10 likes | 241 Views
Prolog Anggrek yang Tak Pernah Layu Dulu, saya sering mendengar nama Bung Hatta dari cerita ayah saya, melekat dengan nama Bung Karno. Dalam Khayalan saya masa itu, terbayang orang gagah perkasa.
E N D
Prolog Anggrek yang Tak Pernah Layu Dulu, saya sering mendengar nama Bung Hatta dari cerita ayah saya, melekat dengan nama Bung Karno. Dalam Khayalan saya masa itu, terbayang orang gagah perkasa. Pertama kali saya berjumpa beliau di daerah pertempuran pada tahun 1946. Bung Hatta sebagai wakil presiden meninjau rumah sakit perjuangan di Segalaherang dekat Subang, Jawa Barat. Saya sangat terkesan, namanya begitu besar, namun orangnya kelihatan begitu sederhana, bersahaja mengenakan baju potongan Wavell (seperti safari) dan berpeci hitam. Itukah wakil presiden dan pemimpin rakyat yang termasyhur itu? Lima atau enam bulan kemudian, ketika saya bekerja sebagai wartawan di Jakarta setelah perjuangan bersenjata berakhir, saya mendapat banyak kesempatan untuk berjumpa dengan Bung Hatta. Beberapa rekan wartawan menasihatkan, jangan mencoba-coba meng-interview Bung Hatta kalau tidak menguasai masalahnya. Bisa malu kita, kata mereka. Saya merasa mendapat tantangan, dan lebih besar lagi hasrat untuk meng-interview-nya. Pada suatu ketika, setelah saya merasa cukup memahami masalah yang akan saya tanyakan - tentu saja setelah membuka-buka beberapa textbook - saya memberanikan diri memohon wawancara melalui sekretarisnya, Pak Wangsa Widjaja. Permintaan saya dikabulkan. Hasil interview disiarkan dalam banyak surat kabar. Semenjak itu saya beruntung terpilih untuk senantiasa dibawanya serta kalau tourne ke daerah-daerah dan ke luar negeri. Apabila UNESCO baru pada tahun-tahun belakang ini mengakui baetapa pentingnya peranan media massa dan betapa besar pengaruhnya terhadap pandangan dan sikap manusia, Bung Hatta telah dari sejak awal kemerdekaan memanfaatkan pers untuk kepentingan perjuangan. Mohammad Nahar, Pribadi Manusia Hatta, Seri 9, Yayasan Hatta, Juli 2002