E N D
Cum Laude Menurut rencana, pada tanggal 18 Februari 1968, Bung Hatta, Pak Njoto Amidjojo, Pak Hutabarat serta dua calon promo-vendus, Drs. Zainul Jasni dengan istri dan saya sekeluarga akan bersama-sama menumpang pesawat ke Makasar. Beberapa hari sebelumnya sejumlah 250 eksemplar buku disertasi saya dikirim ke sana dengan pesawat Hercules AURI dari Lapangan Udara Halim. Namun, sebagai akibat kesulitan komunikasi, saya sendiri ketinggalan pesawat dan baru tiba di Makasar dua hari kemudian. Dari pihak keluarga saya di Makasar saya peroleh kabar bahwa Bung Hatta tampak gelisah ketika saya tidak muncul di lapangan pada waktu yang sudah ditetapkan. Beliau tenang kembali setelah memperoleh kepastian bahwa naskah-naskah disertasi sudah tiba lebih dahulu. Kata beliau, yang penting buku-buku itu untuk disebarkan, promovendus dapat saja muncul pada saat terakhir. Salah seorang guru besar Universitas Hasanuddin yang banyak membantu saya, Prof. Mr. Soetan Mohammad Sjah (terakhir menjabat rektor Universitas Nusa Cendana di Kupang) bercerita, bahwa sekalipun dalam rapat Senat Guru Besar yang membahas persiapan akhir dua upacara promosi itu, beliau berselisih pendapat dengan Dr. Hatta, namun sikap Proklamator yang amat obyektif tetap dihormati dan dijunjung tinggi. Dahulu kabarnya, antara kedua tokoh asal Sumatra Barat itu timbul perbedaan pula tentang penggunaan bahasa Indonesia yang benar. Misalnya kata-kata “tagal itu” yang banyak digunakan Pak Sjah, menimbulkan tanda-tanya bagi Bung Hatta. Penafsiran berbeda-beda itu menjadi pelajaran bermanfaat bagi saya untuk tetap berhati-hati dalam menggunakan bahasa, terutama setelah menjadi guru besar delapan tahun kemudian dan mulai membimbing calon doktor-doktor baru. Pidato pelantikan Bung Hatta, setelah saya melewati bagian ujian, cukup sederhana dan singkat. Saya dinyatakan berhasil dengan predikat cum laude, hal mana disambut dengan tepuk tangan riuh para hadirin. Karya saya berisi suatu studi perbandingan berbagai sistem penentuan keuntungan perusahaan, mengundang beraneka-ragam reaksi. Prof. John Echols, perintis program Modern Indonesia pada Universitas Cornell, berpendapat bahwa buku itu merupakan a very solid piece of study, sedang dari Paris Saudara Drs (kini Dr) Daoed Joesoef menulis bahwa integritas Pak Hatta sebagai pembimbing tidak perlu diragukan. Pada lain pihak, ada juga kritik yang dilontarkan rekan-rekan saya, hal mana sudah sewajarnya demikian. Seusai upacara promosi Saudara Dr. Zainul Jasni dan saya (tanggal 26 Februari 1968), Bung Hatta tetap memberi kuliah di Makasar, lazimnya selama seminggu setiap semester. Pada waktu itulah timbul pemikiran pada saya untuk mencoba mengusulkan gelar doctor honoris causa untuk beliau. Maka gagasan itu saya kemukakan sewaktu sedang bertugas belajar di luar negeri (1969-1971) dan baru menjadi kenyataan tanggal 10 September 1974, 18 tahun setelah Dr. Hatta meresmikan Universitas Hasanuddin. Upacara itu dihadiri Ibu Rahmi Hatta, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Sjarif Thajeb dan almarhum Bapak Margono Djojohadikusumo. Bertindak sebagai promotor kehormatan Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo, Menteri Negara Riset waktu itu. Saya mendapat tugas menjadi pendamping atau paranimf Bung Hatta, bersama Saudara Drs. D.C. Toban, seorang rekan senior yang berturut-turut menjadi asisten Dr. Daoed Joesoef dan Pak Hatta waktu mereka mengajar di Universitas Hasanuddin. Peristiwa bersemarak itu rupa-rupanya menjadi saat perpisahan Bung Hatta dan masyarakat kampus di Ujung Pandang. Sewaktu-waktu saya mengunjungi Wakil Presiden pertama Republik Indonesia di Jakarta, misalnya pada setiap kali saya akan bepergian agak lama ke luar negeri. Sebagai bekas promotor, beliau tetap menunjukkan perhatian pada karier dan pengalaman saya, antara lain dengan mengirim bahan-bahan untuk melengkapi naskah pidato pengukuhan saya sebagai guru besar. Willem H. Makaliwe, Pribadi Manusia Hatta, Seri 11, Yayasan Hatta, Juli 2002