521 likes | 2.02k Views
PEDAGANG KAKI LIMA. GROUP 4 ANWAR P FEMMI T INDRA JAYADI RYAN P YOSA. Pedagang kaki lima ( PKL ) memiliki ciri yang bisa dikategorikan sebagai sektor informal.
E N D
PEDAGANG KAKI LIMA GROUP 4 ANWAR P FEMMI T INDRA JAYADI RYAN P YOSA
Pedagang kaki lima (PKL) memiliki ciri yang bisa dikategorikan sebagai sektor informal
Istilah sektor informal sendiri, pertama kali diperkenalkan awal 1970-an oleh Keith Hart, dalam studinya mengenai kerja perkotaan di Ghana
Karakteristik sektor informal yang fleksibel, kerap berpindah-pindah dan tidak tercatat menyulitkan pendokumentasian terhadap jumlah para pelaku sektor informal yang sesungguhnya
Menurut perkiraan BPS • Lebih 60% dari total angkatan kerja di Indonesia tercatat sebagai pekerja informal. • Sedangkan dari sisi sumbangannya terhadap PDB menyatakan bahwa sektor informal mampu menyumbang sekitar 30-40%.
Menurut Edy Priyono (2002) • Keberadaan sektor informal sebagai salah satu faktor yang menjelaskan rendahnya angka pengangguran, di masa krisis 1997-1998 yang hanya mencapai 5,5% atau 5,1 juta penganggur. Angka ini jauh di bawah perkiraan Depnaker, Bappenas, dan Task-Force ILO-Jakarta, yang berkisar 12% atau 11 juta penganggur. Data tersebut menunjukkan pentingnya peran sektor informal dalam perekonomian Indonesia. Namun, mengapa perhatian pemerintah terhadap pengembangan sektor informal khususnya PKL, masih sangat minim bahkan cenderung memarginalkan?
Persoalan PKL • Terlepas dari potensi ekonomi sektor informal PKL, maraknya keberadaan PKL di kota-kota besar di Indonesia kerap menimbulkan masalah baik bagi pemerintah setempat, para pemilik toko, dan pengguna jalan. Tidak sedikit para pemilik toko dan pengguna jalan, merasa terganggu dengan membeludaknya PKL.
Penataan PKL • Pilihan strategi terkait dengan cara pandang pemerintah terhadap PKL. Jika pemerintah melihat PKL sebagai potensi sosial ekonomi yang bisa dikembangkan, maka kebijakan yang dipilih biasanya akan lebih diarahkan untuk menata PKL, misalnya dengan memberikan ruang usaha bagi PKL, memformalkan status mereka sehingga bisa memperoleh bantuan kredit bank, dan lainnya
Persoalan PKL • Namun sebaliknya, jika PKL hanya dilihat sebagai pengganggu ketertiban dan keindahan kota, maka mereka akan menjadi sasaran penggusuran dan penertiban
Penanganan PKL di kota Solo • Pemerintah setempat menganggap PKL sebagai potensi yang perlu dikembangkan dan ditata keberadaannya. Dalam rangka menata PKL, pemerintah menggunakan pendekatan budaya dan dialogis • Pada 2006, Pemkot Solo telah berhasil merelokasi sekitar 989 PKL Monjari ke pasar klithikan (barang bekas) Notoharjo Semanggi secara damai. Proses negosiasi relokasi PKL ini, berlangsung hingga enam bulan atau sekitar 54 kali pertemuan antara pemerintah dan PKL
Penanganan PKL di kota Solo • Selain kedua pendekatan di atas, pemberian kios secara gratis juga menjadi penentu keberhasilan relokasi ini • Sebagai pengganti biaya sewa kios, pemerintah setempat mewajibkan para pedagang di Pasar Notoharjo untuk membayar retribusi harian sekitar Rp 3.000,00/kios. Dengan cara ini, pemerintah memperkirakan biaya pembangunan pasar sudah bisa ditutupi dalam 7-9 tahun ke depan
Penanganan PKL di kota Bandung • Meskipun persoalan PKL yang dihadapi Pemkot Bandung cukup kompleks, tetapi pemerintah tampak kurang memberi perhatian serius dan tidak memiliki skenario yang jelas dalam menangani permasalahan ini • Kebijakan penanganan PKL, lebih diarahkan pada penertiban daripada penataan
Penanganan PKL di kota Bandung • Ketiadaan skenario penanganan PKL yang jelas, membuat pemkot terlihat kewalahan mengatasi persoalan ini. Upaya-upaya relokasi dan penertiban yang dilakukan, juga dianggap tidak mampu secara efektif menangani keberadaan PKL. Sebagai contoh, relokasi PKL ke Dezon dianggap kurang berhasil, karena tidak sedikit dari para pedagang yang bangkrut dan kembali ke jalan karena minimnya pembeli yang datang ke Dezon • Pembangunan pasar di Ciroyom dan Cicadas pun, belum sepenuhnya berhasil menarik PKL ke dalam pasar. Hal ini, terkait dengan berbagai hal di antaranya harga kios yang mahal dan lokasi kios yang tidak strategis
Menurut Hart, 1974) Sektor informal PKL setidaknya dapat dilihat melalui dua cara : • dari sudut pandang individu sebagai sumber potensial untuk memperoleh penghasilan • dari besarnya pendapatan dan pengeluaran yang masuk ke perekonomian kota (Hart, 1974)
Menurut Bromley, 1978 • Penting untuk dipahami bahwa meskipun secara harfiah PKL adalah perusahaan kecil yang mandiri, namun ia terikat dengan jaringan ekonomi yang rumit, berhubungan dengan banyak pihak, seperti penyalur, pesaing, pelanggan, pemberi pinjaman, pemberi perlengkapan, aparat pemerintah, dan berbagai pranata publik maupun privat (Bromley, 1978)
Solusi • Dengan demikian, permasalahan PKL memerlukan perubahan yang lebih mendalam dari hanya sekadar pemberian kredit murah dan latihan keterampilan • Diperlukan perubahan secara vertikal seperti peraturan pemerintah dan hubungan kelembagaan yang memengaruhi perusahaan-perusahaan kecil