330 likes | 672 Views
Kalender Hijriah. Pengantar. Regularitas alam. Kalender matahari dan bulan. Sejarah perkembangan kalender di Arab. Kalender Arab (pra-Islam). Kalender Hijriah. Memahami kalender hijriah. Prinsip Dasar Kalender Hijriah. Peredaran Bulan. Hisab dan Ru’yat.
E N D
Kalender Hijriah • Pengantar Regularitas alam Kalender matahari dan bulan • Sejarah perkembangan kalender di Arab Kalender Arab (pra-Islam) Kalender Hijriah • Memahami kalender hijriah Prinsip Dasar Kalender Hijriah Peredaran Bulan Hisab dan Ru’yat • Perbedaan waktu puasa dan Idul Fitri Perbedaan Peran Pemerintah Contoh Data Sidang Itsbat • Frequently Asked Question (FAQ) • Daftar pustaka slide berikutnya > © Evan Irawan Akbar, 2007 e-mail: evan@students.as.itb.ac.id, kangmasgudeg@yahoo.com
menu slide sebelumnya slide berikutnya Regularitas Alam Keteraturan alam Setiap hari matahari, bulan dan bintang terbit dan terbenam secara teratur. Puluhan ribu tahun yang lalu, manusia masih sangat bergantung pada alam. Untuk dapat berkebun, mereka harus menunggu datangnya musim hujan. Jika mereka ingin berburu, harus tahu kapan musim kawin dan musim migrasi binatang. Begitu pula jika ingin menangkap ikan di laut, mesti mengetahui musim pasang surut. Beruntung, nenek moyang kita tidak memiliki kesibukan seperti kita. Mereka memiliki banyak waktu luang untuk menjelajah dan mengamati alam. Satu hal yang tak mungkin lepas dari pengamatan mereka adalah pergerakan bintang di langit. Mereka pun menyadari, ketika matahari bergeser ke utara, Pulau Jawa mengalami musim kemarau. Musim ini buruk untuk bertanam padi. Mereka juga memperhatikan, pasang surut air laut bersesuaian dengan bentuk wajah bulan. Saat bulan mati dan bulan purnama, air laut akan naik atau turun hingga beberapa meter. Keteraturan ini mereka pelajari dan mereka jadikan patokan. moonrise sunset Pasang surut Pasang surut air laut dipengaruhi oleh gravitasi bulan dan matahari. Pasang surut terbesar terjadi ketika matahari, bumi dan bulan berada dalam satu garis lurus (saat fase bulan mati atau purnama). pasang surut bintang di langit
menu slide sebelumnya slide berikutnya Kalender Matahari dan Bulan (1) Setelah mengamati selama ratusan tahun, manusia akhirnya menemukan perhitungan waktu untuk pertama kalinya. Mereka menemukan kalender. Tentu saja kalender yang ada pada masa itu masih sangat sederhana. Misalnya, pergantian hari ditandai dengan bayangan terpendek, yakni saat matahari ada di atas kepala. Namun semakin lama, kalender makin berkembang. Selain hari, mulai ada satuan bulan dan tahun. Bahkan demi memperoleh ketelitian yang cukup tinggi, dibuatlah tahun kabisat. Pada dasarnya, berdasarkan pergerakan matahari dan bulan, ada tiga macam kalender di dunia ini: 1. kalender matahari (solar calendar). Kalender ini menggunakan matahari sebagai patokan. Satu tahun terdiri dari 365 hari 5 jam 48 menit 46 detik (365.2422 hari) atau lamanya waktu yang diperlukan bumi untuk mengelilingi matahari. Kalender masehi yang kita gunakan sehari-hari adalah contoh kalender matahari. Kelebihan kalender ini adalah, kesesuaiannya dengan musim. Indonesia, contohnya, biasa mengalami musim kemarau antara bulan April hingga Oktober. Karenanya, kalender ini digunakan sebagai pedoman beraktivitas sehari-hari (bercocok tanam, menangkap ikan, dll). 2. kalender bulan (lunar calendar). Kalender bulan memanfaatkan perubahan fase bulan sebagai dasar perhitungan waktu. Dalam perjalanannya mengelilingi bumi, fase bulan akan berubah dari bulan mati ke bulan sabit, bulan separuh, bulan lebih separuh, purnama, bulan separuh, bulan sabit, dan kembali ke bulan mati. Satu periode dari bulan mati ke bulan mati, lamanya 29 hari 12 jam 44 menit 3 detik (29.5306 hari). Periode ini disebut dengan satu bulan. Panjang tahun dalam kalender bulan adalah 12 bulan (12 x 29.5306 hari), yakni 354 hari 8 jam 48 menit 34 detik (354.3672 hari). Kalender bulan biasa digunakan untuk keperluan ibadah. Kalender bulan tertua yang diketahui berusia 17 ribu tahun. Bukti keberadaan kalender ini terpahat di dinding Gua Lascaux, Perancis
menu slide sebelumnya slide berikutnya Kalender Matahari dan Bulan (2) Gua Lascaux. Kiri : Gua dipenuhi pahatan hingga ke langit-langit. Lukisan ini adalah bukti peradaban tertua di bumi. Diperkrakan lukisan ini berasal dari zaman es terakhir, sekitar 15000 SM. Kanan : Titik-titik hitam yang menunjukkan fase-fase bulan dari bulan mati ke purnama. Titik hitam ini berjumlah 14.Siapapun yang memahat lukisa nini sudah menyadari keteraturan fase bulan dan menggunakannya sebagai pedoman waktu. 3. kalender bulan-matahari (luni-solar calendar). Dalam kalender matahari, awal bulan tidak harus menyesuaikan dengan bentuk fase bulan. Tidak demikian halnya dengan kalender bulan-matahari. Dalam kalender ini, satu tahun lamanya 365.2422 hari (sama seperti kalender matahari) namun pergantian bulan disesuaikan dengan periode fase bulan (1 bulan = 29.5306 hari). Normalnya, kalender ini terdiri dari 12 bulan. Satu bulan ada yang lamanya 29 hari dan ada yang 30 hari. Jika kita hitung, dalam setahun hanya ada 12 x 29.5309 hari = 354 hari. Lebih cepat 11 hari dari yang seharusnya. Agar kalender ini tetap konsisten dengan pergerakan matahari, dibuatlah tahun kabisat yang terdiri dari 13 bulan sebanyak 7 kali dalam 19 tahun. Kelebihan kalender ini adalah, konsistensinya dengan musim sekaligus penggunaannya untuk keperluan ibadah. Contoh kalender matahari-bulan adalah kalender Cina (imlek), kalender Saka, kalender Jawa, Sunda, Bali, dan kalender Yahudi.
menu slide sebelumnya slide berikutnya Kalender Arab (pra-Islam) Sebelum kedatangan Islam, masyarakat Arab sudah mengenal kalender. Namun kalender yang dipergunakan adalah kalender bulan-matahari. Dalam kalender ini, pergantian tahun selalu terjadi di penghujung musim panas (sekitar bulan September, ketika matahari melewati semenanjung Arab dari utara ke selatan). Bulan pertama dinamai Muharram, karena di bulan ini seluruh suku di semenanjung Arab bersepakat mengharamkan peperangan. Pada bulan kedua, sekitar bulan Oktober, daun-daun mulai menguning. Karenanya, bulan ini diberi nama Shafar yang berarti kuning. Di bulan ketiga dan keempat, bertepatan dengan musim gugur (rabi’). Keduanya diberi nama bulan Rabi’ul awwal dan Rabi’ul akhir. Januari dan Februari adalah musim dingin atau musim beku (jumad), sehingga dinamai Jumadil awwal dan Jumadil akhir. Di bulan berikutnya, matahari kembali melintasi semenanjung Arab. Kali ini matahari bergerak dari selatan ke utara. Salju di Arab mulai mencair. Karenanya, bulan ini dinamai dengan bulan Rajab. Setelah salju mencair, lahan pertanian kembali bisa ditanami. Masyarakat Arab mulai turun ke lembah (syi’b) untuk menanam atau menggembala ternak. Bulan in disebut bulan Sya’ban. Bulan berikutnya, matahari bersinar terik hingga membakar kulit. Bulan in disebut dengan bulan Ramadhan (dari kata ramdhan yang berarti sangat panas). Cuaca makin panas di bulan berikutnya, hingga disebut dengan bulan Syawwal (peningkatan). Puncak musim panas terjadi di bulan Juli. Di waktu-waktu ini masyarakat Arab lebih senang duduk-duduk (qa’id), tinggal di rumah daripada bepergian. Bulan ini diberi nama Dzulqa’dah. Di bulan keduabelas, masyarakat Arab berbondong-bondong pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah Haji sehingga bulan ini disebut dengan bulan haji atau Dzulhijjah. Sedangkan bulan ketigabelas yang ditambahkan di setiap penghujung tahun kabisat disebut dengan bulan Nasi’.
menu slide sebelumnya slide berikutnya Kalender Hijriah (1) Kalender bulan-matahari yang berlaku di semenanjung Arab ternyata menimbulkan kekacauan. Masing-masing suku menetapkan tahun kabisatnya sendiri-sendiri. Hal ini menjadi dalih dan pembenaran untuk menyerang suku lain di bulan Muharram dengan alasan, bulan itu adalah bulan Nasi’ menurut perhitungan mereka. Setelah turun wahyu kepada Muhammad saw, kalender bulan-matahari diubah menjadi kalender bulan. Satu tahun terdiri dari duabelas bulan, sebagaimana firman Allah, “Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah ada 12 bulan, (sebagaimana) dalam ketetapan Allah sewaktu Dia menciptakan langit dan bumi, diantaranya ada 4 bulan haram….” [At Taubah: 36] Meskipun begitu, nama-nama bulan tetap tak berubah karena sudah terlanjur populer di masyarakat. Lagipula, nama-nama ini tidak mengandung unsur kemusyrikan. Dengan diberlakukannya kalender bulan, ramadhan tak lagi selalu jatuh di musim panas. Setiap tahun akan terus bergeser. Di kalender masehi, kita merasakan perayaan idul fitri akan lebih cepat 11 hari dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Meski merepotkan (tanggalnya selalu berganti-ganti), namun hal ini menguntungkan bagi saudara-saudara kita yang tinggal di daerah dengan empat musim. Pergeseran waktu di kalender Masehi membuat Ramadhan bisa terjadi di musim dingin, musim gugur, musim semi maupun musim panas.
menu slide sebelumnya slide berikutnya Kalender Hijriah (2) Ketika Rasulullah saw masih hidup, kalender yang digunakan tidak berangka tahun. Jika seseorang ingin menuliskan waktu transaksi, hanya ditulis: 14 Rajab. Tentu saja, hal ini menimbulkan kerancuan, apakah yang dimaksud 14 Rajab tahun ini atau lima tahun yang lalu? Enam tahun setelah wafatnya Rasulullah saw, Gubernur Irak, Abu Musa al Asy’ari mengirim surat kepada Khalifah Umar Bin Khatthab. Sebagian surat itu berisi saran agar kalender Hijriah diberi angka tahun. Usul ini pun disetujui. Umar segera membentuk panitia yang beranggotakan Umar, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqqas, Talhah bin Ubaidillah, dan Zubair bin Awwam. Panitia kecil ini bermusyawarah untuk menentukan kapankah dimulainya tahun pertama. Ada yang mengusulkan tahun kelahiran Nabi saw (‘Am al Fil, 571 M), seperti kalender Masehi yang merujuk pada kelahiran Isa. Ada pula yang mengusulkan tahun turunnya firman Allah yang pertama (‘Am al Bi’tsah, 610 M). Pada akhirnya, yang disetujui adalah pendapat Ali yang menggunakan tahun hijrah dari Makkah ke Madinah (‘Am al Hijrah, 622 M). Alasannya, 1. dalam Al Qur’aan, Allah memberi banyak penghargaan pada orang-orang yang berhijrah. 2. masyarakat Islam yang berdaulat dan mandiri baru terbentuk setelah hijrah ke Madinah. 3. ummat Islam diharapkan selalu memiliki semangat hijriah, tidak terpaku pada satu keadaan dan senantiasa ingin berhijrah menuju keadaan yang lebih baik. Karena tahun pertama dimulai sejak peristiwa hijrah ke Madinah, kalender ini kemudian populer disebut kalender hijriah.
menu slide sebelumnya slide berikutnya Prinsip Dasar Kalender Hijriah Meski tidak mendetail, aturan tentang kalender hijriah telah tercantum dalam al Qur’aan dan hadits. Aturan tersebut kemudian menjadi pedoman dalam pembuatan kalender hijriah. 1. satu tahun hijriah terdiri dari 12 bulan. Dalilnya adalah QS At Taubah ayat 36, “Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah ada 12 bulan…” 2. pergantian bulan terjadi saat terlihatnya hilal. Dari sekian banyak hadits shahih yang ada, saya ambil salah satu hadits dari kitab shahih Bukhary, “Berpuasalah kamu setelah melihat hilal dan berbukalah setelah melihat hilal. Maka bila pandanganmu terhalang (oleh mendung atau hujan), sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban menjadi 30 hari.” 3. satu bulan terdiri dari 29 hari. Namun bisa juga menjadi 30 hari jika hilal masih belum tampak. Dalilnya adalah hadits di nomor 2. 4. pergantian hari terjadi pada waktu maghrib (setelah matahari terbenam). Dalilnya adalah hadits di nomor 2.
menu slide sebelumnya slide berikutnya Peredaran Bulan (1) bulan mati bulan purnama bulan sabit Gambar kanan: Orbit bulan miring 5,2 derajat Kalender hijriah berkaitan sangat erat dengan peredaran bulan mengelilingi bumi. Karena peredaran inilah, bulan bisa berubah bentuk dari sabit ke purnama. Untuk memahami peredaran bulan dan beberapa istilah yang akan sering digunakan, klik salah satu fase bulan yang ada di samping kiri.
Gambar 1 menu slide sebelumnya slide berikutnya Peredaran Bulan (2) bulan mati bulan purnama bulan sabit Gambar 2 Gambar 3 Bulan berputar mengelilingi bumi. Suatu ketika, bulan berada diantara matahari dan bumi. Pada masa ini, kita tidak bisa melihat bulan, karena: 1. bagian bulan yang menghadap ke bumi adalah bagian malam. 2. bulan sedang berada di dekat matahari. Jangan bayangkan, bulan hanya ada di malam hari. Bulan bisa ada di siang hari, sore hari ataupun malam hari. Di gambar 1 ditunjukkan posisi bulan searah dengan posisi matahari. Jadi saat itu sebenarnya bulan sedang berada di dekat matahari. Bulan terbit dan terbenam bersamaan dengan matahari (gambar 2). Posisi seperti ini (bulan berada diantara matahari dan bumi) disebut dengan konjungsi atau ijtima’. Dalam kondisi seperti ini, dikatakan bulan berusia nol. Jika bulan tepat berhimpit dengan matahari, akan terjadi gerhana matahari. Permukaan matahari akan tertutup oleh bulan (gambar 3).
Gambar 4 menu slide sebelumnya slide berikutnya Peredaran Bulan (3) bulan mati bulan purnama bulan sabit Gambar 5 Saat purnama, yang terjadi justru kebalikan dari bulan mati. Bulan justru berada di arah yang berseberangan dengan matahari. Jika matahari terbenam, bulan purnama justru baru terbit di arah timur. Dan jika matahari terbit, bulan malah terbenam. Jika posisi bulan benar-benar segaris lurus dengan matahari dan bumi, saat purnama akan terjadi gerhana bulan (gambar 5).
Gambar 7 menu slide sebelumnya slide berikutnya Peredaran Bulan (4) Foto 8: diambil dari slide Sidang Itsbat awal Ramadhan 1427 H bulan mati bulan purnama bulan sabit Gambar 6 Gambar 8 Dalam pembuatan kalender hijriah, pemahaman tentang bulan sabit menjadi hal terpenting. Bulan sabit terjadi sebelum dan setelah bulan mati. Jika bulan bergeser sedikit saja (tidak lagi segaris dengan matahari dan bumi), kita di bumi akan dapat melihat sedikit bagian bulan yang mengalami siang. Fase ini kita sebut bulan sabit. Bentuk sabit yang semula tipis akan menebal dari hari ke hari. Hingga akhirnya menjadi bentuk bulan separuh, purnama lalu kembali lagi ke separuh, sabit dan bulan mati (gambar 7). Yang harus dicamkan, pergantian bulan hijriah terjadi saat terlihatnya hilal, yakni bulan sabit tertipis yang bisa dilihat mata setelah fase bulan mati (contoh hilal diperlihatkan di gambar 8. Ini adalah foto Hilal bulan Rajab 1427 H/26 Juli 2006 jam 18.23 di Pantai Anyer). Karena hilal ini terjadi tak lama setelah konjungsi, posisi bulan masih berada di dekat matahari (gambar 6). Atas dasar ini, pengamatan hilal selalu dilakukan menjelang matahari terbenam. Di Indonesia, hilal biasa terlihat di sebelah barat, sekitar 30 menit sebelum matahari terbenam.
menu slide sebelumnya slide berikutnya Hisab dan Ru’yat (1) Pada masa Rasulullah saw, proses melihat (ru’yat) hilal sangat sederhana. Cukup dengan menanti matahari terbenam di hari ke-29, lalu mencari bulan sabit. Jika ada dua orang yang melihatnya, sudah bisa dipastikan malam ini adalah tanggal satu (ingat, pergantian hari di kalender hijriah terjadi ketika maghrib). Jika hilal tidak terlihat, bilangan bulan akan digenapkan menjadi 30. Berarti, esok hari masih tanggal 30 bulan yang sama. Tanggal satu akan jatuh besok sore. Cara ini sangat sederhana dan sangat cocok dengan keadaan ummat Islam pada masa itu yang sebagian besar buta huruf (ummi). Tidak perlu seorang sarjana atau seorang jenderal, siapapun yang memiliki mata yang baik akan bisa melihat hilal. Tapi akan sangat merepotkan jika penetapan awal bulan hijriah harus menunggu terlihatnya hilal. Jika begini, tidak akan ada yang tahu kapan pergantian bulan terjadi. Apakah bulan ini berjumlah 29 hari? Atau digenapkan menjadi 30 hari? Untuk itu, kalender hijriah ada yang dihitung ke depan. Untungnya, periode revolusi bulan lamanya 29.5306 hari. Nyaris 29.5 hari. Dengan memanfaatkan ini, disepakati bahwa lamanya suatu bulan berseling antara 29 dan 30 hari. Metode pembuatan kalender hijriah yang seperti ini disebut dengan metode hisab urfi (hisab: menghitung atau perhitungan). 30 hari 29 hari 30 hari 29 hari 30 hari 29 hari 7. Rajab 8. Sya’ban 9. Ramadhan 10. Syawwal 11. Dzulqa’idah 12. Dzulhijjah 1. Muharram 2. Shafar 3. Rabi’ul awal 4. Rabi’ul akhir/ rabi’ul tsani 5. Jumadil awal/ jumadil ula 6. Jumadil akhir/ jumadil tsani 30 hari 29 hari 30 hari 29 hari 30 hari 29 hari (atau 30 hari di tahun kabisat) Tahun kabisat terjadi jika suatu angka tahun dibagi 30, masih menyisakan 2, 5, 7, 10, 13, 15, 18, 21, 24, 26, atau 29. Misalnya, tahun 1412. Jika 1412 kita bagi dengan 30, menghasilkan 47 sisa 2. Karena sisa 2, tahun 1412 H termasuk tahun kabisat. Tahun 1420 H juga tahun kabisat karena menyisakan 10.
menu slide sebelumnya slide berikutnya Hisab dan Ru’yat (2) Hisab urfi tidak selalu mencerminkan fase bulan yang sebenarnya. Ia hanya metode pendekatan. Satu siklus fase bulan yang lamanya 29.53 hari didekati dengan 29 dan 30 hari (tentu akan aneh kalau ada tanggal 29.5) Karenanya, untuk keperluan ibadah, meru’yat (melihat) hilal secara langsung tetap harus dilakukan. Biasanya ru’yat dilakukan dalam penetapan awal Ramadhan, hari raya Idul Fitri, dan ibadah haji. Metode hisab lain yakni dengan menghitung posisi bulan yang sebenarnya, disebut dengan hisabhakiki. Hisab Hakiki dapat dibagi menjadi 3 macam, yakni hisab hakiki taqribi, tahkiki, dan kontemporer. Ketiga hisab hakiki ini menggunakan rumus dan nilai konstanta yang berbeda. Tidak ada tuntunan yang jelas dari Al Qur’aan dan hadits tentang ru’yatulhilal. Selama ratusan tahun ulama dan cendekiawan muslim mengkajinya, hingga tercetus pendapat untuk memaknai ulang kata ru’yatul hilal. Apakah benar-benar harus dilihat dengan mata, ataukah diperbolehkan melihat secara matematis? Ulama berselisih pendapat tentang hal ini. Ru’yat dapat berarti: 1. ru’yat bil qalbi Pergantian bulan terjadi hanya dengan meyakini dalam hati bahwa saat itu sudah terjadi hilal. Tidak perlu menengok ke langit atau menghitung di atas kertas, yang penting percaya. Sebagian menyebut ru’yat ini sebagai melihat dengan mata batin. 2. ru’yat bil ilmi Mereka yang setuju dengan ru’yat ini menggunakan ilmu sebagai alat untuk melihat hilal. Tidak peduli apakah langit sedang mendung atau badai sekalipun, selama perhitungan di atas kertas mengatakan sudah terjadi hilal (bulan berada di atas ufuk saat matahari terbenam), pergantian bulan tetap terjadi. 3. ru’yat bil ‘ain atau ru’yatul hilal bil fi’li Kelompok terakhir menafsirkan hadits secara harfiah, bahwa hilal harus dilihat dengan mata secara langsung. Ini pun masih menimbulkan tanda tanya, apakah harus dengan mata telanjang? Sebagian berpendapat bahwa hilal harus dilihat dengan mata langsung dan tidak boleh menggunakan alat yang memantulkan cahaya. Sedangkan sebagian yang lain memperbolehkan.
menu slide sebelumnya slide berikutnya Perbedaan (1) Selama ini, yang dianggap mumpuni dalam menentukan awal Ramadhan dan hari raya di Indonesia adalah pemerintah dan ormas Islam. Celakanya, seringkali masing-masing memberikan keputusan yang berbeda. Ada yang menganjurkan berpuasa esok hari, ada pula yang lusa. Tidak sedikit masyarakat yang bingung, “Lha wong al qur’aannya sama, hadits yang dipakai juga sama, bulan yang dilihat juga sama, kok hasilnya bisa berbeda?” Ternyata masing-masing memiliki keyakinan ru’yatulhilal yang berbeda. Kalaupun sama, teori yang dipergunakan sedikit berbeda. Alhasil, tidak ada satu suara yang bulat menyepakati terlihatnya hilal. Berikut penjelasan dan argumen dari masing-masing pihak, dimulai dari ormas Islam. 1. Nahdlatul Ulama (NU) NU berpendapat, awal bulan seharusnya dilakukan secara langsung (ru’yatul hilal bil fi’li). Hisab, perhitugnan di atas kertas hanya untuk membantu namun bukan penentu. Pergantian bulan tetap ditentukan dengan melihat hilal secara langsung. Bila bulan tidak terlihat (tertutup awan atau masih berada di bawah ufuk), hilal tidak terjadi dan bulan digenapkan (istikmal) hingga 30 hari. Pergantian bulan akan terjadi lusa. Teknisnya, sebagian orang yang berpengalaman berkumpul di pantai pada sore hari (tanggal 29). Menjelang matahari terbenam, semua orang berkonsentrasi mencari hilal di sekitar matahari (dalam radius sudut 5 derajat). Orang yang berhasil melihat hilal kemudian melaporkan diri dan disumpah. Melihat hilal tentu bukan persoalan gampang. Jika usia bulan masih sangat muda (beberapa jam setelah konjungsi), bentuk bulan sabit yang terlihat sangat tipis. Bila bulan purnama kita katakan memiliki fraksi terang 100% (seluruh bagian bulan bercahaya), bulan mati memiliki fraksi terang 0%, dan bulan separuh 50 %, maka sabit terkecil yang bisa dilihat mata adalah 1%. Orang yang kurang berpengalaman akan mudah tertipu, mengira melihat hilal padahal pantulan cahaya dari awan. Atau bisa juga hanya sekedar sugesti, merasa melihat sesuatu padahal tidak ada apa-apa.
menu slide sebelumnya slide berikutnya Perbedaan (2) Kasus seperti ini pernah terjadi di masa sahabat Nabi. Anas ra melakukan ru’yatul hilal bersama sahabat lainnya. Usia yang sudah senja membuat rambut beliau beruban. Rupanya salah satu uban tersebut tergerai hingga depan mata. Kontan beliau mengatakan hilal sudah tampak. Sahabat lain yang lebih muda, dengan mata yang masih tajam mencari hilal di arah yang ditunjukkan Anas. Kok tidak ketemu? Ibnu Abbas ra yang tahu ada uban di mata Anas, segera merapikannya. Kemudian Ibnu Abbas bertanya pada Anas, “Apakah hilal masih terlihat?” Anas pun menggeleng. **) Sayangnya, seringkali kesaksian seseorang diterima hanya karena ia telah bersumpah. Karena telah bersumpah, kesaksian seseorang dianggap benar. Padahal bisa jadi ia salah lihat seperti yang dialami sahabat Rasulullah. 2. Muhammadiyah Musyawarah Tarjih Muhammadiyah tahun 1932 memutuskan, pergantian bulan hijriah tidak hanya ditentukan dengan ru’yat tapi juga dengan hisab (perhitungan). Hal ini berbeda dengan NU yang menggunakan hisab sebagai pembantu ru’yat. Mempercayai terjadinya hilal dengan perhitungan matematis disebut juga ru’yat bil ilmi. Asalkan secara matematis bulan masih berada di atas ufuk saat matahari terbenam, dan terjadi setelah konjungsi, hari pun berganti saat itu juga. Tak peduli apakah saat itu sedang mendung, hujan, atau bulan masih terlalu rendah dan tak terlihat mata. Hal ini yang menyebabkan keputusan Muhammadiyah sering mendahului NU maupun pemerintah karena Muhammadiyah tidak perlu menunggu hingga bulan bisa terlihat. **) Kisah ini mohon dikonfirmasi sebab saya tidak memiliki rujukan yang pasti, hanya ingat dulu pernah membaca kisah seperti ini di suatu buku tapi lupa buku apa. Jika terdapat kekeliruan dalam penyebutan nama sahabat, saya mohon maaf. Mohon dikoreksi. Saya tidak bermaksud memberikan dalil hadits yang dhaif ataupun yang tidak jelas sumbernya. Afwan, atas khilaf saya.
18 April 2007, 18.00 WIB 19 April 2007, 18.00 WIB 20 April 2007, 18.00 WIB bulan menu slide sebelumnya slide berikutnya Perbedaan (3) hilal Lebih jelasnya, kita akan membandingkan pengamatan hilal dengan metode ru’yatbilfi’li dan ru’yatbililmi. Seandainya tanggal 18 April 2007 adalah bulan Ramadhan, dan ormas-ormas Islam melakukan ru’yat hilal untuk menentukan hari raya Idul Fitri, inilah yang akan terjadi: Lihat gambar kiri. Jika pengamatan hilal dilakukan pada tanggal 18 April 2007, menurut Muhammadiyah, saat itu terjadi pergantian hari karena bulan masih ada di atas ufuk saat matahari terbenam. Idul Fitri akan dirayakan esok hari pada tanggal 19 April. Namun menurut NU, saat itu hari belum berganti karena hilal tidak terlihat. Idul Fitri versi NU akan jatuh lusa, tanggal 20 April. Lihat gambar tengah. Namun jika pengamatan dilakukan pada saat bulan sudah cukup tinggi seperti pada tanggal 19 April, semua ormas sepakat Idul Fitri dirayakan keesokan harinya, tanggal 20 April. Jika bulan berada pada posisi ini, kriteria ru’yatbililmi dan bilfi’li akan terpenuhi. Tidak akan terjadi perbedaan hari raya.
menu slide sebelumnya slide berikutnya Peran Pemerintah (1) Penentuan awal bulan hijriah seharusnya ditetapkan secara lokal, untuk daerah tertentu saja. Jka hilal dapat terlihat di suatu tempat, maka tempat lain yang tidak melihatnya tidak harus mengikuti. Hal ini dikisahkan oleh sahabat: Ummu Fadhal binti al Harits mengutus Kuraib kepada Mu’awwiyah (yang tinggal) di negeri Syam. Kuraib berkata, ‘Maka kami sampai di Syam. Saya pun menyelesaikan keperluan (di sana). Ketika itu tampak hilal ramadhan dan saya sedang berada di Syam. Saya melihat hilal itu di malam Jumat. Setelah itu saya kembali ke Madinah. Maka Abdullah bin Abbas bertanya padaku dan dia membicarakan hilal, “Kapan kamu melihat hilal?” “Kami melihat hilal pada malam Jumat.” “Kamu melihat sendiri hilal itu?” “Ya, dan orang-oarng banyak pun melihatnya. Mereka lalu puasa, begitu pula dengan Mu’awiyah.” “Tapi kami (di Madinah) melihatnya pada malam Sabtu,” kata Abdullah bin Abbas, “Kami tidak puasa sebelum menggenapkan hitungan bulan (Sya’ban) hingga 30 hari atau kami melihat hilal itu.” “Tidak cukupkah bagimu**) dengan ru’yahnya Mu’awiyyah kemudian berpuasa?” “Tidak, demikianlah Rasulullah saw memerintahkan kepada kami.” (shahih Muslim juz 1) Bentangan wilayah Indonesia dari barat ke timur mencapai hampir 60 derajat atau sekitar 1/6 keliling bumi, jauh lebih besar dari jarak Syam-Madinah (kurang dari 10 derajat). Logikanya, jika jarak Syam-Madinah sudah bisa menyebabkan terjadinya perbedaan waktu, bagaimana dengan Indonesia? Seharusnya masyarakat bisa memaklumi perbedaan ini. **) Seorang perawi, Yahya bin Yahya ragu dengan redaksi ini, apakah “laa taktafy” (tidak cukup bagimu) atau “laa naktafy” (tidak cukup bagi kita). Hadits yang serupa tercantum dalam kitab Naulul Authar juz 4 dengan sanad yang lebih banyak. Hadits ini diriwayatkan oleh jama’ah kecuali Bukhari dan Ibnu Majah.
menu slide sebelumnya slide berikutnya Peran Pemerintah (2) Sayangnya, masyarakat Indoensia tidak terbiasa dengan perbedaan. Kita selalu ingin beribadah bareng. Sejumlah ulama dan ahli fiqh meminta pemerintah untuk menyelesaikan perkara ini. Secara syariat, hal ini diperbolehkan mengingat posisi pemerintah sebagai pemimpin dan hakim (qadhi). Setiap tahun, pemerintah menyelenggarakan sidang itsbat (penetapan) untuk mendengarkan pendapat dan hasil perhitungan hisab dari Badan Hisab dan Ru’yat, MUI, ormas Islam, perwakilan negara Islam, dan institusi yang berkepentingan. Sidang itsbat seperti ini tidak kita temui di negara lain. Negara yang mayoritas penduduknya muslim menetapkan kalender hijriah dengan otoritas negara (menteri agama, mufti, dewan makamah tinggi, atau raja). Sedangkan di negara yang minoritas, penetapannya diserahkan ke ormas Islam setempat. Tanpa sidang itsbat, tanpa pemerintah, pelaksanaan ibadah di Indonesia sudah pasti kacau balau. Bisa dipastikan, masing-masing ormas Islam akan saling berebut jamaah. Lha wong masih ada pemerintah saja ada ormas Islam yang ngeyel kok. Gimana kalau nggak ada pemerintah? ^-^ Satu hal yang disayangkan, pemerintah kerap menerima kesaksian yang meragukan. Meski posisi bulan terlalu rendah, kesaksiannya masih diterima. Padahal secara astronomi dan berdasarkan kesepakatan bersama, bulan terendah yang bisa dilihat mata seharusnya memiliki ketinggian minimal 2 derajat dari cakrawala. Seharusnya pemerintah lebih tegas dan selektif dalam memilih data.
menu slide sebelumnya slide berikutnya Contoh Data Sidang Itsbat *) Keputusan Temu Kerja Evaluasi Hisab Rukyat Tahun 2006, Tgl. 1 s.d 3 Juni 2006 di Hotel Ria Diani Cibogo Bogor.
menu slide sebelumnya slide berikutnya Frequently Asked Question (1) 1. Apakah saya sebagai orang awam juga bisa melihat hilal? 2. Saya memiliki teleskop kecil di rumah, apakah bisa digunakan untuk melihat hilal? 3. Saat ini kita sudah bisa meluncurkan satelit ke luar angkasa, meramalkan gerhana, menjelajah alam semesta, dsb. Apakah kita tidak bisa meramal terjadinya hilal? 4. Selain cuaca, kendala apa lagi yang dihadapi saat melihat hilal? 5. Jadi, saya sebaiknya ikut yang mana? Muhammadiyah, Persis, NU, pemerintah atau yang lainnya? 6. Kenapa tidak mengikuti Makkah saja? Kalau Makkah mulai puasa, kita ikut. Kalau Makkah shalat Id, kita juga shalat Id. 7. Kisah yang dialami Kuraib mengisyaratkan kita menggunakan pedoman lokal, bukan nasional. Lalu mengapa selama ini kita menggunakan penanggalan yang bersifat nasional? 8. Apakah pemerintah kita adalah satu-satunya yang mencoba menyatukan kalender hijriah? 9. Jika saya berhasil melihat hilal, apakah saya boleh berpuasa terlebih dahulu (mendahului pemerintah)? 10. Apakah kalender hijriah murni buatan Umar bin Khathab? 11. Saya ingin tahu, hari ini bertepatan dengan tanggal berapa hijriah? Bagaimana cara menghitungnya? 12. Menurut hisab, Ramadhan tahun ini (2007) jatuh tanggal berapa? 13. Apakah perbedaan hari raya akan selalu terjadi tiap tahun? Tidak adakah cara untuk menyatukannya?
menu slide sebelumnya slide berikutnya Frequently Asked Question (2) • Apakah saya sebagai orang awam juga bisa melihat hilal? Tentu saja. Asalkan penglihatannya bagus, siapapun bisa melihat hilal. Caranya a. b. Pada tanggal 29 hijriah (29 ramadhan/29 Muharram/29 Sya’ban atau yang lainnya), pergilah ke pantai atau ke tempat yang tinggi. Pandangan ke arah matahari terbenam tidak boleh terhalang pohon, rumah, atau apapun. Tigapuluh menit sebelum maghrib, carilah bulan di dekat matahari. Bulan akan terlihat sebagai sabit yang sangat tipis (bagian sabit mengarah ke matahari). bulan (hilal) matahari 2. Saya memiliki teleskop kecil di rumah, apakah bisa digunakan untuk melihat hilal? Sebagian ulama masih berselisih paham tentang hal ini. Sebagian memperbolehkan, sebagian lagi melarang. Namun ada pula yang mengambil jalan tengah, boleh asal tidak memantulkan cahaya. Jika kita berpedoman pada pendapat terakhir, memakai teleskop boleh saja, tapi harus teleskop refraktor (memakai lensa). Bukan teleskop cermin. Pengamat hilal di Pelabuhan Ratu juga menggunakan teleskop sebagai alat bantu.
menu slide sebelumnya slide berikutnya Frequently Asked Question (3) 3. Saat ini kita sudah bisa meluncurkan satelit ke luar angkasa, meramalkan gerhana, menjelajah alam semesta, dsb. Apakah kita tidak bisa meramal terjadinya hilal? Bisa. Kita sudah bisa menentukan posisi bulan dengan sangat tepat. Tapi masalahnya, kembali ke syari’at. Sebagian besar ulama berpendapat, hilal harus dilihat dengan mata, sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah. Meskipun kita sudah mengetahui posisi bulan, tapi kalau ada gangguan cuaca atau pantulan sinar matahari, penglihatan kita bisa terganggu. Ini yang membuat hilal sukar diamati. bisa dikira hilal awan matahari 4. Selain cuaca, kendala apa lagi yang dihadapi saat melihat hilal? Banyak. Kita mulai dari kondisi pengamat hilal itu sendiri. Sudah menjadi budaya orang Indonesia untuk menghormati yang lebih tua. Di lapangan, pengamat hilal pada umumnya sudah berumur. Meski berpengalaman, namun kondisi mata mereka sudah tidak bagus. Akibatnya, bisa salah lihat atau justru sukar melhat hilal. Sayangnya, karena ingin menghormati yang tua, yang muda merasa enggan untuk mengoreksi bila seniornya melakukan kesalahan. Yang muda juga tidak luput dari humanerror. Karena kurang berpengalaman, peru’yat sering tertipu dengan pantulan awan atau lampu kapal. Bahkan ada orang yang bersaksi melihat hilal padahal menurut perhitungan, saat itu bulan sudah terbenam. Kesalahan melihat seperti ini juga bisa disebabkan oleh halusinasi. Kendala dari luar juga ada. Di tahun 2006, teleskop yang biasa dipakai untuk mengamati hilal di Pelabuhan Ratu hilang dicuri orang.
+100 +100 950 BT 950 BT 1000 1000 1050 1050 1100 1100 1200 1200 1250 1250 1300 1300 1350 1350 1400 1400 1150 1150 + 50 + 50 22 SEPTEMBER 2006 00 00 - 50 - 50 - 1O - 1,5O - 2O - 100 - 100 menu slide sebelumnya slide berikutnya Frequently Asked Question (4) 5. Jadi, saya sebaiknya ikut yang mana? Muhammadiyah, Persis, NU, pemerintah atau yang lainnya? Terserah. Saya tidak bisa membuat rekomendasi seperti itu. Saya hanya memaparkan proses pembuatan kalender Islam dan argumen yang digunakan masing-masing pihak. Anda sendiri yang menilai dan menentukan, mau ikut yang mana. Pada dasarnya, tidak ada yang salah kok. Perbedaan ini muncul karena perbedaan interpretasi saja. 6. Kenapa tidak mengikuti Makkah saja? Kalau Makkah mulai puasa, kita ikut. Kalau Makkah shalat Id, kita juga shalat Id. Masing-masing tempat berbeda waktu. Hal ini sudah dicontohkan Kuraib, Mu’awwiyah dan Abdullah bin Abbas. Tempat yang berbeda memilki waktu terbit dan terbenam yang berbeda. Karenanya, posisi bulan juga berbeda. Misalnya antara Indonesia barat dan timur. Tanggal 29 Sya’ban 1427 H (22 Sep 2006), ketinggian bulan dari cakrawala saat matahari terbenam adalah -2 derajat untuk Indonesia timur, -1,5 derajat untuk Indonesia tengah dan barat. Perbedaan ketinggian ini sangat menentukan. Sebab jika bulan lebih rendah (lebih dekat ke matahari), akan lebih susah dilihat. Semakin dekat ke matahari, langit semakin terang dan akan mengalahkan cahaya hilal. JIka posisi bulan lebih jauh dari matahari, akan lebih mudah diamati.
menu slide sebelumnya slide berikutnya Frequently Asked Question (5) 7. Kisah yang dialami Kuraib mengisyaratkan kita menggunakan pedoman lokal, bukan nasional. Lalu mengapa selama ini kita menggunakan penanggalan yang bersifat nasional? Memang, idealnya kita mengikuti hasil ru’yat lokal. Namun sekali lagi, masyarakat kita masih belum bisa menerima perbedaan. Karenanya, pemerintah bertindak sebagai hakim dan menjadi penengah. Setelah mendengarkan pendapat dari berbagai ormas dan instansi dalam sidang itsbat, pemerintah akan membuat keputusan. Tentu saja, karena keputusan ini bersifat nasional, pemerintah harus menunggu sampai seluruh wilayah di Indonesia bisa melihat hilal. Jika kita melihat peta dunia, hilal akan terlihat lebih dulu oleh masyarakat yang berada di sebelah barat. Karenanya, pengamat hilal yang ada di Indonesia bagian barat akan melihat hilal lebih dulu daripada pengamat di wilayah Indonesia timur. Bagian yang terang menunjukkan daerah yang akan melihat hilal terlebih dahulu. Makin ke timur (ke daerah yang gelap), posisi bulan makin rendah. Hilal baru bisa diamati beberapa jam setelah bagian yang terang melihat bulan. Garis batas ini tidak tetap, tapi bergeser tiap bulan.
menu slide sebelumnya slide berikutnya Frequently Asked Question (6) 8. Apakah pemerintah kita adalah satu-satunya yang mencoba menyatukan kalender hijriah? Selain pemerntah Indoensia, pemimpin negara-negara Islam di ASEAN juga sepakat membuat kalender hijriah yang berlaku secara regional (lintas negara). Negara yang menyepakatinya adalah Malaysia, Brunei Darussalam, Indonesia, dan Singapura (MABIMS). Para ahli fiqh berbeda pendapat dalam hal ini. Sebagian besar ulama penganut mazhab Syafi’i berpendapat, ru’yat hanya berlaku untuk kawasan yang se-mathla’ yaitu kawasan seluas dua kali 89 km persegi (masafatualqashri). Sedangkan yang lain berpendapat, jika hilal terlihat di suatu tempat, seluruh umat Islam di dunia wajib mengikuti. Hal ini didasarkan pada perkataan Umar bin Khathab. ***) Penyatuan kalender hijriah secara internasional juga sudah digagas sejak lama, bahkan sudah disepakati pada konferensi yang berlangsung di Istambul (1978). Hanya saja, untuk tanggal yang berkaitan dengan ibadah (Ramadhan, Syawwal dan haji), peserta konferensi terbagi menjadi 3 kelompok. a. Turki, Aljazair, dan Tunisia yang berpegang pada hisab. b. Saudi Arabia yang berpegang pada ru’yat dan itsbat oleh pemerintah c. Indonesia dan Bangladesh yang berpegang pada hisab dan ru’yat. **) lihat kitab Rahmatul Ummah halaman 91 dan kitab Al Majmu’ li Annawawi juz 4 halaman 273 ***) Abdu Ar Rahman Al Juzairi, 1990, Al Fiqh “Ala Madzhabi al Arba’ah 1, Beirut: Daru al Fikri, hal 550
menu slide sebelumnya slide berikutnya Frequently Asked Question (7) 9. Jika saya berhasil melihat hilal, apakah saya boleh berpuasa terlebih dahulu (mendahului pemerintah)? Selama Anda yakin, silakan saja. Tapi patut diingat, Anda tidak berhak mengintimidasi pihak lain untuk ikut berpuasa bersama Anda. Pemerintah hanya menengahi saja demi kemaslahatan bersama. Bukankah segala urusan masyarakat diserahkan kepada ulil amri? Meskipun begitu, ada pula yang berpendapat, yang boleh menetapkan hanya pemerintah. Pendapat ini dilandasi hadits riwayat Abu Daud, An Nasa’i, Tirmidzi, dan Ibnu Majah: Seorang Badui datang kepada Nabi saw lalu berkata, “Saya telah melihat hilal.” Nabi pun bertanya, “Apakah kamu bersaksi bahwa tiada Illah selain Allah?” Badui itu menjawab, “Ya.” Nabi bertanya lagi, “Apakah kamu bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah?” Badui itu menjawab, “Ya.” Kemudian Rasulullah berkata, “Ya Bilal, umumkanlah kepada manusia untuk berpuasa esok pagi.” Interpretasi hadits di atas, bukan sang Badui yang menetapkan awal bulan Ramadhan, melainkan Rasulullah sebagai ulil amri. Pendapat ini dianut oleh mazhab Syafi’i. Sedangkan 3 mazhab yang lain berpendapat, keputusan pemerintah tidak harus ada. Tapi seandainya keputusan itu ada, seluruh umat Islam yang berada di wilayah pemerintahan itu harus tunduk dan mematuhinya. Di Indonesia, pelaksanaan ibadah masih diserahkan kepada masing-masing individu, sesuai keyakinannya masing-masing.
menu slide sebelumnya slide berikutnya Frequently Asked Question (8) 10. Apakah kalender hijriah murni buatan Umar bin Khathab? Dalam kitab al Faruq Umar ibn al Khatthab, Muhammad Ridha menulis bahwa sistem kalender Arab kuno pada mulanya adalah kalender bulan. Namun kalender ini kemudian diubah menjadi kalender bulan-matahari. Kalender ini tidak memiliki hitungan tahun yang pasti. Pernah dipakai hitungan tahun berdasarkan kematian Amr bin Luhay, seorang tokoh dari bani Khuza’ah. Pernah pula dihitung dari kematian Hisyam bin Mughirah. Yang terakhir, berdasarkan invasi pasukan gajah ke Makkah. **) Pasca hijrah ke Madinah, Rasulullah menulis sepucuk surat kepada kaum asrani Najran. Beliau menyuruh Ali bin Abi Thalib untuk menuliskannya dengan angka tahun 5 (dihitung sejak peristiwa hijrah). ***) Jadi, kalender hijriah sudah digunakan oleh Rasulullah, yang kemudian dibakukan oleh Umar bin Khathab atas pendapat Ali. Ada banyak riwayat yang menceritakan kronologis pembuatan kalender hijriah. Yang terpanjang adalah riwayat yang tertulis di kitab al Syamarikh. Seorang laki-laki datang dari Yaman dan menemui Umar, “Di Yaman, aku menemukan sesuatu yang mereka sebut tanggal. Mereka menulisnya dari tahun ini dan bulan ini. Lalu Umar berkata: "Ini betul-betul baik. Buatlah penanggalan!" Kemudian Umar mengumpulkan beberapa sahabat untuk bermusyawarah. Atas usul Ali, dipilihlah tahun hijrah Rasulullah ke Madinah sebagai patokan. Namun sahabat berselisih lagi tentang bulan pertama. Ada yang bilang, Mulailah dari Rajab, karena orang Jahiliyyah menganggapnya sebagai bulan agung.” Ada yang mengusulkan Ramadhan dan Dzulhijjah. Utsman bin Affan kemudian berkata, “Buatlah penanggalan dari bulan Muharram. Muharram adalah bulan mulia dan bulan pertama dalam hitungan (bulan). Muharram adalah waktu kepulangan orang-orang saat melakukan ibadah haji." **) al Kahyyath, Durus al Tarikh ***) Zhahir al Zayyadi, Kitab fi al Syuruth. Dalam kitab Tarikh karya Ibnu Asakir, Abu Salamah meriwayatkan dari Ibnu Syihab bahwa Rasulullah saw memerintahkan membuat penanggalan dari kedatangan beliau ke Madinah pada bulan Rabi’ul Awwal. Hal senada tercantum dalam kitab al Syamarikh.
menu slide sebelumnya slide berikutnya Frequently Asked Question (9) 11. Saya ingin tahu, hari ini bertepatan dengan tanggal berapa hijriah? Bagaimana cara menghitungnya? Mengubah kalender masehi ke hijriah cukup rumit. Namun beberapa astronom sudah membuatkan kalkulator untuk menghitungnya. Anda bisa browse di google dengan keyword: hijri masehi converter atau cukup dengan keyword: calendar converter. 12. Menurut hisab, Ramadhan tahun ini (2007) jatuh tanggal berapa? Ini hasil tabulasinya: 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 Muharram 31 Jan 21 Jan 10 Jan Safar 2 Mar 19 Feb 9 Feb 28 Jan 17 Jan 6 jan Rabiulawal 31 Mar 21 mar 10 Mar 27 Feb 16 Feb 5 Feb 25 Jan Rabiultsani 30 Apr 19 Apr 8 Apr 29 Mar 18 mar 7 mar 24 Feb Jumadilula 29 Mei 19 Mei 7 Mei 27 Apr 17 Apr 6 Apr 25 Mar Jumadiltsani 28 Juni 17 Juni 6 Juni 26 Mei 16 Mei 5 Mei 23 Apr Rajab 27 juli 16 uli 5 Juli 25 Juni 14 Juni 4 Juni 23 Mei Sya’ban 26 Ags 15 Ags 3 Ags 24 Juli 14 Juli 3 Juli 22 Juni Ramadhan 25 Sept 14 Sept 2 Sept 22 Ags 12 Ags 2 Ags 21 Juli Syawwal 24 Okt 13 Okt 1 Okt 21 Sept 10 Sept 31 Ags 20 Ags Dzulqaida 23 Nov 12 Nov 31 Okt 20 Okt 10 Okt 29 Sept 18 Sept Dzulhijjah 22 Des 12 Des 30 Nov 19 Nov 8 Nov 29 Okt 17 Okt Muharram 29 Des 18 Des 8 Des 27 Nov
menu slide sebelumnya slide berikutnya Frequently Asked Question (10) 13. Apakah perbedaan hari raya akan selalu terjadi tiap tahun? Tidak adakah cara untuk menyatukannya? Pertama, semua ormas dan institusi harus sepakat, bahwa hilal harus bisa dilihat mata. Artinya, ada syarat batas yang harus dipenuhi agar bulan dapat dilihat. Contohnya, ketinggian bulan. Kalau bulan terlalu rendah (terlalu dekat dengan matahari), sangat sukar dilihat. Contoh lain, persentase luas sabit bulan (berapa persen bagian bulan yang terang). Kalau persentasenya terlalu kecil, berarti bulan sabitnya terlalu tipis. Mustahil untuk dilihat. Setiap orang memiliki mata yang sama. Karenanya, ada batas kepekaan mata. Dari ilmu biologi dan astronomi, bintang teredup yang bisa dilihat mata adalah 6 magnitudo. Namun jika memfokuskan pandangan pada arah tertentu saja, kepekaan ini bisa meningkat menjadi 8.5 magnitudo. Batas magnitudo ini setara dengan persentase luas bulan sabit 1%. Seandainya ada orang yang bersaksi melihat hilal saat perentase luas sabitnya kurang dari 1%, kesaksian ini harus benar-benar diperiksa dengan teliti. Selain persentase luas sabit, kita juga bisa menggunakan kriteria lain. Misalnya, ketinggian bulan dari cakrawala (saat matahari terbenam). Untuk Indonesia, biasanya 2 derajat. LAPAN merekomendasikan batas yang lebih lebih teliti dengan mempertimbangkan jarak horizontal (beda azimuth) dari matahari. Kita juga bisa menggunakan batas usia bulan (dihitung dari konjungsi). Jika kriteria ini dipatuhi oleh seluruh peru’yat, ahli hisab dan ormas Islam, insya Allah perbedaan hari raya tidak akan terjadi lagi. Hilal paling tipis, saat luas bulan sabit 1% (bisa melihat sabitnya?)
menu slide sebelumnya Daftar Pustaka Abi Abdillahi Muhammad bin Ismail al Bukhary, Kitab Shahih Bukhary juz 1 bab ru’yatul hilal Anshory, Irfan. 2006, Mengenal Kalender Hijriah, Pikiran Rakyat Departemen Agama RI. 2005, Al Qur’aan dan Terjemahnya, Penerbit Diponegoro Djamaludin, Thomas. 2004, Redefinisi Hilal Menuju Titik Temu Kalender Hijriah, Pikiran Rakyat Djamaludin, Thomas. 2006, Penyatuan Idul Fitri, Pikiran Rakyat Djamaludin, Thomas. 2006. Handout Seminar Aspek Teoritis dan Observasi Astronomi. Visibilitas Hilal: Tinjauan Astronomis Data Kesaksian Hilal di Indonesia dan Prospek Kriteria Hisab Rukyat Indonesia, Observatorium Bosscha Purwanto, 1992. Tugas Akhir: Visibilitas Hilal Sebagai Acuan Penyusunan Kalender Hijriah, Program Studi Astronomi ITB Raharto, Moedji. 2005, Pengantar Studi Hubungan Kalender dan Fenomena Astronomi: Sistem Bumi, Bulan dan Matahari, Program Studi Astronomi ITB Raharto, Moedji. 2006, Ringkasan Materi Kuliah Sistem Kalender, Program Studi Astronomi ITB Raharto, Moedji. 2006, Handout Kuliah Umum:Penentuan Awal Ramadhan dengan Hilal, Program Studi Astronomi ITB & Himpunan Mahasiswa Astronomi ITB Raharto, Moedji. 2006, Handout Seminar Aspek Teoritis dan Observasi Astronomi. Visibilitas Hilal: Siklus Metonik dan Implikasinya pada Parameter Visibilitas Hilal, Observatorium Bosscha Naji, A. Dairobi. 2005, Tahun Hijriah: dari kalender ke Mu’jizat. Situs Pondok Pesantren Sidogiri Yunus, Mahmud. 1989, Kamus Arab-Indonesia, Penerbit PT Hidakarya Agung ----, 2005, Kumpulan materi Musyawarah Nasional Penyatuan Kalender Hijriah, Direktorat Urusan Agama Islam, Ditjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji Departemen Agama RI ----, 2006, Slide Presentasi Sidang Itsbat Awal Ramadhan 1427 H, Departemen Agama RI