1 / 13

Al-Ahkam

Al-Ahkam. As-Sulthaniyyah. Hukum-Hukum Penyelenggaraan Negara dalam Syariat Islam. Imam Al-Mawardi Darul Falah 2006. Zaman Al Mawardi (370 H-450 H). Era bani Abbasiyah Kedua Kondisi Politik Negara Fathimiyah di Mesir Bani Umaiyah di Andalusia

nedaa
Download Presentation

Al-Ahkam

An Image/Link below is provided (as is) to download presentation Download Policy: Content on the Website is provided to you AS IS for your information and personal use and may not be sold / licensed / shared on other websites without getting consent from its author. Content is provided to you AS IS for your information and personal use only. Download presentation by click this link. While downloading, if for some reason you are not able to download a presentation, the publisher may have deleted the file from their server. During download, if you can't get a presentation, the file might be deleted by the publisher.

E N D

Presentation Transcript


  1. Al-Ahkam As-Sulthaniyyah Hukum-Hukum Penyelenggaraan Negaradalam Syariat Islam Imam Al-Mawardi Darul Falah 2006

  2. Zaman Al Mawardi (370 H-450 H) • Era bani Abbasiyah Kedua • Kondisi Politik • Negara Fathimiyah di Mesir • Bani Umaiyah di Andalusia • Bani Abbasiyah di Irak, Khurasan dan daerah-daerah Timur • Internal negara  Bani Buwaih pemegang kekuasaan sebenarnya • Kondisi Sosial • Mewah, hedon diseputar pemegang kekuasaan • Kemiskinan, kelaparan akibat paceklik disebagian besar manusia • Kondisi Ilmiah • Taqlid terhadap imam-imam madzhab • Muncul banyak ulama diberbagai disiplin ilmu • Al Mawardi belajar di Basrah dan Baghdad selama dua tahun. Ia termasuk pakar fiqh pengikut madzhab Syafi’I • Al Mawardi hidup masa pemerintahan Al Qadir Billah (381-422) dan Al Qa’imu Billah (422-467 H)

  3. Pelajaran yang Saya Dapat • Hubungan yang integral antara agama dan negara • Khalifahsentris atau kewajiban taat kepada kepala negara • Pengutamaan suku Quraisy sebagai khalifah • Penolakan terhadap oposisi • Akomodatif terhadap kekuasaan • Prinsip lebih mengutamakan keharmonisan dalam politik Islam.

  4. Hubungan yang Integral antara Agama dan Negara • Negara dibentuk untuk menggantikan posisi kenabian dalam rangka memelihara agama dan mengatur kehidupan dunia. • Pelembagaan negara merupakan fardhu kifayah berdasarkan ijma` ulama.Hal ini didasarkan atas realitas sejarah al-Khulafa’ al-Rasyidun dan khalifah-khalifah sesudah mereka, baik Bani Umaiyah maupun Bani Abbas, yang merupakan lambang kesatuan politik umat Islam. • Juga sejalan dengan kaidah ushul fiqh ma la yatimmu al-wajib illa bihi fahuwa wajib (suatu kewajiban tidak sempurna terpenuhi kecuali melalui sarana atau alat, maka sarana atau alat tersebut juga wajib dipenuhi). Artinya, menciptakan dan memelihara kemaslahatan adalah wajib, maka mendirikan negara sebagai sarana menciptakan kemaslahatan tersebut juga wajib.

  5. KhalifahSentrisKewajiban Taat Kepada Kepala Negara • Kepala negara sebagai sosok sentral dalam pemerintahan Islam. Otoritasnya tidak boleh digugat dan perintahnya tidak boleh dibantah. Dalam batas-batas tertentu bahkan kepatuhan ini bersifat mutlak. • Proses pemilihan kepala negara. • Unsur ahl alaqdi wal al hal (parlemen). Harus memenuhi kualifikasi adil, mengetahui dengan baik kandidat kepala negara serta mempunyai wawasan yang luas dan kebijakan, sehingga dapat mempertimbangkan hal-hal yang terbaik untuk negara. • Unsur ahl al-imamah (orang yang berhak menduduki jabatan kepala negara). Calon kepala negara harus memenuhi tujuh persyaratan, yaitu adil, memiliki ilmu yang memadai untuk berijtihad, sehat panca indranya, punya kemampuan menjalankan perintah agama demi kepentingan rakyat, berani melindungi wilayah kekuasaan Islam, berjuang memerangi musuh serta berasal dari keturunan Quraisy.

  6. Cont’d • Pemilihan kepala negara ini diawali dengan adanya kontrak antara ahl alaqdi wal al haldan ahl al-imamah ini. • Dari kontrak ini lahirlah hak dan kewajiban secara timbal balik antara kepala negara sebagai pemegang amanah dan rakyat sebagai pemberi amanah. • Kepala negara wajib menjalankan pemerintahannya dengan baik dan sesuai dengan ajaran-ajaran agama.

  7. Penolakan Terhadap Oposisi • Sebagai balasannya, rakyat yang telah memberikan bai`at mereka atas kepala negara wajib taat kepada kepala negara. Kewajiban taat ini tidak terbatas hanya untuk kepala negara yang baik dan adil, tetapi juga untuk kepala negara yang jahat. • Al-Mawardi melandaskan pandangannya pada surat al-Nisa’ ayat 49 yang mewajibkan umat Islam taat kepada Allah, Rasul-Nya dan ulul amri di antara mereka. • Selain itu, al-Mawardi juga mengutip hadis Nabi dari Abu Hurairah, "Kelak akan ada pemimpin-pemimpin kamu sesudahku, baik yang adil maupun yang jahat. Dengarkan dan taatilah mereka sesuai denga kebenaran. Kalau mereka baik, maka kebaikan itu untuk kamu dan mereka. Jika mereka jahat, maka akibat baiknya untuk kalian dan kejahatannya akan kembali kepada mereka." • Pandangan ini lebih didasarkan pada akibat buruk yang mungkin terjadi dalam masyarakat. Sangat mungkin timbul suasana chaos dalam negara bila rakyat melakukan oposisi terhadap kepala negara. Karena itu, bagi mereka, menghindarkan kekacauan yang lebih besar merupakan hal yang perlu diambil

  8. Cont’d • Namun Mawardi juga mencantumkan dua hal yang mengubah kondite diri imamah sehingga harus mundur dari kepemimpinan jika tidak mampu lagi memerintah • Cacat jasmani • Mental dan Akhlaq (keadilan) • Mawardi tidak menunjukan bagaimana penurunan itu dilaksanakan

  9. Penilaian Terhadap Buku • Spesifik seputar pemerintahan yang dapat dibaca khalifah dan amir untuk mengetahui hak dan kewajiban mereka. • Berperan besar dalam merumuskan hubungan yang akomodatif antara Islam dan kekuasaan. • Metodologi penulisan komparatif sambil menguatkan madzhabnya.

  10. Al-Quran surat al-Nisa’ ayat 58 memerintahkan umat Islam untuk menyerahkan amanah kepada yang berhak menerimanya • Ibnu Taimiyah, hanya menetapkan syarat kejujuran (amanah) dan kewibawaan atau kekuatan (quwwah) bagi seorang kandidat kepala negara dan tidak memutlakan suku Quraisy kejujuran (amanah) dan kewibawaan atau kekuatan (quwwah) • Al-Mawardi melarang tindakan oposisi meskipun ia mengembangkan teori kontrak sosial. • Paradigma yang menekankan harmonisasi ini dalam batas-batas tertentu dapat menjadi kekuatan perekat bagi bangunan politik Islam sekarang yang majemuk. • Oposisi sebagai upaya membatasi kekuasaan penguasa dan menerapkan etika-moral Islam dalam kehidupan berpolitik secara utuh. • Mutlak adanya lembaga permusyawaratan (syura) sebagai implementasi kongkret dari perintah melakukan musyawarah yang terdapat dalam al-Qur’an. Bukan hanya memilih Imamah tapi memiliki kekuasaan yang independen dan bebas campur tangan kepala negara untuk melakukan kontrol terhadap keputusan dan kebijakan yang akan dan telah diambil kepala negara.

  11. Pemikiran politik Islam periode klasik dan pertengahan bertitik tolak pada realitas sistem monarkhi yang ada, yang Mawardi terima sebagai sistem yang tidak perlu lagi dipertanyakan kebsahannya. • Namun tentu saja Mawardi tidak menyajikan satu konsep utuh yang otentik tentang sistem politik Islam yang dapat dijalankan dalam kehidupan modern saat ini dimana tidak ada kekhalifahan sebagai institusi Islam yang menaungi • Jika dikontekstualisasikan dengan semangat perkembangan dan tantangan politik yang dihadapi umat Islam sekarang, saya menyimpulkan penyelenggaraan negara dalam syariat Islam tidak harus berbentuk khalifah. • Islam adalah agama yang sempurna (kafah) dan lengkap (kamilah) yang mengatur segala aspek kehidupan manusia, termasuk kehidupan bernegara • Namun dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan yang baku • Pembentukan sistem musyawarah (lembaga legislatif) merupakan salah satu masalah yang pelaksanaannya diserahkan Tuhan kepada manusia (umat Islam). Dan umat Islam sendiri punya kepentingan untuk membentuk seperti itu dalam rangka mengakomodasi berbagai aspirasi yang muncul dari berbagai lapisan anggota masyarakat • Dengan pendekatan ini diharapkan keadilan dan redistribusi sosial tidak hanya digantungkan pada ketakwaan pemimpin, tetapi juga kepada sistem dan manajemen yang memadai.

  12. Ilmu yurisprudensi  sistem independen  fikih • Fikih = ilmu yang memuat berbagai hukum Islam, meliputi seluruh perintah Allah dalam Al Quran dan hadis sebagai akar/prinsip • Hanya sekitar 200 ayat yang bisa disebut ayat-ayat hukum terutama surat ke-2 dan ke-4 • Berbagai ketentuan hukum tersebut tidak cukup memadai untuk menangani semua kasus yang dihadapi umat. • Dibutuhkan pemikiran spekulatif yang melahirkan dua prinsip baru : qiyas dan ijma’

  13. Ra’y, hampir tidak pernah dipandang sbg sumber hukum kelima. • Perbedaan kondisi sosial dan latar belakang budaya dan pemikiran tiap wilayah, pemikiran hukum Islam berkembang ke dalam sejumlah madzhab. • Abu Hanifah di Irak (w 767 M) pemikiran spekulatif dan preferensi untuk mengejar keadilan yang lebih besar • Malik di Madinah (w 795 M) hadis (kehidupan&pola pikir Nabi) • Syafi’i di Baghdad dan Kairo (w 820 M) spekulatif dengan catatan tertentu • Ibn Hanbal di Baghdad (w 857 M)  hadis

More Related