E N D
BANJIRI Stok yang lebih besar dari kebutuhan, itulah banjir. Bentuknya macam-macam. Ada banjir duit, buat mereka yang rejekinya berlimpah ruah. Ada banjir hadiah, buat kepentingan promosi. Ada banjir barang, buat mendobrak harga pasar. Ada juga banjir darah, sebutan untuk peristiwa pembunuhan berdarah, juga sebutan saat hari kurban. Tapi banjir kali ini adalah peristiwa yang menimpa banyak pemukiman penduduk. Tidak hanya merisaukan tapi juga merugikan dan membuat orang kehilangan tempat tinggal mereka. Banjir di Jakarta, di Aceh dan di sepanjang sisi sungai Barito, air meluap menggenangi pemukiman penduduk, merobohkan rumah-rumah, menghanyutkan ternak dan berbagai harta benda dan kekayaan penduduk. Banjir macam ini memang berarti bencana. Banyak diantara penduduk yang kehilangan tempat tinggal berikut harta dan kekayaan yang ada di dalamnya. Sebagian ada yang bisa diselamatkan, namun jumlah yang hanyut dibawa banjir biasanya lebih besar/ banyak. Mungkin, harta dan kekayaan yang hilang masih bisa dicari lagi. Tapi bagaimana dengan mereka yang kehilangan nyawa? Anak yang kehilangan ayah, atau istri yang kehilangan suami, atau ibu yang kehilangan anaknya? Di beberapa kota-kota besar di Indonesia, luapan sungai menjadi salah satu penyebab terjadinya banjir. Sebagai jalur pembuangan air ke laut, ternyata mayoritas sungai-sungai yang ada sudah terlalu berat menahan beban. Di sisi kiri-kanannya banyak berdiri pemukinan penduduk, akibatnya permukaan sungai jadi menyempit dan semakin kecil di bagian muara sungai. Belum lagi sampah yang kian hari kian menggunung di sepanjang aliran sungai dan mengakibatkan pendangkalan dan penyumbatan. Akhirnya seringkali air meluap apalagi pada saat musim hujan. Peyebab lain, bumi kini hanya bisa sedikit sekali membantu mengatasi luapan air. Permukaan bumi telah ditutup semen di sana sini, banyak sekali ditancapkan gedung-gedung pencakar langit, pohon-pohon besar di wilayah atas juga sudah tumbang sehingga tidak mampu menahan arus air. Dan akhirnya jadilah banjir yang makin dahsyat dari tahun ke tahun. Jangan mencari kesalahan orang lain sebagai penyebab banjir. Teorinya sudah jelas, yakni keserakahan manusia merambah hutan-hutan, sungai-sungai, tanah-tanah bahkan mungkin udara. Jadi sebelum mencari solusi, sadarilah bahwa bencana banjir bukan karena apa-apa tetapi lebih dikarenakan oleh manusia sendiri. Astaghfirullah…
BANJIR II Dari tahun ke tahun banjir selalu saja datang di negeri ini (biasanya datang pada saat musim hujan). Namun ketika masuk musim kemarau, yang pasti kekeringan akan terjadi dan di sana sini orang akan kesulitan mendapatkan air bersih. Wajah Jakarta dan beberapa kota lain di Indonesia akan terus seperti itu. Tentu, kalau penanganannya tetap tidak tertanam muatan idealisme yang kuat. Ada dua tindakan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya banjir. Pertama, menjadikan sungai bebas dari berbagai beban hunian dan hambatan. Kedua memfungsikan kembali fungsi alam (khususnya hutan) di kawasan atas (hulu) sebagai daerah resapan air. Point pertama tentu bukan tanpa resiko. Karena dengan membebaskan sisi sungai dari susunan rumah-rumah tinggal penduduk berarti melenyapkan tempat tinggal mereka. Untuk itu diperlukan kesadaran bersama, diperlukan pengorbanan untuk kepentingan yang lebih besar lagi dari sekedar kepentingan pribadi. Point ke dua, menyangkut memfungsikan kawasan atas sebagai daerah serapan air. Ini juga berkaitan dengan kebijakan berbagai penggundulan kawasan puncak/ daerah pegunungan dan pembangunan villa-villa yang secara tidak langsung menjadi biang keladi terjadinya banjir.
BANJIR III Korban banjir sudah tak terhitung lagi, di daerah-daerah korban banjir ribuan penduduk kehilangan tempat tinggal. Mereka harus tinggal di kamp-kamp pengungsian. Tidak peduli itu di kota besar, pedesaan atau di daerah terpencil jika terkena musibah banjir keadaannya nyaris sama. Berita duka lanjutannya, mereka mulai terjangkit penyakit. Selain butuh pangan mereka juga butuh papan dan pengobatan. Bagi masyarakat yang tergugah, tak segan-segan mengulurkan tangannya memberi bantuan bagi saudaranya di tanah air yang terkena musibah. Badan-badan pengumpul dana pun muncul secara sukarela. Mulai jalur resmi (pemerintah) sampai pihak swasta mengumumkan kesiapan mereka untuk membantu menyalurkan beragam bentuk sumbangan yang siap mereka salurkan dari para donatur bagi korban banjir banjir. Mulai dari makanan, pengobatan sampai pada kebutuhan lain seperti selimut, tenda dan sebagainya. Anehnya, seringkali berita ironis muncul. Sumbangan yang terkumpul tidak tersalur secara efektif dan tepat tujuan bahkan ada yang masuk ke kantong pribadi atau golongan. Mereka yang menderita musibah banjir dan mereka yang telah mengulurkan bantuan laksana dua sisi yang tidak bisa menyatu. Entah di pos mana sampainya sumbangan itu, yang jelas korban banjir dan sumbangan yang disalurkan berada pada garis paralel. Tidak tersalurkannya sumbangan banjir secara efektif dan tepat sasaran memang menjadi sebuah berita lain dari seputar banjir. Sebuah penderitaan yang jauh lebih memprihatinkan dari sebuah bencana banjir, karena menyangkut masalah moral. Mereka mencari keuntungan di balik musibah orang lain. Mereka justru mengais untung di atas penderitaan orang lain. Mereka merampas dan memakan hak orang lain yang sedang terkapar oleh penderitaan. Ini tentunya kenyataan yang jauh lebih pahit dari sebuah bencana banjir.