150 likes | 468 Views
HUBUNGAN ANTARA NORMA PERKAWINAN islam DENGAN SISTEM KEKELUARGAAN islam.
E N D
HUBUNGAN ANTARA NORMA PERKAWINAN islam DENGAN SISTEM KEKELUARGAAN islam
Ketentuan-ketentuan hukum perkawinan menurut hukum Islam terdapat dalam ayat-ayat pada beberapa surat dalam al-Qur’an an as-Sunnah yang sudah dirumuskan dalam beberapa pasal Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Kompilasi Hukum Islam (Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991). Ketentuan-ketentuan yang menunjukkan sistem kekeluargaan Islam terdapat dalam ketentuan larangan perkawinan berdasarkan hubungan darah, ketentuan mahar, dan ketentuan-ketentuan hukum kewarisan. • Ketentuan-ketentuan larangan perkawinan berdasarkan hubungan darah menunjukkan bentuk sistem kekeluargaan menurut Islam, yaitu terdapat dalam surah an-Nisa ayat 22, ayat 23.
Laranganperkawinandenganmantanisteri ayah kandungterdapatdalaman-Nisaayat 22, bahwa, “Dan janganlahkamukawiniwanita-wanita yang telahdikawiniolehayahmu, terkecualipadamasa yang lampau. Sesungguhnyaperbuatanituamatkejidandibenci Allah danseburuk-burukjalan (yang ditempuh).” • Meskipunlaranganperkawinanituberdasarkanhubungansemenda, yaituhubunganseoranglaki-lakimenikahiibutirinya, namunlaranganituberkaitandenganadanyahubungandarah yang sangatdekatantaralaki-lakitersebutdengan ayah kandungnya yang pernahmenikahiibutirinyatersebut.
Laranganperkawinanantaraorang-orang yang mempunyaihubungandarah, hubungansesusuan, danhubungansemendajugadiaturdalaman-Nisaayat 23, bahwa, “Diharamkanataskamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan; saudara-saudarabapakmua yang perempuan; saudara-saudaraibumu yang perempuan; anak-anakperempuandarisaudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anakperempuandarisaudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusukankamu; saudaraperempuansepersusuan; ibu-ibuisterimu (mertua); anak-anakisterimu yang dalampemeliharaanmudariisteri yang telahkamucampuri, tetapijikakamubelumcampurdenganisterimuitu (dansudahkamuceraikan), makatidakberdosakamumengawininya; (dandiharamkanbagimu) isteri-isterianakkandungmu (menantu); danmenghimpunkan (dalamperkawinan) duaperempuan yang bersaudara, kecuali yang telahterjadipadamasalampau; sedungguhnya Allah MahaPengampunlagiMahaPenyanyang.”
Larangan perkawinan karena hubungan darah terbatas pada hubungan darah antara orang-orang yang disebutkan dalam surah an-Nisa ayat 23 tersebut. Hal itu dipertegas dengan adanya perkawinan antara puteri Rasullullah saw, Siti Fatimah binti Muhammad dengan Sayyidina Ali bin Abi Thalib bin Muthalib, yaitu saudara sepupu Rasullullah dari garis laki-laki, yaitu ayah Rasullullah saw, Abdullah bin Muthalib. Ketentuan-ketentuan tersebut lebih diperjelas dalam ketentuan-ketentuan hukum kewarisan yang menunjukkan bentuk masyarakat hukum yang dikehendaki oleh syari’ah Islam. • Mahar yang ditentuakan dalam surah an-Nisa ayat 4 dan ayat 24, surah al-Baqarah ayat 236, ayat 237 juga menunjukkan bentuk masyarakat yang dikehendaki Islam. Hal ini dapat dilihat dari jujur (semacam mahar) pada masyarakat patrilineal yang memiliki fungsi berbeda dengan mahar menurut ajaran Islam.
Seperti telah diketahui, pemberian jujur dari keluarga, kerabat, dan masyarakat dari pihak laki-laki (suami) kepada keluarga, kerabat, dan masyarakat pihak perempuan (isteri) adalah berfungsi religiomagis-teritorial untuk mempertahankan keseimbangan (harmonie; evenwicht) pada masyarakat bersangkutan, sehubungan dengan berpindahnya salah seorang anggotanya, yaitu perempuan yang menjadi isteri dari seorang laki-laki yang menjadi anggota masyarakat pemberi jujur, sebagai akibat dari perkawinan yang exogam, patrilokal, dan asimetris, seperti di Batak dan Bali. • Sedangkan menurut hukum Islam, pemberian mahar bersifat individual, yaitu berupa pembayaran yang wajib dilakukan oleh calon suami (suami) kepada calon isteri (isteri) secara individual sebagaimana diatur dalam surah an-Nisa ayat 4 jo. Ayat 24 jo. Surah al-Baqarah ayat 236 jo. Ayat 237, yang terlepas dari fungsi kekeluargaan, kekerabatan, maupun kemasyarakatan.
An-Nisaayat 4 menentukan, bahwa: “Berikanlahmaskawin (mahar) kepadawanita (yang kamunikahi) sebagaipemberianpenuhkerelaan. Kemudianjikamerekamenyerahkankepadakamusebagiandarimaskawinitudengansenanghati, makamakanlah (ambillah) pemberianitu (sebagaimakanan) yang sedaplagibaikakibatnya.” • Surahan-Nisaayat 24 memperjelasayat 4, bahwa, “…Dan dihalalkanbagikamuselain yang demikian (yaitu)mencariisteri-isteridenganhartamuuntukdikawinibukanuntukberzina. Makaisteri-isteri yang telahkamuni’mati (campuri) diantaramereka, berikanlahkepadamerekamaharnya (dengansempurna), sebagaisuatukewajiban; dantiadalahmengapabagikamuterhadapsesuatu yang kamutelahsalingmerelakannya, sesudahmenentukanmaharitu. Sesungguhnya Allah MahaMengetahuilagiMahaBijaksana.
Dalamkeduaayattersebutsecarajelasditentukanbahwapemberianmaharitumerupakankewajibansuamikepadaisterisecara individual dandapatdisepakatibentuk, jenis, danjumlahnya. Pemberianmahar yang bersifat individual itudikemukakan pula dalamsurahal-Baqarahayat 236 danayat 237 yang menetapkanbahawa, “Tidakadakewajibanmembayar (mahar) ataskamu, jikakamumenceraikanisteri-isterimusebelumkamubercampurdenganmerekadansebelumkamumenentukanmaharnya. Dan hendaklahkamuberikansuatumut’ah(pemberian) kepadamereka. Orang yang mampumenurutkemampuannyadanorangmiskinmenurutkemampuannya (pula), yaitupemberianmenurut yang patut. Yang demikianitumerupakanketentuanbagiorang-orang yang berbuatkebajikan.
(237) Jikakamumenceraikanisteri-isterimusebelumkamubercampurdenganmereka, padahalsesungguhnyakamusudahmenentukanmaharnya, makabayarlahseperduadarimahar yang telahkamutentukanitu, kecualijikaisteri-isterimuitumema’afkanataudima’afkanolehorang yang memegangikatannikah, danpema’afankamuitulebihdekatkepadatakwa. Dan janganlahkamumelupakankeutamaandiantarakamu. Sesungguhnya Allah MahaMelihatsegalaapa yang kamukerjakan.” • Surahal-Baqarahayat 236 danayat 237 tersebutsalingmenunjangdansalingmenjelaskantentangfungsimaharmenurutajaran Islam, yaitubersifat individual, yang sangatberbedadenganpemberianjujurpadamasyarakatpatrilineal yang besifatreligio-magis-teritorialdansosial.
Bentuk masyarakat menurut ajaran Islam, selain dapat diketahui dari ketentuan-ketentuan larangan hukum perkawinan, juga terkait erat dengan ketentuan-ketentuan hukum kewarisan terdapat dalam surah an-Nisa ayat 7, ayat 11, ayat 12, ayat 33, ayat 176. Dalam surah an-Nisa ayat 7 ditentukan bahwa, bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapaknya dan kerabatnya, dan bagi orang perempuan juga ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapaknya dan kerabatnya baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan. Jadi sangat jelas, bahwa sistem hukum kewarisan dalam hukum Islam adalah bilateral.
Hal ini berbeda dengan hukum kewarisan dalam masyarakat matrilineal di Minangkabau. Meskipun saat ini sudah terdapat perubahan ketentuan pada masyarakat Minangkabau, bahwa terhadap harta pusaka rendah berlaku hukum kewarisan Islam, tetapi terhadap harta pusaka tinggi tetap berlaku hukum kewarisan adat setempat, yaitu, harta tersebut diwarisi secara kolektif oleh anggota keluarga atau kerabat berdasarkan garis keturunan matrilineal, yaitu melalui garis keturunan perempuan. Jadi, terhadap harta pusaka tinggi ini, anak-anak kandung dari seorang ayah (laki-laki), baik laki-laki maupun perempuan, tidak dapat masuk dalam kelompok ahli waris secara kolektif yang berhak atas harta pusaka tinggi itu. Justru yang berhak masuk sebagai ahli waris secara kolektif itu adalah kemenekan-kemenakan dari seorang laki-laki atau ayah bersangkutan, yaitu anak-anak kandung dari saudara-saudara perempuan laki-laki atau ayah tersebut
Demikian pula pada masyarakat patrilineal di Batak, bahwa orang-orang yang berhak menjadi ahli waris adalah hanya keturunan laki-laki dari laki-laki secara patrilineal, sedangkan perempuan, sebagai akibat perkawinan jujur yang menyebabkan ia berpindah dari kerabat ayahnya, maka ia tidak dapat menjadi ahli waris dari bapaknya, dan ia-pun bukan ahli waris dari suaminya. • Bentuk masyarakat yang dikehendaki al-Qur’an juga dapat diketahui melalui surah an-Nisa ayat 11 yang menentukan besar bagian harta warisan sebagai berikut:
“Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak laki-laki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan dua orang atau lebih, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi mereka masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam….”
Kemudian dalam surah an-Nisa ayat 12 juga lebih memperjelas bahwa hukum kewarisan Islam menghendaki masyarakat bilateral, melalui ketentuan hukum kewarisan bagi suami atau isteri yang berkedudukan sebagai ahli waris dari isterinya atau suaminya. Demikian pula saudara-saudara pewaris, baik saudara laki-laki maupun saudara perempuan, baik saudara kandung, saudara seayah, maupun saudara seibu dapat berkedudukan sebagai ahli waris berdasarkan surah an-Nisa ayat 12 jo. Ayat 176. Bahkan menurut Hazairin, keturunan ahli waris dapat berkedudukan sebagai ahli waris penganti (mawali) berdasarkan surah an-Nisa ayat 33, meskipun pendapat tersebut masih diperdebatkan oleh kalangan para ahli hukum Islam. Namun upaya tersebut membuahkan hasil dengan dirumuskannya ahli waris penganti dalam Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam.
Ketentuan-ketentuan larangan perkawinan berdasarkan hubungan darah, hubungan sesusuan, hubungan semenda, dan adanya perkawinan antara Sayyidina Ali bin Abi Thalib dengan Siti Fatimah al-Zahrah binti Muhammad sangat jelas bahwa perkawinan endogami dimungkinkan dengan batasan sebagaimana ditentukan dalam an-Nisa ayat 22 dan 23, yang menunjukkan sistem kekeluargaan yang dikehendaki al-Qur’an dan Sunah Rasullullah (syari’ah Islam) adalah bilateral. Selain itu, ayat-ayat kewarisan juga menunjukkan dengan jelas bahwa sistem kekeluargaan yang dikehendaki oleh Islam juga sistem kekeluargaan bilateral. Hal itu dapat dilihat dari kedudukan anak perempuan, anak laki-laki, ayah kandung pewaris, ibu kandung pewaris, dan isteri pewaris atau suami pewaris dapat bersama-sama berkedudukan sebagai ahli waris dalam waktu yang sama berdasarkan surah an-Nisa ayat 11 dan ayat 12.