E N D
Saat diamanahi menjadi Ketua MPR periode 2004 – 2009, Hidayat Nur Wahid (HNW) akan diberi fasilitas Mobil Dinas bermerek Volvo yang harganya berkisar 900 juta rupiah. Namun HNW menolaknya, beliau lebih memilih Mobil Camry sebagai mobil dinasnya, dan mobil itu pun merupakan bekas mobil-mobil yang digunakan untuk kepentingan KTT Asia Afrika 22-23 April 2005. Hidayat Nurwahid mengatakan, selama ini ada semacam ‘kebiasaan’ bahwa jabatan negara selalu diidentikkan dengan fasilitas mewah yang disediakan negara. “Kami justru ingin agar ada penghematan anggaran. Apalagi negara sedang mengalami kesulitan seperti ini,” katanya. Kalaupun sebagai pimpinan MPR berhak memperoleh fasilitas dari negara, kata Nurwahid, maka perlu diusahakan bahwa fasilitas itu tidak menimbulkan penilaian buruk dari publik. Misalnya, mengenai kendaraan dinas, pimpinan MPR menginginkan agar bukan kendaraan bermerk Volvo, namun kendaraan merek lain yang harganya jauh lebih murah dibanding Volvo. “Dulu yang kita tolak itu kan mobil Volvo yang memang kalau dilihat dari harganya Rp 900 jutaan. Namun sekarang pemerintah membeli mobil Toyota Camry yang harganya sekitar Rp 350 juta per unit. Jadi disitu ada selisih harga sekitar 550 juta,” ujarnya di Gedung DPR/MPR, Senayan, Jakarta, Rabu (6/4/2005). Menurut Hidayat usulan penolakan mobil Volvo terbukti dapat menghemat keuangan negara. Jika dihitung satu unit kendaraan ada selisih 550 juta dan dikalikan 60 mobil, ada penghematan anggaran negara sekitar Rp 33 miliar. Ia menambahkan, pada prinsipnya pembelian mobil itu untuk melayani tamu negara, bukan sebagai mobil d Saat diamanahi menjadi Ketua MPR periode 2004 – 2009, Hidayat Nur Wahid (HNW) akan diberi fasilitas Mobil Dinas bermerek Volvo yang harganya berkisar 900 juta rupiah. Namun HNW menolaknya, beliau lebih memilih Mobil Camry sebagai mobil dinasnya, dan mobil itu pun merupakan bekas mobil-mobil yang digunakan untuk kepentingan KTT Asia Afrika 22-23 April 2005. Hidayat Nurwahid mengatakan, selama ini ada semacam ‘kebiasaan’ bahwa jabatan negara selalu diidentikkan dengan fasilitas mewah yang disediakan negara. “Kami justru ingin agar ada penghematan anggaran. Apalagi negara sedang mengalami kesulitan seperti ini,” katanya. Kalaupun sebagai pimpinan MPR berhak memperoleh fasilitas dari negara, kata Nurwahid, maka perlu diusahakan bahwa fasilitas itu tidak menimbulkan penilaian buruk dari publik. Misalnya, mengenai kendaraan dinas, pimpinan MPR menginginkan agar bukan kendaraan bermerk Volvo, namun kendaraan merek lain yang harganya jauh lebih murah dibanding Volvo. “Dulu yang kita tolak itu kan mobil Volvo yang memang kalau dilihat dari harganya Rp 900 jutaan. Namun sekarang pemerintah membeli mobil Toyota Camry yang harganya sekitar Rp 350 juta per unit. Jadi disitu ada selisih harga sekitar 550 juta,” ujarnya di Gedung DPR/MPR, Senayan, Jakarta, Rabu (6/4/2005). Menurut Hidayat usulan penolakan mobil Volvo terbukti dapat menghemat keuangan negara. Jika dihitung satu unit kendaraan ada selisih 550 juta dan dikalikan 60 mobil, ada penghematan anggaran negara sekitar Rp 33 miliar. Ia menambahkan, pada prinsipnya pembelian mobil itu untuk melayani tamu negara, bukan sebagai mobil d