10 likes | 449 Views
Naif? Ada juga pihak-pihak yang menganggap Bung Hatta sering terlalu naif. Terlalu gampang percaya. Seperti kekanak-kanakan. Karena itu mudah dikibuli n, katanya.
E N D
Naif? Ada juga pihak-pihak yang menganggap Bung Hatta sering terlalu naif. Terlalu gampang percaya. Seperti kekanak-kanakan. Karena itu mudah dikibulin, katanya. Saya kira pihak-pihak demikian itu mencampuradukkan watak “naif” dengan watak “sederhana”. Tiap orang memiliki kadar naivitas. Ada yang naivitasnya berkadar tinggi, ada yang berkadar rendah. Sederhana dalam pikiran dan sederhana dalam cara hidup. Bung Hatta memiliki dua kesederhanaan itu. Tetapi sederhana dalam pikirannya tidak berarti dangkal. Dalam kesederhanaan berpikirnya, Bung Hatta memiliki daya analisis yang tajam, mendalam, dan mendasar. Dalam kesederhanaan hidupnya, Bung Hatta memiliki kekayaan ilmu, kekayaan buku, kekayaan kawan, dan keluarga yang berkualitas. Memang, kadang-kadang saya menemukan kadar naivitas pada dirinya. Tetapi jangan kita mencampuradukkan aktivitas itu dengan kesederhanaan. Kalau Bung Hatta semasa berkuasa tidak mau mengkomersialisasikan kekuasaan itu, atau tidak mau memperkaya dirinya, itu bukan karena watak naivitasnya, seperti ada kalanya dikatakan tentang diri Bung Hatta. Akan tetapi karena kesederhanaan moralnya dan rasa tanggung jawabnya. Sebab generasi Bung Hatta dan Bung Karno, yang dibesarkan dalam alam penderitaan dan pengorbanan semasa perjuangan kemerdekaan dan semasa revolusi fisik, mengetahui dan merasakan apa kedholiman penyalahgunaan kekuasaan politik, baik oleh kolonialis asing, maupun oleh kaum feodalis pribumi. Bagi generasi masa lalu, politik adalah karakter, politik adalah watak. Watak pejuang yang patriotik, nasionalistik, demokratik, sosialistik, dan humanistik. Itulah arti pokok politik. Sangat sederhana. Tidak liku-liku. Dan tidak naif. Sebab, kalau politik diartikan secara berliku-liku dan naif, maka politik bukan lagi sumber etik, melainkan sekadar teknik untuk memperoleh kekuasaan dan mempertahankan kekuasaan itu bagi dirinya sendiri. Kesederhanaan Bung Hatta terkait dengan daya rasionalitas yang tinggi, bersatu dengan emosionalitas yang manusiawi, dikendalikan oleh self-discipline dan religiositas hidup, sehingga membuat beliau seorang pejuang yang tabah dan berani menghadapi situasi apa pun dalam hidup perjuangannya. Penjara maupun pembuangan di mana pun dihuninya dengan segala ketabahan itu. Sebaliknya jabatan dan wisma wakil kepresidenan pun ditinggalkan dengan segala keberanian dan tanggung jawab. Tetapi yang beliau tidak pernah tinggalkan adalah amanat penderitaan rakyatnya, yang sejak dulu kala mendambakan kemerdekaan, keadilan, dan kemakmuran. Kesetiaan Bung Hatta kepada cita-cita rakyatnya itu adalah sangat sederhana, tanpa pamrih, tetapi sangat dalam. Kesederhanaan itu juga mendasari watak pribadinya sebagai manusia. Semoga pemuda Indonesia, yang beliau sering puja sebagai “pahlawan dalam hati beliau”, pandai belajar dari pribadi Bung Hatta sebagai manusia pemikir dan manusia pejuang. H. Roeslan Abdulgani, Pribadi Manusia Hatta, Seri 8, Yayasan Hatta, Juli 2002