E N D
Ayo, Kita Berhadapan Korban konflik Poso dan Ambon merangkak naik, bahkan disinyalir antara tentara dan polisi sudah mengambil sikap berpihak kepada salah satu kelompok sesuai agama yang dianutnya. Menurut JK, “Itulah susahnya konflik yang berbau agama. Aparat negara pun tidak dijamin untuk tidak berat sebelah. Kalau dibiarkan, maka konflik tidak akan pernah menemukan titik akhir.” Pada sebuah acara di lapangan terbuka di Kecamatan Tentena, Kabupaten Poso, yang dihadiri pejabat tinggi negara, termasuk JK, duduk menyaksikan orasi. Pembicara tampil silih berganti, menebarkan rasa marah, dan amuk kepada lawan. Satu di antaranya sudah membenarkan rasa marahnya kepada pihak pemerintah dan menunjukkan gelagat perlawanan lebih jauh. Melihat keadaan seperti itu, JK mengambil sikap dan berkata: “Ayo, siapa tadi yang berteriak menantang itu? Ayo, maju ke sini. Jangan hanya tahu berdiri di tengah kerumunan lalu bersembunyi. Ayo, kita berhadapan.” JK juga menjelaskan maksud kedatangannya bersama teman-teman sebagai wakil pemerintah untuk menyelesaikan konflik. Jika mereka tidak berhenti bertikai, maka JK memberi mereka tiga pilihan. Pertama, berperang terus, hingga titik darah penghabisan dan JK akan memberi mereka senjata. Kedua, mereka akan dihadapkan dengan pasukan pemerintah yang terlatih dan profesional. Ketiga, berhenti bertikai, duduk bicara untuk damai. Suasana menjadi tenang, tidak ada yang bergerak. Sejak itu, rumusan tiga tawaran tersebut diusung oleh JK ke mana pun, termasuk pertikaian di Ambon. Saya bertanya pada JK, mengapa ia begitu berani menghadapi gerombolan orang yang sedang marah? Dia berkata bahwa dia tidak mau pemerintah dihina dan dicaci. Pemerintah harus mengambil tindakan tegas. Dan kedatangannya ke sana untuk niat yang baik, mendamaikan mereka tanpa peduli risiko yang akan dihadapi. Tantangan JK ternyata mendapat respon lain. Mereka merasa saling dizalimi oleh antar kelompok. JK menantang balik, “Siapa sebenarnya yang menzalimi siapa dan siapa dizalimi oleh siapa?” tanyanya. “Ayo, buktikan semua itu. Kalian semua menzalimi diri dan saling menzalimi. Pemerintah juga Anda zalimi dengan cara seperti itu,” lanjutnya. Ide saling menzalimi ini terus digunakan JK untuk mendamaikan pihak-pihak yang bertikai. Tiga tantangan JK di Tentena ditawarkan juga kepada kedua kelompok yang bertikai di Ambon. Malam itu, masing-masing kelompok mengirim wakilnya bertemu JK di rumah dinas Gubernur Maluku. JK menawarkan tiga tantangan itu. Seorang yang hadir bertanya, kenapa pemerintah menyuruh rakyatnya saling berkelahi dan membunuh? Ia juga heran kenapa ada pemerintah seperti itu. JK menjawab, “Kalau Anda tidak mau pemerintah menyuruh Anda berkelahi maka sekarang juga Anda harus berhenti berkelahi. Saya suruh Anda berkelahi terus kalau Anda tidak mau berhenti. Tapi kalau Anda mau berhenti, memang itulah tujuan pemerintah,” balas JK. JK berkata kepada saya bahwa dia memang agak keras karena harus menunjukkan bahwa pemerintah tidak gentar menghadapi siapa pun yang melakukan kekerasan. Tidak seperti Gus Dur yang menganggap pemerintah tidak perlu ikut campur konflik Poso dan Ambon, karena setiap masyarakat memiliki penyelesaian sengketanya masing-masing. Tetapi buktinya selama tiga tahun mereka tidak bisa menyelesaikan konflik ini. Jadi pemerintah harus menggunakan otoritas paksaan untuk kebaikan publik. Menurutnya, kalau konflik ini berkelanjutan, pemerintah sendiri yang akan rugi. Untuk itu, dia mengatakan bahwa pemerintah siap berperang dengan siapa saja yang mengacaukan keamanan di negeri kita dan sekalian membangkitkan spirit aparat keamanan: polisi dan tentara. Saat ini spirit polisi dan tentara merosot, dan telah beredar rumor bahwa tentara menjual senjata dan pelor ke masing-masing pihak yang bertikai. Pencitraan ini harus kita tepis dengan sikap yang tegas dan keras bahwa polisi dan tentara siap menghadapi siapa saja yang tidak mau berdamai. Kisah tentang TNI/Polri dalam konflik Ambon kian ramai, dan dianggap kedua petinggi aparat keamanan Maluku tersebut menjadi salah satu penyebab masih berlangsungnya konflik. Pangdam dan Kapolda tidak langsung memenuhi perintah dari Gubernur, mereka beralasan tidak akan menjalankan perintah tanpa konsultasi dengan panglima TNI dan Kapolri. Sehingga konflik Maluku bergeser dari konflik komunal menjadi konflik antara TNI dan Polri. Kapolri Da’i Bachtiar mengemukakan polarisasi Polri terjadi akibat kondisi masyarakat yang porak-poranda, hancurnya asrama polisi Tantui, Ambon, sehingga anggota kepolisian mengungsi ke rumah penduduk sesuai dengan komunitasnya masing-masing, dimana pengaruh lingkungan sekitar tidak dapat dihindari lagi. Untuk itu pihaknya telah melakukan mutasi personel Polda Maluku secara perorangan. Saya bertanya kepada JK, “Bagaimana dengan rumor yang menilai bahwa Pangdam sekarang di Maluku, cenderung berpihak ke salah satu kelompok yang bertikai?” JK menjawab, “Apa pun kenyataannya, kita harus melawan cerita itu. Jika dibiarkan, berbahaya sekali, sebab pihak yang berseberangan dengan Pangdam dan Kapolda, akan memanfaatkan cerita itu untuk memojokkan TNI/polisi.” “Bila citra TNI dan polisi rusak, mereka akan memenangkan pertarungan sebab tidak ada lagi yang menjaga keamanan. Itulah sebabnya saya sengaja meminta Mayjen Polisi Simatupang agar ikut kita, karena dia kan Kristen sedangkan saya Islam. Biar semua lihat bahwa kita benar-benar mau menyelesaikan soal tanpa ada keberpihakan,” ucapnya. “Sekarang, kita konsentrasi menghadapi dua kekuatan yang saling berperang. Kita lawan dan tekan mereka agar mau duduk berunding. Tugasmu adalah membantu saya agar di meja perundingan mereka bisa saling memahami lalu saling melupakan masa lalu dan berjanji memulai kehidupan baru yang lebih baik. Segala inti pembicaraan selalu mengacu pada nasib anak-anak mereka ke depan. Sebab semua orangtua pasti mau anak-anak mereka memiliki masa depan yang baik,” perintah JK. Maka sejak itu, saya tidak pernah lagi bertanya dan berdiskusi tentang rumor-rumor mengenai keberpihakan Kapolda dan Pangdam di Maluku.