230 likes | 392 Views
RELASI SOSIAL ANTAR KELOMPOK AGAMA DI INDONESIA: INTEGRASI ATAU DISINTEGRASI?. Oleh Paulus Wirutomo Sistem Sosial Indonesia ( 2015). RELASI SOSIAL ANTAR KELOMPOK AGAMA DI INDONESIA : INTEGRASI ATAU DISINTEGRASI?.
E N D
RELASI SOSIAL ANTAR KELOMPOK AGAMA DI INDONESIA:INTEGRASI ATAU DISINTEGRASI? Oleh Paulus Wirutomo SistemSosial Indonesia (2015)
RELASI SOSIAL ANTAR KELOMPOK AGAMA DI INDONESIA :INTEGRASI ATAU DISINTEGRASI? Salah satugambaran yang menawantentangmasyarakat Indonesia adalahpluralitas agama yang dimilikinya. Sebagaisebuahnegarakepulauanbesarterletak di persimpanganduabenua, sudahsejak lama Indonesia dikenalsebagaisatutempat yang suburbagiberkembangnyaberbagai agama. Selain agama asli yang telahmengakarselamaratusantahun, di nusantaratumbuhdanberkembangberbagai agama daribenua-benua lain. SejarawanasalPrancis Denys Lombard pernahmenyebutPulauJawasebagai “Le Carrefour Javanais” atau “PerempuanJawa,” tempatberbagaikebudayaanbertemudalamsebuahpersilangangeografis (Lombard 1996). Dalampersilanganinitakkurangdari lima agama besardunia, yaituhinduisme, budhisme, Islam, KatolisismedanProtestantismemenanamkantradisinyadanberinteraksi, baikdengan agama-agama aslimaupundengan agama lainnya, sehinggamenghasilkan “silangbudaya” (Hefner 200Ia). Pluralitasagama memangmerupakankekayaanbangsaini, namun di sisi lain, pluralitasinijugamembawabahaya yang besarterjadinyadisintegrasi social dannasional. Takdapatdisangkal, wajahhubunganantarkelompok agama di Indonesia sejakzaman colonial hinggamasareformasilebihmenunjukkanhubungankonfliktualdaripadaharmonis, baik di level local maupun di level nasional. Berbagaipihak yang terlibatdalampenciptaandisharmonishubunganantarkelompokitu. Dalamhalini, selainkelompok-kelompok agama itusendiri, pihak yang berkuasa (raja-raja, pemerintah colonial danpemerintah republic) adalahjugamerupakanpihak-pihaksentral yang “bermain”. Olehkarenaitu, analisisterhadaphubunganantarkelompok agama di Indonesia harusmengikutsertakan pula kajiantentangperanpenguasadannegaradarimasakemasa.
Sejalandenganketidakharmonisanhubuganitu, muncul pula praktek-praktekekslusi social berdasarkan agama, yaitupengabaian, pengasingandanataupencabutanhakatas orang atausekolompok orang karenaagamanya. Praktekekslusi social ituseringmenimpakelompok agama minoritas, kelompokalirankepercayaandankelompoksektekeagamaan. Pihakpenguasa (pemerintahdankelompok agama yang berkuasa) merupakanagenutamadaripraktekekslusi social terhadapindividuataukelompok agama yang lemah. Demi memperolehperhatian, unjukkekuatan, bargainsertamendekatkandiridenganpenguasa, kelompok-kelompok agama yang kuatatau yang baruberkembangbanyak yang ikutsertadalammelakukanpraktek-praktekekslusiitu. Namundi balikgambaran yang serbapesimististerhadaprelasiantarkelompok agama itu, tidakdapatdisangkal, dalammasyarakat Indonesia masihterdapat pula hubungan-hubungan integrative. Di banyakwilayah, kerjasamaantarakelompok agama justruterbangundenganbaik, yang dijembatanioleh rasa solidaritas, persaudaraan, kemanusiaan, kekeluargaandankebangsaan. Diskursustoleransiantarkelompok agama sering kali merupakankontrak-diskursusterhadapdiskursusketidakharmonisanhubunganantarkelompok agama. Para pemimpin agama sertajaringankelompok-kelompokkemasyarakatanbahkantelahmembentukgerakan-gerakanprogresiflintas agama untukmempromosikanpluralisme, toleransidankerjasamaantarkelompok agama.
AGAMA : DEFINISI DAN KERANGKA TEORETIS The taken for granted religionSebagianbesar orang Indonesia mungkinbelumpernahbertanyasecaraseriusapaitu agama. Bahkanpadakalanganakademisi yang seharusnyamerupakankelompokkritis, tampaknyadiskusiseriusuntukmembahastentang agama, jarangsekalidilakukan. Pertanyaanapaitu agama, bukanlahhal yang popular di Indonesia walaupun agama telahdiperkenalkansejakusiadini. Kebanyakandarikitabahkantelahdiikutsertakansebagaipemeluk agama yang samadenganorangtuakitasejakbayitanpatahumengapaharusmemeluk agama tersebut. Dalamrentangusiaselanjutnya, sosialisasiterhadap agama yang kitadapatlaluhanyasebatasmenyangkutnilai-nilai, aturan, tatacara, upacara/ritual dansebagainya yang harusdituruti. Kebanyakan orang Indonesia lalumenjadi “beragama” tanpamempertanyakankembalisecaramendalamdasardarikeimanannyaitu. Terdapatbeberapapenjelasanterhadaphalini. Pertama, agama dalammasyarakatkitadianggapsebagaisesuatu yang sacral, sucidanmurni. Untukmenjagakesuciandankesakralannyaitu, kitadiajarkanuntukmenerima agama secarataken for granted (apaadanya) tanpamempertanyakanlagi. Kedua, masalahkesucian agama inidijagasecaraketatoleh orang-orang yang seringdisebutsebagaipemegangotoritaskeagamaanseperti guru/tokoh/pemuka/pemimpin agama. Kuatnyaotoritaskeagamaandilanggengkanolehmasyarakatsendiri. Seringdijumpai, orang awamtakutatautidakpercayadiriuntukmendiskusikan agama. Lalu guru/tokoh/pemuka/pemimpin agama dianggapsebagaisosokreferensi yang paling valid bagipengetahuan agama dengannegara. Hal inimenjadikan agama memilikikekuasaan yang besar. Hegemoni agama laluditanamkandandipeliharasecarasistematismelaluisarana yang paling krusialmembentuk system pengetahuanmasyarakat, yaitusitempendidikannasional. System pendidikannasionaldarimasakemasadapatdikatakantidakmemberikanruanguntukmengkritis agama danjustrumenjadi media penanamannilai-nilaikeagamaan yang taken for granteditu.
Pemakaiandefinisi agama inimemberikanbeberapaimplikasi. Pertama, seebuahkepercayaandapatdikatakansebagai agama bilapercayapadaTuhan yang satuataumonotheismesajadanbukan yang lainnya. Sehingga, bentukkepercayaan lain selainmonotheismesepertipolytheisme, animisme, pantheismedan lain-lain tidakdiakuisebagai agama. Kedua, kepercayaan yang tidakmemilikihukum, nabidankitabsuci yang jelastidakdapatdisebutsebagai agama. Padahalapa yang dikatakansebagaihukum, nabidankitabsuciadalahsangat debatable, yaitutentanghukum yang sepertiapa yang dapatdianggapsebagaihukum agama; siapasaja yang dapatdikatakansebagainabidanmanuskripmanasaja yang dapatdikatakansebagaikitabsuci yang diakuiolehsebuahkelompok agama, tidakdiakuibahkandianggapsebagaipenyimpanganolehkelompok agama lainnya. Agama dalamkerangkasosiologis Emile Durkheim mendefenisikan agama sebagaisebauh system terpadudarikepercayaandanpraktik-praktik yang berhubungandenganhal-hal yang sacral (Durkheim 2003). Hal sacral dibedakandarihal profane. Sacral adalahahal-hal yang berhubungandengankekuatansupranatural, sementara profane adalahhal-hal yang berkaitandengankehidupanduniawi. Menegaskanrumusanitu, Ronald Johnstonemendefenisikan agama sebagai system kepercayaandanpraktekketikasekelompok orang merumuskandanmeresponapa yang merekarasakansebagaisesuatu yang sucidanbiasanyabersifatsupranatural (Johnstone 1997: 13). Dalampenjelasannyalebihlanjutiamenggambarkantentang lima karakteristikdasardariapa yang disebutsebagai agama. Pertama, agama merupakanfenomenakelompok. Kedua, agama berkaitandengan yang sacral dansupranatural. Ketiga, agama berhubungandenganbody of beliefs atausemestakeyakinan. Keempat, agama merupakanseperangkatpraktekdan, kelima, agama berhubungandengankewajiban-kewajiban moral ataumoral prescription (Jhonstone 1997). Cara pandangsosiologisinitentunyasangatberbedadengancarapandangteologis-politis. Dalamperspektifteologis-politis, adanyaklaim-klaimtentangkebenarantidakdapatdihindari. Hal inikarenasetiap agama memilikitujuan-tujuan yang hendakdicapaidalamkehidupan di duniaini, termasukmenciptakansebuahmasyarakat ideal menurutkacamatamasing-masing. Tujuan-tujuanitubisasejalannamuntidakjarangsangatberbedasatusama lain. Untukmenjadikancita-citaituriil, kelompok-kelompok agama melakukanberbagaitindakanpolitis. Sosiologijustruinginmelihatsemuagejalaini. Dalamhaliniposisisosiologadalahmengamatiapa yang terjadidalammasyarakat, misalnyatentangkelompokapasaja yang ada, klain-klaimkebenarankelompok, tindakan-tindakanpolitis yang dijalankankelompokuntukmencapaitujuannyasertapolarelasiantarkelompok-kelompokitu.
MENJADI INDONESIA YANG MULTIRELIJIUS Sejarahperjumpaan agama-agama di Indonesia • Indonesia yang multirelijiustidakterbentukdalamwaktu yang singkat. Jauhsebelumdatangnya agama-agama besarkenusantara, telahtumbuhberbagai system kepercayaan di Indonesia. System kepercayaankunoituterdapatdalambeberapakebudayaantuasepertiJawa, Sunda, Melayu, Dayak, Minang, Bugis, Bali, Sasak, Badui, Nias, dansebagainya. System-sistemkepercayaankunoaslinusantarahinggasaatinimasihdapatditelusurijejaknyapadasuku-sukutertentu, sepertiKejawendanWiwitan di Jawa, Kaharingan di Kalimantan, WetuTelu di Lombok, Kakehan di Maluku, danmasihbanyaklagi. Sebagiankepercayaan-kepercayaanitutermasukdalamkategori animism danpantheisme. • HinduismedanBudhismemerupakankedua agama pertama yang menanamkanajarannya di Indonesia. Sejarawanmencatat, bahwapadaabad ke-7 terdaptatsatukerajaanbesar di Indonesia bernamaSriwijaya yang merupakankerajaanBudhaterbesar di Asia padaabadtersebut. Sementaraitu, bukti-buktisejarahmasuknya agama Hindu di Indonesia padaabad ke-8 masihdapatditemukansaatini, yaituberupaderetancandi-candimegah di sepanjangpulauJawa. Kedua agama inihadirdanterimaolehmasyarakat Indonesia danmemaduakannyadengan unsure-unsurbudayaasli. • Hinggaakhirabad ke-12, wajahkeagamaan di Indonesia masihdiwarnaiolehHinduisme, Budhisme, kepercayaanaslidanperpaduandiantara agama-agama itu. Wajahinisecarabertahapberubahsetelahkedatangan Islam pertama kali di nusantarapadaabad ke-13.
Sinkretismeataulokalisasi agama? Dalamsetiapperjumpaanitu, setiapbudayaberinteraksidenganbudaya yang telahterlebihdahuluada. Hampirsetiapbudayakemudianditerimadenganbaik di nusantara. Persinggunganbudayaitusalingmengisidanmenumbuhkansehinggamenghasilkanperubahan-perubahandanwarna-warnatertentu. Secarasepintas, lalutimbulanggapanbahwanusantaramerupakanlahan yang suburbagiberkembangnyasinkretisme agama. Sinkretisme agama diartikansebagaipercampuranduaataulebih system kepercayaankeagamaandalamsebuah system baru. Lokalisasiterjaditatkalabudaya local menerimapengaruhluar, menyerapdanmenyatakankembali unsure-unsurasingitudengancaramenempanyahinggasesuaidenganpandanganhidupmasyarakat local danmengambilnyasebagaibagiandaribudayanya. Dalamilustrasinya, Kejawenmerupakansuatubentukkeberhasilan orang Jawadalamupayalokalisasibeberapagelombangkebudayaanasing yang menghasilkansebuahfalsafahdancarahiduptersendiri. DalamKejawen, teramusecaraapikberbagai unsure animism, hinduisme, budhisme, Islam dan unsure lain yang bersifatteosofidan non-teistik. NamundalamKejawenterdapatpenekanan yang mendasarpadakeunikandankekhasanpemikiranJawadengan rasa, Ilham, wahyudanintuisilebihdihargaisebagaijalanmenujukebenarandaripadapemikiran-pemikirandogmatis (Mulder 1999).
Kompleksitasdalamheterogenitas Kini, walaupundikenalsebagainegaradenganpemeluk Islam mayoritas, Indonesia tetapmemilikiheterogenitas agama yang tinggi. MenurutSensusPenduduk yang dilakukan Biro PusatStatistik (BPS) tahun 2000, jumlahpemelukislamsebesar 88,22 persendariseluruhpopulasi (Tabel 14). Dengan total populasimencapailebihdari 201 jutajiwa, Indonesia sekaligusdikenalsebagainegaradenganjumlahpemeluk Islam terbesar. Semntaraitu, perenstasepemeluk agama-agama lainnyajauhlebihkecildanbervariasi. ProtestandanKatolik yang digolongkandalamsatukategorisebagai “Kristen”, tercatatmemilikipengikutsebesar 8,92 persen. Jumlahpemeluk Hindu 1,81 persen, Budha 0,84 persendan 0,20 persenlainnyamasukdalamkategori “Lainnya”. Yang termasukdalamkategoriiniadalah para penganutberbagai agama local sertapemeluk agama lainya yang tidakdiakuisebagai agama resminegara. Heterogenitasagama yang tinggi di Indonesia ternyatatidakhanyaberkaitandenganvarian agama, namunjugamenyangkutkeragamanaliran/sekte/denominasidalamsebuah agama. Wajah Islam di Indonesia misalnyasangatbervariasi. Memangseringdinyatakanbahwaaliran Islam yang berkembang di sebagianbesarwilayah Indonesia adalahsunni.Namunpadarealitasnya, kitajugadapatmenjumpaialiran Islam lainnya. Keberagamanalirandalam Islam inijugaterlihatdenganbertumbuhnyaberbagaiorganisasi Islam di nusantara. Duaorganisasi Islam yang besarantar lain NahdatulUlamadanMuhammadyah. Keanekaragamandi antara agama-agama minoritastidakhanyaterdapatdalamprotestantisme, namunjuga yang terdapatdalamBudhisme di Indonesia. Walubisebagaiorganisasi yang mempersatukanaliran-aliranBudha di Indonesia mencatatbahwaterdapattigasanghasertatujuhorganisasiperwakilanaliranBudhalainnya yang menjadianggotaresminya. KeragamanjugadijumpaidalamHinduisme di Indonesia. Walaupun Hindu Dharma di Bali merupakankelompokterbesar, namunterdapat pula ragamkelompok Hindu lainnya. Sementaraitu, keragamanpadakelompok-kelompok agama local jauhlebihbesarlagi. Pertumbuhanberbagaikelompokbarubahkansemakinmenambahkeragamankelompok agama local itu.
RELASI SOSIAL ANTAR KELOMPOK AGAMA DARI MASA KE MASA Era kerajaan: agama dinasti Struktursocial masyarakat Indonesia pada era kerajaanadalahgambarandarisebuahmasyarakatagraris-feodalis. Padamasaini, kerajaan-kerajaanbesardankeciltersebuthampir di seluruhwilayahnusantara. Secaraumummasyarakatdigolonganmenjadidua, yaitupertamaadalah para elite penguasa yang terdiridari raja-raja, keluarga raja serta para abdi raja, dankeduaadalahrakyatjelata. Pusat-pusatkekuasaanterkonsentrasi di tangan raja-raja yang mengandalikanhampirseluruhbidangkehidupan social politikbudayamasyarakat, termasukdalamkehidupan social politikbudayamasyarakat, termasukdalamkehidupankeagamaan. Akibatkuatnyakekuasaankerajaanitu, khususnyapadamasakerajaanpra-islam, agama cenderungdikaitkandenganpolitikdanlegitimasidinasti (Hefner 2001b). HinduismedanBudhaisme di Indonesia padamasaitumerupakan agama negaradanbukan agama rakyat, memilikicoraktatacarapemujaan yang kuat. Dengandemikian, bangunankeagamaanmasyarakatsangatmudahhancurmengikutipasang-surutkekuasaan raja-raja. Pada era masuknyaislam di nusantara, banyak raja-raja menjadipengikutislamkarenakeinginanuntukmasukdalamjaringanperdagangan Islam (Reid 1988). Perpindahan agama para raja itudiikutiolehperpindahan agama golonganrakyatjelatakarenaperintah raja ataukarenakesetiaanpada raja.
Pra-kolonial: agama dalamkompetisiperdagangan Padamasaberikutnya, polarelasikonfliktualantarapemeluk agama yang berbedakeyakinaniniterusberlanjut. Tidakhanyamelibatkankaummuslimortodoksdankaumabangan, relasikonfliktual pun terjadiantarapengikutmuslimdengankelompok-kelompok agama baru yang mulaitumbuhakibatdaritidakmeratanyaislamisasi di nusantara. Indonesia bagianTimur, pedalaman Kalimantan dandatarantinggi di Sumatra adalahwilayah-wilayah yang tidakterjangkaupenyebaran Islam. KedatanganbangsaSpanyol, Portugis, danterakhirBelanda di perairannusantara yang awalnyadimaksudkanuntukperdagangandanselanjutnyamembawasertamisipenyebaran agama, sangatdiuntungkandengansituasiitu. Misipenyebaran agama kristiani (KatolikdanProtestan) kewilayah-wilayahpedalaman yang sebagianbesarpenduduknyamasihmenganut agama aslimencapaisuksesbesar. MeluasnyaperdaganganEropa di nusantara yang disertaidenganmenyebarnyakriatianitasmencemaskansebagianpengikutislam. Kecemasanituterutamadisebabkanoleh maneuver-manuver yang dilakukanpedagang-pedagangEropauntukmenguasaiperdagangandenganmemotongjalur-jalurperdagangan Islam danmerebutperdaganganrempah-rempah yang sangatmenguntungkan. Kecerdikanpedagang-pedagangEropauntukbekerjasamadenganpenguasasetempatadalahkuncikeberhasilanperdaganganmereka. Disinilahpersinggunganrelasikonfliktual Islam-Kristen berawal di nusantara.
Kolonial: dualismepolitik agama PadamasakolonialisasiBelanda, struktur social masyarakatmengalamiperubahan. Seiringdenganhilangnyakekuasaan raja-raja karenapenundukanpenjajah, pemerintah colonial memilikikekuasaan yang besarterhadapkaumpribumi. Terdapatdualismepolitik colonial berkaitandengan agama. Di satusisi, secara formal, menyatakanbersikapnetraldantidakikutcampurdenganmasalah-masalah yang menyagkutdengan agama. Hal inidiaturdalamPeraturanPemerintah(Regeeringsreglement)artikel 119 tahun 1854 yang menyatakanbahwapemerintahmengakuikemerdekaan agama dansikapnetralterhadapnya, kecualibilapraktek agama berlawanandenganhukum yang berlakudanmerusakketenangandanketentraman(rust en orde) (Saidi 2004). Namun di sisi lain, pemerintah colonial mengeluarkankebijakandiksriminatifberupapengkelasan social. Dalampengkelasanitu, kaumpribumi yang kebanyakanmuslimberadadalamkelas paling bawah, golonganTimurAsingberadadalamkelasdua, sementarakelasteratasadalahmerekasendiri, yaitu orang-orang Eropa. Dampakdaripengekelasan social sangatdirasakanterutamaolehpedagang-pedagangpribumimuslim. Merekasemakinsulitmelakukanperdagangankarenaditutupnyaakses-aksesperdaganganbagimereka. Sementara, pedagang-pedagangketurunanTionghoasangatdiuntungkanolehkebijakanini. Berbagaikemudahandanprioritasdiberikankepadamerekasehinggakondisipendudukpribumisemakinterpuruk.
Pra-kemerdekaan: ideologisasiagama Memasukitahun 1900-an, setelahlebihdari 300 tahunBelandamenjajah Indonesia, gerakan-gerakannasionalis yang bertujuanmemerdekakan Indonesia mulaibermunculan. Menyebarkan ideology sosialismedankomunisme di duniapadamasaitusebagaiideologinpembebasan, turutmempengaruhigerakan-gerakantersebut. Padamasaitu, di kalanganpribumitelahberkembangtigapandangan yang berbeda. Pertamaadalahmereka yang mengedepankannasionalismekebangsaan (Indonesia sebagaisatubangsa); keduakelompok-kelompok yang berkiblatpadakomunismedanketigakelompok-kelompok yang lebihmengedepankan Islam. Padamasa-masaselanjutnya, perbedaantigapandanganideologisinimenjadikrusialdalammendorongterciptanyarelasi-relasikonfliktualantarkelompok. Tahun 1908, gerakannasionalispribumiBoedhiOetomomemproklamirkandiri, disusuldenganterbentuknyaSerikat Islam (SI) tahun 1912, yang merupakangerakannasionalispribumimuslim. Tahun 1920, partaikomunis Indonesia (PKI) berdiridandisusuldenganberdirinyapartaiNasional Indonesia (PNI) padatahun 1927. Setelahberaliansidenganserekatislam, PNI semakinmendapatdukungan yang luasdarikalanganpribumi. Pemimpin PNI Soekarnokemudianmemainkanperananpentingdalammerealisasikankemerdekaan Indonesia (Bertrand 2004). Masamenjelangkemerdekaanmerupakantitikpentingbagikelompok-kelompoknasionalisdankeagamaandalammemperjuangkanideologinya. KeteganganmeningkatsetelahSoekarnomembacakanpandangannyatentangdasarfilosofiskemerdekaan Indonesia padatanggal 1 Juni 1945. Kelimadasaritudinamakandenganpancasila yang terdiridari lima prinsip, yaitu (1) nasionalisme, persatuandalamsatubangsa; (2) internasionalismeatauhumanitarianisme; (3) pemerintahan yang representative; (4) kesejahteraandankeadilan social; (5) percayakepadaTuhan. Rumusaninitidakditerimaolehsebagianpemimpinmuslim yang selainmenghendakireferensieksplisitdari Islam dalamkonstitusinegara. Selainmengusulkanmemindahkanprinsipkelima, percayakepadaTuhan yang MahaEsa, menjadiprinsip yang pertama, merekamengusulkanuntukmenambahkankalimatdalamprinsippertamamenjadi “PercayakepadaTuhandengankewajibanmenjalankansyariat Islam bagipemeluk-pemeluknya”. UsulaninidikenaldengannamaPiagam Jakarta (Bertrand 2004). UsulanPiagam Jakarta segeramenimbulkan Pro danKontra.
Paska- kemerdekaan: agama politik BuntutdaripengabaianPiagam Jakarta terusberlanjutpadamasasetelahkemerdekaan. Sebagianpemimpin Islam mendesakuntukKementerian Agama. Padaawalkemerdekaan, dukungan yang besardariumat Islam sangatdibutuhkanolehpemerintahanbaru. Penolakanterhadapusulaninidikhwatirkanakansemakinmengecewakankelompok-kelompokagamisdandapatberakhirdenganperpecahan. Maka, tanggal 3 Januari 1946, kabinetSyahrirmemutuskanuntukmemberikankonsesibagipembentukanKementerian agama. Padaawalnya, semuaurusanKementerian agama hanyatertujupadamasalahkeagamaan Islam, namunbelakangan, terdapat pula seksi-seksikeagamaan lain seperti Kristen Protestan, Katolik, Hindu danBudha. Padamasaselanjutnya, kedudukandanperanKementerian Agama sangat vital dalamperumusankebijakan yang menyangkut agama. Beberapatugaspenting yang dikerjakanolehKementerian Agama antara lain pengaturanwilayahpenyebaran agama, bantuanasinguntukmendukungpenyebaran agama danizinpendiriantempatibadah yang seringmenjadipemicuketeganganantarkelompok agama (Saidi 2004: 56-57).
OrdeBaru: politisasiagama Denganmeredanyahirukpikuk PKI, Indonesia memasukibabakperpolitikanbarudenganterciptanyastabilitaspolitik. PresidenSoehartomenerapkankebijakan-kebijakanrepresif demi tercapainyastabilitaspolitikitu. Untukmenjambatanipertentangan yang masihtersisaantarakelompokagamisdengankelompoknasionalis, Soehartomemilihjalanpolitik lain denganseakan-akantidakmemihakpadasalahsatukelompokdanmembentukpartaipolitiktersendiriuntukmengamankankekuasannya, yaituGolonganKarya (Golkar). Partai-partaipolitiklainnyadileburdalamduapartaisaja, yaitupartaiPersatuan Pembangunan (PPP) yang mewakilikekuatanagamis (Islam) danPartaiDemokrasi Indonesia yang mewakilikekuatannasionalis. Tambahanlainnya, untukmengontrolstabilitaspolitikdanperpecahankelompok, selamamasapemerintahannya, Soehartomenerapkanpolitik SARA (Suku, Agama, Ras, Antargolongan) yang intinyamelarangkegiatan-kegiatanpolitik yang memobilisasisentimendanperbedaansuku, agama, rasdangolongan. SementaraituloyalitasmiliterkepadaSoehartoditingkatkan, denganmemberikankekuasaanbesarbagimiliterberupapenerapanDwifungsi ABRI sertapemberiankonsesi-konsesilainnya.
Reformasi: konflik, euphoria dan kebangkitan agama Jatuhnya Soeharto pada 28 Mei 1998 membawa Indonesia pada era baru yang dikatakan sebagai era reformasi. Pada masa peralihan kekuasaan itu, masyarakat dihadapkan pada peristiwa-peristiwa terorisme; berlanjutnya konflik-konflik horizontal yang mengobarkan sentimen etnis-keagamaan dan tindakan-tindakan anarkis lainnya. Eskalasi awal di mulai dengan pecahnya konflik antar gank (Ambon-Kristen versus pribumi-muslim) di daerah Ketang-Jakarta, 22 November 1998. Disusul kemudian dengan kerusuhan di Kupang, Nusa Tenggara Timur (pribumi-Kristen versus pendatang muslim) pada 30 November pada tahun yang sama. Ketakutan bahwa kedua konflik ini akan memicu munculnya konflik dengan nuansa keagamaan yang lebih besar menjadi kenyataan. Bulan Desember 1998, untuk pertama kalinya kerusuhan masih yang kental dengan warna keagamaan terjadi di kota Poso, Sulawesi Tengah. Selanjutnya pada Januari 1999, kerusuhan meledak di kota Ambon dan semenjak itu menyebar secara cepat ke hampir seluruh wilayah provinsi Maluku dan Maluku Utara. Insiden demi insiden kekerasan terus berlangsung di Maluku hingga pertengahan 2002. Lalu kembali terjadi pada April 2004 saat kelompok Republik Maluku Selatan (RMS) merayakan ulang tahunnya. Sementara di Poso, walaupun pemerintah telah mengupayakan perjanjian damai Malino kekarasan terus berlangsung dengan akar permasalahan yang semakin rumit. Terdapat kompleksitas faktor struktural, akselerator maupun pemicu (rigger) yang turut melatarbelakangi konflik Maluku, dibandingkan hanya mengatakannya secara sederhana sebagai konflik agama. Kompleksitas faktor stuktural itu antara lain letak geografis yang strategis; demografis, yaitu segregasi tempat tinggal dan perimbangan jumlah pemeluk Kristen dan Islam; historis seperti sejarah konflik antar-kelompok yang dikondisikan sejak zaman kolonial; ekonomi, misalnya pembagian kerja (devision of labor) antara etnis pendatang dan pribumi; politik, seperti perubahan perimbangan kelompok dalam tubuh birokrasi pemerintahan sejak era 1990-an; sosial, seperti kuatnya kelompok dan jaringan primodial yang berbasis agama dan etnis; budaya, yaitu melemahnya pranata adat dan mekanisme penyelesaian adat; dan faktor kemandekan hukum.
TOLERANSI ANTAR KELOMPOK AGAMA DI PERSIMPANGAN JALAN Penelitian tentang kehidupan antar umat beragama di Indonesia pernah dilakukan beberapa lembaga, diantaranya Center For The Study Of Development and Demmoracy (CESDA) di Jakarta pada Desember 1996 (CESDA 1996). CESDA melakukan penelitian untuk melihat kerukunan antarumat beragama di Jakarta, Surabaya, dan Medan. Dari ketiga kota itu, CESDA menjaring 1.000 responden (500 wanita dan 500 pria) yang berusia 18 tahun ke atas. Dari segi agama, responden terdiri dari berbagai agama. Data dihimpun melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner. Menurut survei itu, walau tingkat kerukunan antarumat beragama di Indonesia, setidaknya di Jakarta, Medan, dan Surabaya, sebetulnya relatif namun ternyata terdapat beberapa faktor yang potensial menyulut konflik antarumat beragama . misalnya 95,6 persen responden tidak atau kurang bisa menerima adanya kunjungan ke rumah-rumah dengan maksud mempengaruhi orang untuk berpindah agama; 63,4 persen keberatan jika rumah-rumah di lingkungan permukiman mereka secara rutin dijadikan tempat ibadah oleh penganut agama lain. Dan 66,8 persen kurang atau tak bisa menerima pembangunan rumah ibadah di lingkungan permukiman yang mayoritas penduduknya menganut agama lain. Penelitian CESDA juga menyimpulkan bahwa tingginya tingkat kerukunan antarumat bergama berlaku di wilayah hubungan sosial-kemasyarakatan, namun bila menyangkut kegiatan yang berhubungan dengan ibadah dan penyiaran agama, potensi konflik cukup tinggi.
KELOMPOK AGAMA DAN UPAYA INTEGRASI Terlepas dari kenyataan dominannya relasi konfliktual dalam hubungan antar kelompok agama di Indonesia, tumbuh banyak kelompok yang mampu merumuskan visi ke depan bagi terciptanya hubungan antar kelompok agama yang lebihyang lebih baik antar kelompok agama. Di Ambon misalnya, tradisi pela dan gandong yang ternyata efektif bagi upaya rekonsilisasi dan pencegahan konflik, mulai dihidupkan dan diperkuat kembali. Pela adalah bentuk perjanjian antar negeri (semacam desa di Jawa), baik yang ada dalam satu pulau maupun yang berbeda pulau dan bisa sama atau berbeda agama. Dua atau lebih negeri dapat memiliki hubungan pela bila terdapat sejarah pertemuan antar negeri di masa lampau yang mengakibatkan diangkatnya sumpah pela oleh kedua negeri. Sedang gandong merupakan hubungan antar negri yang terbangun karena kepercayaan bahwa mereka berasal dari suatu nenek moyang. Pada masa pasca-konflik dapat dihindari (Kusumadewi 2007b).
MENUJU INTEGRITAS SOSIAL MELALUI REKONSTRUKSI KULTURURAL Kita telah melihat gambaran relasi antar kelompok agama yang muram di satu sisi namun menyimpan harpan di sisi lain. Namun, tampaknya tak bisa disangkal bahwa pertentangan antar kelompok agama masih terus menjadi momok yang menakutkan di negeri ini. Agama juga telah kendaraan politik kaum elite sehingga agama, politik dan kekuasaan terus berkembang sehingga kelompok-kelompok agama berlomba-lomba untuk mendekatkan diri dengan sumber-sumber kekuasaan dari masa ke masa. Dalam perlombaan itu, munculah konflik. Konflik yang membawa isu agama bahkan sengaja diciptakan untuk meraih kekuasaan. Sejak masa reformasi, pertentangan antar kelompok aliran yang kembali hadir diruang publik menambah carut marutnya jalinan relasi konfliktual yang menyejarah itu. Eksklusivisme, kompetisi dan saling curiga masih menjadi kultur dominan dalam relasi antar kelompok agama. Hal lain yang tak salah serius adalah dominasi antar kelompok yang menghantarkan pada praktek-praktek diskriminasi dan eksklusi sosial. Sehingga, tidaklah berlebihan untuk mengatakan bahwa pada umumnya, agama belum dapat dipandang sebagai kekuatan pemersatu bagi masyarakat. Dalam kerangka ini, tugas negara menjadi sangat crucial. Pertama, negara harus menjalankan peran edukasi kepada warganegaranya sehingga setiap warganegara memiliki kesadaran multikultural yang cukup bagi penciptaan atmosfir kehidupan bersama yang multikultural itu, kedua, negara harus dapat menjaga atmosfir itu dan memastikan bahwa warganegaranya mendapatkan perlakuan yang adil sesuai dengan hak-haknya, tanpa adanya dominasi, diskriminasi dan eksklusi dari kolompok tertentu terhadap individu dan kelompok. Dengan demikian, bila negara mampu melakukan dua peran tersebut dengan baik, maka bukan mustahil, pada masa yang akan datang, masyarakat kita dapat menjadi nasionalis dan integrasi sosial serta nasional dapat terwujud.
TITI & HOT KELOMPOK 8 MENGUCAPKAN TERIMAKASIH KEPADA DOSEN PENGAMPU KAMI DAN KAWAN-KAWAN FISIP UMA 15 ( ILMU PEMERINTAHAN & ADMINISTRASI PUBLIK).