E N D
Memikirkan 1.000 Kematian Sebulan Di Jawa, PLN perlu 5000 Pasukan Berani MatiINI tidak ada hubungannya dengan kenaikan TDL. Baik yang lalu maupun yang konon akan naik lagi Januari tahun depan. Ini soal kebiasaan di PLN yang sudah lebih 30 tahun tidak kunjung berubah: listrik mati dengan alasan sedang dilakukan pemeliharaan. Pemeliharaan trafo maupun jaringan. Jaringan tegangan menengah maupun tegangan rendah. Padahal di Jakarta saja, setiap hari dilakukan 36 pemeliharaan jaringan di 36 lokasi. Ini berarti dalam sebulan terjadi hampir 1.000 kali pemeliharaan. Ini hanya di Jakarta. Artinya dalam sebulan hampir 1.000 kali pula listrik mati secara “sah” di Jakarta. Pelanggan tentu tidak lagi peduli kematian itu sah atau tidak. Toh akibatnya sama: daging di kulkas busuk, ikan koi di akuarium mati dan apakah rambut yang tengah disampo di kamar mandi harus dibiarkan kering? Zaman sudah berubah. Tinggal PLN yang belum berubah di bidang ini. Dulu, 30 tahun lalu, orang masih bisa menerima listrik mati, asal jangan malam hari. Maka pemeliharaan dilakukan siang hari. Antara pukul 08.00 sampai 16.00. Delapan jam. Dulu, belum ada kulkas dan belum ada ikan koi. Kalau listrik mati delapan jam bisa ditinggal ke sawah atau ke pasar. Dulu, ketika pelanggan masih sedikit, komunikasi masih mudah. Setiap kali dilakukan pemeliharaan PLN masih sempat memberitahu semua pelanggan lewat surat. Lalu diiklankan di koran setempat. Tapi pengumuman seperti itu kini tidak lagi bisa menjangkau seluruh pelanggan. Walhasil pelanggan tidak tahu lagi apakah lampu di rumahnya mati karena pemeliharaan atau mati karena disantet. Inilah yang membuat citra byar-pet masih belum bisa hilang. Tidak bisa segera berubah menjadi pet-byar. Padahal pemadaman bergilir akibat kekurangan daya listrik sudah tidak terjadi lagi sejak 30 Juni 2010 lalu. Yang membuat pelanggan juga tidak bisa menerima lagi listrik mati adalah ini: TV swasta. Dulu, 30 tahun lalu, hanya ada TVRI “itu pun pagi hari tidak siaran. Kini acara-acara TV bukan main serunya. Kalau dulu boleh mati lampu asal siang hari, kini tidak mungkin lagi: ibu-ibu sudah banyak yang kecanduan sinetron atau Take Me In. Maka tidak ada jalan lain: PLN yang harus berubah. Bisakah kebiasaan selama lebih 30 tahun berubah cepat? Seorang anggota DPR asal Lombok bukan main marahnya. Listrik di rumahnya di Mataram, mati. Berkali-kali dia mengirim SMS yang isinya menunjukkan kemarahannya itu. Dia mengira masih terjadi pemadaman bergilir seperti di masa lalu. Padahal ini keteledoran yang memang tidak bisa diterima: sekring trafo kecil di dekat rumahnya putus. Tidak kunjung diperbaiki. Begitu marahnya anggota DPR tersebut sehingga saya tidak cukup hanya minta maaf. Saya pun menulis jawaban begini: kalau bapak mengizinkan, karyawan yang tidak segera memperbaiki sekring itu akan saya pecat! PLN, mau tidak mau memang harus berubah. Kebiasaan panjang melakukan pemeliharaan sampai mematikan lampu selama delapan jam itu harus diakhiri. Inilah tekad baru seuruh jajaran PLN sekarang ini. Kini rapat-rapat di PLN diisi dengan agenda bagaimana mengubah kebiasaan yang sudah mendarah-mendaging ini. Ini tidak mudah, tapi harus berhasil. Di mana-mana saya mendiskusikan soal ini sekarang. Saat di Riau misalnya, ada usul bagaimana kalau pemeliharaan dilakukan di hari Minggu. Usul ini kelihatannya masuk akal. Tapi saya masih keberatan. Di hari Minggu pun kini listrik tidak boleh mati. Banyak orang kawin di hari minggu. Mereka akhirnya menyepakati pemeliharaan dilakukan malam hari, antara jam 23.00 sampai jam 04.00. Setelah para pengantin ditinggalkan para tamunya pulang. Di saat pengantin berangkat ke peraduan inilah petugas PLN mulai berangkat ke lapangan memanjat iang-tiang listrik. Lalu mematikannya. Gelap. Berarti mereka akan bekerja malam. Tidak apa-apa. Toh masinis kereta api, pilot jurusan antar benua, pegawai percetakan koran, karyawan pembangkit listrik sendiri, semuanya kerja malam. Apa salahnya kalau pegawai PLN bagian pemeliharaan juga bekerja malam. Tapi ide seperti di Riau itu tidak akan bisa dijalankan di Jakata. Juga di seluruh Jawa. Orang Jakarta sudah terlalu biasa tidur dengan AC. Kalau listrik mati, biar pun jam 00.00 tidak bisa diterima. Mereka bukan lagi pengantin baru. Mereka mengatakan tidak bisa tidur. Ini akan menganggu stabilitas ekonomi keesokan harinya. Pokoknya lampu tidak boleh mati. Hari apa pun, jam berapa pun. Inilah tantangan yang benar-benar tidak mudah. Tapi harus dilakukan. Kalau pun tidak bisa berubah mendadak, harus ada tahapan-tahapan yang jelas. Harus dicari sistem pemelihataan yang cocok dengan zaman yang sudah berubah ini. Sebagai langkah awal, diputuskan pemeliharaan dilakukan seperti biasa, tapi lampu hanya boleh dimatikan maksimum tiga jam. Dua hari setelah keputusan itu, saya masih menerima laporan ini: salah satu lokasi di Jakarta masih dilakukan pemeliharaan selama 6 jam! Memang sudah tidak lagi 8 jam, tapi masih belum bisa tiga jam. Inilah salah satu contoh tidak mudahnya perubahan ini. Tapi tidak boleh menyerah. Target harus dicapai. Sudah mulai banyak lokasi yang dipelihara dalam jangka waktu kurang dari tiga jam. Tanggal 30 November 2010 nanti, Jakarta dan seluruh Jawa harus bisa melaksanakan keputusan ini. Dengan segala konsekwensinya. Bahkan akan ada target berikutnya: bagaimana PLN bisa melakukan pemeliharaan jaringan tanpa mematikan setrumnya sama sekali. Hanya saja, target yang satu ini tidak bisa dilakukan dalam hitungan minggu. Dengan kerja yang luar biasa keras pun mungkin perlu waktu sampai satu tahun. Konsepnya sudah ada: PDKB (Pemeliharaan Dalam Keadaan Bertegangan). Untuk bisa melaksanakan konsep ini memang harus disusun perencanaannya. “Yang lebih sistematis dan rapi. Bahkan harus disiapkan orang-orang yang bukan hanya memiliki ketrampilan istimewa, namun juga kejiawaan yang khusus. Inilah yang menyebabkan target yang satu ini tidak boleh dilakukan terburu-buru: harus dicari dulu orang-orang yang memiliki ketrampilan dan kejiwaan tertentu itu, harus dididik dan dilatih, dan harus dilengkapi peralatan anti-setrumnya. Akan ada rekruitmen, pendidikan, latihan, dan menganggaran. Itulah sebabnya dalam angaran tahun 2011 soal ini harus dimasukkan. Di Jakarta saja mungkin diperlukan 1.000 orang dengan kualifikasi seperti ini. Mereka akan dibagi dalam 200 kelompok/regu, masing-masing lima orang. Se Jawa berarti perlu sekitar 5.000 orang. Alangkah rumitnya rekrutmennya, pendidikannya, pelatihannya dan penyiapan alat-alatnya. Mereka inilah pasukan berani matinya PLN ke depan. Berani melakukan pekerjaan pemeliharaan jaringan ketika jaringan itu dalam keadaan sedang mengalir listriknya. Zaman sudah berubah. PLN jangan ditinggal! Dahlan IskanCEO PLN