10 likes | 219 Views
Kisah Selebaran Gelap Kampanye Pemilihan Presiden 2009 tengah berlangsung sengit. Tiga pasangan calon: Megawati-Prabowo, Susilo Bambang Yudhoyono-Budiono, dan Jusuf Kalla-Wiranto, tengah berada dalam puncak kampanye.
E N D
Kisah Selebaran Gelap Kampanye Pemilihan Presiden 2009 tengah berlangsung sengit. Tiga pasangan calon: Megawati-Prabowo, Susilo Bambang Yudhoyono-Budiono, dan Jusuf Kalla-Wiranto, tengah berada dalam puncak kampanye. Tatkala JK sedang kampanye di salah satu provinsi, tiba-tiba saja beredar selebaran fotokopi yang mewartakan bahwa istri Budiono, bukan seorang muslimah. Rizal mallarangeng, salah seorang anggota tim pemenangan pasangan SBY-Budiono, bereaksi keras. Ia menganggap bahwa selebaran tersebut sengaja dilakukan oleh JK untuk memojokkan pasangan SBY-Budiono. Selebaran yang dimaksud adalah berita yang diambil dari salah satu penerbitan resmi. Di depan media, Rizal menyerang JK. Tim JK tidak terima tudingan itu, dan membela diri. Bisa saja selebaran itu dilakukan oleh orang-orang tak bertanggung jawab, yang justru ingin memojokkan pasangan JK-Wiranto, karena dianggap black campaign terhadap lawannya. Tim JK mengadu ke polisi atas sikap Rizal tersebut. Belakangan ketahuan, penyebar selebaran bukanlah tim dari JK. Malah katanya, justru orang yang menyebarkan itu disuruh oleh salah satu orang dekat tim SBY. Yang menyebarkan pun datang meminta maaf ke kubu SBY. Bagaimana JK menyikapi ini? Enteng sekali baginya. “Aneh, kertas yang beredar yang sama sekali saya tidak tahu, tidak pernah lihat, kok saya dituding mengedarkan. Ini keterlaluan. “Lagi pula,” sambung JK, “itu bukan selebaran gelap, karena jelas siapa yang menulis dan siapa yang mempublikasikannya. Apanya yang gelap?” tanya JK. “Dari segi semantik saja, tudingan itu sudah tidak klop,” kata JK lagi. “Selebaran gelap itu berarti kita tidak tahu siapa yang menulis dan menerbitkannya. Kalau penulis dan penerbit jelas, berarti bacaan tersebut sebenarnya sudah diketahui oleh publik. Malah mungkin, sebelum acara di Medan itu, kertas yang dimaksud sudah dibaca oleh publik jauh sebelumnya.” Yang menggelikan bagi JK adalah, tuntutan atas dirinya yang dinilai menyebarkan kampanye hitam. “Katakanlah saya pernah membaca selebaran itu, apakah saya yang harus berhadapan dengan hukum? Tidak perlu jadi ahli hukum untuk mengetahui logika ini,” ujar JK. Media yang mempublikasikan berita itu, kan jelas siapa. Ya, medianya dong yang mereka tuntut. Kok pembaca yang dituntut. Coba, kalau media, katakanlah Kompas, memberitakan sesuatu,. Pihak yang dirugikan oleh berita itu, kan tidak menuntut ke pembaca Kompas, tetapi ke media Kompas yang memberitakannya. Sungguh mengherankan cara berpikir mereka,” tegas JK santai. JK terkesan sekali tidak hirau dengan berita mengenai penyebaran fotokopi tersebut. Ia seolah menganggap hal tersebut amat sepele, karena itu, untuk apa membuang waktu dan energi untuk menanggapinya secara serius. Logika yang dipakainya sangat sederhana: melakukan hal seperti itu, sama dengan hara-kiri politik sebab pihak lawan pasti akan menggunakan isu tersebut bahwa ia dianiaya. Reaksi dingin dengan logika yang jitu dari JK tersebut membuat kalangan media kian memberi perhatian pada penerbit fotokopi tersebut. Dan dari situlah awal terbongkarnya siapa sesungguhnya di balik pembebaran fotokopi itu. Setelah segalanya jadi jelas, kubu JK hanya berkomentar pendek: Siapa yang menabur, dialah yang menuai.