E N D
ANTIDUMPING Sejalan dengan liberalisasi perdagangan, arus keluar masuk barang/jasa dari satu dan ke negara lain semakin tidak mengalami hambatan. Namun, dalam praktik perdagangan internasional, negara produsen atau pengekspor melakukan tindakan yang tidak fair berupa praktik dumping. Praktik dumping ini dilakukan oleh negara pengekspor dengan menentukan harga dibawah atau lebih rendah dari nilai nominalnya atau unit cost yang sebenarnya (menjual dengan harga lebih murah di negara pengimpor daripada di negara produsennya sendiri).
INSTRUMEN HUKUM LEMBAGA ANTIDUMPING • Ketentuan antidumping sudah tercantum sejak disepakatinya GATT pada tahun 1947. Secara simultan telah terjadi beberapa kali diadakan perjanjian tambahan mengenai suatu pasal dalam GATT, di mana perjanjian tambahan tersebut dikenal dengan code. • Sebagai tindak lanjut dari ketentuan ini telah disepakati dalam Tokyo Round yang menghasilkan antidumping code 1979 yang disepakati dan mengikat sejumlah 22 negara yang berlaku efektif sejak 1 Januari 1980. • Untuk kepentingan tersebut, Indonesia telah merafikasik Agreement Establishing The World Trade Organization dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 1994 tentang pengesahan WTO (Lembaran negara Tahun 1994 Nomor 57,TLN Nomor 3564). Dengan ratifikasi pembentukan WTO menandakan sikap pemerintah Indonesia dalam komitmennya mengikuti era perdaganga bebas tidak diragukan lagi, tetapi masih banyak aspek hukum yang harus mengalami harmonisasi terhadap hukum nasional. Indonesia juga harus siap dengan segaa konsekuensi yang timbul sampai pada tataran implementasi kesepakatan yang dituangkan dalam WTO. • Salah satu implementasi dari Antidumping Code, pemerintah telah mengundangkan Undang-Undang Kepabeanan, yaitu Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995. Sebagai follow up dalam penyidikan praktik dumping, Department Perindustrian dan Perdagangan telah membentuk Komite Antidumping.
BEA MASUK ANTIDUMPING (BMAD) Untuk mengantisipasi terjadi praktik dumping, pemerintah negara tujuan produk tersebut dapat mengenakan tarif, sebagai langkah penyeimbang. Secara lebih rinci, Undang-Undang kepabeaan (UU No. 10 Tahun 1995) dalam Pasal 18, 19, dan 20 merumuskan sebagai berikut : Pasal 18 Bea masuk antidumping dikenakan terhadap barang impor dalam hal : • Harga ekspor dari barang tersebut lebih rnedah dari nilai nominalnya, dan • Impor barang tersebut : • Mengakibatkan kerugian terhadap industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis dengan barang tersebut. • Mengecam terjadinya kerugian terhadap industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis dengan barang tersebut. • Menghalangi pengembangan industri barang sejenis di dalam negeri. pasal 19 • Bea masuk antidumping dikenakan terhadap barang impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 setinggi-tingginya sebesar selisih antara nilai nominal dengan nilai ekspor dari barang tersebut. • Bea masuk antidumping sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tambahan dari bea masuk yang dipungut berdasarkan Pasal 12 ayat (1). pasal 20 • “Ketentuan tentang persyaratan dan tata cara pengenaan bea masuk antidumping serta penanganannya diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.” • Sebagai pelaksanaan ketentuan diatas tentang antidumping, pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 1996 tentang Bea Masuk Antidumping dan Bea Masuk Imbalan.
LEMBAGA ANTIDUMPING Instrumen hukum antidumping, selain diatur dalam UU No. 10 Tahun 1995. Pasal dan Pasal 7 PP No. 34 Tahun 1996 menyebutkan bahwa untuk menangani permasalahan yang berkaitan dengan penanggulan importasi barang dumping dan barang mengandunga subsidi, Menteri Perindustrian dan Perdagangan membentuk komite antidumping. Lembaga-lembaga yang menangani administrasi antidumping adalah sebagai berikut : KOMISI ANTIDUMPING (KADI) Berdasarkan Pasal 6 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 1996 menguraikan ruang lingkup tugas KADI sebagai berikut : • Melakukan penyelidikan terhadap barang dumping dan barang mengandung subsidi. • Mengumpulkan, meneliti, dan mengolah bukti dan informasi. • Mengusulkan pengenaan bea masuk antidumping (BMAD). • Melaksanakan tugas lain yang ditetapkan oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan. • Membuat laporan pelaksanaan tugas.
LEMBAGA ANTIDUMPING MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN Kecuali komite, menperinda.g memiliki kewenangan yang meliputi sebagai berikut : • Memutuskan besarnya nilai tertentu untuk pengenaan tindakan sementara. • Memutuskan menerima atau menolak tindakan penyusuaian. • Memutuskan besarnya nilai tertentu untuk pengenaan bea masuk antidumping (BMAD). • Memutuskan untuk memberhentikan atau melanjutkan pengenaaan BMAD dalam hal melakukan review atau BMAD. MENTERI KEUANGAN RI • Menteri keuangan berwenang dalam hal menentapkan tindakan sementara yang dapat berupa : • Pembayaran BMAD sementara, atau • Pencabutan tindakan sementara dan pengambilan pembayaran BMAD sementara.
Lembaga antidumping DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI • Direktur jenderal bea dan cukai memiliki kewenangan untuk melakukan hal-hal sebagai berikut : • Memungut bea masuk antidumping sementara dan bea masuk antidumping. • Menetapkan atau mengembalikan kelebihan pembayaran bea masuk antidumping sementara. • Menetapkan dan mengembalikan kelebihan bea masuk antidumping. BADAN PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK Mengenai penyelesaian sengketa telah diatur dalam Pasal 35 Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 1996 yang menegaskan bahwa keberatan terhadap penetapan bea masuk antidumping dapat diajukan kepada lembaga banding sebagaimana dimaksud dalam pasal 97 UU No. 10 Tahun 1995. Lembaga tersebut tidak lain adalah Badan Penyelesaian Sengketa Pajak yang bertugas memeriksa dan memutuskan banding terhadap keputusan penerapan bea masuk antidumping oleh pejabat yang berwenang
PENYIDIKAN DUMPING Penyidikan barang dumping pada prinsipnya hanya dapat dimulai jika permohonan tertulis dari industri dalam negeri atau atas nama industri dalam negeri. Namum demikian, Komite dapat memutuskan untuk memulai melakukan penyidikan tanpa adanya permohonan dari atau atas nama industri dalam negeri. Secara lebih terperinci, tata cara pesyaratan permohonan penyidikan atas barang dumping diatur dalam Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 261 / MPP / Kep / 9 / 1996 Tanggal 13 September 1996.
PERMOHONAN PENYELIDIKAN Permohonan penyelidikan dilakukan terhadap barang impor yang diduga melakukan praktik dumping sehingga mengakibatkan kerugian terhadap produk barang sejenis atau asosiasi perwakilan produk barang sejenis dalam negeri, permohonan dilakukan secara tertulis dalam bahasa indonesia kepada komite. Apabila permohonan diajukan oleh produsen dalam negeri, maka permohonan tersebut harus mencantumkan nama dan alamat perusahaan serta nama pengurus perusahaan yang berhak mewakili. Sedangkan apabila permohonan oleh asosiasi, maka permohonan harus menyebutkan nama, dan alamat pengurus asosiasi serta nama dan alamaat seluruh produsen yang diwakili. Permohonan wajib dilengkapi dengan data yang diperlukan, seperti : • Uraian lengkap dari barang impor yang diduga sebagai barang dumping. • Nama negara pengekspor dan atau negara asal barang. • Nama dan alamat setiap eksportir / produsen atau asosiasi eksportir / produsen. • Nama dan alamat setiap importir. • Informasi harga ekspor. • Infomasi nilai nominal. • Informasi adanya kerugian yang disebabkan oleh barang impor yang diduga sebagai barang dumping. • Informasi total kerugian barang sejenis yang dihasilkan oleh pemohon dan produsen dalam negeri barang sejenis lainnya.
Next Steps • Produser pengajuan permohonan diatas merupakan tata cara atau syarat formal yang harus ditempuh. Namum, kita belum menyentuh sama sekali persyaratan materil yang harus dicantumkan dalam suatu permohonan untuk penyelidikan barang dumping. Adapun syarat materil serta bukti-bukti yang mendukung yang harus disampaikan berupa sebagai berikut : • Laporan keuangan untuk memperlihatkan kerugian yang diderita, misalnya : • perusahaan beroperasi dengan merugi, • marjin setiap unit menurun, • jumlah penjualan semakin menurun, • pegawai-pegawai perusahaan di PHK, • perusahaan tidak beroperasi dengan kepastian penuh. • Harga perusahaan asing atau biaya-biaya dalam negeri . informasi ini dibutuhkan untuk menentukan nilai normal, yaitu : • Dokumentasi aktual dari harga-harga dalam negeri, • Perkiraan biaya untuk memproduksi produk dalam negeri. Harga dari perusahaan asing, informasi yang dibutuhkan untuk menentukan harga ekspor, yaitu : • Dokumentasi aktual dari harga-harga dalam negeri, • Perkiranan biaya untuk memproduksi produk dalam negeri. • Volume impor dari negara sasaran, dalam hal ini biasanya data statistik dari lembaga resmi, misalnya Badan Pusat Statistik (BPS), akan sangat berguna dan merupakan referensi utama. • Penjualan yang kalah dari barang-barang impor dari negara sasaran, dalam hal ini harus ada dokumentasi mengenai penjualan yang kalah bersaing denga produk import.
PENGERTIAN INDUSTRI DALAM NEGERI • Pasal 6 ayat (1) huruf a Kep. Menperindag No. 216 / MPP / Kep. 19 / 1996 menegaskan bahwa prinsipnya permohonan akan diterima oleh Komite jika produsen dalam negeri barang sejenis yang menyatakan dukungan untuk dilakukan penyelidikan dapat dinyatakan mewakili industri dalam negeri. Ketentuan tersebut merupakan syarat bagi pemohon, di mana pemohon harus mereprentasikan industri dalam negeri. Peraturan pemerintah RI Nomor 36 Tahun 1996 merumuskan definisi tentang industri dalam negeri sebagai berikut : “Industri dalam negeri adalah keseluruhan produsen dalam negeri barang sejenis atau produsen dalam negeri barang sejenis yang produksinya mewakili sebagian besar (lebih dari 50%) dari keseluruhan produksi barang yang bersangkutan.” • Produsen dalam negeri barang sejenis yang dianggap mewakili industri dalam negeri yang memberikan dukungan untuk dilakukan penyelidikan dalam kaitannya dengan volume produksi atau total produksi barang sejenis yang dihasilkan harus memenuhi kondisi sebagai berikut : • Lebih besar dari total produksi yang dihasilkan produsen dalam negeri barang sejenis yang tidak menyatakan dukungan untuk di lakukan penyelidikan. • Tidak kurang dari 25% (dua puluh lima persen) total produksi yang dihasilkan oleh seluruh produsen dalam negeri barang sejenis.
Dasar perhitungan total produksi di atas tidak termasuk produksi barang sejenis yang dihasilkan oleh : • Produsen yang memiliki hubungan dengan importir barang yabg diduga sebagai barang dumping, • Produsen yang memiliki hubungan dengan eksportir / produsen barang yang diduga barang dumping, atau • Produsen yang melakukan impor barang yang diduga sebagai barang dumping. Kriteria produsen yang dinyatakan memiliki hubungan dengan importir atau eksportir / produsen adalah sebagai berikut : • Salah satu dari mereka langsung atau tidak langsung mengendalikan lainnya. • Mereka langsung atau tidak langsung dikendalikan oleh pihak ketiga. • Mereka bersama-sama secara langsung atau tidak langsung mengendalikan pihak ketiga, sepanjang ada alasan yang dapat dipercaya bahwa keduanya memperlakukan pihak ketiga tersebut dengan cara yang berbeda dengan perlakuan terhadap produsen lainnya.
PENENTUAN BARANG SEJENIS Dalam penyelidikan barang dumping, langkah pertama selain melihat harga suatu produk apakah normal atau tidak, penyelidik juga harus mengklasifikasikan barang sejenis. Bagaimana kriteria untuk memilah-milah barang sejenis dengan barang lainnya, Pasal 1 angka 8 Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1996 menyebutkan aspek yang lazim dipertimbangkan dalam penentuan tersebut, yaitu sebagai berikut : • Apakah kedua barang tersebut penggunaannya sama? • Apakah kedua barang tersebut dapat saling menggantikan? • Apakah pola distribusi kedua barang tersebut sama? • Apakah kedua barang tersebut dibuat dengan menggunakan fasilitas produksi dan keahlian yang sama? • Faktor mengenai harga, yaitu bagaimana perbandingan harga kedua barang tersebut? Dengan alat ukur atau analisis di atas, Komite Antidumping dapat berkesimpulkan bahwa produksi dalam negeri merupakan barang sejenis dengan yang diduga sebagai barang dumping.
PENENTUAN ADANYA DUMPING Perngertian dumping diatur dalam Pasal 18 Undang-Undang No. 10 Tahun 1994 dan didefinisikan, “penjualan dengan harga ekspor di bawah nilai nomianl. ” Indikator awal ada tidaknya praktik dumping ialah melihat penentuan harga yang ditetapkan oleh produsen, apakah produsen menentukan harga di negara pengimpor lebih rendah dengan harga normal dari ongkos produksi yang sesungguhnya. Indikasi praktik dumping yang perlu diselidiki, tentunya dengan berdasarkan pada teknis yuridis, baik prosedural dan subtansial. Pengertian nilai normal menurut PP Nomor 34 Tahun 1996 adalah sebagai berikut : “Nilai Normal adalah harga yang sebenarnya dibayar atau akan dibayar untuk barang sejenis dalam perdagangan pada umumnya di pasar domestik negara pengekspor untuk tujuan konsumsi.”
PENENTUAN ADANYA DUMPING Definisi di atas menekankan pada perspektif negara penjual tanpa melihat negara pengimpor atau negara ketiga. Persoalan timbul apabila : • Produsen tidak menjual barang di pasar domestik atau negaranya sendiri • Pemerintah pengekspor atau produsen tidak koperatif dalam menanggapi claim praktik dumping dari negara pembeli / impor. Untuk menjawab permasalahan terseubt tidak dibahas dalam PP No. 34 Tahun 1999. Namun, kita dapat merujuk kepada Antidumping Code 1994 yang menawarkan beberapa solusi dan alternatif apabila hal-hal di atas terjadi. Antidumping Code 1994 menentukan tiga formula untuk mengcounter praktik antidumping, khususnya pada tahap penyelidikan besarnya harga suatu produk.
Ketiga cara tersebut adalah sebagai berikut : Penentuan nilai nominal berdasarkan penjualan di pasar domestik Model penentuan nilai normal ini berdasarkan nilai penjualan pasar domestik negara produsen. Komite melakukan penyelidikan di negara pengekspor untuk mengakses pricing list yang sesungguhnya di negara asal suatu produk yang dianggap barang dumping (Pasal 1 angka 3 PP No. 4 Tahun 1996). Dalam hal survei pasar domestik, negara produsen harus memenuhi kriteria bahwa pasar tersebut merupakan pasar yang viable (viable domestik market), artinya pasar tersebut harus menunjukan volume penjualan yang signifikan, baik dalam omzet, kuantitas, dan nilai. Antidumping Code mensyaratkan sebagai tolak ukur 5% dari total penjualan ke negara penyelidik. Disamping kriteria di atas, komite penyelidik dapat menelusur data melalui penjualan dan penawaran untuk penjualan di pasar domestik. Dalam kesempatan tersebut dapat diperoleh nilai transaksi yang benar-benar terjadi (actual sales) atau pada penawaran untuk penjualan (offer for sales) yang dilakukan oleh produsen /ekspor. Dalam praktiknya, komite akan memperioritaskan pada penyelidikan actual sales, namun apabila informasi dianggap kurang memuaskan dapat dilengkapi melalui offer for sales. Penentuan nilai penjualan pada umumnya (arm’s length sales) juga dapat dijadikan acuan penyelidik. Namun, penjualan tersebut harus memenuhi syarat bahwa penjualan pada umumnya adalah suatu transaksi yang normal, tidak dilakukan dengan menderita kerugian (sale ot loss). Penulusuran data juga dapat dilakukan melalui produsen atau eksportir yang menggunakan jalur penjualan kepada pihak terafiliasi. Penjualan terhadap pihak terafiliasi ini biasanya diabaikan apabila harga penjualan antara pihak terafiliasi dengan tidak terafiliasi menunjukan harga yang sebanding (comparable). Selain menggunakan metode penyelidikan harga yang diberlakukan kepada pihak terafiliasi, komite dapat menelusuri data di pasar domestik melalui, khususnya, dalam proses adjusment atau penyusuaian. Pihak yang berwenang biasanya akan melakukan penyesuaian atas harga penjualan yang tercantum dalam data dan catatan yang dimiliki oleh produsen atau eksportir. Penyesuaian ini dilakukan untuk memperoleh nilai normal yang dapat dipercaya. Penyesuaian ini misalnya dilakukan terhadap diskon, rabat, atau potongan lain yang diberikan seksportir /penjual kepada pembeli.
Ketiga cara tersebut adalah sebagai berikut : Penentuan nilai normal berdasarkan penjualan ke pasar negara ketiga Model pendekatan melalui observasi pasar negara ketiga sangat dimungkinkan apabila pasar domestik negara produsen /eksportir tidak viable. Market size yang tidak memenuhi persyaratan untuk penyelidikan praktik dumping. Banyak faktor yang mempengaruhi tidak kondusifnya atau viable suatu pasar domestik, seperti faktor selera konsumen, kecil pasar domestik, over produksi, atau sistem perekonomian sentralistik yang dikendalikan oleh pemerintah bahkan praktik monopoli oleh pelaku usaha tertentu.
Ketiga cara tersebut adalah sebagai berikut : Penentuan nilai berdasarkan constructed value Model yang ketiga ini diaplikasikan apabila metode yang pertama dan kedua tidak efektif atau tidak memperoleh hasil yang signifikan. Penggunaan constructed value adalah suatu metode yang mendasarkan pada analisis biaya produksi (cost production anlisys). Penilaian atas suatu nilai normal suatu produksi didasarkan pada asumsi atas biaya produksi (cost of manufacture), biaya penjualan dan biaya adminitrasi (selling and adminitrative expenses), serta keuntungan (profit) atas penjualan barang tersebut
ANALISIS KERUGIAN (INJURY) Masalah dumping sesungguhnya merupakan salah satu wujud peranga dagang era globalisasi, bagaimana suatu negara dapat menguasai pasar luar negeri yang dapat memberi kontribusi besar terhadap pertumbuhan ekonomi di negara eksportir. Namun, di sisi lain negara importir atau pembeli sangat tidak diuntungkan dengan praktik semacam ini karena akan membawa implikasi ekonomi yang kompleks dan merugikan. Dari kondisi seperti ini, negara eksportir dapat mengenakan biaya antidumping dengan syarat dapat membuktikan adanya kerugian yang ditimbulkan (Pasal 18 UU No. 10 Tahun 1995).
ANALISIS KERUGIAN (INJURY) Definisi kerugian dalam terminologi antidumping diatur dalam Pasal 1 angka 11 Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 1996. Kerugian adalah : • Kerugian industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis, • Ancaman terjadinya kerugian industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis; atau • Terhalangnya pengembangan industri barang sejenis di dalam negeri. Berdasarkan tiga ketentuan tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa negara importir dapat menderi kerugian berupa sebagai berikut. • . Kerugian materil artinya industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis telah benar-benar mengalami kerugian sebagai akibat adanya barang dumping. • Adanya ancaman bagi industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis mengalami kerugian nyata. Kerugian kedua ini sesungguhnya belum terjadi kerugian secara faktual bagi industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis, namun apabila tidak ada pengenaan biaya antidumping, maka akan sangat mungkin terjadi kerugian. • Adanya dumping mengakibatkan terhalangnya atau kemunduran dalam pengembangan industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis