟wah Islam kala itu.1 Menurut al-Qur‟an sendiri, hikmah diturunkannya al-Qur‟an secara bertahap adalah untuk meneguhkan perasaan Muhammad sehingga ia senantiasa merasa dalam komunikasi intensif dengan Tuhan.2 Tidak hanya itu, al- Qur‟an turun secara bertahap selama kurang lebih 23 tahun untuk memberikan arahan tentang reformasi sosial budaya secara komprehensif dan terukur.3 Arahan-arahan tersebut disampaikan dengan memperhatikan situasi, tempat, dan audiens al-Qur‟an pada saat peristiwa nuzûl. Al-Qur‟an tidak turun dalam ruang hampa sejarah, artinya ia turun dalam konteks budaya tertentu yang telah mengakar. Sebagai pesan Tuhan, al-Qur‟an turun dalam konteks masyarakat Arab abad ke tujuh dengan berbagai tradisi dan realita budayanya kala itu.4 Pada masa Rasulullah ayat-ayat Al Qur‟an yang diwahyukan selalu menimbulkan dinamika wacana dalam masyarakat. Ayat-ayatnya selalu terlibat dalam sebuah dialog kehidupan secara dinamis dan terbuka. Dialog antara al-Qur‟an dengan realitas bangsa Arab kala itu merupakan sebuah keniscayaan, karena bangsa Arab sendiri merupakan sebuah bangsa yang telah mengalami kemajuan budaya dan peradaban. Namun kesalahan terbesar yang sering dialami oleh sebagian pengkaji dan pemerhati Islam adalah adanya anggapan bahwa bangsa Arab sebelum datangnya Islam dianggap sebagai bangsa Jahiliyah (bodoh), brutal, barbar, dan sebagainya. Anggapan tersebut membuat kita beranggapan bahwa Islam datang sebagai sesuatu yang sama sekali baru dan berbeda dengan tradisi bangsa Arab sebelumnya. Islam dianggap sebagai barang baru yang muncul secara ahistoris dan mengubah total wajah budaya dan peradaban Arab. Pemahaman seperti ini mendorong model dakwah Islam yang cenderung mengesampingkan konteks sosial budaya masyarakat audiens, bahkan berkemungkinan melahirkan idiologisasi Islam. Atas dasar itu, pemahaman tentang kondisi social budaya bangsa Arab pra dan ketika Islam datang menjadi menarik untuk dikaji dalam upaya untuk melihat kontribusi konteks social budaya dalam mengkonstruk dakwah Islam yang direpresentasikan dalam wacana-wacana al-Qur‟an. Pemahaman konteks dakwah membuat kita dapat mengambil benang merah sejarah masa lalu dengan realita kekinian dalam upaya untuk mengintegrasikan nilai-nilai Islam dalam kehidupan saat ini. 2. Peran Historis Hejaz : Komunikasi antar Budaya dan Agama Yang disebut bangsa Arab menurut sejarah klasik adalah penduduk badui yang tinggal di sebelah utara semenanjung Arab, timur lembah Nil, yang terbentang antara sungai Eufrat di timur dan Nil di barat.5 Arab dalam bahasa Semit dan Suriani memiliki padanan dalam bahasa Arab ’Arâbah yang berarti bâdiyah atau badwi (komunitas nomaden). Ketika bangsa Arab berkembang dan mulai membangun kota- kota di Yaman, Hejaz, dan Hauran, maka kata Arab mengalami perluasan makna, dengan penambahan kata hadhar (yang sudah tinggal menetap) atau badw (yang hidup nomaden).6 1 Lihat antara lain: Badruddin Muhammad bin Abdullah bin Bahadur al-Zarkasyi, Al-Burhân fî„Ulûm al-Qur‟ân juz 1 (Beirut: Dâr al-Ma‟rifah, tt), h. 191; Jalâluddin al-Suyûthi, Al-Itqân fî Ulûm al-Qur‟ân juz 1, (Beirut: Dâr el Fikr, tt), h.8; Manna‟ al-Qathan, Mabâhits fî „Ulûm al-Qur‟ân, (Beirut: Dâr al-Fikr, tt), h.53; Subhi al-Sholih, Mabâhits fî „Ulûm al-Qur‟ân, (Beirut: Dar al-Ilm li Al-Malâyîn, 1988), h. 167; dan Nashr Hamid Abu Zaid, Mafhûm al-Nash, (--: al-Markaz al-Tsaqâfi al-Araby, 1987), h. 75 2Q.S. 25: 32, lihat pula Majma‟ al-Malik Fahd, Al-Makky wa al-Madany,(Saudi : www. Qurancomplex.org, tt), h.1 3Manna‟ al-Qathan, Mabâhits fî „Ulûm al-Qur‟ân,(--: mansyûrât al-„Ashr al-Hadîts, tt), h.51 4Ali Sodiqin, Antropologi Al Qur‟an, (Yogya: Arruz Media Group, 2008), h.12 5 George Zaidan, Kitâb al- „Arab Qabl al- Islâm, (Mesir: Mathba‟ah Hilâl, 1922) juz 1, h. 31 6 George Zaidan, Kitâb al-„Arab Qabl al- Islâm, juz 1, h. 31

  2. kepada dua pangkal, yaitu bangsa Qahtan dan Adnan. Bangsa Qahtan semula tinggal di semenanjung Arab bagian selatan, Yaman, sedangkan bangsa Adnan tinggal di bagian utara. Suku Quraisy adalah bangsa Adnan yang menetap di Mekkah sedangkan suku Aus dan Khazraj adalah bangsa Qahtan yang menetap di Yatsrib. Meskipun suku-suku tersebut telah meninggalkan pola hidup nomaden dan hidup secara menetap namun mereka tetap melestarikan tradisi kesukuan. Suku-suku tersebut masih dibagi lagi ke dalam beberapa klan dan keluarga, masing-masing suku menanamkan fanatisme kesukuan terhadap setiap anggotanya.7 Menurut Thaha Husein, untuk mengetahui corak dan karakteristik kehidupan Arab pra Islam (Jâhiliyyah) bisa dilakukan dengan mentadaburi al Qur‟ân tanpa harus mengambil informasi dari puisi- puisi klasik pra Islam. Al Qur‟ân memberikan gambaran yang jelas tentang kehidupan keagamaan bangsa Arab. Tidak hanya itu, al Qur‟ân juga merefleksikan dinamika pemikiran yang berkembang pada bangsa Arab pra Islam. Al Qur‟ân menjadi saksi tentang kehebatan dan kepandaian bangsa Arab dalam beragumentasi dan berlogika. Banyak ayat membangun argumen yang rasional untuk membantah orang- orang Arab kala itu, hal itu menunjukkan bahwa bangsa Arab adalah bangsa yang memiliki pemikiran yang maju. Tidak semua bangsa Arab adalah bangsa yang bodoh dan memiliki kehidupan yang keras dan kasar sebagaimana digambarkan oleh puisi-puisi pra Islam. Seperti halnya umat-umat lain, bangsa Arabpun terbagi menjadi 2, komunitas yang tercerahkan dan maju cara berpikirnya, serta komunitas awam yang memiliki cara berpikir yang masih sederhana.8 Penduduk Semenanjung Arab terbagi ke dalam dua kelompok utama; orang-orang desa (badwi) yang nomad dan masyarakat perkotaan (hadhar). Tidak selamanya ada garis tegas yang memisahkan antara kelompok nomad dan kelompok urban. Orang-orang badui bukanlah orang-orang gipsi yang mengembara tanpa arah demi pengembara semata. Mereka mewakili bentuk adaptasi kehidupan terbaik manusia terhadap kondisi gurun. Di mana ada daratan hijau, ke sanalah mereka menggiring ternaknya.9 Mengacu pada pendapat Thaha Husein di atas, maka penduduk badui merupakan representasi bangsa Arab yang memiliki pemikiran sederhana, sedangkan bangsa hadhar merupakan representasi bangsa Arab yang telah maju cara berpikirnya. Menurut Thaha Husein lagi, dari segi komunikasi antar budaya, informasi puisi-puisi pra Islam yang mengatakan bahwa bangsa Arab adalah bangsa yang terpencil dan tidak pernah dipengaruhi oleh budaya-budaya bangsa lain bertentangan dengan informasi al Qur‟ân. Menurutnya, al Qur‟ân menginformasikan bahwa bangsa Arab memiliki komunikasi dan hubungan yang intens dengan bangsa- bangsa lain. Bahkan ketika itu bangsa Arab (Quraisy khususnya) ada yang membangun aliansi politik dengan bangsa lain, sehingga muncul perbedaan orientasi politik luar negeri di kalangan mereka.10 Dari segi pengaruh kebudayaan luar, wilayah semenanjung Arab terbagi menjadi dua bagian. Pertama, kawasan-kawasan yang sedikit sekali terkena dampak budaya luar. Kawasan ini berada di jantung semenanjung Arabia. Masyarakatnya kebanyakan suku-suku nomad yang tertutup (clan oriented). Partisipasi ekonomi diantaranya dibangun berdasarkan kekuatan fisik berupa razia (ghazw) dan perompakan yang sudah menjadi semacam institusi sosial.11 Karakter masyarakat nomad adalah individualisme dan semangat ashabiyah atau sukuisme.12 Hal ini menyebabkan mereka tidak pernah bisa mengangkat diri mereka sejajar dengan masyarakat di sekitar. Mereka sulit melakukan adaptasi dengan masyarakat luar. Komunitas di luar mereka adalah orang lain yang boleh diserang atau diajak damai. Kedua, kawasan-kawasan yang mempunyai hubungan erat dengan dunia luar. Daerah ini berada di perkotaan dan wilayah-wilayah yang dekat dengan negara-negara besar. Masyarakatnya bergerak di bidang perdagangan. Kontak dagang dengan penduduk dari luar wilayah membuat interaksi sosial di 7 Awâthif Adîb Ali Salâmah, Quraisy Qabl al-Islâm Dauruhâ al- Siyâsy wa al-Iqtishâdy wa al-Dîny, (Riyadh: Dâr al- Mirrîkh, 1994),h.h, 37-38 8 Thaha Husein, Fî al- Syi‟r al- Jâhily, h.6 9 Philip K.hitti, History of The Arabs,h.28 10 Thaha Husein, Fî al-Syi‟r al-Jâhily, h.7 11 Reuben Levy, Susunan Masyarakat Islam, Jilid II, terj. H.A.Ludjito (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1989), h.10 12 Ahmad Amin, Fajr al-Islâm, (Beirut: Dar el Fikr, 1975), h. 10 Umumnya para ahli nasab mengembalikan asal-muasal suku-suku Arab yang tinggal di Hejaz

  3. antara mereka menjadi intensif. Hal inilah yang menyebabkan masyarakat ini bersifat terbuka dan dinamis. Termasuk dalam kawasan ini adalah daerah Hejaz dan Yaman.13 Hejaz sudah memiliki posisi dan kedudukan strategis di tengah-tengah peradaban-peradaban kuno yang sudah maju seperti Iraq, Mesir, Syam, dan Yaman sejak lama. Hal itu terbukti dengan pernyataan Hermes yang menganggap Hejaz sebagai daerah kedua dari seluruh daerah di dunia klasik.14 Mayoritas daerah di Hejaz telah didiami orang sejak lama dan memiliki banyak tempat peninggalan bersejarah. Hejaz terbagi menjkadi tiga daerah (distrik), daerah Utara, Tengah, dan Selatan. Daerah Utara terbentang dari Aqabah sampai Madinah. Daerah Tengah terbentang dari Madinah sampai Thaif, diantara kota- kotanya adalah Madinah, Thaif, Mekkah, dan Jeddah. Sedangkan daerah Selatan terbentang dari selatan Thaif ke arah Laits, yang meliputi daerah-derah perbukitan.15 Hejaz merupakan jalur perdagangan penting dan salah satu tempat pertemuan bisnis internasional yang penting bagi pedagang-pedagang yang berasal dari India, Mesir, dan negara-negara yang terletak di timur laut Tengah.16 Mayoritas daerah ini dikuasai oleh suku Quraisy, namun terdapat beberapa suku lainnya yang berasal dari etnik Arab asli ataupun etnik-etnik lainnya seperti: Yahudi, Etiopia, Rumawi, dan sebagainya yang hidup berdampingan secara damai di sana. Di samping itu, Hejaz juga dikenal sebagai wilayah yang mewadahi pluralitas keagamaan, dengan dijumpainya berbagai model keberagamaan di sana, seperti Hanifiyah, Nashrani, yahudi, Majusi, Sabean, Paganisme, dan lain-lain.17 Itu semua menunjukkan bahwa Hejaz telah menjadi pusat pertemuan peradaban yang dapat mempengaruhi perkembangan dan kemajuan masyarakatnya.18 Sebelum mengulas wacana keagamaan yang berkembang di Semenanjung Arabia, perlu diingat pernyataan Goldziher bahwa agama merupakan suatu fenomena yang kompleks dalam alam kejiwaan umat manusia. Bangun keagamaan tidak bisa dipulangkan begitu saja pada satu impuls yang muncul sebagai satu abstraksi yang bebas dari kondisi historis tertentu.19 Kondisi Hejaz yang kering, gersang, tidak subur, dan monoton mempengaruhi pola pikir bangsa Arab. Ahmad Amin menulis bahwa akibat kondisi alam tempat tinggalnya, bangsa Arab kurang terampil melakukan pemikiran yang bersifat analisis sebab-akibat. Sebagaimana mereka belum mampu melakukan pemikiran yang holistik dan cenderung melihat setiap fenomena sebagai fakta khusus.20 Mereka belum mampu memahami fenomena alam dan sosial di sekitarnya secara rasionil akibat kehidupan nomaden.21 Tak pelak, maka model pemikiran yang sederhana tersebut memunculkan model keberagamaan yang sederhana.22 Bangsa Arab meyakini adanya kekuatan-kekuatan ghaib di luar manusia yang mempengaruhi kehidupan mereka. Hal ini digambarkan dalam beberapa ayat al-Qur‟an yang berisi dialog tentang keyakinan mereka. Dewa-dewa dalam agama mereka adalah symbol yang dijadikan sebagai mediator untuk menuju kekuatan yang tertinggi (All Supreme Being). Selain dewa-dewa, terdapat pula kultus individu terhadap tokoh-tokoh yang dianggap memiliki kemampuan berhubungan dengan Tuhan dan para dewa. Pengultusan tersebut dilakukan terhadap para Sadin, Kahin, Sha’ir, dan Sahir.23 Kepercayaan animisme, dinamisme, totemisme, dan politeisme merupakan model keberagamaan yang paling dominan dalam masyarakat Arab khususnya masyarakat badui. Hal ini terkait dengan sifat hidup mereka yang tergantung sepenuhnya pada alam. Dalam kepercayaan mereka, alam diwarnai oleh kehidupan makhluk lain (jin) yang harus ditundukkan dengan kekuatan magis. Mereka juga memiliki 13 Reuben Levy, Susunan Masyarakat Islam, Jilid II,h. 11 14 Awâthif Adîb Ali Salâmah, Quraisy Qabl al-Islâm Dauruhâ al- Siyâsy wa al-Iqtishâdy wa al-Dîny, h. 15 15 Awâthif Adîb Ali Salâmah, Quraisy Qabl al-Islâm Dauruhâ al- Siyâsy wa al-Iqtishâdy wa al-Dîny, h.15 16 Ahmad Amin, Fajr al-Islâm, h.h. 12-20, lihat pula: Awâthif Adîb Ali Salâmah, Quraisy Qabl al-Islâm Dauruhâ al- Siyâsy wa al-Iqtishâdy wa al-Dîny,h.15 17 Khalil Abdul Karim, Hegemoni Quraisy, (Yogyakarta: LKiS, 2002), h.h.112-115 18 Awâthif Adîb Ali Salâmah, Quraisy Qabl al-Islâm Dauruhâ al- Siyâsy wa al-Iqtishâdy wa al-Dîny, h.16 19 Ignaz Goldziher, Pengantar Teologi dan Hukum Islam, (Jakarta: INIS, 1991), h. 1 20 Ahmad Amin, Fajr al-Islâm, h.h. 40-41 21 Taufiq Barrû, Târîkh al-„Arab al-Qadîm,( Damaskus: Dar al-Fikr, 2001), h. 276 22 Abd al-Hâdi Abd al-Rahmân, Judzûr al-Quwwah al-Islâmiyyah, (Beirut: Dâr al-Thalî‟ah, 1988), h. 25 23 Djaka Soetapa, Ummah: Komunitas Religius dan Politis dalam Al-Qur‟an, (Yogyakarta: Duta Wacana University, 1991), h.61

  4. dewa-dewa alam yang terkait dengan penghidupan mereka. Dewa yang terkenal adalah Dewa Manath, 24al-Lât, dan al-Uzza( tentang dewa-dewa Arab lihat QS 53:19-23). Dewa lain yang juga disembah antara lain; Urra, Suwa, Wadd, Yaquth, Ya’uq, dan Himyar.25 Di samping itu terdapat patung yang dipuja suku Quraisy, yaitu Hubal, Usaf, dan Nailah. Hubal memiliki dua panah ritual, yaitu sarih dan mulsaq, yang digunakan oleh Kahin untuk memutuskan perkara.26 Bangsa Arab juga memiliki kepercayaan kepada objek-objek natural seperti batu atau pohon tertentu yang dikeramatkan. Kepercayaan model ini banyak terdapat di Arab Tengah dan Barat, terutama di Thaif dan Makkah, yang banyak terdapat tempat-tempat keramat.27 Di samping itu, kerajaan totemisme juga berkembang di kalangan bangsa Arab. Banyak suku yang menyembah dewa binatang seperti: dewa Asad (singa), Nasr (burung nasr), dan Auf (burung besar).28Di samping dewa-dewa yang terkait dengan kehidupan, masyarakat Arab juga mengenal dewa-dewa dalam bentuk abstrak, seperti dewa waktu (dahr, zaman), keberuntungan (sa’d), karunia (rida), dan persahabatan (wadd), terdapat juga dewa-dewa angkasa, seperti: syams (matahari), yang dipuja oleh suku Humair; al-Mushtri (Jupiter), yang disembah oleh suku Lakhm dan Judzam; dewa bulan disembah oleh suku Kinanah; dan dewa bintang dipuja oleh suku Tamim.29Dewa angkasa lainnya antara lain adalah dewa syarq (terbit), suhail (canopus), al-shi’ira (Sirius), utarid (mercury), al-zuhra (venus).30 Di samping kepercayaan lokal, terdapat pula penganut agama-agama Abrahamik import, seperti Yahudi dan Nashrani. Agama Yahudi berkembang di sepanjang kota-kota oasis yang membentang dari selatan hingga pesisir utara laut Merah, termasuk kota Khaibar dan Yatsrib. Selain itu, penganut agama ini juga terdapat di wilayah Arab Timur, Wadi al-Qurra, Fadak, Tayma, dan Yaman.31 Penyebaran agama Yahudi di kalangan masyarakat Arab adalah melalui hubungan raja-raja Himyar dengan orang Yahudi di Yatsrib. Di antara suku-suku yang beragama Yahudi adalah: Bani Quraidhah, Nadhir, Qainuqa‟, Za‟ura, Hadal, Qum‟ah, dan Zaid al-Lata.32 Pengaruh agama Yahudi yang tampak dalam kepercayaan orang Arab adalah tersebarnya akidah tauhid atau paham monoteis. Pemikiran tentang kedatangan nabi yang akan membebaskan juga berasal dari ajaran Yahudi. Wacana keagamaan lainnya adalah: adanya hari kebangkitan (ba’ts), hari perhitungan (hisab), timbangan (mizan), neraka, dan iblis.33 Penganut agama Nasrani tidak terlalu banyak di kalangan masyarakat Arab. Kebanyakan mereka berasal dari Syria dan Abyssinia dan tinggal di selatan Arabia. Daerah lain yang menjadi tempat berkembangnya agama ini adalah wilayah Arab Timur di sepanjang pesisir teluk Persia, Oman, Yaman, dan Najran. Bahkan di Najran, terdapat gereja yang disebut dengan “Ka‟bah Najran”. Di samping itu, daerah ini juga menjadi markas para uskup Nasrani.34 Suku-suku yang memeluk agama ini adalah: suku Iyad. Tamim, dan Hunaifah. Selain itu, suku lain yang beragama nashrani adalah suku Taghlib, Ghassan, dan Quda‟a di bagian utara yang berbatasan dengan Syria dan Mesopotamia. Agama-agama Yahudi maupun Nashrani tidak banyak berkembang di Arab. Hal ini disebabkan karena sifat dan sikap orang Arab yang tidak mudah menerima pengaruh asing, termasuk keyakinan agama. Suku-suku Arab, terutama yang nomad, lebih menyukai hal-hal yang bersifat duniawi, meskipun ada beberapa orang yang memiliki kecenderungan spiritualitas. Di sisi lain, agama Nashrani dan 24 Ibn Ishaq, The Life of Muhammad, terj.Alfred Guillame (Oxford: Oxford University Press, 1970), h.38 25 Hassan Ibrahim,Islamic History and Culture; From 632 to 1968 ( tp., th.), h.17 26 Abdul Hamîd Shiddiqui, The Life of Muhammad (Lahore: Islamic Publications Ltd., 1975), h.29-30 27 John L Esposito, Islam Kekuasaan Pemerintahan, Doktrin Iman dan Realitas Sosial terj. M.Khoirul Anam (Depok: Inisiasi Press, 2004), h. 7 28 Djaka Soetapa, Ummah: Komunitas Religius dan Politis dalam Al-Qur‟an, (Yogyakarta: Duta Wacana University, 1991), h.59 29 Effat Al-Sharqawi, Filsafat Kebudayaan Islam, terj. Ahmad Rofi‟ Usmani (Bandung: Pustaka, 1986), h.41-43 30 Djaka Soetapa, Ummah: Komunitas Religius dan Politis dalam Al-Qur‟an, (Yogyakarta: Duta Wacana University, 1991), h.60 31 John L Esposito, Islam Kekuasaan Pemerintahan, Doktrin Iman dan Realitas Sosial terj. M.Khoirul Anam (Depok: Inisiasi Press, 2004), h. 7 32 Khalil Abdul Karim, Hegemoni Quraisy, Agama, Budaya, Kekuasaan, terj.M.Faisol Fatawi), h.121 33 Khalil Abdul Karim, Hegemoni Quraisy, Agama, Budaya, Kekuasaan, terj.M.Faisol Fatawi , h.126 34 Khalil Abdul Karim, Hegemoni Quraisy, Agama, Budaya, Kekuasaan, terj.M.Faisol Fatawi , h.142

  5. Zoroaster dianggap sebagai agama penjajah. Menurut pandangan mereka, agama-agama besar tersebut hanyalh merupakan alat kontrol imperialime Bizantium ataupun Persia.35 Meskipun tidak menganut salah satu dari ketiga agama tersebut, orang Arab memiliki kepercayaan monotheisme yang disebut dengan agama hanif. Hanif merupakan kelompok orang-orang yang beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa, tetapi bukan memeluk keyakinan tertentu. Kepercayaan ini berkembang di wilayah Hijaz. Ajaran-ajaran agama Yahudi dan Nashrani dianggap berperan dalam membentuk kepercayaan ini. Pengaruh tersebut berasal dari para pedagang, propagandis, dan tradisi Al- Kitab yang terdapat dalam agama Yahudi dan Nashrani.36 Keberadaan agama ini sudah lama, kakek Nabi, Ka‟ab bin Lu‟ai bin Ghali, Qushay bin Kilab, dan Abdul Muthalib adalah penganut agama hanif. Dari kalangan penyair, terdapat nama-nama seperti Umayyah Ibn Abu Al-Shalt, Zuhair bin Abi Sulma, Nabighah Al-Dzubyani, dan Amir bin Dharb.37 Tokoh-tokoh lain dari kalangan intelektual dan arif bijaksana adalah Suwaid Ibn Amir, Waki‟ Ibn Salmah Al-Ayyadi, Umair Ibn Jundub Al-Jahni dan zaid Ibn „Amr Ibn Nufail.38 Ajaran agama ini adalah menolak penyembahan terhadap berhala dan mengajak kepada ketauhidan. Meskipun demikian, ajaran mereka tidak condong kepada agama monotheisme yang ada, baik Yahudi maupun Nasrani. Dalam qasidah-nya, para penyair dari kelompok ini mengumandangkan syair yang bertemakan keimanan dan keesaan Allah. Tema keagamaan lainnya adalah tentang hari kebangkitan, hari kiamat, dan hari perhitungan amal. Di samping itu, tema sosial yang menjadi sasaran mereka adalah kesederhanaan duniaawi dan larangan meminum khamr.39 Para Hunafa’, pengikut agama hanif, juga memiliki tradisi keagamaan yang dilakukan secara rutin. Di antaranya adalah berkhalwat atau menyepi di gua hira yang dilaksanakan pada bulan Ramadhan. Tujuannya adalah untuk memperbanyak Ibadah. Di samping itu, pada bulan ini mereka memperbanyak shadaqah dengan memberi makan orang miskin. Tradisi lainnya adalah larangan minum khamr dan larangan menikah dengan mahram.40 Armstrong sebagaimana diperkuat oleh Zuhairi dan Fazhlurahman menyatakan bahwa kehidupan beragama bangsa Arab berevolusi secara dinamis sesuai dengan perubahan sosio-kultural yang mereka alami.41 Sepakat dengan Abdul Hadi, Zuhairi menegaskan bahwa mulanya bangsa Arab primitif yang masih hidup secara nomaden dan bergantung pada kehidupan berternak memiliki keyakinan animisme, dinamisme, dan totemisme. Ketika mereka mulai melakukan interaksi bisnis dengan bangsa lain, dan mulai meninggalkan kehidupan nomaden muncullah keyakinan paganisme. Dan akhirnya, ketika sekat- sekat kesukuan mulai lenyap muncul orientasi keberagamaan yang monoteistik.42 Dengan kata lain, pemikiran keagamaan bangsa Arab mengalami evolusi dan dinamika sejalan dengan perubahan kehidupan ekonomi, sosial, politik, dan budaya mereka. 3. Mekkah al Mukarramah: Latar Geografis, Demografis, Ekonomi, dan Sosial Keagamaan Mekkah terletak di sebuah lembah sempit diantara rangkaian pegunungan yang memiliki batau- batu vulkanik. Terletak pada ketinggian 909 kaki di atas permukaan laut (277 meter), berjarak 75 kilometer dari pantai laut Merah, berbatasan dengan Jedah di timur dan Yastrib (madinah) di Selatan. Panjang lembah Mekkah dari utara ke selatan mencapai dua mil, dan lebarnya sekitar satu mil.43 35 Karen Armstrong, Muhammad Sang Nabi Sebuah Biografi Kritis, (Surabaya: Risalah Gusti, 2001), h.h.56 36Ira M.Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, Bagian Kesatu dan Kedua terj.Gufron A. Mas‟adi (Jakarta: Rajawali Press, 1999), h.26 37 Khalil Abdul Karim, Hegemoni Quraisy, Agama, Budaya, Kekuasaan, terj.M.Faisol Fatawi, h.175 38 Effat al-Sharqawi, Filsafat Kebudayaan Islam, terj. Ahmad Rofi‟ Usmani (Bandung: Pustaka, 1986), h.70 39 Khalil Abdul Karim, Hegemoni Quraisy, Agama, Budaya, Kekuasaan, terj.M.Faisol Fatawi, h.175 40 Khalil Abdul Karim, Hegemoni Quraisy, Agama, Budaya, Kekuasaan, terj.M.Faisol Fatawi, h.37-38 41 Karen Armstrong, Muhammad Sang Nabi Sebuah Biografi Kritis, h.75; Zuhairi Misrawi, Mekkah Kota Suci, Kekuasaan, dan Teladan Ibrahim,(Jakarta: Kompas, 2009), h.h. 102-104; Fazlur Rachman, Islam, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), h. 16 42 Zuhairi Misrawi, Mekkah Kota Suci, Kekuasaan, dan Teladan Ibrahim,h.h. 102-104; Abdul Hadi, Judzûr al-Quwwah al- Islâmiyyah, h. 25 43 Awâthif Adîb Ali Salâmah, Quraisy Qabl al-Islâm Dauruhâ al- Siyâsy wa al-Iqtishâdy wa al-Dîny,h.h.16-17

  6. Mekkah adalah sebuah kota kuno yang mulai dikenal dalam sejarah sejak Ismail bin Ibrahim.44 Dengan demikian Mekkah diperkirakan berdiri sekitar abad ke 19 Sebelum Masehi, mengingat Ismail hidup sekitar tahun 1853-1717 SM.45 Berita tertulis pertama yang menceritakan sejarah Mekkah berasal dari abad ke 5, ketika Ptolemy menyebutnya dengan sebutan Macroba bahasa Aram yang berarti Mekkah besar.46 Sedangkan sebutan Mekkah sendiri menurut Zaidan sebenarnya berasal dari bahasa Asyiria (Babilonia) Makâ yang artinya rumah.47 Dengan demikian penyebutan Mekkah semula untuk menandai keberadaan bait Allah (rumah Allah) yang ada di sana, lama-kelamaan sebutan untuk rumah tersebut dipergunakan untuk wilayah di mana rumah tersebut berada.48 Hijrahnya keluarga Ibrahim ke Mekkah, disusul dengan pendirian “rumah Allah” di sana membuat Mekkah menjadi sebuah tempat yang sakral dan dikunjungi oleh bangsa-bangsa Arab dan non Arab.49Semenjak Ka‟bah dikenal dan sisakralkan, Mekkah bukan lagi sebuah lembah yang sunyi dan tak berpenghuni melainkan telah menjadi stasiun bagi kafilah-kafilah dagang yang beristirahat di sana dan mendirikan pasar-pasar besar di sana.50 Banyak suku-suku Arab dan non Arab yang berasal dari selatan dan utara hijrah ke Mekkah mengingat posisi strategis Mekkah tersebut. Quraisy merupakan suku utama yang menetap di Mekkah, setelah dikumpulkan dan dibuatkan pemukimannya secara terencana oleh Qushay bin Kilab pada abad ke lima masehi.51 Sebutan Quraisy menyaran kepada beberapa makna, 1) nama Quraisy berasal dari Quraisy bin Badr bin Yakhlud bin al- Harits bin Yakhlud bin an Nadhr bin Kinanah, penunjuk jalan Bani Kinanah bila mereka bepergian; 2) Quraisy berarti kumpulan nasab yang tidak berasal dari satu ayah dan ibu; 3) Quraisy adalah tashghir (pengecilan) kata ”qursy” yang berarti ikan besar (sejenis Hiu); 4) Taqrîsy berarti taftîsy (memeriksa), karena Nadhr bin Kinanah ketika itu selalu mencari dan memeriksa apakah kebutuhan orang-orang miskin telah terpenuhi; 5) Quraisy juga bisa berasal dari kata taqarrusy yang berarti kumpulan, mereka dinamai ini karena Qushay mengumpulkan berbagai keluarga suku Arab di Mekkah.52 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa nama Quraisy sudah dikenal sejak Nadhr atau Fihr akan tetapi nama tersebut semakin terkenal dan popular sejak masa Qushay karena beberapa sebab. Hal-hal yang membuat suku Quraisy dikenal sejak masa Qushay tersebut antara lain karena mereka dikumpulkan dalam sebuah masyarakat pedagang profesional yang selalu menjauhi peperangan dan konflik sehingga mereka bisa hidup damai dan aman di Mekkah.53 Bangsa Quraisy telah mengalami transformasi dari masyarakat nomaden menjadi masyarakat berperadaban secara gradual sejak masa Qushay.54 Ketika Qushay bin Kilab berhasil mengambil alih kekuasaan Mekkah dari Bani Khuza‟ah, ia berhasil meyakinkan orang-orang Quraisy bahwa dengan bermukim di sekitar Ka‟bah (al-bait al-Harâm) mereka akan semakin berwibawa dan dipandang oleh orang-orang Arab lainnya. Qushay sendiri ikut serta dalam proses pembangunan pemukiman Quraisy di Mekkah, ia ikut memotong pohon-pohon berduri yang tersebar di sana, lalu iapun meratakan tanah agar cocok untuk tempat tinggal. Mekkah ketika itu dibagi menjadi empat dusun besar yang melingkari tempat thawafdi sekitar Ka‟bah. Antara pemukiman penduduk dan Ka‟bah disisakan lahan kosong berbentuk lingkaran, untuk melakukan thawaf di sekeliling Ka‟bah. Di antara tiap-tiap rumah dibuat 44 Q.S. Ibrahim: 37 45 Awâthif Adîb Ali Salâmah, Quraisy Qabl al-Islâm Dauruhâ al- Siyâsy wa al-Iqtishâdy wa al-Dîny, h. 20 46 Taufiq Barrû, Târîkh al-„Arab al-Qadîm, h.165; lihat pula: Zuhairi Misrawi, Mekkah: Kota Suci, Kekuasaan, dan Teladan Ibrahim, (Jakarta: Kompas, 2009),h. 90 47 George Zaidan, Kitâb al-„Arab Qabl al-Islâm, juz 1, h. 244 48 Taufiq Barrû, Târîkh al-„Arab al-Qadîm, h. 1666; lihat pula: Awâthif Adîb Ali Salâmah, Quraisy Qabl al-Islâm Dauruhâ al- Siyâsy wa al-Iqtishâdy wa al-Dîny, h. 21 49 Awâthif Adîb Ali Salâmah, Quraisy Qabl al-Islâm Dauruhâ al- Siyâsy wa al-Iqtishâdy wa al-Dîny, h. 25 50 Zuhairi Misrawi, Mekkah: Kota Suci, Kekuasaan, dan Teladan Ibrahim,h.93, lihat pula: Awâthif Adîb Ali Salâmah, Quraisy Qabl al-Islâm Dauruhâ al- Siyâsy wa al-Iqtishâdy wa al-Dîny,h. 23 51 Khalîl Abdul Karîm, Hegemoni Quraisy, h.h.10-12 52Abu Musa al-Hariri, Nabiy al-Rahmah wa Qur‟ân al-Muslimîn Bahts fî Mujtma‟ Makkah, h.h.36-37, lihat pula: Awâthif Adîb Ali Salâmah, Quraisy Qabl al-Islâm Dauruhâ al- Siyâsy wa al-Iqtishâdy wa al-Dîny, h. 40 53 Abu Musa al-Hariri, Nabiy al-Rahmah wa Qur‟ân al-Muslimîn Bahts fî Mujtma‟ Makkah, h.h.38-39 54 Abd al-Hâdi Abd al-Rahmân, Judzûr al-Quwwah al-Islâmiyyah,h. 24

  7. jalan-jalan kecil menuju tempat thawaf dan ke luar Mekkah. Rumah-rumah tersebut berbentuk lingkaran untuk membedakannya dengan Ka‟bah. Rumah pertama yang di bangun dan terdekat dengan Ka‟bah adalah kediaman Qushay, yang sering disebut dengan Dâr al-Nadwah. Dâr al-Nadwah ini lebarnya 70 hasta dan panjangnya 74 hasta, pintunya menyambung langsung dengan Ka‟bah.55 Namun demikian tidak semua orang Quraisy menerima ajakan Qushay untuk menetap di sekitar bait Allah.Mereka yang tinggal di jantung Mekkah di dekat Ka‟bah disebut Quraisy bithâh, adalah merupakan keturunan Ka‟b bin Luay seperti Bani Qushay, Bani Abd Manaf, Bani Abdul Uzza, Bani Zuhrah, dan sebagainya. Quraisy Bithâh dikenal sebagai komunitas yang bertindak sebagai pemelihara dan penjaga ka‟bah, dan berprofesi sebagai pedagang yang terus mendatangkan keuntungan materiil.56 Kekayaan dan kharisma mereka membuat mereka dipandang sebagai bangsa terhormat dan berperadaban tinggi. Sedangkan yang tidak mau menetap di sekitar Ka‟bah dan memilih tinggal di dataran-dataran tinggi di sekitar Mekkah (di pinggiran kota Mekkah) disebut Quraisy zhawâhir (luar). Yang termasuk Quraisy luar adalah Bani Muharib, Bani al-Harits bin Fihr, Bani al-Ardam bin Ghalib, dan sebagainya. Suku Quraisy luar ini masih hidup dengan pola badwi, mencari nafkah dengan melakukan penyerangan (gharah) dan pembegalan (ghazwah). Gaya hidup badui yang masih dipraktekkan oleh mereka menyebabkan mereka sering disebut sebagai A’rab.57 Sebagai kota perdagangan, Makkah tidak memiliki struktur pemerintahan yang mengendalikan masyarakat. Otoritas masyarakat dipegang oleh mala, semacam dewan klan atau senat yang anggotanya terdiri dari wakil-wakil suku.58 Lembaga ini lebih menyerupai lembaga musyawarah dan tidak memiliki hak eksekutif.otoritasnya hanya seputar masalah moralitas tanpa disertai kewenangan bertindak.59 Di samping itu, terdapat institusi lokal yang memiliki fungsi tertentu. Di antaranya: jabatan nasi, yang memiliki wewenang penentuan bulan sesuai dengan system calendar bulan (lunar system); Siqâyah, yang mengurusi suplai air bagi para peziarah, termasuk di dalamnya pembagian air zamzam; Rifâdah, yang bertugas mengurus para peziarah; Liwâ’ yang bertugas menyiapkan dan mengurus sarana perang. 60 Mulanya Mekkah hanyalah sekedar terminal transit dan mendapatkan pemasukan dari pajak para pedagang yang singgah di sana. Usaha bisnis Quraisy hanya mengandalkan pasar-pasar setempat sebagai tempat transit. Mereka hanya berbisnis dengan para pedagang yang datang dari utara atau selatan, dan bertindak sebagai tangan kedua di dunia bisnis. 61 Seiring dengan kemunduran bisnis orang-orang Yaman pada permulaan abad ke 6, maka kendali perdagangan berpindah ke tangan orang-orang Hejaz. Orang- orang Mekkah yang semula hanya sekedar pemungut upeti atau pedagang-pedagang kecil, kini menjadi pedagang-pedagang besar kelas dunia. Mereka membeli komoditi dari orang-orang Yaman dan Abessinia lalu menjualnya ke Syam dan Mesir. Mereka hanya sesekali menjual komoditi tersebut ke Persia mengingat perdagangan di pasar-pasar Persia kala itu dikuasai oleh orang-orang Arab Hirah.62 Kondisi seperti itu tidak banyak memberikan keuntungan materiil terhadap mereka. Apalagi kurangnya solidaritas sesama suku Quraisy mengakibatkan makin meningkatnya jumlah keluarga miskin di Mekkah. Kondisi yang demikian mendorong Hasyim bin Abdu Manaf untuk merencanakan dan menetapkan strategi bisnis yang dapat memberikan kesejahteraan secara maksimal dan merata bagi penduduk Mekkah. Ada tiga ketetapan Hasyim berkaitan tentang strategi bisnis tersebut, 1) penjadwalan ekspedisi peradagangan, musim panas ke Syam dan musim dingin ke Yaman, 2) ekspedisi dagang tersebut harus melibatkan modal bersama klan-klan suku Quraisy sehingga keuntungan yang diperoleh 55 Taufiq Barrû, Târîkh al-„Arab al-Qadîm , h.h. 174-177; lihat pula: Awâthif Adîb Ali Salâmah, Quraisy Qabl al-Islâm Dauruhâ al- Siyâsy wa al-Iqtishâdy wa al-Dîny, h.h. 80-82 56 Taufiq Barrû, Târîkh al-„Arab al-Qadîm, h.h. 173-174 57 Awâthif Adîb Ali Salâmah, Quraisy Qabl al-Islâm Dauruhâ al- Siyâsy wa al-Iqtishâdy wa al-Dîny,h.h. 42-43; lihat pula: Taufiq Barrû, Târîkh al-„Arab al-Qadîm, h.h 173-174 58 W.Montgomery Watt, Muhammad at Mecca (Oxford: Oxford University Press, 1953), h.8 59Ira M.Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, Bagian Kesatu dan Kedua terj.Gufron A. Mas‟adi (Jakarta: Rajawali Press, 1999), h.27 60 W.Montgomery Watt, Muhammad at, h.8-9; lihat pula: Taufiq Barrû, Târîkh al-„Arab al-Qadîm, h.h. 180-183 61 Abu Musa al-Hariri, Nabiy al-Rahmah wa Qur‟ân al-Muslimîn, h.h. 63-65 62 Ahmad Amin, Fajr al-Islâm, (Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyah, 1987), h.h. 12-13

  8. menjadi keuntungan bersama, dan 3) sebagian keuntungan yang diperoleh dari setiap ekspedisi akan diperuntukkan untuk orang-orang miskin.63 Semakin tertatanya kondisi Mekkah sebagai kota suci dan bisnis internasional yang relatif stabil dan aman mendorong bangsa-bangsa lain untuk datang ke sana. Terdapat beberapa faktor yang mendorong bangsa lain berimigrasi ke Mekkah, di antaranya: 1) politik bebas aktif dan non blok yang dimainkan oleh Quraisy mendorong beberapa pelarian politik untuk mencari suaka di Mekkah, 2) motivasi untuk mencari penghidupan dan peruntungan yang lebih baik, 3) beberapa orang asing datang ke Mekkah karena diutus oleh negara-negara besar untuk menjadi agen-agen mereka di Mekkah, dan 4) adapula orang-orang yang terpaksa datang ke Mekkah karena dia telah dijual atau ditawan sebagai budak. Dengan demikian, komposisi penduduk Mekkah terdiri dari penduduk asli, Quraisy dan suku-suku Arab yang ada sebelum mereka, orang-orang asing yang datang ke Mekkah sebagai mawali, budak, atau imigran, dan campuran Aran dan etnik asing.64 Pada abad ke tujuh masehi Mekkah banyak didatangi oleh orang-orang asing, mereka datang dengan membawa agama, keyakinan, kebiasaan, dan tradisi masing-masing. Al-Qur‟an mengisyaratkan akan keberadaan orang-orang Yahudi dan Nasrani di Mekkah, akan tetapi orang-orang Nasrani lebih banyak jumlahnya mengingat ketika itu Nasrani telah tersebar di Semenanjung Arab khususnya di Yaman, Najran, dan Abbesinia. Orang-orang Nsrani tersebut berimigrasi ke Mekkah karena adanya penindasan agama di daerah mereka.65 Orang-orang Nasrani pun datang ke Mekkah dari Syam, karena daerah tersebut adalah daerah yang dipenuhi konflik keagamaan. Orang-orang asing tersebut bisa leluasa untuk berimigrasi ke Mekkah adalah karena dorongan orang-orang Mekkah sendiri, yang ingin memanfaatkan mereka untuk peningkatan sumber daya manusia di Mekkah.66 Para pendeta Kristen dan kelompok-kelompok missionaris aktif melakukan kegiatan kristenisasi di Mekkah. Kedatangan kelompok-kelompok missionaris tersebut atas tanggungan Romawi yang ingin menancapkan pengaruh politiknya di Mekkah melalui kedok agama. Akibat program missionaris tersebut, banyak orang-orang Arab Mekkah yang masuk Kristen, seperti: Waraqah bin Naufal dan Utsman bin al- Huwairits yang berasal dari keluarga Bani Asad bin Abdul Uzza dari suku Quraisy. Hubungan Mekkah dan orang-orang Kristen tersebut berjalan harmonis, bahkan sampai pada masa Islam.67 Orang-orang Islam bersimpati kepada orang-orang Kristen di Roma sehingga ketika bangsa Romawi ditundukkan Persia mereka bersedih, akan tetapi al-Qur‟an memberikan kabar gembira bahwa setelah kekalahan tersebut Romawi akan jaya kembali.68 Bahkan al-Qur‟an memposisikan orang-orang Kristen tersebut pada strata sosial yang tinggi dengan sebutan ahl Dzikr ( Kedudukan sosial terpandang bagi orang-orang Kristen juga dibuktikan dengan keberadaan pemakaman khusus bagi mereka yang terletak di Dzi Thuwa belakang Pegunungan Maqla‟ di Selatan Mekkah.69 Agama Yahudi kurang begitu menyebar di Semenanjung Arab umumnya dan di Mekkah khususnya. Meskipun banyak etnis Yahudi yang tinggal dan bermukim di Jazirah Arab, seperti Yatsrib, Khaibar, Wadi al-Qura, dan Yaman, namun penyebaran agama Yahudi relatif tidak sepesat Agama Kristen, hal itu disebabkan oleh karakter bangsa Yahudi yang eksklusif dan tertutup. Meskipun demikian, hubungan antara penduduk Mekkah dan orang-orang Yahudi, khususnya di bidang perdagangan terjadi secara intensif, bahkan beberapa orang Yahudi menetap di Mekkah untuk keperluan bisnis. Orang-orang Yahudi tersebut melakukan bisnis perdagangan dan perkreditan, dengan menggunakan sistem riba.70 An Nahl 43). 63 Awâthif Adîb Ali Salâmah, Quraisy Qabl al-Islâm Dauruhâ al- Siyâsy wa al-Iqtishâdy wa al-Dîny,h.93 64 Awâthif Adîb Ali Salâmah, Quraisy Qabl al-Islâm Dauruhâ al- Siyâsy wa al-Iqtishâdy wa al-Dîny,h.h. 72-73 65Al-Qur‟an mengisyaratkan dalam Surat al-Burûj ayat 4 ( 66 Ahmad Amin, Fajr al-Islâm, h.h.27-29; Abu Musa al-Hariri, Nabiy al-Rahmah wa Qur‟ân al-Muslimîn Bahts fî Mujtma‟ Makkah, h.41, lihat pula: Awâthif Adîb Ali Salâmah, Quraisy Qabl al-Islâm Dauruhâ al- Siyâsy wa al-Iqtishâdy wa al-Dîny, h.76 67 Awâthif Adîb Ali Salâmah, Quraisy Qabl al-Islâm Dauruhâ al- Siyâsy wa al-Iqtishâdy wa al-Dîny, h.h.76-77 68 Al-Qur‟an surat al-Rûm: 2-3 ( 69 Awâthif Adîb Ali Salâmah, Quraisy Qabl al-Islâm Dauruhâ al-Siyâsy wa al-Iqtishâdy wa al-Dîny,h.h. 77-78 70 Awâthif Adîb Ali Salâmah, Quraisy Qabl al-Islâm Dauruhâ al- Siyâsy wa al-Iqtishâdy wa al-Dîny,h.78 ) )

  9. berarti bahwa mereka adalah bangsa yang tidak berpengetahuan dan tidak bermoral. Bahkan dari uraian sebelumnya dapat dikatakan bahwa bangsa Quraisy adalah bangsa yang beradab dan telah memiliki pengetahuan yang memadai untuk masanya. Artinya peradaban mereka dapat dikatakan telah berkembang dengan pesat dan maju dalam konteks zaman itu, bila dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain yang hidup berdampingan dengan mereka. Pengertian Jahiliyah dan ummy dalam al-Qur‟an yang sering dinisbatkan kepada mereka, lebih tepat dimaknai sebagai semua hal yang bertentangan dengan spirit dan moralitas al-Qur‟an, seperti : kebiasaan Riba, minum khamr, dan sebagainya.71 Salah satu indikator kemajuan peradaban bangsa Quraisy adalah dikenalnya baca-tulis oleh mereka. Banyak bukti yang mengindikasikan bahwa bangsa Quraisy telah memiliki kemampuan membaca dan menulis tersebut, diantaranya adalah perjanjian îlâf (perdagangan secara berkala pada waktu-waktu tertentu) yang diperoleh Bani Abdu Manaf dari Kisra Persia, Kaisar Romawi, Najasyi Abessinia, dan Raja Yaman.72 Teks perjanjian dari raja-raja tetangga tersebut senantiasa dibawa oleh kafilah dagang Quraisy untuk ditunjukkan kepada penguasa-penguasa daerah yang dilalui mereka sebagai surat ijin untuk melakukan aktifitas bisnis mereka di daerah kekuasaan raja-raja tersebut. Orang-orang Quraisy juga memiliki kebiasaan untuk menuliskan ungkapan setiap surat-surat penting mereka, yang menunjukkan bahwa mereka telah mengenal budaya baca-tulis.73 Bukti lain yang menunjukkan bahwa bangsa Quraisy dan bangsa Arab umumnya telah mengenal budaya baca tulis adalah keberadaan kosa kata yang berkaitan dengan aktifitas baca dan tulis, seperti: qalam (pena), qirthâs (kertas tulis), shahîfah (lembaran tulisan), majallah (berita-berita tertulis), dan kitâb (kumpulan tulisan). Kemampuan baca tulis menunjukkan adanya proses pembelajaran di kalangan bangsa Quraisy, namun demikian aktifitas pembelajaran tersebut hanya dilakukan oleh orang-orang Arab yang hidup secara menetap, seperti penduduk Mekkah.74 Indikator lain kemajuan peradaban bangsa Quraisy adalah kemampuan mereka untuk melakukan komunikasi dengan bangsa-bangsa lain. Hal ini mengisyaratkan bahwa ada orang-orang tertentu dari mereka yang menguasa bahasa asing sehingga mampu menjadi juru bicara dengan pihak asing. Zaid bin Tsabit misalnya, ia menguasai bahasa Persia, Romawi, Qibthiyah, Habasyah, dan Ibrani. Abdullah bin Amru bin Ash menguasai bahasa Suryani baik secara lisan dan tulisan, karena kemampuannya tersebut ia begitu concern dengan tulisan-tulisan Ahl Kitab. Waraqah bin Naufal disinyalir menguasai bahasa Ibrani dengan baik sehingga ia melakukan penerjemahan Injil dari bahasa Ibrani ke bahasa Arab.75 Bangsa Quraisy telah memiliki tradisi belajar-mengajar, baik melalui baca-tulis, ataupun dengan menggunakan riwayat dan hapalan. Bagi orang-orang awam (ummy), mereka belajar dengan bertanya kepada orang-orang terpelajar, baik tentang fenomena alam, sosial-budaya, bahkan masalah kejiwaan. Di antara pengetahuan-pengetahuan yang berkembang di kalangan bangsa Quraisy adalah: ilmu nasab, ilmu perbintangan, sejarah, tafsir mimpi (astrologi), mencari jejak, membaca karakter/watak (firasah), perdukunan, mencari sumber air, pengobatan herbal, dan operasi sederhana.76 Quraisy adalah bangsa Arab yang memiliki ketinggian retorika berbahasa dan kelugasan dalam berkomunikasi ( ). Di antara manifestasi retorika Arab adalah: 1) prosa umum dan sastra, yaitu bentuk ungkapan yang tersusun secara teratur untuk mengekspresikan sebuah makna yang terkait dengan situasi komunikasi dan kondisi psikologis komunikan. Umumnya, prosa tidak terikat dengan aturan puitis seperti qofiyah dan wazn, walaupun terkadang ditemui pula model prosa bersajak; 2) puisi, merupakan intisari pandangan dan pemikiran bangsa Arab, yang disampaikan melalui ungkapan yang penuh perasaan dan imajinasi. Ungkapan-ungkapan puitis tersebut tunduk pada musikalitas ritmis, qofiyah,dan wazn. Salah satu prosa Arab yang paling menonjol adalah seni berorasi, seni ini sering 71 Awâthif Adîb Ali Salâmah, Quraisy Qabl al-Islâm Dauruhâ al- Siyâsy wa al-Iqtishâdy wa al-Dîny,h. 96 72 Taufiq Barrû, Târîkh al-„Arab al-Qadîm ,h. 241 73 Awâthif Adîb Ali Salâmah, Quraisy Qabl al-Islâm Dauruhâ al- Siyâsy wa al-Iqtishâdy wa al-Dîny, h. 100 74 Awâthif Adîb Ali Salâmah, Quraisy Qabl al-Islâm Dauruhâ al- Siyâsy wa al-Iqtishâdy wa al-Dîny, h.h. 96-97 75 Awâthif Adîb Ali Salâmah, Quraisy Qabl al-Islâm Dauruhâ al- Siyâsy wa al-Iqtishâdy wa al-Dîny, h. 99 76 Taufiq Barrû, Târîkh al-„Arab al-Qadîm , h.h. 371-375; lihat pula: Awâthif Adîb Ali Salâmah, Quraisy Qabl al-Islâm Dauruhâ al- Siyâsy wa al-Iqtishâdy wa al-Dîny,h.h.101-104 Meskipun masa pra Islam sering dikatakan sebagai masa jahiliyah (kebodohan), hal itu tidak (atas nama Mu ya Allah) di awal

  10. dimanfaatkan untuk mempengaruhi, meyakinkan, dan menggerakkan audiens. Di antara orator-orator ulung Quraisy adalah: Qushay bin Kilab, Ka‟ab bin Lu‟ai, Hasyimbin abdi Manaf, Abdul Muthalib, Abu Thalib, Khalid bin Salmah al-Makhzumi, dan Ali bin Abi Thalib. Sedangkan puisi bagi orang Arab adalah semua hidupnya, ia adalah hiburan sekaligus intisari pengetahuan dan pengalaman bangsa Arab. Bangsa Arab terbiasa untuk menyampaikan kritik, mengungkapkan perasaan, menceritakan peristiwa- peristiwa heroik, menggambarkan fenomena alam dan sosial-budaya, serta berdoa dengan menggunakan puisi.Di antara penyair-penyair Quraisy yang terkenal adalah: Abu Sufyan bin al-Harits, Abu Thalib, Abu Izzah al-Jumhi, Al-Zubair bin Abdil Muthalib, Dhirar bin al-Khatab al-Fihri, dan lain-lain. 77 Kemajuan bisnis di Mekkah di samping mendorong kemajuan peradaban Quraisy78 juga menimbulkan dampak negatif, yang kelak menjadi titik tolak munculnya dakwah Islâmnya Muhammad. Menurut Abdul Hadi, kemajuan ekonomi memunculkan kelompok aristrokat yang kaya dan menguasai Mekkah, namun di sisi lain muncul kelompok kelas kedua yang nasibnya ditentukan oleh kelompok pertama. Kelompok kedua ini adalah para pekerja, budak, dan kelompok-kelompok lainnya yang disebut al-Qur‟ân sebagai mustadh’afîn.79 Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, kemajuan bisnis Mekkah tidak lepas dari peran historis Ka‟bah sebagai salah satu tujuan ziarah spiritual bangsa Arab kala itu. Bagi para pemuka Mekkah, agama menjadi komoditi bisnis yang sangat menguntungkan. Untuk keperluan itu, mereka membuka Ka‟bah untuk dipasangi berhala-berhala yang menjadi simbol suku-suku Arab kala itu.80 Agama bagi mereka adalah instrumen ekonomi yang kosong dari nilai-nilai spiritual, ia dipolitisir sedemikian rupa untuk melanggengkan kekayaan kelompok aristokrat Mekkah kala itu.81 Menurut Goldziher, pada akhir masa jahiliyyah monopoli ekonomi dan hak istimewa perwalian atas tempat suci semakin mengokohkan kekuasaan plutokrasi di Mekkah. Dominasi materialisme nampaknya telah mematikan kesadaran akan nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan.82 Banyak ayat-ayat al Qur‟ân melantunkan tentang penindasan terhadap si miskin, keserakahan, kesombongan, ketidakjujuran, ketidakacuhan yang munafik terhadap kesalehan dan keabadian.83 Kondisi tersebut diperparah oleh adanya konflik berkepanjangan antar suku dan aliansi dagang, akibat kompetisi tidak sehat dalam bisnis. Atmosfer kapitalisme dan materialisme inilah yang menjadi titik tolak dakwah Muhammad.84 Berbeda dengan perkembangan agama-agama lainnya yang umumnya tumbuh dan berkembang dalam suasana masyarakat yang telah memiliki tatanan kenegaraan yang mapan, Islam lahir, tumbuh, dan berkembang dalam kondisi masyarakat yang belum memiliki tatanan kenegaraan yang mapan. Memang sejak Qushay telah ada upaya untuk mendirikan sebuah negara Quraisy berdaulat, namun karakter kesukuan yang begitu kental membuat proses berdirinya sebuah negara tersebut menjadi terhambat dan berjalan lambat. Sampai dengan munculnya visi da‟wah Muhammad, Mekkah belum mempunyai bentuk negara.85 Dengan kata lain, ketika Muhammad mendakwahkan Islam masyarakat Mekkah adalah masyarakat yang sedang berubah dari masyarakat tribalistik yang tidak memiliki negara menjadi masyarakat perkotaan dalam sebuah institusi negara.86 Dalam konteks ini, maka munculnya gerakan Islam 77 Awâthif Adîb Ali Salâmah, Quraisy Qabl al-Islâm Dauruhâ al- Siyâsy wa al-Iqtishâdy wa al-Dîny,h.h.109-111 78 Abu Musa mencatat bahwa bangsa Quraisy merupakan bangsa yang terbuka, dinamis, kosmopolit, toleran, dan menghargai pluralitas, lihat: Abu Musa al-Hariri, Nabiy al-Rahmah wa Qur‟ân al-Muslimîn, h. 55, lihat juga: Abd al-Hâdi Abd al-Rahmân, Judzûr al-Quwwah al-Islâmiyyah, h.h. 25-26 79 Abd al-Hâdi Abd al-Rahmân, Judzûr al-Quwwah al-Islâmiyyah, h. 32 80 Abd al-Hâdi Abd al-Rahmân, Judzûr al-Quwwah al-Islâmiyyah, h. 35 81 Pada dasarnya pemuka-pemuka Mekkah adalah orang-orang materialistis (dahriyyûn) yang lebih mengutamakan nilai- nilai pragmatis materalistis dibanding sebagai penganut paganisme. Kenyataan menunjukkan bahwa mereka tidak pernah mempercayai berhala-berhala tersebut, kecuali hanya sebagai komoditas bisnis keagamaan saja. Lihat: Abd al-Hâdi Abd al- Rahmân, Judzûr al-Quwwah al-Islâmiyyah, h. h.32-33; Awâthif Adîb Ali Salâmah, Quraisy Qabl al-Islâm Dauruhâ al- Siyâsy wa al-Iqtishâdy wa al-Dîny,h.h. 264-265; dan Ziaul Haque, Wahyu dan Revolusi, (Yogyakarta: LKiS, 2000), h.h. 220-221 82 Dampaknya adalah praktek-praktek perekonomian yang tidak etis dan sangat eksploitatif, lihat: Nur Faizah, Sejarah al- Qur‟an, (Jakarta: Artha Rivera, 2008),.h. 6 83 Ignaz Goldziher, Pengantar Teologi dan Hukum Islam, h.h. 4-5 84 Karen Armstrong, Muhammad Sang Nabi Sebuah Biografi Kritis, h.74 85 Malik Muslimani, Mîlâd Daulah al-Islâmiyah, (Suria: Dar al-Hiwar li al-Nasyr wa al-Tauzi‟, 2001), h.11 86 Malik Muslimani, Mîlâd Daulah al-Islâmiyah, h. 11

  11. menemukan momentumnya untuk mewujudkan sebuah tatanan masyarakat berdaulat dalam suatu institusi negara Islam. 4. Yatsrib : Latar Geografis, Demografis, Ekonomi, dan Sosial Keagamaan Yatsrib termasuk kota kuno yang dikenal oleh para sejarawan. Ia telah dikenal dalam tulisan- tulisan Ma’în dan Saba’ kuno, yang menunjukkan adanya hubungan antara kota ini dengan negara Ma’în dan Saba’. Ada kemungkinan kota Yatsrib tadinya adalah salah satu jajahan Ma’în-Saba’ atau pernah didiami oleh komunitas yang berasal dari sana.87 Ia juga dikenal dengan nama madîntâ yang berarti perlindungan. Di samping nama tersebut ada 11 nama lain yang disebutkan dalam Taurat, di antaranya: Thîbah, Thâbah, dan ’Adzrâ’.88 Sedangkan Ptolemy menyebutnya dengan sebutan Lathrippe atau Lothrippe.89Penyebutan Yatsrib ditemukan dalam al-Qur‟ân surat al-Ahzâb ayat 33, sedangkan penyebutan Madinah ditemukan dalam surat al-Munâfiqûn ayat 8.90 Yatsrib terletak di daerah Hejaz , 300 mil di Utara Mekkah. Ia berada di ketinggian 600 meter di atas permukaan laut, merupakan lembah subur yang terletak diantara dua pegunungan vulkanik (harratain), yang disebut dengan Harrah Waqim di Timur dan Wabrah di Barat.91 Di samping karena letaknya diantara dua pegunungan vulkanik, yang membuat Yatsrib menjadi daerah yang subur dan tanah pertanian yang potensial adalah adanya oasis-oasis yang mengalir dari Selatan ke Utara.92 Mengingat kondisi geografisnya, kehidupan ekonomi Yatsrib bertumpu pada bidang pertanian. Bisnis di sektor pertanian ini membagi penduduk Yatsrib ke dalam 3 kelompok, tuan tanah, pemilik tanah kecil, dan buruh tani. Masyarakat Madinah merupakan masyarakat yang heterogen. Terdapat sebelas klan dan delapan di antaranya beragama Yahudi. Penduduknya terdiri dari tiga komunitas besar, yaitu kelompok Yahudi, Arab pagan, dan penganut Kristen.93 Di antara tiga komunitas tersebut, kelompok Yahudi adalah yang paling mendominasi. Merekalah yang memiliki lahan pertanian dan perkebunan serta mnguasai perdagangan. Di samping mereka juga memiliki profesi sebagai tukang emas dan pandai besi.94 Yatsrib berkembang dan dikenal pertama kali di tangan bangsa Amalek sebagai penduduk pertama yang mendiaminya.95 Dinasti Amalek merupakan bangsa Semit Arab pengembara yang memiliki kekuasaan di Mesir (pertengahan Abad 18 SM) dan kekuasaannya membentang sampai Suria, Yaman, dan Yatsrib.96 Bangsa ini menguasai Yatsrib pada tahun 1600 SM dan menamai kota Ytasrib dengan istilah Theba dari bahasa Mesir kuno.97 Bangsa Amalek menguasai Yatsrib sampai tahun ke 2 M, sebelum akhirnya diusir oleh Musa dan bangsa Yahudi, ketika mereka tengah berperang melawan bangsa Kan‟ân. Pengaruh bangsa Amalek mulai memudar setelah kedatangan bangsa Yahudi. Bangsa Yahudi melakukan imigrasi ke Yatsrib melalui dua tahap. Kedatangan orang-orang Yahudi pengikut Musa ke Yatsrib merupakan kedatangan bangsa Yahudi gelombang pertama, yang lama-kelamaan mengalami kepunahan tidak lama setelah kedatangan mereka ke sana. Kedatangan gelombang kedua ketika terjadi perang antara Yahudi dan Romawi, dan hancurnya Kuil Sulaiman di tangan Titus pada tahun 70 masehi. 87 Zuhairi Misrawi, Madinah Kota Suci, Piagam Madinah, dan Teladan Muhammad SAW,(Jakarta: Kompas, 2009), h.120; lihat juga: Taufîq Barrû, Târîkh al-„Arab al-Qadîm, h.h. 184-185 88 Taufîq Barrû, Târîkh al-„Arab al-Qadîm, h. 185 89 Zuhairi Misrawi, Madinah Kota Suci, Piagam Madinah, dan Teladan Muhammad SAW, h.120 90Hasan Khâlid, Mujtama‟ al-Madînah Qabl al-Hijrah wa Ba‟dahâ, (Beirut: Dâr al-Nahdhah al-„Arabiyyah, 1986), h. 24 91 Awâthif Adîb Ali Salâmah, Quraisy Qabl al-Islâm Dauruhâ al- Siyâsy wa al-Iqtishâdy wa al-Dîny, h. 26 92 Awâthif Adîb Ali Salâmah, Quraisy Qabl al-Islâm Dauruhâ al- Siyâsy wa al-Iqtishâdy wa al-Dîny, h. 26 93 J.Suyuthi Pulungan, Prinsip-prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah Ditinjau dari Pandangan Al-Qur‟an, Cetakan ke-II (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), h.37. lihat juga Ashgar Ali Engineer, Asal-Usul Perkembangan Islam, Analisis Pertumbuhan Sosio-Ekonomi, terj. Imam Baehaqy (Yogyakarta: Insist dan Pustaka Pelajar, 1999), h.145 94 Khalil Abdul Karim, Hegemoni Quraisy, Agama, Budaya, Kekuasaan, terj.M.Faisol Fatawi, h.124 95 Taufîq Barrû, Târîkh al-„Arab al-Qadîm, h. 185 96 Ghaththâs Abd al-Malik Ilikhsyabah, Rihlah Banî Isrâ‟îl ilâ Mishr al-Fir‟auniyyah wa al-Khurûj, (Kairo: Dâr al-Hilâl, tt), h.h 135-136 97 Zuhairi Misrawi, Madinah Kota Suci, Piagam Madinah, dan Teladan Muhammad SAW, h.158

  12. Kekalahan atas Romawi Kristen tersebut membuat bangsa Yahudi terpaksa hidup terpencar-pencar dan mengembara. Di antara bangsa Yahudi pengembara tersebut ada yang hijrah ke Yatsrib dan sekitarnya. Sebagai bangsa yang duah lama memiliki peradaban maju, mereka tinggal di pusat-pusat pertanian Yatsrib secara berkelompok (berdasarkan sukunya masing-masing, misalnya: Bani Nadhir, Bani Qainuqa‟, dan sebagainya) dalam sebuah pemukiman yang di sekelilingnya didirikan benteng perlindungan.98 Benteng-benteng tersebut sengaja didirikan untuk melindungi komunitas mereka dari serangan orang-orang Arab Badui yang ingin mengambil manfaat dari kesuburan Yatsrib. Para sejarawan ada yang meragukan bahwa suku-suku Yahudi yang tinggal di Yastrib benar- benar berasal dari etnik tersebut. Ya‟quby sebagaimana dikutip Barrû beranggapan bahwa Bani Nadhîr dan Bani Quraizhah adalah bangsa Arab yang beralih agama menjadi Yahudi. Asumsi tersebut didasari oleh penggunaan nama-nama Arab oleh mereka, kentalnya karakteristik Arab dalam kehidupan mereka, penggunaan bahasa Arab, dan ditemukannya karya sastra mereka dalam bahasa Arab. Akan tetapi data menunjukkan bahwa nama keluarga mereka tidak pernah tercatat dalam catatan para penulis nasab Arab. Orang-orang Yahudi tersebut juga tidak pernah berusaha mencatat hal tersebut. Sebaliknya, para sejarawan sepakat bahwa komunitas Yahudi Yatsrib adalah bangsa Yahudi yang ter ”arab”kan. Mereka berbicara dengan bahasa Arab dan memiliki karakteristik kultural yang sama dengan bangsa Arab lainnya, setelah beradaptasi sekian lama dengan miliu Arab.99 Salah satu karakteristik utama bangsa Yahudi adalah keterikatan mereka yang amat kuat terhadap klan. Hal itu membuat mereka tidak tertarik untuk membentuk pemerintahan nasional, dan lebih memilih hidup dalam komunitas-komunitas kesukuan mereka. Pilihan tersebut juga disebabkan oleh adanya perbedaan pandangan dan persaingan ekonomi antar mereka. Bahkan mereka seringkali terlibat konflik internal karena masalah tersebut.100 Penduduk Yatsrib berikutnya adalah suku Aus dan Khazraj yang berasal dari Yaman, merupakan salah satu klan bangsa Azd.101 Memburuknya situasi politik di Yaman ditambah dengan jebolnya bendungan Ma‟rib (banjir ’aram) memaksa mereka untuk hijrah ke wilayah utara. Pada tahun 300 Masehi, kelompok pertama suku Aus dan Khazraj untuk pertama kalinya menetap di Yatsrib. Sejak itu, kelompok-kelompok lain dari kedua suku tersebut secara silih-berganti hijrah ke Yatsrib, sehingga pada akhir abad ke empat Masehi, terbentuklah sebuah komunitas Arab besar yang memiliki karakteristik Arab yang khas di Yatsrib.102 Suku Aus dan Khazraj memiliki ciri-ciri umum orang Arab seperti: keras, merasa superior, tidak mengetahui masalah keagamaan dan keyakinan, materialistis, tunduk pada hukum kekerasan, pendendam, kehidupan yang monoton, sangat konservatif, dan sebagainya.103 Menurut Hasan lagi, yang membedakan antara orang Quraisy Mekkah dan Aus-Kahzraj Madinah antara lain: Qurasiy memiliki perangai yang lebih lembut, lebih ramah dan supel, berbicaranya lebih runtut, dan terampil berdagang. Mulanya bangsa Arab dan Yahudi mulanya hidup berdampingan secara damai di Yatsrib. Baik bangsa Arab maupun Yahudi di Yatsrib hidup di sektor perdagangan dan pertanian. Yahudi sukses dalam bisnis kafilah mereka melalui praktek-praktek riba yang telah demikian mengakar dalam tradisi ekonomi mereka. Di samping perdangangan, orang-orang Yahudi juga menggeluti profesi-profesi lain seperti: pertanian, home industri, industri senjata, dan industri perhiasan. Dalam bidang keagamaan dan pemikiran, orang-orang Yahudi merupakan salah satu rujukan penting bagi bangsa Arab. Merekapun sering dijadikan rujukan utama dalam penyelesaian permasalahan kehidupan bangsa Arab.104 Relasi Yahudi-Arab yang semula berjalan secara harmonis, lambat-laun berubah menjadi konflik tajam, karena persaingan untuk memperoleh dominasi kekuasaan di Yatsrib. Seperti telah dijelaskan di atas, Yahudi dengan kecerdasannya dan keterampilan bisnis dan industri mampu menguasai kegiatan 98 Awâthif Adîb Ali Salâmah, Quraisy Qabl al-Islâm Dauruhâ al- Siyâsy wa al-Iqtishâdy wa al-Dîny, h.h. 26-27; lihat pula: Zuhairi Misrawi, Madinah Kota Suci, Piagam Madinah, dan Teladan Muhammad SAW, h.163 99 Taufîq Barrû, Târîkh al-„Arab al-Qadîm, h. 186 100 Zuhairi Misrawi, Madinah Kota Suci, Piagam Madinah, dan Teladan Muhammad SAW, h.175 101 George Zaidan, Kitâb al-„Arab Qabl al-Islâm, juz 1, h. 249 102 Awâthif Adîb Ali Salâmah, Quraisy Qabl al-Islâm Dauruhâ al- Siyâsy wa al-Iqtishâdy wa al-Dîny,h. 27 103Hasan Khâlid, Mujtama‟ al-Madînah Qabl al-Hijrah wa Ba‟dahâ,h. 62 104 Zuhairi Misrawi, Madinah Kota Suci, Piagam Madinah, dan Teladan Muhammad SAW, h.176

  13. perekonomian di Yatsrib. Di sektor pertanian, Yahudi menempati daerah-daerah yang subur di Barat dan selatang, yang memiliki banyak sumber air, sementara bangsa Arab menempati lahan-lahan tandus yang sulit sumber air di Utara. Belum lagi sikap Yahudi yang pongah dan merasa unggul, sehingga mereka menganggap bangsa Arab sebagai bangsa kelas dua. Relasi antara Yahudi-Arab yang timpang tersebut dan tidak adil membuat orang-orang Arab merasa tertindas dan dieksploitasi oleh Yahudi.105 Konflik Yahudi-Arab tersebut, semakin diperparah oleh provokasi Romawi Kristen melalui negara bonekanya di semenanjung Arab, kerajaan Ghasasinah.106 Bangsa Arab akhirnya mampu mengalahkan Yahudi atas bantuan kerajaan Ghasasinah. Faktor lain yang menyebabkan Yahudi yang terkenal tangguh dapat dikalahkan oleh bangsa Arab adalah tidak adanya persatuan di antara sesama bangsa Yahudi itu sendiri.107 Kemenangan bangsa Arab atas Yahudi mengakhiri dominasi Yahudi di Yastrib, hal itu terjadi pada sekitar tahun 492 M. Namun dominasi politik Arab di Madinah tidak serta-merta menghilangkan dominasi ekonomi Yahudi. Bangsa Yahudi tetap memegang kendali ekonomi. Bahkan Yahudi semakin menunjukkan dominasi ekonominya setelah pecah konflik berkepanjangan antara Aus dan Khazraj (490-617M). Konflik kedua suku tersebut disebabkan oleh perebutan sumber ekonomi dan kedudukan politik. Suku Aus unggul atas Khazraj dalam hal kekayaan dan harta, sedangkan Khazraj unggul atas Aus dalam hal kedudukan dan keunggulan politik. Mengingat begitu pentingnya peran ekonomi Yahudi di yatsrib, maka suku Aus dan Khazraj pun harus melakukan aliansi dengan suku-suku Yahudi tersebut dalam kondisi perang dan damai.108 Masyarakat Yatsrib belum mengenal sistem bangsa yang bersatu, dengan sistem politik, aturan perundang-undangan yang jelas. Meskipin sarana interaksi peradaban di Yatsrib begitu melimpah, mereka masih secara kental dipengaruhi oleh sistem tribalistik.109 Berbeda dengan Makkah yang memiliki lembaga mala’, masyarakat Madinah malah tidak memiliki lembaga pemerintahan. Masing-masing suku mempunyai aturan sendiri yang di pegang untuk anggotanya.hal ini kerap sekali menimbulkan permusuhan antarsuku, karena ketiadaan lembaga mediator. Kondisi yang demikian membuat Yatsrib tidak pernah memainkan peranan yang signifikan dalam bisnis di semenanjung Arabia, meskipun letaknya di jalur bisnis Utara-Selatan. Hal itu disebabkan karena Yatsrib tidak pernah berada dalam kondisi stabil. Ia selalu dilanda konflik internal penduduknya, baik dari komunitas Arab atau Yahudi. Konflik tersebut terjadi karena satu sama lain saling mengincar kekuasaan di Yatsrib. Konflik berkepanjangan antara Aus dan Khazraj, yang sesekali juga melibatkan komunitas Yahudi tercatat dalam ayyâm (peperangan) antara Aus dan Khazraj. Puncak perang Aus Khazraj adalah yaum bu’âts yang dampaknya masih terasa sampai setelah kedatangan Islam.110 Di samping konflik internal, Yatsrib seringkali menjadi sasaran suku-suku Badui yang tinggal di sekitarnya. Mereka tertarik untuk menyerang karena ingin memperoleh keuntungan dari Yatsrib yang subur. Itulah sebabnya, untuk melindungi diri dari serangan luar penduduk Yatsrib membangun benteng- benteng dan persenjataan yang lengkap. Penduduk Yatsribpun dikenal sebagai komunitas yang terlatih untuk berperang, sehingga mereka terdidik menjadi bangsa yang mandiri dan tidak bisa didikte bangsa lain.111 Dalam hal pemikiran keagamaan, Yatsrib tidak jauh berbeda dengan Mekkah. Keduanya merupakan masyarakat yang pluralistik, mengakomodir berbagai keyakinan yang berbeda-beda. Di Yatsrib dikenal 3 agama besar, yaitu Paganisme, Yahudi, dan Kristen. Mayoritas suku-suku Arab menganut Paganisme atau menuhankan fenomena-fenomena alam tertentu, seperti matahari, bulan, dan beberapa bintang. Seperti halnya paganis Mekkah, suku-suku Arab Yatsrib mengikuti ritus-ritus 105 George Zaidan, Kitâb al-„Arab Qabl al Islâm, juz 1, h. 249 106 Israel Ben Zeev, Târîkh al-Yahûd fî Bilâd al-„Arab, (Kairo: Mathba‟ah al-I‟timâd, 1937), h. 62 107 Jawad Ali, Al-Mufashshal fî Târîkh al-„Arab Qabl al-Islâm, (Baghdad: Universitas Baghdad, 1993), h. 519; lihat pula: Zuhairi Misrawi, Madinah Kota Suci, Piagam Madinah, dan Teladan Muhammad SAW, h.178 108 Awâthif Adîb Ali Salâmah, Quraisy Qabl al-Islâm Dauruhâ al- Siyâsy wa al-Iqtishâdy wa al-Dîny,h. 28 109Hasan Khâlid, Mujtama‟ al-Madînah Qabl al-Hijrah wa Ba‟dahâ,h. 70 110Hasan Khâlid, Mujtama‟ al-Madînah Qabl al- Hijrah wa Ba‟dahâ, h.h.33-35 111Hasan Khâlid, Mujtama‟ al-Madînah Qabl al-Hijrah wa Ba‟dahâ, h. 43

  14. Abrahamik yang telah mengalami distorsi.112 Agama Yahudi di Yatsrib memiliki kontribusi besar bagi munculnya kesadaran monoteisme di kalangan bangsa Arab. Beberapa pengaruh Yahudi yang diadopsi oleh bangsa Arab Madinah di samping ide monoteisme, di antaranya: ide tentang munculnya seorang nabi yang akan mempersatukan mereka, munculnya kerinduan agar bangsa Arab mendapatkan kitab suci seperti Yahudi dan Nasrani, dikenalnya cerita-cerita tentang para nabi Taurâty, dan masuknya pemahaman eskatologis seperti istilah ba’ts, nâr, mîzân, dan sebagainya dalam pemikiran bangsa Arab.113 Kekuasaan keagamaan Yahudi dipegang oleh para ahbâr (pendeta Yahudi), mereka yang memimpin ritual keagamaan, dan memutuskan setiap permasalahan masyarakat.114 Komunitas Yahudi memiliki rumah-rumah midrâs untuk mengajarkan ajaran Yahudi. Banyak orang-orang Arab dari kalangan hunafâ’ mendatangi rumah-rumah tersebut untuk melakukan sharing dengan para pendeta Yahudi.115 Sedangkan agama Nashrani dikenal orang-orang Yatsrib melalui para budak yang berasal dari Romai, Sisilia, dan Germania. Mereka mendirikan pemukiman di sekitar pasar Nabth, dan aktif menyampaikan ajaran Taurat dan Injil sebagaimana mereka pahami.116 Pada seperempat akhir abad ke 6 terjadilah persaingan antara Mekkah dan Yastrib, dua terminal transit penting di Hejaz. Sebenarnya Yatsrib mempunyai potensi untuk menjadi pesaing Mekkah mengingat letaknya yang strategis sebagai terminal transit para pedagang yang melalui Mekkah. Akan tetapi konflik internal antara kedua penduduk asli di sana (Aus dan Khazraj), ditambah dengan prilaku bisnis orang-orang Yahudi membuat Yatsrib tidak dapat unggul dalam persaingan dengan Mekkah. Ditambah lagi, Yatsrib tidak memiliki bait Allah yang selalu dikunjungi para peziara spiritual seperti halnya Mekkah. Pada akhir abad ke 6, Mekkah mampu menjadi penguasa perdagangan dunia di semenanjung Arab, ketika para saudagar di sana mampu memanfaatkan situasi konflik global antara Romawi dan Persia. Keberhasilan bisnis penduduk Mekkah tersebut mendorong bangsa Arab lainnya untuk menghormati mereka sehingga muncul ide tentang kepantasan suku Quraisy untuk memimpin kebangkitan bangsa Arab di sebuah wilayah Arab merdeka.117 Secara umum kondisi Yastrib tidak jauh berbeda dengan Mekkah, keduanya terletak di jalur bisnis yang sama. Keduanya sama-sama memiliki masyarakat yang majemuk, terdiri dari bermacam- macam etnis, strata sosial, dan agama. Keduanya sama-sama belum dapat melepaskan diri dari tradisi kesukuan Arab kuno. Namun Yatsrib berbeda dengan Mekkah dalam hal pola kehidupan masyarakatnya, akibat faktor geografis dan demografisnya.Meskipun terletak di jalur bisnis yang ramai, Yastrib lebih merupakan daerah pertanian dibandingkan sebagai sentra perdagangan. Ini tentu saja berbeda dengan Mekkah yang tidak memiliki tanah subur, sehingga masyarakatnya lebih berorientasi pada bisnis. Masyarakat Yatsrib yang hidup dalam tradisi pertanian membuat mereka mempunyai waktu yang cukup untuk mendengar dan sharing pemahaman agama dengan komunitas Yahudi dan Nasrani. Hal ini membuat suku-suku Arab di Yatsrib akrab dengan wacana-wacana monoteisme, meskipun mereka tetap konsisten dengan agama paganisme. Berbeda dengan masyarakat Mekkah, sebagai masyarakat pedagang mereka kerapkali tidak memiliki waktu yang cukup untuk melakukan kajian dan diskusi keagamaan sehingga meskipun mereka banyak berinteraksi dengan pemeluk agama lain, mereka sedikit sekali terpengaruh dengan doktrin-doktrin tersebut. Dengan kata lain, masyarakat Yatsrib yang agraris lebih religius dibandingkan dengan masyarakat Mekkah yang lebih berorientasi materalisme. Bukti dari argumen di atas misalnya dapat kita temui dalam reaksi yang berbeda antara penduduk Mekkah dan Madinah terhadap wacana kenabian yang dilontarkan oleh Muhammad. Penduduk Mekkah dengan 112Hasan Khâlid, Mujtama‟ al-Madînah Qabl al-Hijrah wa Ba‟dahâ, h. 77 113 Khalil Abdul Karim, Hegemoni Quraisy, h.h. 130 114 Jawad Ali, Al-Mufashshal fî Târîkh al-„Arab Qabl al-Islâm, h.533 115 Khalil Abdul Karim, Hegemoni Quraisy, h.h. 131-132; lihat pula: Jawad Ali, Al-Mufashshal fî Târîkh al-„Arab Qabl al- Islâm, h.534 116 Beberapa orientalis menuduh bahwa Nabi Muhammad mendapatkan beberapa ajaran Islam dari ajaran Kristen yang terdistorsi karena sumber informasi ajaran Krsiten tersebut berasal dari para budak (orang yang tak terpelajar), lihat: Yousef Durrah al-Hadad, Al-Qur‟ân wa al-Kitâb- bi‟ah al-Qur‟ân al-Kitâbiyyah; Hasan Khâlid, Mujtama‟ al-Madînah Qabl al-Hijrah wa Ba‟dahâ, h.h.88-89 117 Ahmad Ibrahim al-Syarif, Makkah wa al-Madînah al-Munawwarah fî al-Jâhiliyyah wa „Ahd al- Rasûl, (Kairo: Daar al- Fikr al-Araby, tt), h. 238

  15. terang-terangan menolak klaim kenabian Muhammad dan menuduhnya sebagai orang gila, penyihir, penyair, dan sebagainya. Sedangkan penduduk Yatsrib menanggapinya dengan serius wacana tersebut, bahkan mereka sangat menaruh harapan besar kepada Muhammad sebagai nabi agar dapat mempersatukan mereka. 5. Reformasi Makkiyyah dan Madaniyyah Untuk mempertegas gambaran umum yang membedakan surat Makkiyyah dan Madaniyyah, perlu diulas karakteristik dakwah periode tersebut, beserta implikasi yang ditimbulkannya. Pesan-pesan awal al-Qur‟an yang turun di Makkah menekankan kepada ketauhidan, ketakwaan, masalah eskatologis, ibadah ritual, dan etika sosial. Hal ini sangat relevan dengan realitas masyarakat Makkah yang menyembah berhala (politeisme), orientasi pada kehidupan profan, dan melakukan praktik-praktik sosial yang eksploitatif. Ajaran tentang ketauhidan menjadi dasar ajaran Islam. Prinsip ini mengajarkan kepada manusia untuk tunduk hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa, sehingga menumbuhkan sikap sosial yang humanis dan egaliter. Sikap ini akan menciptakan rasa kesamaan derajat dan menghilangkan ketidakadilan sosial dalam masyarakat. Sebaliknya, Politeisme dalam masyarakat Makkah mengakibatkan pandangan hidup yang serba material. Status sosial seseorang dilihat berdasarkan harta kekayaannya, sehingga kepercayaan ini mengakibatkan terjadinya ketidakadilan dalam masyarakat.118 Di sisi lain, internalisasi ajaran tauhid ke dalam masyarakat Arab ditujukan untuk membebaskan mereka dari ketergantungan segala aspek, baik ekonomi, politik, sosial, maupun budaya. Ajaran ini menuju pada pembentukan masyarakat yang mengakui persamaan, persaudaraan, dan berkeadilan. Di samping itu, juga untuk membangun masyarakat yang bermoral. Prinsip tauhid ini menembus langsung ke dalam jantung masyarakat Arab. Secara diametral, risalah ini berhadapan dengan situasi sosio-politik Makkah yang dikuasai oleh origarki Quraisy yang serba monopolis. Monopoli ekonomi dan politik ini ditegakkan atas landasan politeisme.119 Dengan demikian, prinsip tauhid ditransformasikan al-Qur‟an untuk membangun system sosial masyarakat yang egaliter dan berkeadilan. Ajaran lain yang ditransformasikan pada masyarakat pagan Arab adalah tentang masalah eskatologis. Al-Qur‟an mengenalkan hari akhir dan segala yang berkaitan dengannya, seperti hari kebangkitan, hari pembalasan, serta surga dan neraka. Dalam pesan-pesan al-Qur‟an, terdapat kesejajaran antara keyakinan kepada keesaan Tuhan dengan hari akhir. Hal ini terlihat dalam beberapa ayat al-Qur‟an, kalimat “yaum al-akhir” disebutkan sebanyak 24 kali, sedangkan kata “akhirat” disebutkan sebanyak 115 kali.120 Ajaran eskatologis tersebut berseberangan dengan pemikiran tradisional Arab, yang menganggap bahwa keyakinan eskatologis sebagai upaya pelarian dari ketidakmampuan menghadapi persaingan hidup. Bagi mereka, ajaran ini hanya pantas bagi kelompok yang secara ekonomi menempati posisi menengah ke bawah. Mereka pun meragukan konsep eskatologis tersebut, bahkan tidak mempercayainya 121 Al-Qur‟an berusaha mengemukakan bukti-bukti logis tentang adanya hari akhir. Berdasarkan keadilan, setiap perbuatan harus mendapat imbalannya. Doktrin tentang eskatologis merupakan upaya untuk mereformasi kondisi moral masyarakat. Penerimaan akan realitas adanya hari akhir berhubungan dengan realisasi adanya keadilan Tuhan.122 Keyakinan terhadap kehidupan setelah mati dapat mendorong orang untuk berbuat kebajikan. Nampaknya seruan yang massif dari al-Qur‟ân periode Makkiyyah untuk menginternalisasikan nilai-nilai eskatologis ditujukan untuk mengkritik tatanan sosial budaya yang tidak bermoral kala itu. Doktrin eskatologis bertujuan untuk membangun kesadaran akan tanggung jawab individu. Hal ini sekaligus mengoreksi pandangan suku-suku Arab yang meletakkan tanggung jawab kolektif atas 118Mazheruddin Siddiqi, The Qur‟anic Concept of History, (New Delhi: Adam Publisher and Distributors, 1994), h.18 119Ahmad Syafi‟I Ma‟arif, Al-Qur‟an, Realitas Sosial dan Limbo Sejarah (Sebuah Refleksi), (Bandung: Pustaka, 1985), h.34 120 Ali Sodiqin, Antropologi Al-Qur‟an Model Dialektika Wahyu Dan Budaya, (Jogjakarta;Ar-Ruz Media , 2008),h. 87 121 lihat QS. 17:49, 6:29, 16:38 122 Sayyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity (New York: HarperCollin, 2002), h.245

  16. perbuatan seseorang. Setiap individu, menurut doktrin ini, akan mendapatkan hasil dari setiap tindakannya di dunia. Pertanggungjawaban tersebut akan terjadi pada kehidupan setelah mati. Sasaran reformasi dari ajaran eskatologis ini adalah penegakan materialistis, aspek moral menjadi sesuatu yang tidak pernah disentuh. Akibatnya, system sosial yang berlaku menampakkan adanya stratifikasi. Stratifikasi ini berimbas pada segala aspek kehidupan, baik ekonomi, politik, maupun sosial. Ajaran lainnya adalah tentang Ibadah ritual. Pada fase Makkah ini, ibadah yang diwahyukan pertama kali adalah shalat. Pewahyuan shalat memiliki kedudukan khusus di kalangan umat Islam. Perintah shalat diterima Nabi secara langsung dari Allah melalui peristiwa isra’ mi’raj. Muhammad lepas dari dimensi kemanusiaanya dan masuk ke dimensi lain sehingga dapat bertemu Tuhan. Ibadah shalat merupakan system pemujaan yang ditransformasikan untuk menggantikan system pemujaan terhadap berhala. Ibadah ini terkait dengan prinsip monoteisme, di mana seseorang hanya terikat dengan Satu Tuhan Pencipta yang dipuja melaui ruku‟, sujud dan pembacaan ayat-ayat al-Qur‟an. 123system pemujaan ini juga memperlihatkan adanya pandangan baru bagi para pelakunya. Pemujaan bukanlah dengan pengorbanan atau ritualisasi yang berbau takhayul, tetapi memperlihatkan adanya ajaran tentang kesucian, kesederhanaan dan kedermawanan. Ibadah shalat adalah manifestasi dari keyakinan akan Tuhan dan hari akhir. Shalat menjadi media komunikasi dengan Tuhan sekaligus sebagai bentuk pengabdian. Ibadah ini menegaskan tentang siapa yang berhak disembah dan bagaimana cara menyembah yang sebenarnya. Ajaran ini bertujuan untuk mereformasi praktik ritual yang berbau mistis yang dilakukan masyarakat Arab. Shalat juga mengajarkan prinsip persamaan dan kesederajatan antar manusia. Dari uraian-uraian di atas, reformasi yang dilakukan terhadap masyarakat Arab pada fase Makkah ini terfokus pada reformasi kultural. Al-Qur‟an melalui ayat-ayatnya berusaha mengubah kultur polities menuju kultur monoteis. Kultur polities yang berlaku menghasilkan tatanan sosial yang diskriminatif. Masyarakat terbagi dalam stratifikasi sosial yang mengakibatkan ketimpangan ekonomi, politik, dan sosial. Ayat-ayat al-Qur‟an yang turun pada fase Madinah kebanyakan berisi tentang panduan untuk membangun komunitas sosial dan politik. Di samping itu, juga menekankan Muhammad sebagai teladan, pemberi putusan, dan seorang reformer.124 Banyak aturan politik, ekonomi, dan sosial yang terdapat dalam ayat-ayat Madaniyyah. Pembaruan masyarakat di Madinah menekankan pada reformasi struktural. Sasarannya adalah menciptakan struktur masyarakat baru dengan dasar yang lebih kuat. Karena itu, dimunculkanlah konsep ummah, yaitu ikatan persaudaraan komunitas Islam berdasarkan loyalitas keagamaan.125 Konsep ini dibangun untuk menggantikan konfederasi suku-suku yang diikat oleh kepentingan politik semata. Pembentukan Ummah di Madinah didasarkan pada persaudaraan antara Muhajirin dan Anshar.126 Meskipun mereka berasal dari suku dan wilayah yang berbeda, tetapi diikat oleh kayakinan yang sama. Dengan adanya ikatan keagamaan ini, Islam di Madinah menjadi institusi politik sekaligus agama. Terbentuknya ummah ini tidak lepas dari kondisi agama monoteisme lain, Yahudi dan Nashrani, yang mengalami kemunduran. Agama Yahudi merupakan agama bangsa sehingga sukar tersiar pada bangsa lain. Di sisi lain, agama Nashrani terpecah dalam sekte-sekte seperti Nestorian, Monophisit, dan Ebion.127 Bagi masyarakat Arab, yang sukar menerima kepercayaan dari luar, Islam menjadi pilihan yang menarik, di samping karena kesederhanaan dogmanya, karena agama ini lahir dari masyarakat Arab sendiri. 123 Marshall G.S. Hodgson, The Venture of Islam, Iman Sejarah dalam Peradaban Dunia, Masa Klasik Islam, terj. Mulyadhi Kartanegara (Jakarta: Paramadina, 2002), h.233 124 Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Qur‟an, h.96 125 Mohammed Marmaduke Pickthall, The Meaning of The Glorius Koran (New York: The New American Library, 1960), h.xvi 126 QS. 49:10 127 Djaka Soetapa, Ummah Komunitas Religius, Sosial dan Politis dalam Al-Qur‟an, (Yogyakarta: Duta Wacana University Press, 1991), h.69

  17. Setelah secara politik mapan, reformasi selanjutnya ditujukan kepada struktur sosial masyarakat. Al-Qur‟an menguatkan unit keluarga sebagai komunitas terkecil yang memiliki kemandirian. Satu unit keluarga terdiri dari orangtua, anak, dan kakek. Aturan ini menggantikan system kesukuan, yang mendasarkan pada kolektivitas tindakan, termasuk hak dan kewajiban.128 Terbentuknya struktur keluarga ini diikuti dengan pengaturan pranata sosial yang terkait dengan keluarga. Karena itu, muncullah aturan- aturan tentang wanita (istri), perkawinan, perceraian, pengasuhan anak, dan kewarisan. Al-Qur‟an periode Madinah pun melakukan reformasi menyangkut kebutuhan primer masyarakat. Aturan-aturan tentang makanan dan minuman, pakaian, dan system etika yang lain mendapat perhatian. al-Qur‟an juga melakukan pembaruan di bidang hukum.Dalam masalah qishash, al-Qur‟an menekankan pada pembalasan yang seimbang, bukan pembalasan dendam.129 Hukuman terhadap pembunuhan juga dibedakan apakah pembunuhan tersebut dilakukan dengan sengaja, semi sengaja, atau tidak sengaja. Masing-masing kategori memiliki ketentuan hukum yang berbeda.130Di samping itu, al-Qur‟an juga mengatur administrasi peradilan, atau tata cara penegakan hukum. Aturan tersebut di antaranya ketentuan tentang saksi, baik syarat maupun jumlahnya. Dalam bidang ekonomi, al-Qur‟an juga melakukan pembaruan. Struktur ekonomi yang berlaku di masyarakat cenderung eksploitatif dan monopolis. Hal ini menciptakan jurang yang dalam antara kelompok kaya dan kelompok miskin. Prinsip umum dalam tindakan ekonomi adalah adanya kerelaan di antara pihak yang bertransaksi.131 Al-Qur‟an melarang praktik riba yang sudah mengakar di masyarakat.132 Nampak bahwa dalam bidang ekonomi, ada keberpihakan terhadap kaum lemah, aturan tentang ashnaf penerima zakat dan adanya hak orang miskin dalam setiap harta adalah bukti keberpihakan tersebut. Reformasi dalam struktur ekonomi dilakukan al-Qur‟an untuk mengatasi kepincangan sosial dan membangun keseimbangan dan distribusi ekonomi yang bermoral. Secara politik, Islam di Madinah tidak hanya merupakan sebuah agama, tetapi menjadi institusi politik dengan tatanan baru yang berbeda dengan struktur kesukuan. Kedudukan Nabi Muhammad tetap sentral, di samping sebagai rasul juga bertindak sebagai kepala negara dan legislator hukum. Namun, dalam pelaksanaan pemerintahnya, Nabi mengenalkan prinsip musyawarah dengan para sahabatnya.133 Pesan-pesan al-Qur‟an dalam penataan struktur tersebut berbeda di antara masing-masing aspek. Tidak ada keseimbangan aturan dalam masalah ekonomi, hukum, dan politik. Ada aturan yang terperinci, seperti dalam hukum keluarga, tetapi ada yang hanya berupa prinsip-prinsip umum, seperti dalam aturan politik pemerintahan. Di samping itu, juga terjadi adopsi terhadap beberapa institusi lama. Dalam bidang hukum dan politik, misalnya, tidak semua tatanan lama dihilangkan. Pranata sosial lama dimodifikasi sesuai dengan dasar reformasi struktural yang terdapat dalam al-Qur‟an. Hukum qishash dan sistem syûra adalah sebagian contoh dari penyerapan tradisi lama oleh al-Qur‟an. 134 Ketika di Makkah kehidupan Nabi adalah kehidupan sufi seperti pendeta-pendeta Nashrani, namun begitu beliau hihrah ke Madinah dan terpengaruh dengan model kehidupan dan keberagamaan orang-orang Yahudi, maka orientasi sufi segera berubah menjadi orientasi syari‟ah. Dakwah makkah berorientasi ukhrawi (masa depan) maka dakwah Madaniyyah lebih pragmatis sifatnya, dengan orientasi kekinian. Secara ringkas perubahan periode makkah ke madinah sebagai berikut: 1)agama murni menjadi Negara agama 2)aqidah dan prinsip-prinsip umum menjadi syari‟ah dan undangan khusus 3)orientasi sufi menjadi ibadah formal dan praktis 4)sosok Nabi sebagai pendakwah kepada zuhud menjadi tokoh agama, nasionalis, praktis, dan militer. 128 Lihat QS. 2:83, 4:36, 6:151, 17:23, 29:8, 31:14, 46:15 129 QS. 2:178-179 130 QS. 4:92-93 131 QS. 4:29 132 QS. 2:276-278, 3:130 133 Ali Sodiqin, Antropologi Al-Qur‟an Model Dialektika Wahyu Dan Budaya, h. 97 134 Khalil Abdul Karim, Al-Judzûr al-Târîkhiyyah li a- Syarî‟ah al-Islâmiyyah, (Kairo; Sina li al-Nasyr, 1990), h.h.9-10

  18. 5)Islam yang tadinya umat yang satu dengan umat-umat lain menjadi umat tersendiri diantara umat-umat lain.135 6.Penutup Kehadiran Al Qur‟an di tengah umat Islam bagaikan representasi dari kehadiran Tuhan dan Rasul Nya untuk selalu meyertai dan selalu berdialog dengan mereka, sehingga ia dapat memecahkan persoalan hidup yang dihadapi umat manusia. Pergumulan yang sangat intens antara Al Qur‟an dengan dinamika sosial sangat mencolok pada masa Rasul Muhammad. Ayat-ayat Al Qur‟an yang diturunkan secara bertahap membuatnya mampu berdialog dengan realitas sosial kala itu, akibatnya Al Qur‟an tidak sekedar dinikmati keindahan gramatika dan bahasanya saja melainkan dapat membangkitkan kesadaran dalam diri pendengar dan pembacanya untuk bergerak dan berbuat sesuai arahan-arahan yang diberikannya. Pada masa Rasulullah ayat-ayat Al Qur‟an yang diwahyukan selalu menimbulkan dinamika wacana dalam masyarakat. Ayat-ayatnya selalu terlibat dalam sebuah dialog kehidupan secara dinamis dan terbuka. Ayat-ayat Al Qur‟an yang secara intens berdialog dengan bangsa Arab kala itu dengan mudahnya merasuk dalam kesadaran mereka, karenanya Al Qur‟an kala itu tidak tertulis dalam sebuah mushhaf melainkan tertulis dalam lubuk hati setiap orang yang beriman136. Sepeninggal Rasul, umat Islam masih harus terus berdialog dengan Al Qur‟an dalam situasi dan kondisi kehidupan yang dinamis. Banyak hal yang dahulu tidak dijumpai pada masa Rasul terjadi dan membutuhkan pemecahan dari Al Qur‟an, maka muncullah ijtihad-ijtihad zaman untuk terus mempertahankan susasana dialogis Al Qur‟an dengan perkembangan masalah kehidupan. 7. Sebagian Daftar Pustaka Abd al-Rahmân, Abd al-Hâdi, Judzûr al-Quwwah al-Islâmiyyah, Beirut: Dâr al-Thalî‟ah, 1988 Abdul Karim, Khalil, Al-Judzûr al-Târîkhiyyah li a- Syarî‟ah al-Islâmiyyah, Kairo; Sina li al-Nasyr, 1990 Abdul Karim, Khalil, Hegemoni Quraisy, Yogyakarta: LKiS, 2002 Abu Zaid, Nashr Hamid, Mafhûm al-Nash, --: al-Markaz al-Tsaqâfi al-Araby, 1987 Ali, Jawad, Al-Mufashshal fî Târîkh al-„Arab Qabl al-Islâm, Baghdad: Universitas Baghdad, 1993 al-Qathan, Manna‟, Mabâhits fî „Ulûm al-Qur‟ân,--: mansyûrât al-„Ashr al-Hadîts, tt al-Syarif, Ahmad Ibrahim, Makkah wa al-Madînah al-Munawwarah fî al-Jâhiliyyah wa „Ahd al- Rasûl, Kairo: Daar al-Fikr al-Araby, tt al-Zarkasyi, Badruddin Muhammad bin Abdullah bin Bahadur, Al-Burhân fî„Ulûm al-Qur‟ân , Beirut: Dâr al-Ma‟rifah, tt Amin, Ahmad, Fajr al-Islâm, Beirut: Dar el Fikr, 1975 Armstrong, Karen, Muhammad Sang Nabi Sebuah Biografi Kritis, Surabaya: Risalah Gusti, 2001 Barrû, Taufiq, Târîkh al-„Arab al-Qadîm,Damaskus: Dar al-Fikr, 2001 Esposito, John L, Islam Kekuasaan Pemerintahan, Doktrin Iman dan Realitas Sosial terj. M.Khoirul Anam , Depok: Inisiasi Press, 2004 Faizah, Nur, Sejarah al-Qur‟an, Jakarta: Artha Rivera, 2008 Goldziher, Ignaz, Pengantar Teologi dan Hukum Islam, Jakarta: INIS, 1991 Haque, Ziaul, Wahyu dan Revolusi, Yogyakarta: LKiS, 2000 Hidayat , Komaruddin, Memahami bahasa Agama, Jakarta: Paramadina, 1996 Israel Ben Zeev, Târîkh al-Yahûd fî Bilâd al-„Arab, Kairo: Mathba‟ah al-I‟timâd, 1937 Lapidus, Ira M, Sejarah Sosial Ummat Islam, Bagian Kesatu dan Kedua terj.Gufron A. Mas‟adi, Jakarta: Rajawali Press, 1999 Levy, Reuben, Susunan Masyarakat Islam, Jilid II, terj. H.A.Ludjito , Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1989 Misrawi, Zuhairi, Mekkah Kota Suci, Kekuasaan, dan Teladan Ibrahim, Jakarta: Kompas, 2009 135 Youssef Durrah al-Haddad, Al-Qur‟ân wa al-Kitâb Athwâr al-Da‟wah al-Qur‟âniyah, h.852-853 136 Komaruddin Hidayat, Memahami bahasa Agama, ( Jakarta: Paramadina, 1996), hh. 170-171

  19. Muslimani, Malik, Mîlâd Daulah al-Islâmiyah, Suria: Dar al-Hiwar li al-Nasyr wa al-Tauzi‟, 2001 Nasr, Sayyed Hossein, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity, New York: HarperCollin, 2002 Rachman, Fazlur, Islam, Jakarta: Bina Aksara, 1987 Salâmah, Awâthif Adîb Ali, Quraisy Qabl al-Islâm Dauruhâ al- Siyâsy wa al-Iqtishâdy wa al-Dîny, Riyadh: Dâr al-Mirrîkh, 1994 Shiddiqui, Abdul Hamîd, The Life of Muhammad, Lahore: Islamic Publications Ltd., 1975 Sodiqin, Ali, Antropologi Al Qur‟an, Yogya: Arruz Media Group, 2008 Soetapa, Djaka, Ummah: Komunitas Religius dan Politis dalam Al-Qur‟an, Yogyakarta: Duta Wacana University, 1991 Zaidan, George, Kitâb al- „Arab Qabl al- Islâm, Mesir: Mathba‟ah Hilâl, 1922 Dan lain-lain

More Related