10 likes | 256 Views
Nonton Bola, Apa Tafakur? Kami sudah pindah ke Jakarta setelah menjadi Ibukota RI. Hubungan antara keluarga Soekarno-Hatta bertambah akrab. Kami saling berkunjung pada acara-acara kekeluargaan. Maka aku dapat mengalami beberapa peristiwa bersama Bung Hatta, yang kini masih berkesan di hatiku.
E N D
Nonton Bola, Apa Tafakur? Kami sudah pindah ke Jakarta setelah menjadi Ibukota RI. Hubungan antara keluarga Soekarno-Hatta bertambah akrab. Kami saling berkunjung pada acara-acara kekeluargaan. Maka aku dapat mengalami beberapa peristiwa bersama Bung Hatta, yang kini masih berkesan di hatiku. Suatu hari kami menonton pertandingan sepak bola antara PSSI melawan (kalau tak salah) kesebelasan Aryan Ghimkanna dari India di Stadion Ikada (kini kompleks Monas). Pertandingan berjalan amat seru, permainan tak seimbang. Pihak tamu lebih tinggi teknik permainannya dan agresif. Penyerang tengahnya tak bersepatu, tendangannya luar biasa. Penonton berteriak-teriak setinggi langit, memberikan dorongan moral bagi PSSI agar mencetak goal. Bung Karno, Bung Hatta dan aku duduk di tribune kehormatan. Pada saat itu “tampangnya” lebih jelek dari Stadion Menteng kini. Namun kami semua, termasuk mereka berdua, bangga bukan main duduk di sana. Kuperhatikan, sikap Bung Karno dan Bung Hatta sambil menonton. Aku tahu persis, Bung Karno kurang suka sepak bola. Tetapi karena penonton gegap gempita, kadang-kadang ia terbawa emosi, ikut berteriak atau menghentakkan kaki, bila ada adegan seru. Sebaliknya Bung Hatta, walaupun penonton riuh-rendah, ia tetap tenang. Namun tatapan matanya jelas mengikuti secara cermat larinya bola. Terkadang ia mengangguk-angguk bila PSSI nyaris mencetak goal. Sampai-sampai aku berpikir, “Pak Hatta ini nonton bola, apa lagi tafakur memikirkan soal-soal kenegaraan?” Begitu pertandingan usai dengan 1-0, Bung Hatta menjadi agresif dan antusias membahas kekalahan PSSI, yang diutarakan dengan amat sistematik dan mendetail kepada Bung Karno, seperti membicarakan soal politik yang urgent dan rumit. Bung Karno tampak begitu terpojok dan keteter menjawab argumentasi Bung Hatta. Sampai waktu pintu mobil kepresidenan Indonesia sudah mengangah lebar, ajudan sudah berdiri tegap, masih saja Indonesian Number Two menghujani Indonesian Number One dengan masalah analitis dari pertandingan seru tadi. Guntur Soekarnoputra, Pribadi Manusia Hatta, Seri 10, Yayasan Hatta, Juli 2002