440 likes | 775 Views
Multikulturalisme dan Demokratisasi di Indonesia. Mohtar Mas’oed Universitas Gadjah Mada. Makna Budaya. Mohtar Mas’oed Universitas Gadjah Mada. Budaya ( Culture ). Semua idea, pra ktik , d an obyek material yang diciptakan manusia untuk menangani masalah kehidupan nyata.
E N D
Multikulturalisme dan Demokratisasi di Indonesia Mohtar Mas’oed Universitas Gadjah Mada
Makna Budaya Mohtar Mas’oed Universitas Gadjah Mada
Budaya (Culture) • Semua idea, praktik, dan obyek material yang diciptakan manusia untuk menangani masalah kehidupan nyata. • Budaya dipelajari, dimiliki bersama, dan disebarkan dari satu orang ke orang lain dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. • Budaya adalah hasil konstruksi atau ciptaan dan karena itu itu luwes dan berbeda-beda.
Sumber Budaya • Karena mampu menciptakan budaya, manusia mampu beradaptasi dengan lingkungannya. • Manusia berkembang karena mereka bisa: • Menciptakan simbol-simbol • Membuat alat-perkakas. • Bekerjasama.
“Survival Kit”Budaya • Abstraksi: Kemampuan menciptakan gagasan umum, atau cara berpikir yang terlepas dari sesuatu yang khusus • Simbol:memungkinkan kita untuk mengklasifikasi pengalaman dan membuat generalisasi mengenai pengalaman itu. • Kerjasama: Kemampuan menciptakan kehidupan sosial yang kompleks • Norma:Tata-cara yang diterima secara umum (aturan atau patokan baku); adat-istiadat(folkways) dan aturan moral (mores); • Nilai (values):Gagasan kolektif dan kriteria. • Produksi: Membuat dan menggunakan alat dan teknik yang meningkatkan kemampuan kita untuk memanfaatkan sumberdaya alam. • Buaya material:Hanya manusia makhluk pembuat alat.
Memahami Budaya • Suatu budaya mudah dimengerti kalau: • Anda tidak terlalu dalam terlibat di dalam budaya itu atau terlalu jauh darinya. • Untuk memahami budaya jangan: • Memandang budaya sendiri secara “taken-for-granted”dan • Menilai budaya-budaya lain dengan ukuran-ukuran budaya Anda sendiri (Ethnocentrism)
Multikulturalisme dan Demokratisasi di Indonesia Mohtar Mas’oed Universitas Gadjah Mada
Mimpi Buruk bernama Orde Baru • “Nation-building” • Asimilasi → monisme • “State-building” • Negara intervensionis → merasuk ke lubuk masyarakat paling dalam • “Market-creation” • Akumulasi kapital → komodifikasi
“Nation-building”? • Gagasan awal (ideal) • Bhinneka Tunggal Ika • Multi-kulturalisme • Praktik (realpolitik) • Asimilasi (mayoritas menyerap sisanya) • Nalar • Keharusan struktural mendukung akumulasi kapital
Menciptakan Satu Identitas Asimilasi? (Etnik mayoritas menyerap minoritas) ATAU Multi-kulturalisme (“Bhineka Tunggal Ika”)? (Masing-2 kelompok etnik berkembang, tetapi diikat oleh ideologi yang sama atau “common denominator”)
Modernisasionis = Monistik • Demokrasi tidak mungkin tumbuh tanpa wadah “nation-state” • Nation-building demi identitas nasional tunggal mengatasi identitas ”primordial.” • Modernisasi kultur politik → sekularisasi • Pembangunan ekonomi → pasar tunggal • Multi-kulturalisme mengganggu modernisasi politik (demokrasi) • “Nation-building” Eropa (abad 16-17) dilakukan dg penghapusan perbedaan (“ethnic cleansing”)
Asimilasi Kultural MONISME KULTURAL TEORI “MELTING- POT” Kelompok-2 kecil diserap oleh kelompok terbesar
Multi-kulturalisme PLURALISME KULTURAL Berbagai kelompok mempertahankan identitasnya. Dalam berpolitik, semuanya menjadi Indonesia
Multikulturalismedalam Politik • Mensyaratkan: • Pengakuan tentang makna penting kultur bagi penerapakan hak individual. • Perlindungan terhadap berbagai konsepsi mengenai apa yang baik bagi individu maupun bagi kelompok. the politics of recognition and difference
Multikulturalisme vs. Liberalisme Multikulturalisme = Hak kelompok Liberalisme = Hak individual
Indonesia ≠ Melting Pot • Indonesia bukan campuran antara berbagai jenis orang melebur dalam satu kultur baru. • Indonesia = Multikulturalis. • “Melting pot” = asimilasi yang dipaksakan. Berbagai kelompok etnik di Indonesia tidak di “Jawa”-kan. Masing-2 secara kultural otonom. • Masyarakat Indonesia pada kenyataannya berbeda-beda, multi-etnik, multi-kultural. • Karena itu, berbagai kelompok etnik atau komunitas kultural mesti dipertahankan tanpa memaksakan menjadi satu kultur.
Multikulturalisme • Menghargai keanekaragaman etnik dan ras. • Mengakui bahwa semua kultur memiliki nilai setara. • Mendorong munculnya kebanggaan atau kepercayaan-diri (self-esteem)dan keberhasilan ekonomi.
“Political Civility”: Ideal • Tiga nilai: kebebasan, kesetaraan dan toleransi. Penjamin anggota masy majemuk berinteraksi tanpa dominasi politik (Hefner, 1998:10). • Dalam komunitas spt itu orang terlibat aktif dalam kegiatan kemasyarakatan & bersemangat publik ("civic engagement"); saling berinteraksi sebagai warga yang setara, dengan hak dan kewajiban yang sama; saling membantu, saling-menghormati, saling-percaya, setia-kawan, dan saling-toleran; dan menggiatkan asosiasi atau perkumpulan kemasyarakatan (Putnam, 1993: 87-90).
Tantangan terhadap Demokrasi Muti-kultural • Politik identitas? • “Confessional Politics”
Politik Identitas: Realpolitik • Identitas penduduk semakin beragam; masing2 berhak representasi politik • Muncul kelompok identitas. Keanggotaan berdasar “social marker” (ras, etnisitas, kelas, sex, dsb.). Ada yg dipilih sendiri, ada yg akibat sosialisasi atau bawaan. • Perlu penanganan dg “multi-kulturalisme” • Multi-kulturalisme hanya berhasil kalau disertai dg toleransi pd perbedaan • Demokrat tidak bisa hindari persoalan ini.
Makna kelompok identitas • Keterikatan pada tradisi, bahasa dan bentuk2 kultural lain = aspek penting eksistensi sosial. Ada yg bersedia mati untuk itu. • Kelompok tertindas perlu jaminan perwakilan agar suara didengar. Kebijakan yg adil perlu partisipasi & keterlibatan semua kelompok. Ini hanya mungkin dg perlakuan khusus.
Empat kelompok identitas • Kelompok kultur • Asosiasi sukarela • Kelompok askriptif • Berdasar “unchosen social marker” (gender, warna kulit, etnisitas, difable) • Kelompok keagamaan
Masyarakat “aseli” • Paling dirugikan karena • Tidak dilibatkan dlm proses kebijakan • Jumlah sedikit • Secara kultural sangat berbeda dari kelompok mayoritas • Terisolasi secara geografik • Ekologi rentan • Hidup bertentangan dg modernitas
Masyarakat “aseli” (2) • Identitas kultural + ketimpangan = resep untuk konflik • Bgmn mengurangi “pengucilan politik”? • Bgmn lindungi hak mereka? • Bgmn tanggapi retorika intoleransi kultural & “anti-asing” mereka tanpa melanggar hak mereka bersuara dan mempertahankan tradisi?
Perlu kebijakan publik • Penyediaan sumberdaya publik agar mereka bisa mengorganisasi diri • Agar mereka bisa mengusulkan kebijakan • Wewenang utk veto kebijakan yg langsung mengenaikelompok. Misal: “hak reproduksi bagi perempuan.”
Berikesempatanpadakelompokidentitasygdukungdemokrasi (1) • Karena kehidupan asosiasional dlm demokrasi liberal: atomistik, “interest-oriented”, “homogenizing universalist” tidak peka kultur. • Politik identitas (“pol of difference”) akui perbedaan, komunitas & peka kultur. • Pol of difference: Perlindungan kultur lokal dari ancaman globalisasi.
Berikesempatanpadakelompokidentitasygdukungdemokrasi (2) • Kelompok yang mana? • Yang anggotanya bebas memilih • Tidak melanggar keadilan • Problem • Kelompok identitas yg “beruntung” tidak bersedia menantang “status quo.” Mereka justru melanggengkan struktur ketimpangan & melindungi posisi mereka sendiri.
Tantangan bagi pejuang demokrasi • Bukan hanya merumuskan landasan bagi kesepakatan rasional • TETAPI • Mengembangkan institusi2 yg secara aktif mengelola konflik dan antagonisme yang menyertai perbedaan, terutama konflik berbasis identitas.
Format demokrasi apa? • Demokrasi perwakilan dg system pemilihan berdasar “satu-orang-satu-suara” dalam masyarakat multi-etnik lebih menguntungkan mayoritas karena jumlah mereka. • Apa yang bisa dilakukan? • Membatasi kekuasaan legislasi pusat, yang didominasi kaum mayoritas, dengan cara memindahkan sejumlah kekuasaan kepada badan-badan regional (Otonomi Daerah); • “Checks and balances” di tingkat pusat demi menjamin hak minoritas. (Berbagai cara “power-sharing” di tingkat pusat seperti “Consociationalism”). • Atau kombinasi diantara kedua metode ini.
Mengapa “Confessional Politics”? • Polaumumpasca-PerangDingin. • Kebangkitankembalipolitikberbasis agama. Lembaga agama terbuktiefektifsbgkerangkakerjasamamembentukkoalisipolitik. • Revitalisasiidentitaspolitikberdasar agama. • Menjadisemakinmerebakketikaterjadigelombangliberalisasi & demokratisasi. • Tidakjadisoalasalberlangsungdalamkerangka “civil society” yang demokratik.
“Confessional Politics” = Otoriterisme? • Apakah akan berkembang menjadi patologis atau tidak tergantung pada pengelola negara. • Pemerintah yang ambil inisiatif mem-fasilitasi perkembangan civil society yang sehat umumnya berhasil hindarkan perpolitikan konfessional yang menghancurkan demokrasi. • Yang tidak melakukan itu mendapati perpolitikan konfessional yang mendorong otoriterisme.
Sementaraitu, pemerintahnasionalhadapitantangandariduaarah, trans-nasionaldanlokal • Di satu sisi, pemerintah harus menanggapi tantangan “globalisasi” (utk me-fasilitasi akumulasi kapital) dg akibat sebagian wewenangnya diserahkan pada lembaga internasional. • Di sisi lain, pemerintah juga harus berbagi kekuasaan dengan pemerintah-pemerintah di bawahnya (”desentralisasi”).
Kemerosotan kapasitas pemerintah • Akibatnya, kapasitas pemerintah membuat keputusan secara otonom merosot, justru ketika perannya sangat diperlukan untuk menggerakkan pembaharuan. • Ini berdampak pada penurunan tingkat kepercayaan warga thd kemampuan pem menjamin implementasi amar konstitusi. • Sebaliknya, daya tarik “isme-isme”lain meningkat.