30 likes | 252 Views
saya masih teringat ketika duduk dibangku sekolah dasar, guru saya mengajarkan saya tentang kejujuran, kebaikan, kesabaran dsbx. Itu semua telah terekam kuat dalam benak saya. Guru juga menyontohkan beberapa sifat tak jujur
E N D
saya masih teringat ketika duduk dibangku sekolah dasar, guru saya mengajarkan saya tentang kejujuran, kebaikan, kesabaran dsbx. Itu semua telah terekam kuat dalam benak saya. Guru juga menyontohkan beberapa sifat tak jujur diantaranya menyontek hasil pekerjaan teman. Ini jelas merupakan suatu yang lumrah karena memang belajar adalah suatu proses yang kelak akan mengubah pola pikir seseorang dan diharapkan pola pikir tersebut akan menjurus kepada hal-hal yang bermanfaat bagi diri sendiri maupun orang lain. Namun dalam seiring perjalanan ternyata saya menemukan hal-hal yang mengganjal dalam melalui prosese pendidikan di negeri ini. Sejak Mendiknas menggulirkan adanya Unas, berbgai dekadensi moralpun mulai tercipta. Ya, apa yang saya maksud adalah hilangnya paham kejujuran yang selama ini di junjung tinggi oleh para guru (mual'lim). Kenapa bisa begitu?, kita melihat dan menyaksikan sendiri beberapa statement dari kepala sekolah, bahwa sekolah harus bisa meluluskan sisiwa sebanyak- banyaknya tanpa diimbunhi dengan label halal. Ya, apapun akn dilakukan pihak sekolah agar siswanya dapat lulus 100% terlepas dari haram halalnya. Memang sulit menjadi pendidik, apalagi seorang guru. Guru dituntut untuk membuat sisiwanya lulus, dan lulus harus memenuhi kriteria penilaian yang sudah ditentukan pemerintah. Jika guru tak dapat meluluskan siswanya, ini berimbas pada citra buruk sekolahan tersebut, nah kalau sekolah sudah memiliki citra buruk, otomatis tidak akan laku dimasyarakat karena diklaim tidak becus mendidik anak karena banyaknya yang tidak lulus. Disaat inilah muallim dihadapkan pada sesuatu yang sangat membingungkan, diantaranya tentang makna kejujuran yang telah ia kampanyekan dalam pembelajaran. Bingungnya, kalau guru tetap mempertahankan paham kejujuran, ditakutkan akan banyak siswa yang tidak lulus. Apalagi tidak semua siswa memiliki otak yang cemerlang, saya yakin itu. Dan kalu banyak sisiwa yang tak lulus maka citra guru tersebut akan jatuh beserta citra sekolahnya. Otomatis karena terjebak dalam masalah ini, gurupun akan menghalalkn segala cara agar siswanya lulus, termasuk menghalalkan contekan ataupun memberi bocoran dan sebagainya. Padahal kita tahu, menyontek sama dengan mencuri, dan mencuri salahsatunya korupsi. Mungkin disinalah secara tidak langsung lahirlah benih-benih koruptor. Karena jika seseorang sudah sukses berbuat hal yang kecil, maka dia akan berusaha akan berbuat hal yang lebih besar, termasuk dalam praktek kejahatan. Dalam ilmu pembelajaran, siswa diharapkan memenuhi tiga aspek yaitu: kognitif, psikomotorik dan afektif. Namun pada prakteknya pemerintah hanya memfasilitasi yang kognitif saja, salah satunya dengan menggelar Unas. Ini jelas membuat muallim bingung bagaimana agar tiga aspek tersebut bisa berjalan, jika pada puncaknya hanya aspek kognitif yang dikedepankan. Misal, seorang sisiwa akan
diterima di SMA favorit jika nilainya memenuhi standart, tanpa dibuktikan murni tidaknya nilai itu. Sementara mereka yang memiliki nilai pas-pasan ataupun nilai kecil, seperti di deskriminasikan dalam pendidikan kita. Padahal bisa jadi pada apek psikomotorik ataupun afektif merka lebih hebat. Kalau melihat hal-hal berikut.ini jelas jika menjadi muallim sangatlah penuh dengan dilema, disisi lain muallim ingin menghadirkan lulusan yng kompeten dengan menempatkan kejujuran sebagai jiwa mereka, seperti jika jiwanya A, maka dia akan lulus A, tidak seperti yang kita lihat selama ini, mereka yang jiwanya A, akhirnya lulus dengan jiwa B. Ini jelas sudah tidak sesuai dengan jiwa siswa tersebut dan akhirnya siswa akan kebingungan mengenali kemampuannya. Faktanya, sekolah yang seharusnya menjadi simbol intelektualitas dan pondok perbaikan manusia, kini seperti sebuah instansi yang menghalalkan yang haram dan mendidik para calon yang berjiwa pencuri dsb. o