E N D
Tak Dapat Didorong-dorong Tatap muka pertama saya dengan Bung Hatta terjadi setelah Bung Hatta menjadi penasihat Pemerintah Jepang. Tetapi sebelum itu hampir semua karangan Bung Hatta yang diterbitkan dalam bahasa Belanda telah jauh hari saya baca semuanya. Di RSUP banyak para dokter berpendirian bahwa sebaiknya Bung Karno, pada permulaan Jepang berkuasa, jangan dulu terikat. Untuk menjaga supaya Bung Karno dapat menjadi orang bebas buat sementara, maka para dokter sanggup menanggung hidupnya dengan menyediakan minimal 500 rupiah Hindia Belanda tiap bulannya. Untuk maksud itulah saya diutus bertemu dengan Bung Hatta guna mendengar pendapatnya atas gagasan para dokter RSUP itu. Pertemuan pertama itu hanya sangat singkat dan Hatta berkata kepada saya bahwa ia sangat gembira dengan gagasan itu, tetapi para dokter hendaknya mengerti bahwa kerja sama atau tidak kerja sama dengan Jepang hanya ditentukan oleh pertimbangan sikap yang menguntungkan perjuangan nasional kita. Pertemuan pertama ini disusul oleh beberapa pertemuan di rumah Bung Hatta di Jalan Diponegoro dan pada waktu memuncaknya, klimaks peperangan Pasifik, saya telah membiasakan diri datang ke Bung Hatta setiap pekan sekali. Pada suatu sore hari tanggal 15 Agustus 1945 saya kebetulan berpapasan dengan Soekarni di beranda rumah Bung Hatta. Soekarni pada waktu itu membawa sebuah pistol yang nampak menonjol di kantongnya dan atas sapaan saya ia berkata, “Piye iki Mas Dokter, Bung Hatta tidak bersedia memproklamasikan kemerdekaan seperti yang kita ingini?” Tanpa menunggu reaksi saya ia pergi. Baru saja masuk rumah, Bung Hatta telah menghampiri saya dengan bersungut: “Kalau mau memproklamasikan sekarang, maka kalian kerjakanlah sendiri, tidak usah menunggu Soekarno-Hatta dan saya tidak bisa dipaksa-paksa ataupun diintimidasi.” Memang jauh sebelum itu saya telah yakin bahwa orang yang bernama Hatta itu bukanlah orang yang dapat didorong-dorong. Saya yang sebenarnya juga bermaksud seperti Soekarni melihat suasana begitu, jadi diam saja. Yang saya katakan adalah bahwa memang Jepang telah minta menyerah. A. Halim, Pribadi Manusia Hatta, Seri 12, Yayasan Hatta, Juli 2002