1 / 1

Menyerang Pemerintah

Menyerang Pemerintah

Download Presentation

Menyerang Pemerintah

An Image/Link below is provided (as is) to download presentation Download Policy: Content on the Website is provided to you AS IS for your information and personal use and may not be sold / licensed / shared on other websites without getting consent from its author. Content is provided to you AS IS for your information and personal use only. Download presentation by click this link. While downloading, if for some reason you are not able to download a presentation, the publisher may have deleted the file from their server. During download, if you can't get a presentation, the file might be deleted by the publisher.

E N D

Presentation Transcript


  1. Menyerang Pemerintah Api konflik Ambon masih menyala. Letusan senapan dan ledakan bom, masih saja menyalak setiap saat. Ketegangan masih berlangsung terus. Rombongan Menko Polkam yang disertai beberapa pejabat tinggi TNI datang ke Maluku pada 25 Januari 2002. Bersama Menko Kesra, kedua menteri tersebut mengunjungi Desa Wayame, Kecamatan Baguala, Ambon. Mereka berdiskusi langsung dengan kelompok 20, sebuah kelompok yang terdiri dari 10 orang Muslim dan 10 orang Kristen, untuk merambah jalan damai. Keesokan harinya, Sabtu 26 Januari 2002, pagi-pagi benar, kedua Menko tersebut bertemu dengan Ketua DPRD Provinsi Maluku, Etty Sahuburua bersama unsur pimpinan DPRD lainnya. Semuanya dimaksudkan untuk meretas jalan menuju perdamaian di Ambon. Usai pembicaraan dengan pimpinan DPRD, pukul sembilan pagi, kedua Menko bersama para anggota rombongan bertemu dengan kelompok Islam, yang antara lain diwakili oleh K.H. Abdul Wahab Abubakar Palpoke (Pjs. Ketua Majelis Ulama Maluku), H. Idris Tutuley (Ketua Muhammadiyah Maluku), Abdul Karim Rahayaan (Ketua NU Maluku), dan Muhammad Attamimi (Ketua Satuan Yugas Amar Ma’ruf Nahi Mungkar). Sekitar 25 orang delegasi Islam hadir pagi itu di kediaman Gubernur Maluku. Pukul 11 pagi, di hari yang sama, giliran kelompok Kristen dipimpin oleh P.S. Mandagi (Uskup Amboina), Pendeta Hendriks (Ketua Sinode Gereja Protestan Maluku), dan tokoh-tokoh akar rumput, misalnya Herman Nikijuluw, Femy Souisa, Berthi Loupatty. Komunitas Kristen yang datang pagi itu juga berjumlah 25 orang. Pertemuan kedua Menko, Kapolri, serta pejabat teras TNI dengan kedua komunitas yang bertikai tersebut berlangsung tegang. Kedua komunitas seolah datang menumpahkan segala kemarahan mereka kepada pemerintah. Semuanya terasa mendapat izin untuk mengayun kapak kemarahan. Baik muatan pembicaraan maupun cara penyampaiannya, semuanya kental dengan sikap emosional. Pilihan kata-kata mereka pun terasa tak terukur. Yang menonjol pagi itu, keduanya saling menuding dan mengklaim diri dizalimi. Keduanya juga mengumbar kemarahan kepada pemerintah. Pertemuan antara pihak pemerintah dengan kedua komunitas yang bertikai tersebut, terkesan sekali sebagai pertemuan dengan agenda amuk. Rupa-rupa tudingan dialamatkan kepada pemerintah, terutama kepada Menko Polkam dan Kapolri. Tatkala Kapolri Da’i Bachtiar menunduk untuk mencatat, salah seorang dari peserta pertemuan meninggikan suara dan meminta Kapolri memerhatikan dirinya pada saat ia sedang bicara. Untung sekali, Da’i Bachtiar menanggapinya dengan tingkat kedewasaan yang terpuji. Ia tetap tersenyum dan anggut-anggut mendengar ucapan tersebut. Ekspresi wajahnya pun tak berubah sedikit pun. Lain lagi yang terjadi dengan Menko Polkam. Salah seorang peserta dari salah satu komunitas, setelah berbicara panjang lebar, dengan muka merah dan geram, mengumbar kata, “Bapak-bapak yang dari Jakarta, yang duduk di depan kita ini, adalah jenderal. Mengapa baru kali ini Menko Polkam berani masuk Kota Ambon? Sebelumnya, dua kali Bapak ke sini, tetapi hanya sampai di airport. Apakah karena Bapak ditemani Menko Kesra sehingga baru berani masuk?” tanyanya, penuh emosi. Dengan wajah tetap tak berubah, Menko Polkam hari itu menunjukkan kelas kedewasaan dan kesabaran yang luar biasa. Ia tidak meladeni debat tersebut. Menko Polkam tetap menyungging senyum menatap kepada yang berbicara. Begitu juga ketika giliran Menko Polkam memberi penekanan kepada orang yang menyerangnya itu. Menyaksikan keadaan tersebut, Syafri Syamsuddin yang duduk di samping saya, persisi di belakang Menko Polkam, mengepalkan jari jemarinya. Ia gelisah dan geram sekali menyaksikan adegan dan perilaku salah seorang peserta dialog tersebut. Ia hanya berbisik pelan kepada saya, “Pak Hamid, menghadapi orang Ambon, memang membutuhkan kesabaran ekstra. Orang Ambon itu, bila bicara, memang rata-rata bersuara tinggi,” katanya. Usai percakapan tersebut, para peserta berebut berjabat tangan dengan Menko Polkam dan Menko Kesra, Kapolri, dan delegasi lainnya dari Jakarta. Seolah semuanya berlalu begitu cepat. Tak terkesan baru beberapa menit sebelumnya, pertemuan berlangsung panas dan seru. Para delegasi yang tadinya meletup-letup, satu per satu mendekati para pejabat yang diserangnya dengan wajah berseri-seri. Tak tampak lagi ada agenda kemarahan yang tersisa. Ini mungkin karena segala yang menyesakkan, semuanya sudah dikeluarkan. Segala yang mengganjal selama ini telah dinukilkan secara terbuka dan gamblang. Maka, dada mereka pun sudah plong. Di sinilah kejelian seorang JK. Ia langsung memanfaatkan momen tersebut untuk mengusulkan pertemuan lanjutan pada malam harinya. JK meminta masing-masing komunitas mengirim maksimal sepuluh orang untuk berdiskusi lebih lanjut. “Pasti mereka mudah diajak bicara sebentar karena mereka sudah mengemukakan kemarahan mereka secara leluasa. Saya yakin, pada pertemuan malam sebentar, kedua belah pihak akan menurunkan tone suara dan mengurangi gaya retorika mereka sebab segalanya sudah dituangkan tadi,” kata JK kepada Farid Husein, yang sibuk tak kepalang menyiapkan pertemuan lanjutan malam harinya.

More Related