1 / 1

Pakai Jas

Pakai Jas

prue
Download Presentation

Pakai Jas

An Image/Link below is provided (as is) to download presentation Download Policy: Content on the Website is provided to you AS IS for your information and personal use and may not be sold / licensed / shared on other websites without getting consent from its author. Content is provided to you AS IS for your information and personal use only. Download presentation by click this link. While downloading, if for some reason you are not able to download a presentation, the publisher may have deleted the file from their server. During download, if you can't get a presentation, the file might be deleted by the publisher.

E N D

Presentation Transcript


  1. Pakai Jas Atas undangan Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono, Dr. M. Yunus, warga Bangladesh, penerima nobel perdamaian 2006, datang ke Jakarta untuk memberi ceramah tentang penanganan kemiskinan. Saat itu, Presiden dan seluruh anggota Kabinet menyambut Yunus dengan pakaian jas lengkap berwarna gelap. Yunus datang dengan baju khas Bangladesh (mirip baju koko) dengan rompi dan celana, sama dengan warna baju koko yang dikenakannya. JK juga hadir dengan baju khas, kemeja lengan panjang yang dikeluarkan. Sebuah pemandangan yang amat kontras antara Presiden bersama seluruh anggota Kabinet, dibandingkan dengan pakaian yang dikenakan oleh JK dan Dr. M. Yunus. Ketika ditanya mengapa hanya dia pejabat Indonesia yang tidak memakai jas hari itu, spontan JK menjawab, “Wah, kan harus ada di antara kita yang menemani tamu kita. Yang saya maksudkan, kan tamu kita berpakaian seperti itu, jadi saya harus menemaninya dengan pakaian yang kurang lebih sama. Biat tamunya merasa dihargai. Tidak enak kalau semua pejabat kita berjas. Harus ada yang sama dengan tamu. Saya itulah yang sama dengan tamu,” kata JK penuh canda. Namun, di balik canda JK itu, kepada orang lain ia menjelaskan bahwa pakaian yang dikenakannya menerima Dr. M. Yunus memang pakaian kerja sehari-harinya sebagai Wapres. “Saya pakai jas kalau ke pesta perkawinan, tetapi sehari-hari, pakaian kerja saya memang hanya seperti ini.” Kepada saya JK mengatakan, “Hamid, kan tidak masuk akal kita membicarakan bagaimana kita memberantas kemiskinan dengan pakai jas. Kemiskinan kita bisa dikurangi kalau secara individu, kita bertekat hidup secara proporsional. Artinya, Anda bicara tentang kemiskinan, tetapi Anda memakai pakaian luks, seperti jas. Di mana logikanya? Coba, kan akhirnya malu semua toh? Dr. Yunus yang dianggap ahli pemberantasan kemiskinan dan kita mau agar ia membagi pengalaman dan ilmu, ternyata datang dengan pakaian khasnya, yang memang bisa dipersepsikan bahwa ia konsisten dengan masalah-masalah kemiskinan. Untung saya memakai apa adanya, seperti biasa. Tidak dibuat-buat,” tegas JK. Soal berpakaian jas, JK memang dari dulu sangat kritis. Ia tidak habis pikir, kenapa kita yang hidup di negara tropis dengan tingkat kelembaban tinggi, selalu memakai jas lengkap di setiap acara. “Kan itu mengganggu sekali kinerja karena panas. Padahal, kalau kita memakai kemeja lengan panjang putih atau lengan pendek dan dasi, itu bagus sekali,” tegas JK. Ia pun terobsesi agar para pejabat kita meniru cara orang Singapura. Di sana, katanya, para pejabat memakai kemeja warna putih dengan dasi. “Mereka sangat produktif karena tidak menyusahkan diri, menahan panas. Penampakan mereka juga sangat elegan. Dan kalau berada di ruangan, tidak perlu menggunakan pendingin dengan suhu minimal 18oC, yang bisa memboroskan energi. Jadi sebenarnya, banyak hal yang bisa kita lakukan untuk memperbaiki bangsa ini, tetapi dimulai dengan hal-hal kecil, dan dari diri sendiri dulu,”lanjut JK. Selain masalah bentuk pakaian, jas, JK sangat telaten memperhatikan merek pakaian yang dikenakan. Sangat susah meyakinkan JK bahwa pakaian impor dengan merek ternama, jauh lebih baik daripada pakaian buatan dalam negeri. “Coba lihat ya, tekstil kita sangat bagus kualitasnya. Malah kita pernah menjadi negara pengekspor tekstil besar ke Amerika sebelum quota kita dicabut. Artinya, kualitas adalah kualitas andal. Soal jahit-menjahit, perhatikan celana jins Bandung, kan banyak diekspor, termasuk ke Eropa. Baju jadi, apalagi. Perhatikan itu merek tertentu, kan mereka memesan ke kita, lalu dikirim ke negara mereka. Di sana baru diberi merek. Ini semua adalah fakta bahwa kualitas garmen dan pakaian jadi kita, sangat diandalkan,” ujar JK lagi. Cara berpikir JK yang sangat logis dan praktis ini, membuat orang sulit meyakinkan agar ia mengganti selera pakaiannya. JK sangat fanatik dengan buatan dalam negeri. Sikap ini dipegangnya dari dulu, jauh sebelum menjadi pejabat publik. Jadi, bukan sesuatu yang dibuat-buat untuk kepentingan pencitraan diri. He does it, because he means it. Prinsip ini pulalah yang melatari mengapa ia sangat serius mengecek para mentrinya, apakah menggunakan sepatu bermerek buatan luar negeri, atau buatan dalam negeri. Bagi JK, adalah susah membayangkan ada sepatu, yang fungsinya hanya untuk diinjak-injak, tetapi harganya sampai jutaan rupiah. Seorang pejabat petnah mencoba mendebat JK tentang urusan sepatu ini. “Kalau sepatu buatan luar negeri, kita pakai jalan, kita tidak sakit dan tidak bau,” kata Sang Sahabat. Tanpa pikir panjang JK spontan menjawab. “Sejauh mana Anda berjalan kaki? Anda kan keluar dari rumah, langsung naik mobil, kemudian masuk kantor. Begitu seterusnya. Anda pasti tidak pernah berjalan kaki lebih dari sekilometer. Bagaimana mungkin kaki Anda sakit hanya dengan beberapa ratus meter berjalan,” jawab JK. “Soal bau kaki, itu karena Anda kurang berwudu, jadi, jari-jari kaki Anda bau. Kalau Anda selalu berwudu, pasti kaki anda selalu bersih. Kaki yang bersih itu, tidak akan bau,” sambung JK lagi. Ihwal pakaian, JK terbilang amat sederhana. Kemeja yang dipakainya hingga sekarang, selalu dibeli di toko, semisal Robinson atau Sejahtera. Dan, yang membelikannya adalah istrinya sendiri, Ny. Mufidah Jusuf Kalla. Rata-rata kemeja JK adalah Van Heusen atau Arrow, maksimal. Malah, kata istrinya, JK pernah memakai sandal yang dipakai pergi ke masjid dan di rumah, usianya hampir sepuluh tahun. Harganya pun masih diingat saat itu, Rp 225 ribu. Sandal tersebut sudah beberapa kali dijahit oleh tukang sepatu tradisional. JK tak lagi memakai sandal itu karena dibuang istrinya, tanpa seizin JK. Begitu juga kacamata JK. Pernah ia memiliki kacamata yang sudah puluhan kali ganti baut. Baginya, selama masih bisa difungsikan, pakai saja apa yang ada. Namun, JK juga tidak anti jas. Dalam banyak kesempatan, ia memakai jas, misalnya, menghadiri undangan. Di situ, JK merasa wajib memakai jas, sebab memberi kehormatan kepada yang mempunyai hajat. Itu adalah hari kebahagiaan orang tua, keluarga, dan mempelai sendiri. Dan memang pada tempatnya kita yang hadir, harus memakai jas. Begitu juga pada saat menerima tamu negara, itu kita harus memakai jas, sebab memang pada tempatnya begitu. Tetapi memakai jas sebagai pakaian kerja sehari-hari, sesuatu yang tidak bisa ia bayangkan. Di Eropa atau Amerika yang tingkat kepanasannya tidak sama dengan Indonesia, memakai jas tiap hari adalah lumrah.

More Related