E N D
Amatullah (Jyly) Amstrong, seorang sufi wanita Australia, mengatakan bahwa musik terindah baginya adalah keheningan malam saat ia berdoa kepada Allah SWT.1 Penyanyi dan penulis lagu Paul Simon pun mungkin paling diingat karena lagunya yang berjudul “The Sound of Silence” (Suara Diam). Bagi sebagian orang lagu yang dinyanyikan oleh Paul dan Garkunfel ini mengandung kata-kata yang paradoksial sekaligus merujuk pada kekuatan diam saat berkomunikasi.2 Merunut dari sejarahnya, lagu itu adalah cerminan sikap kebisuan para tentara Amerika sepulang dari perang Vietnam. Mereka memilih diam atas kengerian yang mereka saksikan di sana.3 Penulis dan filosof Amerika Henry David Thoreau pernah menulis: dalam hubungan manusia, tragedy dimulai bukan ketika ada kesalahpahaman mengenai kata-kata melainkan ketika diam tidak dipahami. Sayangnya makna diam seringkali terikat oleh budaya dan faktor-faktor situasional.4 Pandangan budaya Timur tentang diam berbeda dengan pandangan Barat. Pada umumnya orang Timur tidak merasa tidak nyaman dengan ketiadaan suara atau perbincangan dan tidak merasa terpaksa untuk mengisi setiap jeda ketika mereka tengah terlibat dalam suatu pembicaraan. Bahkan banyak masyarakat yang berbagi konsep diam percaya bahwa kata-kata justru hanya akan “mencemari” suatu kejadian dan bahwa kebijakan dapat muncul melalui diam. Dapat kita lihat pernikahan agama Budha yang diadakan dalam kediaman dan banyak peribahasa Jepang yang menekankan makna diam, seperti: “Sekuntum bunga tidaklah berbicara”. Di negara kita ekspresi diam paling spektakuler diwakilkan oleh Upacara Nyepi y