E N D
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Anatomi Kulit Kulit adalah suatu organ pembungkus seluruh permukaan luar tubuh, merupakan organ terberat dan terbesar dari tubuh. Seluruh kulit beratnya sekitar 16 % berat tubuh, pada orang dewasa sekitar 2,7 – 3,6 kg dan luasnya sekitar 1,5 – 1,9 meter persegi. Tebalnya kulit bervariasi mulai 0,5 mm sampai 6 mm tergantung dari letak, umur dan jenis kelamin. Kulit tipis terletak pada kelopak mata, penis, labium minus dan kulit bagian medial lengan atas. Sedangkan kulit tebal terdapat pada telapak tangan, telapak kaki, punggung, bahu dan bokong. Secara embriologis kulit berasal dari dua lapis yang berbeda, lapisan luar adalah epidermis yang merupakan lapisan epitel berasal dari ectoderm sedangkan lapisan dalam yang berasal dari mesoderm adalah dermis atau korium yang merupakan suatu lapisan jaringan ikat. 1. Epidermis Epidermis adalah lapisan luar kulit yang tipis dan avaskuler. Terdiri dari epitel berlapis gepeng bertanduk, mengandung sel melanosit, Langerhans dan merkel. Tebal epidermis berbeda-beda pada berbagai tempat di tubuh, paling tebal pada telapak tangan dan kaki. Ketebalan epidermis hanya sekitar 5 % dari seluruh ketebalan kulit. Terjadi regenerasi setiap 4-6 minggu. 1
2 Epidermis terdiri atas lima lapisan (dari lapisan yang paling atas sampai yang terdalam) : a. Stratum Korneum. Terdiri dari sel keratinosit yang bisa mengelupas dan berganti. b. Stratum Lusidum Berupa garis translusen, biasanya terdapat pada kulit tebal telapak kaki dan telapak tangan. Tidak tampak pada kulit tipis. c. Stratum Granulosum ditandai oleh 3-5 lapis sel polygonal gepeng yang intinya ditengah dan sitoplasma terisi oleh granula basofilik kasar yang dinamakan granula keratohialin yang mengandung protein kaya akan histidin. Terdapat sel Langerhans. d. Stratum Spinosum. Terdapat berkas-berkas filament yang dinamakan tonofibril, dianggap filamen-filamen tersebut memegang peranan penting untuk mempertahankan kohesi sel dan melindungi terhadap efek abrasi. Epidermis pada tempat yang terus mengalami gesekan dan tekanan mempunyai stratum spinosum dengan lebih banyak tonofibril. Stratum basale dan stratum spinosum disebut sebagai lapisan Malfigi. Terdapat sel Langerhans. e. Stratum Basale (Stratum Germinativum). Terdapat aktifitas mitosis yang hebat dan bertanggung jawab dalam pembaharuan sel epidermis secara konstan. Epidermis diperbaharui setiap 28 hari untuk migrasi ke permukaan, hal ini tergantung letak, usia dan faktor lain. Merupakan satu lapis sel yang mengandung melanosit.
3 Fungsi Epidermis : Proteksi barier, organisasi sel, sintesis vitamin D dan sitokin, pembelahan dan mobilisasi sel, pigmentasi (melanosit) dan pengenalan alergen (sel Langerhans). 2. Dermis Merupakan bagian yang paling penting di kulit yang sering dianggap sebagai “True Skin”. Terdiri atas jaringan ikat yang menyokong epidermis dan menghubungkannya dengan jaringan subkutis. Tebalnya bervariasi, yang paling tebal pada telapak kaki sekitar 3 mm. Dermis terdiri dari dua lapisan : a. Lapisan papiler; tipis mengandung jaringan ikat jarang. b. Lapisan retikuler; tebal terdiri dari jaringan ikat padat. Serabut-serabut kolagen menebal dan sintesa kolagen berkurang dengan bertambahnya usia. Serabut elastin jumlahnya terus meningkat dan menebal, kandungan elastin kulit manusia meningkat kira-kira 5 kali dari fetus sampai dewasa. Pada usia lanjut kolagen saling bersilangan dalam jumlah besar dan serabut elastin berkurang menyebabkan kulit terjadi kehilangan kelemasannya dan tampak mempunyai banyak keriput.Dermis mempunyai banyak jaringan pembuluh darah. Dermis juga mengandung beberapa derivat epidermis yaitu folikel rambut, kelenjar sebasea dan kelenjar keringat. Kualitas kulit tergantung banyak tidaknya derivat epidermis didalam dermis.
4 Fungsi Dermis : struktur penunjang, mechanical strength, suplai nutrisi, menahan shearing forces dan respon inflamasi. 3. Subkutis Merupakan lapisan di bawah dermis atau hipodermis yang terdiri dari lapisan lemak. Lapisan ini terdapat jaringan ikat yang menghubungkan kulit secara longgar dengan jaringan di bawahnya. Jumlah dan ukurannya berbeda-beda menurut daerah di tubuh dan keadaan nutrisi individu. Adapun fungsinya untuk menunjang suplai darah ke dermis untuk regenerasi. Fungsi Subkutis / hipodermis : melekat ke struktur dasar, isolasi panas, cadangan kalori, kontrol bentuk tubuh dan mechanical shock absorber. Untuk mengetahui lebih jelas tentang lapisan kulit maka dapat dilihat gambar dibawah ini : Gambar 2.1. Lapisan Kulit
5 4. Vaskularisasi Kulit Arteri yang memberi nutrisi pada kulit membentuk pleksus terletak antara lapisan papiler dan retikuler dermis dan selain itu antara dermis dan jaringan subkutis. Cabang kecil meninggalkan pleksus ini memperdarahi papilla dermis, tiap papilla dermis punya satu arteri asenden dan satu cabang vena. Pada epidermis tidak terdapat pembuluh darah tapi mendapat nutrient dari dermis melalui membran epidermis. B. Fisiologi Kulit Kulit merupakan organ yang berfungsi sangat penting bagi tubuh diantaranya adalah memungkinkan bertahan dalam berbagai kondisi lingkungan, sebagai barier infeksi, mengontrol suhu tubuh (termoregulasi), sensasi, eskresi dan metabolisme. Fungsi proteksi kulit adalah melindungi dari kehilangan cairan dari elektrolit, trauma mekanik, ultraviolet dan sebagai barier dari invasi mikroorganisme patogen. Sensasi telah diketahui merupakan salah satu fungsi kulit dalam merespon rangsang raba karena banyaknya akhiran saraf seperti pada daerah bibir, puting dan ujung jari. Kulit berperan pada pengaturan suhu dan keseimbangan cairan elektrolit. Termoregulasi dikontrol oleh hipothalamus. Temperatur perifer mengalami proses keseimbangan melalui keringat, insessible loss dari kulit, paru-paru dan mukosa bukal. Temperatur kulit dikontrol dengan dilatasi atau kontriksi pembuluh darah kulit. Bila temperatur meningkat terjadi vasodilatasi pembuluh darah, kemudian tubuh
6 akan mengurangi temperatur dengan melepas panas dari kulit dengan cara mengirim sinyal kimia yang dapat meningkatkan aliran darah di kulit. Pada temperatur yang menurun, pembuluh darah kulit akan vasokontriksi yang kemudian akan mempertahankan panas. (http://surabayaplasticsurgery.blogspot.com/2008/05/anatomi-fisiologi-kulit ) C. Fisiologi Nyeri 1. Reseptor Nyeri Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung saraf bebas dalam kulit yang berespons hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosiseptor. Secara anatomis, reseptor nyeri (nosiseptor) ada yang bermielin dan ada juga yang tidak bermielin dari saraf aferen. Berdasarkan letaknya, nosiseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa bagian tubuh yaitu pada kulit (kutaneus), somatik dalam (deep somatic), dan pada daerah viseral. Karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang berbeda. Nosiseptor kutaneus berasal dari kulit dan subkutan, nyeri yang berasal dari daerah ini biasanya mudah untuk dilokalisasi dan didefinisikan. Reseptor jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen, yaitu :
7 a. Serabut A delta Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan transmisi 6-30m/det) yang memungkinkan timbulnya nyeri tajam, yang akan cepat hilang apabila penyebab nyeri dihilangkan. b. Serabut C Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan transmisi 0,5-2 m/det) yang terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan sulit dilokalisasi. Struktur reseptor nyeri somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang terdapat pada tulang, pembuluh darah, saraf, otot dan jaringan penyangga lainnya. Karena stuktur reseptornya kompleks, nyeri yang timbul merupakan nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi. Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral. Reseptor ini meliputi organ-organ viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal, dan sebagainya. Nyeri yang timbul pada reseptor ini biasanya difus (terus- menerus). Nyeri yang timbul dari reseptor ini biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan organ, tetapi sangat sensitif terhadap penekanan, iskemia, dan inflamasi. Nyeri viseral dapat menyebabkan nyeri alih (reffered pain), yaitu nyeri yang dapat timbul pada daerah yang berbeda/jauh dari organ asal stimulus nyeri tersebut. Nyeri pindah ini dapat terjadi karena adanya sinaps jaringan viseral pada medula spinalis dengan serabut yang berasal dari jaringan subkutan tubuh.
8 Berdasarkan jenis rangsang yang dapat diterima oleh nosiseptor, didalam tubuh manusia terdapat beberapa jenis nosiseptor yaitu: nosiseptor termal, nosiseptor mekanik, nosiseptor elektrik dan nosiseptor kimia. Adanya berbagai macam nosiseptor ini memungkinkan terjadinya nyeri karena pengaruh mekanis, kimia, listrik, atau karena perubahan suhu. Serabut nyeri jenis A delta merupakan serabut nyeri yang lebih banyak dipengaruhi oleh rangsang mekanik daripada rangsang panas dan kimia, sedangkan serabut nyeri jenis C lebih dipengaruhi oleh rangsangan suhu, kimia dan mekanik kuat. 2. Transmisi Nyeri Terdapat berbagai teori yang berusaha menggambarkan bagaimana nosiseptor dapat menghasilkan rangsang nyeri. Sampai saat ini dikenal berbagai teori yang mencoba menjelaskan bagaimana nyeri dapat timbul, namun teori gerbang kendali nyeri dianggap paling relevan. a. Teori Spesivisitas (Specivicity Theory) Teori ini digambarkan oleh Descates pada abad ke-17. Teori ini didasarkan pada kepercayaan bahwa terdapat organ tubuh yang secara khusus mentransmisi rasa nyeri. Saraf ini diyakini dapat menerima rangsangan nyeri dan mentransmisikannya melalui ujung dorsal dan substansia gelatinosa ke talamus, yang akhirnya akan dihantarkan pada daerah yang lebih tinggi sehingga timbul respons nyeri. Teori ini tidak
9 menjelaskan bagaimana faktor-faktor multidimensional dapat memengaruhi nyeri. b. Teori Pola (Pattern Theory) Teori ini menerangkan bahwa ada dua serabut nyeri, yaitu serabut yang mampu menghantarkan rangsang dengan cepat; dan serabut yang mampu menghantarkan dengan lambat. Kedua serabut saraf tersebut bersinapsis pada medula spinalis dan meneruskan informasi ke otak mengenai jumlah, intensitas, dan tipe input sensori nyeri yang menafsirkan karakter dan kuantitas input sensori nyeri. c. Teori Gerbang Kendali Nyeri (Gate Control Theory) Pada tahun 1959, Melzack dan Wall menjelaskan teori gerbang kendali nyeri, yang menyatakan terdapat semacam “pintu gerbang” yang dapat memfasilitasi atau memperlambat transmisi sinyal nyeri. Secara umum dapat dijelaskan bahwa didalam tubuh manusia terdapat dua macam transmiter impuls nyeri yang berfungsi untuk menghantarkan sensasi nyeri dan sensasi yang lain seperti rasa dingin, hangat, sentuhan dan sebagainya. Reseptor berdiameter kecil (Serabut A delta dan Serabut C) berfungsi untuk mentrasmisikan nyeri yang sifatnya keras dan reseptor ini biasanya berupa ujung saraf bebas yang terdapat diseluruh permukaan kulit dan pada struktur tubuh yang lebih dalam seperti tendon, fascia dan tulang serta organ-organ interna. Sedangkan transmiter yang berdiameter besar (Serabut A-Beta) memiliki reseptor yang terdapat pada struktur permukaan tubuh dan fungsinya selain
10 mentransisikan sensasi nyeri, juga lebih berfungsi untuk menstransmisikan sensasi lain seperti sensasi getaran, sentuhan, sensasi panas/dingin, serta juga terhadap tekanan halus. Impuls dari serabut A-Beta mempunyai sifat inhibitori (penghambatan) yang ditransmisikan ke serabut C dan A-delta. Ketika ada rangsang, kedua serabut tersebut akan membawa rangsangan menuju kornu dorsalis yang terdapat pada medula spinalis (cornuposterius medullae spinalis). Di medula spinalis inilah terjadi interaksi antara serabut berdiameter besar dan serabut berdiameter kecil di suatu area khusus yang disebut dengan substantia gelatinosa (SG). Pada substantia gelantinosa ini dapat terjadi perubahan, modifikasi, serta memengaruhi apakah sensasi nyeri yang diterima oleh medula spinalis akan diteruskan ke otak atau akan dihambat. Sebelum impuls nyeri dibawa ke otak, serabut besar dan serabut kecil akan berinteraksi di area substantia gelantinosa; yang apabila tidak terdapat stimulus/impuls yang adekuat dari serabut besar, maka impuls nyeri dari serabut kecil akan dihantarkan menuju ke Sel Trigger (Sel T) untuk kemudian dibawa ke otak, yang akhirnya menimbulkan sensasi nyeri yang dirasakan oleh tubuh. Keadaan ketika impuls nyeri dihantarkan ke otak inilah yang diistilahkan dengan “Pintu Gerbang Terbuka”. Sebaliknya, apabila terdapat impuls yang ditransmisikan oleh serabut kulit, sentuhan, getaran, hangat, dan dingin serta sentuhan halus, impuls ini akan menghambat impuls dari serabut berdiameter kecil di area substantia gelatinosa sehingga sensasi gelatinosa, karenanya tubuh tidak dapat
11 merasakan sensasi nyeri. Kondisi ini disebut dengan “Pintu Gerbang Tertutup”. Dalam penghantaran impuls menuju otak, sinaps substantia gelatinosa akan melepaskan substansi P yang diduga sebagai neurotransmiter utama impuls nyeri. Paling sedikit terdapat enam jalur senden untuk impuls nosiseptif yang terletak pada belahan ventral medula spinalis, yang paling utama adalah traktus spinotalamikus (Spinothalamic tract) dan traktus spinoretikuler (Spinoreticular tract). Impuls yang dibawa oleh traktus spinotalamikus selanjutnya dibawa ke korteks untuk diinterpretasi, sedangkan impuls yang dibawa oleh traktus batang otak, untuk mengaktifkan respons-respons autonomik dan limbik (afektif motivasional). Apabila impuls nyeri diteruskan (Pintu Gerbang Terbuka), impuls akan diteruskan ke otak untuk kemudian diproses didalam otak dalam tiga tingkat yang berbeda, yaitu pada talamus, otak tengah (mid brain) dan pada korteks otak. Talamus bertindak sebagai penerima input sensori (impuls nyeri) dari traktus spinotalamikus lateral untuk kemudian diteruskan ke korteks. Otak tengah berfungsi untuk meningkatkan kewaspadaan dari korteks terhadap datangnya rangsang; sedangkan korteks berfungsi untuk melokalisasi impuls dan impuls dipersepsi sesuai dengan lokasi terjadinya nyeri. Dalam perkembangan selanjutnya, teori gerbang kendali nyeri juga dikembangkan untuk menjelaskan tentang adanya fungsi inhibitor
12 (penghambatan) impuls nyeri oleh otak. Basbaum dan Fields meyakini bahwa struktur otak tengah, medula, dan jaringan tulang belakang juga mampu memberi efek penghambat terhadap impuls nyeri. Kondisi seperti ransang elektris, penggunaan obat analgesik, dan faktor-faktor psikologis mampu merangsang struktur medula untuk memperlambat transmisi impuls nyeri di medula spinalis. D. Neuroregulator Nyeri Neuroregulator atau substansi yang berperan dalam transmisi stimulus saraf dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu neurotransmiter dan neuromodulator. Neurotransmiter mengirimkan impuls-impuls elektrik melewati rongga sinaps antara dua serabut saraf, dan dapat bersifat sebagai penghambat atau dapat pula mengeksitasi. Sedangkan neuromodulator bekerja untuk memodifikasi aktivitas neuro tanpa mentransfer secara langsung sinyal- sinyal menuju sinaps. Neuromodulator dipercaya bekerja secara tidak langsung dengan meningkatkan atau menurunkan efek partikuler neurotransmiter. Beberapa neuroregulator yang berperan dalam penghantaran impuls nyeri antara lain adalah : 1. Neurotransmiter a. Substansi 1) Ditemukan pada neuro nyeri dikornudorsalis (peptida ektisator) 2) Diperlukan untuk menstransmisi impuls nyeri dari perifer ke otak.
13 3) Menyebakan vasodilatasi dan edema b. Serotonin 1) Dilepaskan oleh batang otak dan kornudorsalis untuk menghambat transmisi nyeri. c. Prostaglandin 1) Dibangkaitkan dari pemecahan pospolipid di membran sel. 2) Dipercaya dapat meningkatkan sensitivitas terhadap sel. 2. Neuromodular a. Endorfin (Morfin Endogen) 1) Merupakan substansi sejenis morfin yang disuplai oleh tubuh 2) Diaktivasi oleh daya stres dan nyeri 3) Terdapat pada otak, spinal, dan traktur gastrointestinal 4) Memberi efek analgesik b. Bradikinin 1) Dilepaskan dari plasma dan pecah disekitar pembuluh darah pada daerah yang mengalami cedera. 2) Bekerja pada reseptor saraf perifer, menyebabkan peningkatan stimulus nyeri 3) Bekerja pada sel, menyebabkan reaksi berantai sehingga terjadi pelepasan prostaglandin.
14 E. Konsep Nyeri Menurut Mc.Caffery (1979), nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang memengaruhi seseorang, dan eksistensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya. Menurut Asosiasi Nyeri Internasional (1979) disebutkan bahwa nyeri adalah suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan adanya kerusakan jaringan baik secara actual maupun seperti tersebut diatas. Menurut Kozier dan Erb (1983), nyeri adalah sensasi ketidaknyamanan yang dimanifestasikan sebagai penderitaan yang diakibatkan oleh persepsi jiwa yang nyata, ancaman dan fantasi luka. Mengacu pada teori dari Asosiasi Nyeri Internasional, pemahaman tentang nyeri lebih menitik beratkan bahwa nyeri adalah kejadian fisik, yang tentu saja untuk penatalaksanaan nyeri menitik beratkan pada manipulasi fisik atau menghilangkan kausa fisik. Adapun definisi dari Kozier dan Erb, nyeri diperkenalkan sebagai suatu pengalaman emosional yang penatalaksanaannya tidak hanya pada pengelolaan fisik semata, namun penting juga untuk melakukan manipulasi (tindakan) psikologis untuk mengatasi nyeri. F. Klasifikasi Nyeri 1. Klasifikasi berdasarkan waktu kejadian Nyeri dapat dikelompokkan sebagai nyeri akut dan nyeri kronis. Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi dalam waktu (durasi) dari 1 detik
15 sampai dengankurang dari enam bulan, sedangkan nyeri kronis adalah nyeri yang terjadi dalam waktu lebih dari enam bulan. Nyeri akut umumnya terjadi pada cedera, penyakit akut, atau pada pembedahan dengan awitan yang cepat dan tingkat keparahan yang bervariasi (sedang sampai berat). Nyeri akut dapat dipandang sebagai nyeri yang terbatas dan bermanfaat untuk mengindikasikan adanya cedera atau penyakit pada tubuh.Nyeri jenis ini biasanya hilang dengan sendirinya dengan atau tanpa tindakan setelah kerusakan jaringan menyembuh. Tabel 2.1 Perbandingan Nyeri Akut dan Kronis Karakteristik Nyeri Akut Nyeri Kronis Tujuan Memperingatkan adanya Tidak ada cedera atau masalah Awitan Mendadak Terus-menerus atau intermiten Intensitas Ringan sampai berat Ringan sampai berat Durasi Durasi singkat (dari beberapa Durasi lama(enam bulan detik hingga enam bulan) atau lebih) Respons otonom Konsisten dengan respons Tidak ada respons simpatis: otonam Frekuensi jantung meningkat Volume sekuncup meningkat Tekanan darah meningkat Dilatasi pupil Tegangan otot meningkat Penurunan motilitas
16 gastrointestinal Mulut kering Depresi Komponen Ansietas psikologis Mudah marah Menarik diri, isolasi Tidur terganggu Respons lainnya _ Libido menurun Nafsu makan menurun Nyeri kronis umumnya timbul tidak teratur, intermiten, atau bahkan persisten. Nyeri kronis dibedakan dalam dua kelompok besar, yaitu nyeri kronis maglina dan nyeri kronis nonmaligna. Karakteristik nyeri kronis adalah penyembuhannya tidak dapat diprediksi meskipun penyebabnya mudah ditentukan (namun, pada beberapa kasus sulit ditemukan). Nyeri kronis dapat menyebabkan klien merasa putus asa dan frustasi. Klien yang mengalami nyeri kronis mungkin menarik diri dan mengisolasi diri. Nyeri ini menimbulkan kelelahan mental dan fisik. 2. Klasifikasi berdasarkan lokasi Berdasarkan lokasi nyeri, nyeri dapat dibedakan menjadi enam jenis, yaitu nyeri superfisial, nyeri somatik dalam, nyeri viseral, nyeri alih, nyeri sebar, dan nyeri bayangan (fantom). Nyeri superfisial biasanya timbul akibat stimulasi terhadap kulit seperti pada laserasi, luka bakar dan sebagainya. Nyeri jenis ini memiliki durasi yang pendek, terokalisir, dan memiliki sensasi yang tajam.
17 Nyeri somatik dalam (deep somatic pain) adalah nyeri yang terjadi pada otot dan tulang serta struktur penyokong lainnya, umumnya nyeri bersifat tumpul dan distimulasi dengan adanya peregangan dan iskemia. Nyeri viseral adalah nyeri yang disebabkan oleh kerusakan organ internal. Nyeri yang timbul bersifat difus dan durasinya cukup lama. Sensasi yang timbul biasanya tumpul. Tabel 2.2 Perbedaan Nyeri Somatik dan Viseral Somatik Karakteristik Viseral Superfisial Tajam, menusuk Terpusat Tidak Cedera, abrasi, panas/ dingin Tidak Dalam Tajam atau tumpul,difus Menyebar Tidak Cedera, panas, iskemia, pergeseran Ya Tajam, tumpul, difus, kejang Menyebar Ya Distensi, iskemia, spasme, iritasi kimiawi Ya Kualitas Lokalisasi Menjalar Stimulus penyebab Reaksi autonom Refleks kontraksi otot Dalam Ya Ya Nyeri sebar (radiasi) adalah sensasi nyeri yang meluas dari daerah asal ke jaringan sekitar. Nyeri jenis ini biasanya dirasakan oleh klien seperti berjalan/bergerak dari daerah asal nyeri ke sekitar atau ke sepanjang bagian tubuh tertentu. Nyeri dapat bersifat intermiten atau konstan. Nyeri fantom adalah nyeri khusus yang dirasakan oleh klien yang mengalami amputasi. Nyeri oleh klien dipersepsikan berada pada organ yang telah diamputasi seolah-olah organnya masih ada. Contohnya adalah
18 pada klien yang menjalani operasi pengangkatan payudara atau pada amputasi ekstremitas. Nyeri alih (referred pain) adalah nyeri yang timbul akibat adanya nyeri viseral yang menjalar ke organ lain, sehingga dirasakan nyeri pada beberapa tempat atau lokasi. Nyeri jenis ini dapat timbul karena masuknya neuron sensori dari organ yang mengalami nyeri ke dalam medula spinalis dan mengalami sinapsis dengan serabut saraf yang berada pada bagian tubuh lainnya. Berdasarkan pada organ tempat timbulnya, nyeri dapat dikelompokkan dalam: Nyeri organik, nyeri neurogenik, dan nyeri psikogenik. Nyeri organik adalah nyeri yang diakibatkan adanya kerusakan (aktual atau potensial) organ. Penyebab nyeri umumnya mudah dikenali sebagai akibat adanya cedera, penyakit, atau pembedahan terhadap salah satu atau beberapa organ. Nyeri neurogenik adalah nyeri akibat gangguan neuron, misalnya pada neuralgia. Nyeri ini dapat terjadi secara akut maupun kronis. Nyeri psikogenik adalah nyeri akibat berbagai faktor psikologis. Gangguan ini lebih mengarah pada gangguan psikologis dari pada gangguan organ. Klien yang menderita memang ”benar-benar” mengalaminya. Nyeri ini umumnya terjadi ketika efek-efek psikogenik seperti cemas dan takut timbul pada klien.
19 G. Respons Tubuh Terhadap Nyeri Respons fisik timbul karena pada saat impuls nyeri ditransmisikan oleh medula spinalis menuju batang otak dan talamus, sistem saraf otonom terstimulasi, sehingga menimbulkan respons yang serupa dengan respons tubuh terhadap stres. Pada nyeri skala ringan sampai moderat serta pada nyeri superfisial, tubuh bereaksi membangkitkan ”General Adaptation Syndrome” (Reaksi Fight or Flight), dengan merangsang sistem saraf simpatis. Sedangkan pada nyeri yang berat dan tidak dapat ditoleransi serta nyeri yang berasal dari organ viseral, akan mengakibatkan stimulasi terhadap saraf parasimpatis. Tabel 2.3 Respons Fisiologis Tubuh Terhadap Nyeri Reaksi Efek Simpatis Dilatasi lumen bronkus, peningkatan frekuensi napas Memungkinkan penyediaan oksigen yang lebih banyak Denyut jantung meningkat Memungkinkan transpor oksigen lebih besar ke dalam jaringan tubuh (sel) Vasokontriksi perifer Meningkatkan tekanan darah dengan memindahkan suplai darah dari perifer ke organ viseral, otot, dan otak. Peningkatan glukosa darah Memungkinkan penyediaan energi tambahan bagi tubuh Diaforesis Mengendalikan suhu tubuh selama stres Tegangan Otot meningkat Menyiapkan otot untuk mengadakan aksi Dilatasi pupil Menghasilkan kemampuan melihat yang lebih baik Penurunan motilitas usus Menyalurkan energi untuk aktivitas tubuh yang lebih penting
20 Parasimpatis Pucat Disebabkan suplai darah yang menjauhi perifer Kelelahan otot Karena kelemahan Tekanan darah dan nadi menurun Pengaruh stimulasi nervus vagal Frekuensi nafas cepat, tak teratur Karena mekanisme pertahanan yang gagal untuk memperpanjang perlawanan tubuh terhadap stres (nyeri) Mual dan muntah Kelemahan Kembalinya fungsi gastrointestinal Akibat pengeluaran energi yang berlebihan H. Respons Psikologis Respons psikologis sangat berkaitan dengan pemahaman klien terhadap nyeri yang terjadi atau arti nyeri bagi klien. Klien yang mengartikan nyeri sebagai sesuatu yang ”negatif” cenderung memiliki suasana hati sedih, berduka, ketidakberdayaan, dan dapat berbalik menjadi rasa marah dan frustasi. Sebaliknya pengalaman yang ”positif” akan menerima nyeri yang dialaminya. Arti nyeri bagi setiap individu berbeda-beda antara lain : 1. Bahaya atau merusak 2. Komplikasi, seperti infeksi 3. Penyakit yang berulang 4. Penyakit yang fatal 5. Peningkatan ketidakmampuan 6. Kehilangan mobilitas 7. Menjadi tua
21 8. Sembuh 9. Perlu untuk penyembuhan 10. Hukuman karena berdosa 11. Tantangan 12. Penghargaan terhadap penderitaan orang lain 13. Sesuatu yang harus ditoleransi 14. Bebas dari tanggung jawab yang tidak dikehendaki Pemahaman dan pemberian arti bagi nyeri sangat dipengaruhi tingkat pengetahuan, persepsi, pengalaman masa lalu, dan juga faktor sosial budaya. Respons perilaku yang timbul pada klien yang mengalami nyeri dapat bermacam-macam. Meinhart dan Mc.Caffery (1983) menggambarkan tiga fase perilaku terhadap nyeri yaitu : antisipasi, sensasi, dan fase pasca nyeri. Fase antisipasi merupakan fase yang paling penting karena pada fase ini merupakan penentuan untuk fase berikutnya. Pada fase ini, merupakan fase yang memungkinkan individu untuk memahami nyeri, untuk belajar dan mendapatkan gambaran tentang nyeri itu sendiri. Pada fase ini, klien dipersiapkan untuk belajar bagaimana mengendalikan nyeri yang mungkin akan timbul, dan juga klien diajarkan bagaimana tindakan klien jika terapi/ tindakan yang dilakukan kurang efektif. Pada fase antisipasi, klien juga belajar mengendalikan emosi (kecemasan) sebelum nyeri itu sendiri muncul, karena kecemasan dapat menyebabkan peningkatan sensasi nyeri yang terjadi pada klien dan/atau tindakan ulang yang dilakukan oleh klien untuk mengatasi nyeri menjadi kurang efektif.
22 Pada saat terjadi nyeri, banyak perilaku yang dapat diungkapkan oleh seorang klien yang mengalami nyeri seperti menangis, meringis, meringkukkan badan, menjerit, dan bahkan mungkin berlari-lari. Perilaku klien dalam merespons nyeri ini dapat dipengaruhi oleh kemampuan tubuh untuk menoleransi nyeri dan juga oleh berat-ringannya sensasi nyeri itu sendiri. Kadang kala klien tidak mau mengungkapkan pengalaman nyeri yang dirasakannya karena menganggap dirinya adalah ”Orang yang cengeng” atau ia akan berpandangan bahwa perawat akan menyebut klien sebagai ”pasien yang cerewet”. Pada fase pasca nyeri, klien mungkin mengalami trauma psikologis, takut, depresi, serta dapat juga menjadi menggigil. Faktor-faktor yang memengaruhi persepsi tentang nyeri meliputi : 1. Usia 2. Jenis kelamin 3. Budaya 4. Pengetahuan tentang nyeri dan penyebabnya 5. Makna nyeri 6. Perhatian Klien 7. Tingkat kecemasan 8. Tingkat stres 9. Tingkat energi 10. Pengalaman sebelumnya 11. Pola koping 12. Dukungan keluarga dan sosial
23 Pengukuran subjektif nyeri dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai alat pengukuran seperti Skala Visual Analog, Skala Nyeri Numerik, Skala Nyeri Deskriptif atau Skala nyeri Wong-Bakers untuk anak-anak. Namun, pengukuran dengan tehnik ini juga tidak dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri (Tamsuri, 2007). Menurut smeltzer, S.C bare B.G (2002) adalah sebagai berikut : Gambar 2.2 Skala Intensitas Nyeri 1. Skala intensitas nyeri deskritif 2. Skala identitas nyeri numerik 3. Skala analog visual
24 4. Contoh gambar skala nyeri: Skala wajah wong I. Tingkatan Nyeri 1. Skala Intensitas Nyeri Keterangan : Skala :10 Sangat dan tidak dapat dikontrol oleh klien. Skala : 9, 8, 7 Sangat nyeri tetapi masih dapat dikontrol oleh klien dengan aktifitas yang bisa dilakukan. Skala : 6 Nyeri seperti terbakar atau ditusuk-tusuk Skala : 5 Nyeri seperti tertekan atau bergerak. Skala : 4 Nyeri seperti kram atau kaku. Skala : 3 Nyeri seperti perih atau mules. Skala : 2 Nyeri seperti melilit atau terpukul. Skala : 1 Nyeri seperti gatal, tersetrum atau nyut-nyutan Skala : 0 Tidak ada nyeri.
25 2. Tipe Nyeri Keterangan Skala : 10 Tipe nyeri sangat berat. Skala : 7-9 Tipe nyeri berat. Skala : 4-6 Tipe nyeri sedang. Skala : 1-3 Tipe nyeri ringan (Sumber: Saduran dari Fundamental Of Nursing, Sudiharto, Asuhan Keperawatan pada Pasien Nyeri, 1996 ; 23). 3. Daftar nilai kekuatan otot Kekuatan otot dinilai dengan angka 0 (nol) sampai 5 (lima) : Skala 0 = Otot sama sekali tidak mampu bergerak, tampak berkontraksi, bila lengan/ tungaki dilepaskan, akan jatuh 100% pasif. Skala 1 = Tampak kontraksi atau ada sedikit gerakan dan ada tahanan sewaktu jatuh. Skala 2 = Mampu menahan tegak yang berarti mampu menahan gaya gravitasi (saja),tapi dengan sentuhan akan jatuh Skala 3 = Mampu menahan tegak walaupun sedikit didorong tetapi tidak mampu melawan tekan/ dorongan dari pemeriksa. Skala 4 = Kekuatan kurang dibandingkan sisi lain Skala 5 = Kekuatan utuh. Uji kekuatan otot sekali-kali bukan membandingkan kekuatan pasien dengan sipemeriksa (Augustinus, 2003 ; 36). (http://keperawatanadil.blogspot.com/2007/11/tingkatan-nyeri.html)
26 J. Teknik Pemasangan Infus 1. Pengertian Infus adalah memasukan cairan dalam jumlah tertentu melalui vena penderita secara terus menerus dalam jangka waktu yang agak lama. Menurut Ns.Eni Kusyati, Skep (2006) tentang prosedur terapi intravena adalah sebagai berikut : a. Persiapan Alat 1) Jarum/ kateter untuk pungsi vena yang sesuai 2) Untuk Infus cairan IV : (a) Perangkat pemberian IV (Pilihan bergantung pada tipe larutan dan kecepatan pemberian : Bayi dan anak kecil memerlukan slang mikrodrip yang memberikan 60tts/mnt. (b) Filter 0,22mm (Jika diperlukan sesuatu kebijakan institusi atau jika bahan berpatikel akan diberikan ). (c) Tambahan slang (digunakan jika diperlukan jalur IV lebih panjang). 3) Untuk Heparin Lock (a) Steker IV. (b) Loop IV atau slang pendek (jika perlu). (c) Spuit. (d) Torniket. (e) Sarung tangan sekali pakai. (f) Papan tangan.
27 (g) Kasa ukuran 2 x 2 cm dan salep povidon iodin; atau untuk larutan balutan transparan, larutan povidon iodin. (h) Plester yang telah dipotong dan siap digunakan. (i) Handuk untuk diletakkan dibawah tangan klien. (j) Tiang Intravena. (k) Pakaian khusus dengan kancing dilapisan bahu (mempermudah pelepasan slang IV) jika tersedia. b. Prosedur Pelaksanaan 1) Cuci tangan. 2) Atur peralatan disamping tempat tidur tanpa kusut atau diatas meja tempat tidur. 3) Buka kemasan steril dengan menggunakan teknik aseptik. 4) Untuk Pemberian Cairan IV : (a) Periksa larutan, menggunakan ”Lima Benar” pemberian obat. Pastikan aditif yang diresepken seperti Kalium dan Vitamin, telah ditambahkan. Periksa larutan terhadap warna, kejernihan, dan tanggal kadaluarsa. (b) Jika menggunakan IV dalam botol, lepaskan logam dan lempeng karet dan logam dibawah penutup.Untuk kantong larutan IV plastik, lepaskan lapisan plastik di atas port slang IV. (c) Buka set infus, dan pertahankan sterilitas pada kedua ujung.
28 (d) Pasang klem rol 2-4 cm (1-2 inci) dibawah bilik drip dan pindakan klem rol pada posisi off. (e) Tusukan set infus ke dalam kantong atau botol cairan : (1) Lepaskan penutup pelindung kantong IV tanpa menyentuh lubangnya. (2) Lepaskan penutup pelindung dari jarum penusuk dan tusuk penusuk ke penyumbat dengan antiseptik sebelum menusukkan jarum penusuk. (f) Isi Slang Infus : (1) Tekan bilik drip dan lepaskan, biarkan terisi ⅓- ½ penuh. (2) Lepaskan pelindung jarum dan klem rol untuk memungkinkan cairan memenuhi bilik drip memulai slang ke adaptor jarum. Kembalikan klem rol ke posisi off setelah slang terisi. (3) Pastikan slang terisi dari udara dan gelombang udara. (4) Lepaskan pellindung jarum. (5) Untuk Heparin Lock. Jika diperlukan loop atau slang pendek karena penyimpangan letak sisi IV, gunakan teknik steril untuk menghubungkan steker ke loop atau slan. Suntikan 1-3 ml salin normal melalui steker ke dalam atau slang. (6) Pilih jarum IV yang tepat atau over the needle catheter (ONC).
29 (7) Pilih tempat distal vena yang digunakan. (8) Jika terdapat banyak rambut pada tempat penusu, guntinglah. (9) Jika mungkin, letakkan ekstremitas pada posisi dependen. (10) Letakan torniket 10-12 cm (5-6 inci) diatas tempat penusuk.Torniket harus menyumbat aliran vena, bukan arteri. Periksa adanya nadi distal (11) Kenakan sarung tangan sekali pakai. Pelindung mata dan masker dapat digunakan untuk mencegah cipratan darah pada membran mukosa perawat. (12) Letakakan ujung adaptor jarum perangkat infus dekat dengan kasa steril atau handuk. (13) Pilih vena yang terdilatasi baik. Metode untuk membantu mendilatasi vena meliputi : (a) Menggosok ekstremitas dari distal ke proksimal dibawah tempat vena yang dimaksud. (b) Menggenggam dan melepaskan genggaman. (c) Menepuk perlahan di atas vena. (d) Memasang kompres hangat pada ekstremitas, misalnya waslap hangat.
30 (14) Bersihkan tempat insersi dengan gerakan sirkular yang kuat menggunakan larutan povidon iodin, hindari menyentuh tempat yang telah dibersihkan, biarkan tempat tersebut mengering selama 30 detik. Jika klien alergi terhadap iodin, gunakan alkohol 70% selama 60 detik. (15) Lakukan fungsi vena. Tahan vena dengan meletakkan ibu jari diatas vena dan dengan meregangkan kulit berlawanan arah dengan arah penusukan 5-7,5 cm ke arah distal tempat penusukan. Jarum kupu-kupu pegang jarum pada sudut 20○-30○dengan bevel ke arah atas sedikit ke arah distal terhadap tempat aktual fungsi vena. (16) Perhatikan keluarnya daarah melalui slang jarum kupu- kupu atau bilik flashback ( over the needle catheter) ONC, yang menandakan bahwa jarum telah memasuki vena.Turunkan jarum sampai hampir menyentuh kulit. Dorong jarum kupu-kupu sampai hubungan menempel dengan tempat fungsi vena. Dorong kateter ONC 0,6 cm ke dalam vena, lalu lepaskan stiletnya. Dorong kateter ke dalam vena sampai hubungan menempel dengan tempat fungsi vena. Jangan pernah memasukkan kembali stilet telah melepaskannya. (17) Tahan kateter dengan satu tangan, lepaskan torriout dan lepas sstilet dari ONC. Jangan menutup kembali stilet.
31 Dengan cepat hubungkan adaptor jarum dari perangkat pemberian atau heparin lock ke hubungan dari ONC atau slang kupu-kupu. Jangan pernah menyentuh tempat masuk adaptor jarum. (18) Lepaskan klem roler untuk memulai infus pada kecepatan untuk mempertahankan potensi aliran IV (tidak diperlukan pada heparin lock). (19) Amankan kateter atau jarum IV (prosedur dapat berbeda, periksa kebijakan institusi). (a) Pasang plester kecil (1,25 cm) dibawah kateter dengan sisi yang lengket menghadap ke atas dan silangkan plester di atas kateter. (b) Jika digunakan balutan kasa, oleskan salep povidon iodin ditempat iodin di tempat fungsi vena, biarkan larutan mengering. (c) Pasang plester kedua tempat menyilang hubungan kateter. (d) Letakkan bantalan kasa 2x2 cm di atas tempat insersi dan hubungan kateter dan fiksasi plester 2,5 cm atau pasang balutan transparan di atas tempat tusukan IV searah pertumbuhan rambut. Jangan menutup hubungn antara slang IV dan hubungan kateter.
32 (e) Letakkan loop slang infus pada balutan menggunakan plester 2,5 cm. (20) Untuk pemberian cairan IV, atur kecepatan aliran sampai tetesan yang tetesan yang tepat per menit. (21) Tuliskan tanggal dan waktu pemasanan aliran serta ukuran jarum pada balutan. (22) Lepaskan sarung tangan , singkirkan alat-alatdan cuci tangan. (23) Catat pada catatan perawat mengenai jenis larutan, letak insersi, kecepatan aliran ukuran dan tipe kateter atau jarum, kapan infus di mulai dan bagaimana toleransi klien terhadap prosedur. 2. Tujuan a. Mencukupi kebutuhan cairan kedalam tubuh pada penderita yang mengalami kekurangan cairan. b. Memberi zat makan pada penderita yang tidak dapat atau tidak boleh makan-minum melalui mulut. c. Untuk memberi pengobatan yang terus menerus d. Memulai dan mempertahankan terapi cairan IV
33 3. Komplikasi yang dapat terjadi dalam pemasangan infus: a. Hematoma, yakni darah mengumpul dalam jaringan tubuh akibat pecahnya pembuluh darah arteri vena, atau kapiler, terjadi akibat penekanan yang kurang tepat saat memasukkan jarum, atau “tusukan” berulang pada pembuluh darah. b. Infiltrasi, yakni masuknya cairan infus ke dalam jaringan sekitar (bukan pembuluh darah), terjadi akibat ujung jarum infus melewati pembuluh darah. c. Tromboflebitis, atau bengkak (inflamasi) pada pembuluh vena, terjadi akibat infus yang dipasang tidak dipantau secara ketat dan benar. d. Emboli udara, yakni masuknya udara ke dalam sirkulasi darah, terjadi akibat masuknya udara yang ada dalam cairan infus ke dalam pembuluh darah. K. Penelitian Terkait Penelitian Seven Sitorus (2000) dengan judul Tingkat Kecemasan Klien Selama Dilakukan Tindakan Pemasangan Infus di Ruangan IGD Rs. Medistra Jakarta.Hasil penelitian menunjukan bahwa tingkat kecemasan klien selama dilakukan tindakan pemasangan infus di ruangan IGD Rs.Medistra Jakarta tahun 2000 sebesar 65%. Kecemasan tersebut dapat timbul oleh karena klien belum pernah dilakukan tindakan pemasangan infus, pengalaman masa lalu klien tentang pemasangan infus, dan informasi yang kurang tentang pemasangan infus.
34 L. Kerangka Teori Berdasarkan yang telah diuraikan pada studi kepustakaan, maka peneliti membuat kerangka teori sebagai berikut : Reseptor nyeri : - Serabut A delta - Serabut C Pemasangan Infus Neurotransmiter : - Substansi - Bradikinin - Prostaglandin Neuromodular : - Endorfin - Serotonin Memasukan cairan dalam jumlah tertentu melalui vena Tidak nyeri Nyeri (Sumber : Hidayat, A. Aziz Alimul, 2004. Buku Saku Praktikum Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta : EGC)