260 likes | 849 Views
TEORI-TEORI POLITIK. Kultur dan Sosialisasi Politik Elit Politik Kelas. Kultur dan Sosialisasi Politik. Introduced by Gabriel A. Almond in his “Comparative Political System” in 1956.
E N D
TEORI-TEORI POLITIK Kultur dan Sosialisasi Politik Elit Politik Kelas
Kultur dan Sosialisasi Politik Introduced by Gabriel A. Almond in his “Comparative Political System” in 1956. Political Culture means (Almond): specifically political orientations---attitudes towards the political system and its various parts, and attitudes towards the role of the self in the system Means (Verba): the system of empirical beliefs, expressive symbols, and values which define the situation in which political action takes place. It provides the subjective orientation to politics”. Means (Lucien W. Pye): set of attitudes, beliefs and sentiments which give order and meaning to a political process and which provide the underlying assumptions and rules that govern behavior in the political system.
Almond’s Theory of Political Culture Originated from analytical elements from Parson and Shil Parson and Shil: 3 components of orientation towards object: cognitive (perception), cathectic (affective/feeling), evaluative (choice or judgment about the object). Sentiment as the most important aspect of evaluative orientation Objects of orientation (Parson and Shil): specific roles or structures (legislative bodies, executive or bureaucracies), incumbents of rules (such as monarchs, legislators and administrators), and particular public policies, decisions or enforcement of decisions. Political culture or civic culture (Almond and Verba): parochial, subject, participant Political culture (Almond and Verba) is a mix culture (parochial subject/negara terbelakang msy blm bersentuhan dg politik, parochial participant setengahnya sdh bersentuhan dg politik ex:papua dan jkt, subject participant, sadar politik)
Methodological Tools to Collect Data Data regarding orientation can be gathered through verbal response or observed behavioral patterns. The problem remains in linking orientation to behavior (since two are really distinct objects) Using cross cultural study method, improving the possibility to observe political culture among different communities.
Political Socialization Linking orientation and culture Is the process which inducts the individual into the political culture of shared orientations. Internalizing and patterning the body of orientations common to the community Shaping and transmitting a nation’s political culture Maintaining a political culture as well as transmitting from one generation to the next. Constituting the process of emotional learning and manifest political indoctrination Gradual learning of the norms, attitudes and behavior accepted and practiced by the ongoing political system Components of political socialization (Lasswell): who, learn, what from whom, under what circumstances, with what effect?
Agents of Political Socialization Family (child rearing system with political personality) School (norms and structure with political behavior) Adult Socialization (work situation, peer pressure, media, etc)
Teori Kelas Asumsi: stratifikasi masyarakatluas adalah realitas fundamental kehidupan sosial dan politik. Stratifikasi ini membentuk dasar penentu konflik dan perubahan. Kelas agregasi yang harus didefinisikan dalam hubungannya dengan satu sama lain, dan konflik merupakan ciri penting yang menandai hubungan ini Struktur atau pola hubungan antara kelas: piramida, hirarkis, tumpang tindih, timbal balik
Pandangan karl marx terhadap kelas Konsep kelas pada dasarnya didefinisikan dan ditentukan oleh hubungannya dengan alat-alat produksi dalam masyarakat. Sistem ekonomi adalah sistem utama bukan politik atau ideologi (economic determinan) Kelas menunjukkan konflik, ini adalah kekuatan pendorong perubahan dari waktu ke waktu Kritik terhadap teori ini: teori Marx tentang kelas kurang berlaku dalam masyarakat di mana basis kekuasaan lain yang lebih berpengaruh (agama, kekerabatan, keturunan, manipulasi pribadi, pendidikan tradisional, dll). Mobilitas atau gerakan antar-kelas juga diabaikan
Kelas, Status, Wewenang dan Power • Lloyd W. Wagner: kelas didefinisikan dengan status (tidak selalu didasarkan pada alasan ekonomi), berdasarkan orang masyarakat pikirkan atau katakan, tidak selalu atas dasar ekonomi. • Ralf Dahrendorf (Kelas dan Konflik dalam Masyarakat Industri): kewenangan sebagai hubungan yang sah dari superordination dan subordinasi. Kebutuhan Fungsional untuk stratifikasi didasarkan pada otoritas istirahat dan bukan pada keuntungan material. • Ralf Dahrendorf: otoritas adalah kekuasaan yang sah, posisi kepedulian sosial atau peran. Power hubungan faktual, otoritas adalah hubungan yang sah.Penekanan Power membawa dimensi sosial dan politik dari stratifikasi ke dalam analisis bersama pertimbangan ekonomi dan psikologis (seperti dalam konsep status),
Elite Bill and Hardgrave: attention upon the behavior of a relatively small number of political decision makers, rather than stratification (as in class approach). These small group of political decision makers are much more influential Other terms for political elites: rulers, bourgeoisie, ruling class, privileged class, superior class, etc. Key questions: (1) who rules societies, (2) what are the common characteristics, (3) how does this group maintain its position, (4) how does elite change? Proponents: Gaetano Mosca (the Political Class), Vilfredo Pareto (Governing Elite), Robert Michels (the Oligarchy) Method: observation
Elite Theory • Adalah teori yang menganggap kebijakan publik di suatu negara atau daerah dibuat oleh sekelompok elit (ruling elite). • Ruling elite adalah sekelompok elite di antara kaum elite-elite yang lain yang berkuasa menentukan arah kehidupan bangsa dan negara. • Berdasarkan nilai dan preferensi mereka, rakyat banyak (massa) tidak mempunyai akses dalam formulasi maupun implementasi kebijakan. • Elite berasal dari lapisan masyarakat dengan • tingkat sosial-ekonomi tinggi. • Elite mempengaruhi massa lebih banyak daripada massa mempengaruhi elite
Elite theory berdasarkan pada asumsi bahwa dalam negara yang bersangkutan, sistem pemerintahannya belum didukung oleh budaya politik yang demokratis. Secara formal mungkin sistem pemerintahannya adalah demokratis tetapi dalam realitas belum berfungsi dengan efektif Thomas Dye dan Harmon Ziegler (1970) mengatakan sebagai berikut:
Masyarakat terbagi dalam sekelompok kecil yang sangat berkuasa dan sekelompok lain yang tidak berdaya yang tergantung pada kemauan kelompok kecil sebagai ruling elite tersebut • Kelompok elit yang berkuasa ini berasal dari golongan menengah ke atas • Perpindahan dari kelompok non elit ke dalam kelompok elit sangat terbatas untuk menjaga stabilitas dan kelangsungan hidupnya. Hanya mereka yang sudah menerima basic elite consensus yang dapat diterima • Kebijakan publik dibuat untuk kepentingan ruling elite, dan tidak mencerminkan kebutuhan dan keinginan massa • Perubahan kebijakan publik hanya bersifat inkremental dan tidak revolusioner • Kelompok elit lebih banyak mempengaruhi massa, dari pada sebaliknya
Beberapa contoh ruling elite • Elite intelektual • Elite militer • Elite aktivis