90 likes | 512 Views
Assalamu’alaikum.wr.wb. HAKIKAT , MAJAS, TA’WIL Disusun Oleh : Ayu Lestari .
E N D
Assalamu’alaikum.wr.wb HAKIKAT , MAJAS, TA’WIL Disusun Oleh : Ayu Lestari
A. HAKIKAT Hakikat merupakan lafal yang digunakan kepada pengeretiam aslinya sesuai dengan maksud penciptaannya. Misalnya: menggunakan kata al-asad kepada al-hayawan almuftaris (binatang buas, yaitu singa). Contoh lafal yang digunakan kepada makna hakikat dalam Al-Qur’an adalah surat al-An’amayat 151: وَلاَ تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِيْ حَرَّمَ اللهُ اِلاَّ باِ لْحَقِّ ... Artinya:...dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan (sesuatu sebab yang ) benar..( QS. Al-An’am /6: 151). Yang dimaksud larangan membunuh dalam ayat tersebut adalah membunuh dalam arti hakikatnya, yaitu menghilangkan nyawa seseorang
B. Majaz Majaz adalah lafal yang menggunakan kepada selain pengertian aslinya karena ada hubungannya dengan makna aslinya itu serta ada qarinah yang menunjukkan untuk itu.Misalnya: Menggunakan kata( al-asad ) bukan kepada binatang buas yaitu singa sebagai makna aslinya, tetapi kepada rajulun suja’(laki-laki pemberani), karena ada hubungan sama-sama berani Bahwa yang dimaksud dengan suatu lafal adalah makna majazi-nya dapat diketahui dengan adanya qarinah atau tanda-tanda yang menunjukkan bahwa yang dimaksud oleh si pembicara bukan makna hakiki-nya tetapi makna majazi. Dalam cotoh diatas, manakala seseorang berkata: Raaitu asadan ‘ala al-mimbar ( رأيت أ سدا على المنبر, Saya melihat asad diatas mimbar)”, dengan menyebut kata mimbar , maka segera dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan asad dalam ungkapan itu adalah laki-laki pemberani, seorang singa podium.
Contoh majaz dalam Al-Qur’an yaitu surat al-maidah ayat 6: ...أَوْ جَاءَ أحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَا ئِطِ ... Artinya:...atau kembali dari tempat buang air (kakus)...(Qs. Al-maidah 5: 6) Arti hakikat dari kata( al-ghait) Pada ayat diatas adalah tempat buang air atau kakus, tetapi dalam ayat ini yang dimaksud adalah makna majazinya yaitu buang air, karena semata-mata datang dari kakus tanpa buang air tidaklah membatalkan wudhu. Qarinah yang menunjukkan makna majaz, ada yang dalam petunjuk lafal itu sendiri, dan disini terdapat perbedaan pendapat yang luas antara kalangan para ahli ushul fiqh dalam mentukan apakah suatu keadaan dapat dapat dianggap sebagai qarinah atau tidak.
C. TA’WIL1. Pengertian Ta’wilMenurut bahasa , ta’wil berasal dari kata ala, yaulu, artinya kembali, berarti kembali kepada asal (ar-ruju’u ila al-ashl) dan dalam bentuk kata ta’wil berarti mengembalikan sesuatu kepada asal.اَلتَّأوِيْلُ لُغَةً مِنْ اٰﻠَيَٶُوْلُ Ta’wil menurut istilah yaitu: اَلتَّأْوِيْلُ صَرْفُ الْكَلاَ مِ مِنْ ظَا ﻫِرِهِ إِلىَ مَعْنًى يَحْتَمِلُهُ بِدَلِيْلٍ يُصَيِّرُهُ رَاجِحَحًا.{الامام السوكانى} Artinya:” Ta’wil ialah membelokkan kalimat dari zhahirnya pada arti lain yang lebih sesuai dengan alasan yang kuat sehingga arti yang lain inilah yang dianggap lebih sesuai .”(Imam syakuni). Adapun ta’wil menurut adib shalih yaitu ta’wil berati pemalingan suatu lafal dari maknanya yang zhahir kapada makna lain yang tidak cepat dapat ditangkap, karena ada dalil yang menunjukkan bahwa makna itulah yang dimaksud oleh lafal tersebut. Serta banyak berlaku pada bidang hukum islam.
Contoh : Hadist Rasulullah yang diriwayatkan Abu Daud عَنْ مُحَمَّدُ بْنُ اْلعَ لاَءِ عَنْ ﺃَبِيْهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فِي كُلِّ سَائِمَةِ إِبِلٍ فِي ﺃَرْبَعِيْنَ بِنْتُ لَبُوْنِ وَمَنْ مَنَعَهَا فَإِنَّاﺁﺧِﺫوهَا وَشَطْرَمَالِهِ عَزْمَةً مِنْ عَزَمَاتِ رَبَّنَا عَزَّوَجَلَّ لَيْسَ لِلِ مُحَمَّدٍ مِنْهَا شَيْءٌ{رواه ﺃبوداود} Dari Muhammad bin al-‘Ala dari ayahnya, dari kakeknya, sesungguhnya Rasulullah SAW. Bersabda :” Pada binatang ternak unta yang dilepas, pada setiap empat puluh ekor, (wajib dizakatkan) satu ekor unta bintu labun, barangsiapa yang enggan mengeluarkannya, maka kamilah yang akan mengambilnya, sebab sebagian harta miliknya merupakan hak dan kewajiban Tuhan kami ‘azza wa jalla, yang tidak layak bagi keluarga Muhammad sedikit pun.(HR.Abu Dawud).
2. SYARAT-SYARAT PENGGUNAAN TA’WILSahnya suatu ta’wil harus memenuhi syarat –syarat tersebut, diantaranya: • Sesuai dengan ilmu bahasa/kesusastraan. • Dapat dipergunakan sesuai pengertian bahasa. • Sesuai dengan ketentuan-ketentuan syara’ dan istilah-istilah syara’ yang ada • Menunjukkan dalil (alasan tentang ta’wilnya itu) • Apabila berdasarkan qiyas, haruslah memakai qiyas yang terang dan kuat. • Lafal yang hendak di-ta’wil-kan itu mengandung beberapa pengertian, baik ditinjau dari segi bahasa seperti makna hakikat dan majazi-nya.
3. KEDUDUKAN TA’WILUlama ushul telah sepakat, bahwa ta’wil itu han ya berlaku dalam soal-soal furu’.Adapun mengenai soal-soal ushul(pokok-pokok syara’). Seperti soal sifat Allah, surga, neraka, dan sebagainya, maka terdapat tiga pendapat yaitu sebagai berikut: 1.Tidak berlaku Ta’wil dalam soal-soal ushul اَﻷصُوْلُ لاَيَدْخُلُهَا اللتَّأْوِيْلُ. اَﻷصُوْلُ يَدْخُلُهَا التَّأوِيْلُ مَعَ تَفْوِيْضِ تَأوِيْلِهِ اِلَى اللهِ عَزَّوَجَلَّ.{ﻤﻧهب السلف} 2. Berlaku dalam soal-soal ushul hanya saja ta’wilnya diserahkan kehadirat Allah SWT.(menurut mmdzhab) اَﻷصُوْلُ يَدْخُلُهَا التَّأوِيْلُ.{عند ﻤﺬهب اخلف} 3. Berlaku ta’wil dalam soal ushul, menurut madzhab khalaf termasuk Ibnu Abbas. Jadi, lafal aidin dalam lafal yang berbunyi: وَالسَّمَا͠ءَ بَنَيْنَا هَا بِأَيْدٍ.{اﻟﺬاريات: ٤٧} Artinya: “Aku membuat langit itu dengan tangan-Ku”(QS. Adz-Dzariyat: 47)
Menurut pendapat pertama diatas; Allah itu mempunyai tangan seperti tangan manusia yang berarti Allah itu berjisim (berbentuk). Ini tidak benar karena dalam hal ini Allah disamakan dengan makhluk-Nya, padahal Allah tidak sepert makhluk. Seperti dijelaskan dalam firman tersebut yaitu: لَيْسَ كَمِثْلِهٖ شَيْءٌ وَهُوَالسَّمِيْعُ اْلبَصِيْرُ. {الشورى: ١١} Artinya: “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. Dan Dialah yang Maha mendengar lagi Maha Melihat.”(QS.Asy-Syura: 11) Menurut pendapat kedua, Allah itu bersifat, bertangan, tetapi tangan Allah tidak berarti sama dengan tangan makhluk-Nya, jadi Allah tidak berjisim se3perti manusia lain, dan itu hanya Allah sendiri yang mengetahuinya sesuai kebesaran-Nya. Menurut pendapat ketiga, tangan Allah dalam ayat tersebut diatas diartikan dengan kekuasaan sebagaimana firman-Nya: اَللهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَاْلوَاحِدُاْلقَهَّارُ.{الرعد: ١٦ Artnya: “Allah adalah pencipta segala sesuatu dan Dia-lah Tuhan yang Maha Esa lagi Maha Perkasa.”