1 / 9

Pembahasan:

Konfigurasi Politik Hukum Kebanksentralan Mengenai Kedudukan Hukum Bank Indonesia sebagai Bank Sentral dalam Sistem Pemerintahan Negara. Masalah: bagaimanakah kedudukan Bank Indonesia sebagai otoritas moneter dalam sistem pemerintahan negara

talisa
Download Presentation

Pembahasan:

An Image/Link below is provided (as is) to download presentation Download Policy: Content on the Website is provided to you AS IS for your information and personal use and may not be sold / licensed / shared on other websites without getting consent from its author. Content is provided to you AS IS for your information and personal use only. Download presentation by click this link. While downloading, if for some reason you are not able to download a presentation, the publisher may have deleted the file from their server. During download, if you can't get a presentation, the file might be deleted by the publisher.

E N D

Presentation Transcript


  1. Konfigurasi Politik Hukum Kebanksentralan Mengenai Kedudukan Hukum Bank Indonesia sebagai Bank Sentral dalam Sistem Pemerintahan Negara Masalah: bagaimanakah kedudukan Bank Indonesia sebagai otoritas moneter dalam sistem pemerintahan negara Latar belakang: Penjelasan Pasal 23 UUD 1945 tidak menjelaskan kedudukan hukum Bank Indonesia dalam sistem pemerintahan negara Pembahasan: Dari perspektif kesejarahan dan politik hukum kebanksentralan, kedudukan dan status hukum Bank Indonesia sebagai bank sentral berbeda-beda, diatur lebih lanjut dalam perundang-undangan. Berarti kedudukan dan status bank sentral akan sangat tergantung kepada proses penafsiran konstitusi yang menjadi dasar pembentukan perundang-undangan kebanksentralan yang bersangkutan. Dasar konstitusi yang berbeda--> UUDS 1950 dan UUD 1945, sama-sama memposisikan kedudukan dan status Bank Indonesia sebagai bank sentral tidak independen, yakni sebagai pembantu Presiden, yang kesehariannya berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan --> Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1953 dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968

  2. Konfigurasi Politik Hukum Kebanksentralan Mengenai Kedudukan Hukum Bank Indonesia sebagai Bank Sentral dalam Sistem Pemerintahan Negara Pembahasan: Dasar konstitusi yang sama --> UUD 1945, yaitu Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968 dibandingkan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004, terdapat perbedaan politik hukum kebanksentralan. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968 memposisikan kedudukan dan status hukum Bank Indonesia sebagai bagian dari eksekutif, yaitu pembantu Presiden dan tidak independensi. Namun Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 memposisikan Bank Indonesia sebagai “lembaga negara” yang independen, bebas dari campur tangan Pemerintah maupun pihak lainnya. Dengan kedudukan hukum sebagai pembantu Presiden, maka Pemerintah dapat mengontrol dan mengendalikan Bank Indonesia, sehingga Pemerintah dapat mudah menjadikan sebagai mesin politiknya DPR dan Pemerintah mencegah Bank Indonesia menjadi superbody yang dapat melakukan apapun tanpa harus melakukan konfirmasi terhadap siapa pun juga Dalam situasi parlemen yang multipartai memungkinkan timbulnya “kompromi politik” dalam mengambil suatu kebijakan moneter

  3. Konfigurasi Politik Hukum Kebanksentralan Mengenai Kedudukan Hukum Bank Indonesia sebagai Bank Sentral dalam Sistem Pemerintahan Negara Pembahasan: Kedudukan Bank Indonesia yang tidak independen menempatkan Bank Indonesia subordinat dari Pemerintah---> kebijakan Bank Indonesia merupakan bagian dan/atau pelaksanaan kebijakan Pemerintah. Pemerintah sering mengintervensi kebijakan Bank Indonesia sebagai pemegang otoritas moneter. UUBI 1999 memberikan konfigurasi Bank Indonesia dalam struktur ketatanegaraan yang unik (skema 2.3)--> menempatkannya di luar pemerintahan dan lembaga lain, namun tidak berada di atas atau setara dengan Presiden dalam kedudukannya sebagai Kepala Negara--> lembaga khusus otoritas moneter. Bank Indonesia mempunyai kewenangan untuk membuat Peraturan Bank Indonesia (PBI) Dari 60 negara, ada 15 negara (25%) yang mencantumkan independensi bank sentral dalam konstitusi --> signifikansi keberadaan dan kepentingan bank sentral memulihkan dan menjaga laju inflasi dan pemeliharaan ekonomi moneter

  4. Kebijakan BLBI sebagai Instrumen Publik Pemerintah Mengatasi Kesulitan Sistemik Perbankan Masalah: bagaimanakah kebijakan BLBI, apakah merupakan kebijakan Bank Indonesia atau Pemerintah? Latar belakang: Pasal 32 ayat (3) UUBI 1968: “Bank dapat pula memberikan kredit likuiditas kepada bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas dalam keadaan darurat”. Kemudian penjelasan umum angka III UUBI 1968: “Sebagai lender of last resort Bank Sentral dapat memberikan kredit likuiditas kepada bank-bank untuk mengatasi kesulitan likuiditas yang dihadapi dalam keadaan darurat” Posisi Bank Indonesia sebagai bank sentral berada dibawah kekuasaan Presiden sebagai Kepala Pemerintahan. Pembahasan: Pemberian kredit likuiditas darurat ditentukan oleh Bank Indoensia, artinya kredit likuiditas darurat bukan merupakan “hak bank” mengalami kesulitan likuiditas atau “kewajiban bank sentral” membantu bank yang mengalami kesulitan likuiditas likuiditas. Bank Indonesia berwenang “menolak” memberikan kredit likuiditas darurat berdasarkan pertimbangan Bank Indonesia bila tidak liquid dan solvent-- otoritas Bank Indonesia memberikan kredit likuiditas dalam keadaan normal dan darurat.

  5. Kebijakan BLBI sebagai Instrumen Publik Pemerintah Mengatasi Kesulitan SistemikPerbankan Pembahasan: Berhubung kedudukan Bank Indonesia sebagai pembantu Presiden, maka kewenangan Bank Indonesia memberikan kredit likuiditas darurat kepada bank yang mengalami kesulitan likuiditas direduksi dan diintervensi oleh Pemerintah. Kebijakan BLBI ditentukan sendiri oleh Pemerintah bersama Dewan Moneter dan dilaksanakan oleh bank Indonesia --> keputusan kabinet tanggal 3 September 1997: bank sehat dibantu, bank tidak sehat diakuisi dan bank lainnya dilikuidasi. Akibat liberalisasi perbankan nasional yang tidak terkendali, maka struktur perbankan lemah, morat marit, persaingan antarbank tidak terkendali, jumlah lonjakan kredit diberikan bank membengkak, kredit macet membengkak, cicilan kredit luar negeri. Perbankan mengalami tekanan dari tiga arah--> tekanan kreditor luar negeri (utang swasta dan pemerintah jatuh tempo), tekanan debitor dalam negeri pada bank (kredit macet membengkak--bank saldo negatif), dan tekanan dari deposan (bank runs) Politik “cuci piring” terhadap bank-bank swasta sejak tahun 1977, adanya dilikuidasi dan mengikuti program rekapitalisasi Kebijakan BLBI merupakan kebijakan yang bersifat intervensionis yang didasarkan pada pertimbangan Pemerintah pada waktu itu --> situasional

  6. Kebijakan BLBI sebagai Instrumen Publik Pemerintah Mengatasi Kesulitan Sistemik Perbankan Pembahasan: Pemerintah bersama Bank Indonesia menempuh kebijakan BLBI sebagai piranti instrumen publik --> biaya jauh lebih murah Kebijakan BLBI didasarkan pada aturan kebijakan, melalui Keppres, Kepmen, Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia --> dapat mengakibat perekonomian nasional collapse Kebijakan BLBI bermaksud memback up dana dalam rangka menjalankan fungsi sebagai “lender of last resort” dan “blanket guarantee”. Pihak yang langsung dilindungi dan memperoleh keuntungan dari kebijakan BLBI, masyarakat yang punya uang di bank. Hal ini mengusik rasa keadilan masyarakat, sebab nasabah menyimpan uang di bank karena kemauannya dan menerima bunga tinggi, yang kesemuanya ditanggung oleh negara. Kebijakan BLBI dibebankan kepada anggaran negara, yang merupakan utang bank-bank yang menerima BLBI (harus dilunasi pemilik bank yang bersangkutan)

  7. Implikasi Fungsi Bank Indonesia sebagai “Lender of Last Resort” dalam Penyaluran dan Penggunaan BLBI Masalah: bagaimanakah implikasi fungsi Bank Indonesia sebagai “lender of last resort” dalam penyaluran dan penggunaan BLBI Latar Belakang: Bank Indonesia sebagai bank sentral menjalankan fungsi sebagai “lender of last resort” (pemberi kredit dan penjamin simpanan) sebagaimana diatur dalam Pasal 32 ayat (3) serta Penjelasan Umum UUBI 1968 posisi Bank Indonesia sebagai pelaksana kebijakan BLBI yang ditetapkan Pemerintah bersama Dewan Moneter Pembahasan: Fungsi lender of last resort berkaitan dengan membantu bank yang mengalami kesulitan likuiditas (mismatch funding) --> kesulitan likuiditas jangka pendek Namun terjadi “pergeseran”, fungsi lender of last resort digunakan juga untuk membantu bank yang mengalami kesulitan solvabilitas yang sebenarnya tidak layak hidup

  8. Implikasi Fungsi Bank Indonesia sebagai “Lender of Last Resort” dalam Penyaluran dan Penggunaan BLBI Pembahasan: Kebijakan BLBI untuk mengatasi kesulitan solvabilitas dikarenakan Bank Indonesia terlanjur menjadi pemilik bank-bank yang bermasalah melalui penyertaan modal dikonversi menjadi “equity”. Dengan sendirinya Bank Indonesia tidak akan melikuidasi banknya sendiri. Adanya bank runs dan efek domino terhadap seluruh sistem perbankan nasional, berhubung tidak ada sistem penjaminan simpanan nasabah --> liberalisasi perbankan versus exit door tidak ada sebagai kebijakan yang bersifat intervesionis, maka kebijakan BLBI cenderung dilsalahgunakan (abuse of power), baik dalam penyaluran BLBI oleh Bank Indonesia maupun penggunaan BLBI oleh bank-bank yang menerima, di samping menimbulkan moral hazard dan misminagament dalam penyaluran BLBI oleh Bank Indonesia Sesungguhnya kebijakan BLBI dalam rangka “lender of last resort” dijadikan sarana secara “bersama-sama” melakukan “penjarahan uang” rakyat. Baik BPK, BPKP, Bank Indonesia sendiri maupun pengamat mengindikasi terjadi kerugian neagara dan terjadi penyimpangan dalam penyaluran dan penggunan BLBI (tabel 2.8).

  9. Implikasi Fungsi Bank Indonesia sebagai “Lender of Last Resort” dalam Penyaluran dan Penggunaan BLBI Pembahasan: Hal ini terjadi juga disebabkan tidak diaturnya secara jelas dan mengenai kriteria lembaga keuangan dan dalam kondisi bagaimana layak mendapatkan bantuan kredit likuiditas darurat dari Bank Indonesia. Pemberian BLBI dilakukan secara kasusistis --> memungkinkan terjadinya kolusi antara penguasa dan pengusaha bank Kelemahan pengawasan dalam penyaluran dan penggunaan BLBI oleh Bank Indonesia, di samping pelanggaran yang dilakukan bank-bank yang menerima BLBI--> tanggung jawab bersama (kolektif) pejabat-pejabat Departemen Keuangan, Bank Indonesia, dan pengurus dan pemilik bank, termasuk Presiden Secara kriminologis kebijakan BLBI merupakan governmental crime yang bersifat kolektif --> moralitas kelembagaan, risiko sosial dan kolusi penguasa dan pemilik bank. Pertanggungjawaban secara (hukum) administratif, perdata dan pidana dalam penyaluran dan penggunaan BLBI tidak hanya terletak pada pemilik bank, juga terletak di tangan penanggung jawab strategis dan teknis Alasan-alasan yang bersifat politis dan ekonomis serta administratif yang dapat mengaburkan persoalan BLBI tidak dapat dijadikan dasar penghapusan pertanggungjawaban dan tuntutan secara hukum.

More Related