210 likes | 396 Views
Kel 5. Hal 36 - 44. Kondisi Psikologis Pengusaha Primbumi dan Non Pribumi. Keterangan : dbn = di bawah normal, dan = di atas normal.
E N D
Kel 5 Hal 36 - 44
Kondisi Psikologis Pengusaha Primbumi dan Non Pribumi Keterangan : dbn = di bawah normal, dan = di atas normal
Para pengusaha di Indonesia kurang mempunyai kepercayaan pada kemampuan diri sendiri, sehingga mereka kurang terdorong untuk berprestasi didalam berusaha. Akibatnya, usaha mereka menjadi statis bahkan mengalami kemunduran.
Menurut bambang Tri Cahyono bahwa masalah masalah yang dihadapi pengusaha atau perusahaan ekonomi kecil biasanya berkisar pada kurangnya keahlian pada bidang pemasaran, kelemahan dalam bidang organisasi, managemen, dan terbatasnya modal dari luar yang diperoleh.
Usaha di Indonesia hanya bergerak pada jenis usaha konvensional dengan homogenitas produk yang dhasilkan sehingga para pengusaha kurang bisa mengadakan deversifikasi produk. Hal tersebut menunjukkan bahwa para pengusaha kecil di Indonesia kurang mempunyai keterampilan berwiraswasta.
Menurut jochen roopke menyatakan bahwa sukses bisnis para pengusaha di Indonesia lebih banyak akibat kemampuan mengambil keuntungan dari koneksi sosial atau relasi sosial (pungli). Modal utama mereka adalah social know-how dan koneksi, bukanlah keahlian teknis, pengetahuan mengenai pemasaran, dan kerja keras.
Sampai sekarang, setiap perubahan radikal dalam struktur kekuasaan Indonesia dibarengi oleh kejatuhan ekonomi dari kelompok pengusaha yang sampai waktu itu mempunyai kedudukan yang istimewa. (Jochen Roepke, 1978: 70-74). • keberhasilan para wiraswasta politik tersebut karena adanya koneksi.
(Suparman Sumahamijaya) Masalah usaha kecil adalah kesiapan mental untuk melakukan kegiatan usaha kecil dan kegiatan usaha apapun. • Penyakit mental itu disebut RM JIPUN atau RM JIBUDBAL, yang berarti rendah diri, malas, jiwa punakawan atau rendah diri, malas, bebal
“bebalism” atau “oblomovism” artinya berkisar pada lamban, bandel, kepala batu, dan dungu. (Suparman Sumahamijaya, 1980 : 109) • Jadi, sikap mental kaum intelek dan rakyat kecil masih sangat rendah (belum unggul), padahal sebagian besar mereka adalah calon-calon wiraswasta Indonesia.
Sikap mental yang merintangi pembangunan ialah tentang ketergantungan seseorang kepada orang lain (menurut Sumardi Marwan) • Sifat-sifat atau kalau tidak boleh dikatakan telah menjadi membudaya kurang menghargai waktu yang telah melekat pada kebanyakan warga masyarakat kita. (Sumardi, 1976 : 7-9)
Contoh Konkrit • Wiraswasta yang selalu mengharapkan bantuan kredit dari bank • Kurang aktif mencari pembeli barang/jasa hasil produksinya • Lebih suka meniru barang/jasa yang diciptakan pengusaha lain • Jika mendapat keuntungan/kredit, digunakan untuk hal yang kurang produktif
Faktor-faktor yang menyebabkan jumlah wiraswasta sangat sedikit di Indonesia menurut Deddi Angga Diredja : • Faktor perjalanan sejarah bagi negara-negara bekas jajahan Indonesia merupakan faktor yang sangat dominan sebagai penghambat pertumbuhan dan perkembangan tenaga –tenaga wiraswasta. Di mana faktor historis yang kurang menguntungkan ini dapat dilihat pada masa penjajahan Belanda dan Jepang. • Faktor pendidikan yang tidak menunjang perkembangan wiraswasta Pendidikan formal (sekolah) yang berlangsung di Indonesia, sebagian besar masih mengikuti sistem pendidikan kolonial (feodal) yang lebih menitikberatkan pada teacher oriented yaitu di dalam proses belajar mengajar guru yang memegang peranan aktif sedangkan siswa hanya bersikap pasif (menerima pelajaran saja). Begitu pula pendidikan informal di lingkungan keluarga, masih banyak dipengaruhi oleh sitem pendidikan feodal warisan penjajah, sehingga kurang dapat mendukung terbentuknya sikapa mental wiraswasta di kalangan anggota keluarga(terutama pada anak-anaknya).
Faktor-faktor yang menyebabkan jumlah wiraswasta sangat sedikit di Indonesia menurut Deddi Angga Diredja : • Faktor kebijaksanaan pembangunan yang kurang memberikan kesempatan bagi lahirnya tenaga-tenaga wiraswasta sejati Faktor kebijaksanaan pemerintah yang kurang tepat (terutama kebijaksanaan di bidang ekonomi) juga dapat menghambat lahirnya tenaga-tenaga wiraswasta. • Adapun kebijaksanaan pemerintah yang kurang mendukung perkembangan wiraswasta, misalnya: kebijaksanaan dalam bentuk proteksi (perlindungan) dan subsidi yang berlebihan (dalam jangka panjang) kepada para pengusaha kita, khususnya pengusaha golongan ekonomi lemah.
Pada masa belanda , ada keinginan berwiraswasta pada rakyat Indonesia terlihat dari beberapa organisasi sebagai alat perjuangan ekonomi para wiraswasta kita untuk memajukan kesejahteraan hidup rakyat • Organisasi : Bank Pertolongan dan Tabungan (Hulp en Spaarbank), koperasi, Serikat Dagang Islam
Cara Belanda meneror mental dan membatasi kebebasan wiraswasta kita : • Orang Belanda memperkuat orde tradisional yang feodal dengan cara mengontrol orang Indonesia melalui kaum ningrat mereka sendiri (pemerintahan tidak langsung) • Kegiatan inovatif wiraswasta pribumi, dianggap tidak sah oleh orang Belanda (Jochen Roepke, 1978 : 69)
Dampak negatif cara Belanda • Masih berfikir kolot (berharap menjadi PNS) • Malu menjadi wiraswasta
Pada masa penjajahan Jepang • Penguasa Jepang membubarkan koperasi dan mengganti dengan kumai • Kumai merupakan organisasi monopoli penguasa • Kumai menyebabkan kehidupan wiraswasta rakyat mati
Faktor jeleknya kondisi wiraswasta di Indonesia: • Pendidikan formal karena di Indonesia KBM sangat pasif sehingga mematikan kreativitas dan kemampuan siswa. • Pendidikan informal di lingkungan keluarga juga dipengaruhi sistem pendidikan feodal warisan penjajah, sehingga kurang mendukung terbentuknya sikap mental wiraswasta dikalangan keluarganya.
Faktor kebijaksanaan pembangunan di bid. Ekonomi juga dapat menghambat lahirnya tenaga-tenaga wiraswasta.
Kebijaksanaan pemerintah yang kurang mendukung perkembangan wiraswasta : Kebijaksanaan dalam bentuk proteksi dan subsidi yang berlebihan kepada para pengusaha kita (khususnya gol. Ekonomi lemah) • Hal ini menjadi penyebab mengapa di Indonesia sangat sedikit muncul wiraswasta yang positif, karena hal itu membuat wiraswasta kita menjauhi tanggung jawab terhadap resiko, menjauhi tantangan, tidak tekun dan ulet, dan bersikap boros
Perlindungan hanya meninabobokan dalam ayunan kursi goyang meraih keuntungan-keuntungan (Heidjrachman Ranupandojo, 1982 : 24) • Sehingga sikap menta wiraswasta mereka jadi negatif dan kurang berkembang