240 likes | 841 Views
Munajat Cinta. Karya Taufiqurrahman al-Azizy. Oleh. Fitri Rohimah. 0604866/22. Tema. Pencarian jati diri ( pergulatan jati diri penuh liku seorang gadis mencari kesejatian hidup , cinta dan imannya ). Amanat.
E N D
Munajat Cinta Karya Taufiqurrahman al-Azizy Oleh Fitri Rohimah 0604866/22
Tema Pencarianjatidiri (pergulatanjatidiripenuhlikuseoranggadismencarikesejatianhidup, cinta dan imannya).
Amanat Novel ini mengamanatkan bahwa kita harus tabah dan sabar dalam menghadapi segala cobaan. Jangan putus asa dalam menjalanu hidup di dunia ini. Karena kita hidup di dunia ini hanya sementara. Tak ada yang kekal dan tak ada yang abadi hanya wajah Allah sejalan yang kekal dan abadi.
Alur Campuran (Alur Maju dan Alur Mundur)
Tokoh 1.) Ruwayda : Seorang perempuan yang cantik, cerdas, dan putus asa. 2.) Pak Mansur : Sabar, bekerja keras dan bijaksana. 3.) Bu Layla : Sabar dan bijaksana. 4.) Raihan : Penurut patuh kepada orang tua. 5.) Pa Burhan : Sabar menghadapi cobaan dan penolong. 6.) Pa Habiburrahman : Bijaksana 7.) Bu khadijah : Bijaksana 8.) Bu Istiqomah : Baik, penolong. 9.) Bu Faudah : Penolong 10.) Santi : Penolong 11.) Fitri : 12.) Ifah : 13.) Hasan : 14.) Amir : 15.) Listyorini :
Latar • Tempat : • Temanggung • Wonosobo • Yogyakarta • Solo • Seruni kota • Waktu: • Pagi • Siang • Malam
Sudut Pandang Novel ini menceritakanan tentang AKU. Pengarang disini tidak terlibat langsung dalam penulisan cerita novel Munajat Cinta ini.
Gaya Penulisan • Penulis dalam novel ini menggunakan dua gaya penulisan • yaitu gaya penulisan Arab dan gaya penulisan Jawa. • Gaya penulisan Arab misalnya : Alaa bidzikrillahi tathmainnul qulub. • Gaya penulisan Jawa misalnya : Lananging jagat.
Sinopsis “Sudahkan engkau temukan jati dirimu, Ayda?” “Sudah, Ayah. Insya Allah...” “Jadi, siapa dirimu?” “Saya bukan siapa-siapa..” “Alhamdulillah, kalau begitu. Lalu, apa yang liat egkau sekarang?” “Saya meliaht kebenaran firman-Nya bahwa Dia telah menciptakan manusia dengan seindah-indahnya. Saying sekali, keindahan ini sering di buat buruk oleh manusia itu sendiri.” “Terpujilah Allah kita, Nak. Semoga Dia mengaruniai ketabahan dan kesabaran pada kita. Sudah siapkah engkau jika sewaktu-waktu Allah memanggil ayahmu ini?” “Cepat atau lambat, saya pun akan menghadap-Nya, Ayah..” Itulah petikan percakapan terakhir Ruwayda dan ayahnya. Ruwayda, seorang gadis yang diberkahi dengan kecerdasan istimewa, lahir dari keluarga kaya, tiba-tiba harus berhadapan dengan kenyataan pahit yang menimpa keluarganya. Ayahnya bangkrut! Cita-citanya untuk menjadi mahasiswi kandas. Hamper setiap hari kedua orang tuanya terlibat pertengkaran karena utang dan kekurangan. Jiwa Ruwayda terguncang. Kebangkrutan telah memorak-porandakan keharmonisan cinta ayah dan ibunya. Di atas tanah pekuburan papanon di daerah parakan, Ruwayda sampai pada kondisi kejiwaan yang amat kritis! Antara menjadi pelacur agar bisa memperoleh uang cepat atau mengakhiri hidup yang penuh sengsara ini. Ia kehilangan pesona imannya sebagai muslimah gara-gara belenggu uang, cinta, harga diri, gdan kebahagiaan. Novel religius ini menuturkan dengan sangat kuat pergulatan jati diri penuh liku seorang gadis mencari kesejatian hidup, cinta, dan imannya. Sebuah novel yang penuh intrik, kemelut, tegangan, getaran, kasih saying, sekaligus air mata.
KutipanBagian Yang Menarik
Aku tidak mengerti ucapan Pak Habiburrahman. Namun, manakala bahwa itulah yang mengucapkan itu adalah dia, maka aku mengerti bahwa itulah sebaik-baiknya ucapan yang aku dengar. “jati diri apa yang ahrus saya cari?” tanyaku di tengah napas yang hampir putus. “Siapakah engkau?” “Ayda…, Ruwayda nama saya,” jawabku, lugu. “Bukan! Siapakah dirimu?” “Siapakah Saya?” “Dirimu yang bukan namamu?” “Saya adalah putrid sulung dari tiga bersaudara?” “Dirimu yang bukan menjadi saudari adik-adikmu?” “Sungguh, saya tidak mengerti ucapan Bapak. Saya adalah putrid pak Mansur dan Ibu Layla…” “Dirimu yang bukan putri kedua orang tuamu?” “Duhai, guru saya yang bijaksana. Kenapa engkau bertanya kepada diri yang tengah dilanda kepedihan ini dengan pertanyaan yang semakin membuat saya putus asa?”
“Siapakah dirimu di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala?” “Saya makhluk yang di ciptakan-Nya.” “Katakan Bapak…, siapakah diri saya? Siapakah saya? Jati diri apa yang harus saya cari? Ke mana saya hendak mencari? Dengan apa saya mencarinya? Kepada siapa saya menemukannya? Setelah ketemu, bagaimana dia akan menyelamatkan diri saya? Bagaimana dia akan mengembalikan kebahagiaan hidup saya dan keluarga saya? Siapakah saya ini, Bapak? Siapa…?” “Aku sendiri tidak tahu,” jawab Pak Habiburrahman. “Bapak…!” Di atas pusara pekuburan papanon itu, aku menangis keras. “Lebih baik saya mati saja..” “Carilah dulu, engkau boleh mati!” “Apa yang harus saya cari?” “Dirimu. Dirimu yang bukan semua yang telah engkau katakana tadi..”
“ Iya, tapi diri yang mana? Diri yang bagaimana?” “Aku tidak tahu.” “Kalau bapak tidak tahu, lalu bagaimana saya akan bisa mencarinya dan menemukannya?” “Walau aku tidak tahu, aku tahu bahwa apabila engkau telah menemukan dirimu, maka engkau akan mendapatkan kemuliaan dan kebahagiaan melebihi kemuliaan yang pernah engkau rasakan dan pernah dimiliki oleh kedua orang tuamu. Barang siapa mengenal dirinya, maka dia akan mengenal Tuhannya. Barang siapa dia mengenal Tuhannya, maka dia tidak akan lupa terhadap dirinya sendiri. Barang siapa tidak lupa terhadap dirinya sendiri, maka dia akan berbaik-baik kepada Tuhannya, dan Dia akan berbaik-baik kepadanya. “Ke mana saya mencarinya?” “Ikutilah nuranimu.” (Halaman 7-9)
Sesal memang datang terlambat. Apabila mengingat yang dikatakan Pak Habiburrahman, meleleh-lelehkan air mataku. Bencana memang menghampiri hidupku, bagai gelombang air bah yang menghancurkan sawah-sawah; seumpama longsor yang menghancurkan rumah-rumah. Setelah lulus dari MAN, aku berencana mengambil kuliah psikologi di UGM. Tetapi, ketika lulus itulah, kebangkrutan melanda orang tuaku. Ayah mengalami kegagalan panen. Tembakau yang sudah dipetik dan siap untuk dikeringkan ternyata harus berhadapan dengan hari yang disirami hujan. Tembakau menjadi busuk. Tidak laku untuk dijual. Ayah memiliki utang di bank. Utangnya banyak walau piutangnya juga banyak. Orang-orang yang telah berutang kepada ayah pun mengalami nasib yang sama; gagal panen. Ayah tidakbisa meminta mereka mengembalikan uang di saat ayah tengah membutuhkan. Ayah memang tidak sendirian mengalami kegagalan panen tersebut, sebab semua warga pun mengalaminya. Hujan telah memporak-porandakan tembakau kami. Rumah kami disita bank, lengkap dengan isinya. Akhirnya, kami mengontrak rumah sebuah rumah yang sama sekali tidak pernah kubayangkan akan kami huni. Aku pun tidak bisa kuliah. Asaku patah. Siswi yang selalu menjadi juara di sekolah tidak bisa melanjutkan kuliah. Ibuku tidak bisa menerima kenyataan pahit tersebut. (Halaman 15-16).
“Baiklah, Bu. Sekiranya dengan uang dan harta, Ibu bisa kembali bersatu dengan ayah, aku akan bekerja untuk itu. Semua orang tahu bahwa Ruwayda itu cantik. Putrimu ini elok parasnya. Sekiranya kecantikan ini akan bermanfaat bagiku agar harta dan uang segera terkumpul supaya ayah dan ibu segera bisa bersatu kembali, akan aku lakukan apa pun juga dengan kecantikanku ini demi harta dan uang itu. Sekiranya hal seperti itu yang dimaui Ibu, izinkan putrimu ini untuk menjadi pelacur…!!” “Ayda…!!!” Aku sudah berniat untuk melacurkan diri, demi bisa mengumpulkan uang dan harta yang banyak. Niatku sudah bulat. Tak peduli siapa pun akan mengadili niathku ini sebagai bentuk kenekatan. Biarlah. Aku memang sudah nekat. Nekat adalah jalan keluar yang bisa aku lakukan. Tubuhku indah. Wajahku cantik. Walau aku belum sekalipun mengenal cinta tetapi menjadi pelacur tidak butuh perbendaharaan cinta, tidak butuh kosakata cinta, dan tidak butuh menjalin cinta. Aku masih perawan dan laki-laki mana pun akan tertarik padaku. Orang kaya akan kudatangi dan kutawari tubuhku, dan kepadanya aku akan menjual tubuhku dengan harga yang pantas!
“Jangan, ayda. Jangan pernah engkau memiliki pikiran seperti itu.” Kata ayah. “Tidak, Ayah. Biarlah hidup saya hancur kalau memang itu demi bisa menyatukan ayah dan ibi.” “Kalau engkau memilih seperti itu, lebih baik aku dan ibumu berpisah. Lebih baik aku menceraikan ibumu saja. Lebih baik kita tidak pernah mengenal satu sama lain. Aku bukan ayahmu. Engkau bukan puitrimu.” (Halaman 23-24). “Berjalan sendiri di kesunyian. Melangkah menyusuri jalan dalam kesendirian. Allah maha sendiri, sebab Allah Maha Esa. Manusia membutuhkan tongkat petunjuk jalan, sedang Allah tidak membutuhkan apa pun jua. Tongkat yang rapuh menjadi sandaran yang rapuh. Tongkat yang kuat menjadi tumpuan yang sejati dalam mendampingi hati yang legar diamuk dosa dan kesalahan yang bergemuruh.”
Kata-kata itu….. kata-katanya itu sanggup menghentikan niatku meneruskan langkah. Kuperhatikan lagi bapak ini denagn seksama. Bapak itu masih berkata-kata,” Apa artinya siang dan malam bagi si buta? Setiap malam adalah siang sama dengan malam. Tak ada bedanya antara siang dan malam bagi dia yang matanya tidak bisa melihat. (Halaman 70) Aku teringat bahwa aku harus segera bertemu dengan Pak Burhan. Aku baru menyadari bahwa hari semakin gelap. Tidak mungkin aku terus berada digubuk ini. Tidak mungkin aku bertanya jawab dengan bapak yang kedua matanya buta ini. Walau dadaku bergetar oleh sebab perkataan-perkataannya itu, tidak banyak yang aku pahami maksud di baliknya. Kuakhiri saja pembicaraanku dengannya, dengan bertanya, “Saya minta maaf, Pak. Kalau boleh saya bertanya, apakah bapak mberasal dari Desa Kuripan?” Bapak itu mengangguk . Aku senang. Kepadanya aku bertanya, “Bapak kenal dengan Pak Burhan?” Sekali lagi, dia mengangguk. Aku semakin senang. Aku merasa tujuannku semakin dekat.
Maka, kepadanya aku bertanya lagi, “Sudikah kiranya Bapak menunjukan di mana rumah beliau?” “Saya buta, Nak….” (Halaman 74). Aduhai, bagaimana kehidupan sehari-hari Bapak tua ini? Bagaimana dia makan? Bagaimana dai minum? Bagaimana dia menjual keranjang-keranjang yang telah dibuatnya itu? Apakah orang buta bisa menanak nasi, menggoreng lauk? Jika selama ini dia hidup sendiri seperti ini, bagaimana dia mengurus keperluan hidup sehari-hari? Aku masuk. Kumenumukan bapak tua itu kembali dengan keranjang-keranjangnya. Kuperhatikan dia sedang menyisir bilah bamboo dengan pisau. Kusemakin kagum melihatnya. Untuk ukuran seseorang yang tidak bisa melihat, pemandangan ini begitu membuatku kagum demikian mengherankanku. (Halaman 82). Saya dulu adalah orang yang dikaruniai Allah Swt. Tubuh yang gagah. Saya tidak mengalami kebutaan. Sebaliknya , saya merasa sebagai lananging jagat sebab penampilan fisik saya yang saya anggap terlalu sempurna.
Sangat mudah bagi saya untuk membuat gadis manapun dan siapa pun jatuh hati kepada saya. Ketika cupid asmara telah saya lesetkan, maka dia akan menancap dalam dada semua gadis yang saya incar. Setelah saya bersenang-senang dengan gadis itu, maka saya akan segera meninggalkannya. Saya tidak peduli bagaimana perasaan gadis-gadis yang sya sakiti. Yang saya pedulikan adalah diri saya sendiri. Apa yang membuat saya senang, saya pun akan senang. Apa yang menyengsarakan saya, saya pun akan sengsara. Sungguh puas hati saya bila melihat seorang gadis menangis meronta-ronta akibat ulah saya. Dosa yang saya perbuat adalah dosa-dosa saya sendiri! Kemaksiatan yang saya lakukan adalah urusan saya sendiri. Dan saya tidak peduli. Sebab, saya mencintai diri saya sendiri. Saya tidak peduli cinta saya kepad diri sendiri itu meluaki hati dan perasaan orang lain.
Saya menjadi orang yang seperti itu bertahun-tahun lamanya. Hingga suatu ketika, saya mendapatkan kecelakaan. Kaki saya pernah patah akibat tabrakan. Setelah sembuh, saya mengalami sakit yang lama. Setelah sembuh, ayah saya meninggal dunia. Begitu seterusnya. Sebuah kenyataan yang pahit saya alami, dan ketika luka hati ini menghadapi kenyataan pahit tersebut belum sembuh, ada kenyataan pahit lainnya yang datang menghampiri. Hidup saya ditimpa bencana dari bencana yang satu ke bencana yang lainnya. Saya bertaubat. Saya memohon ampunan Allah. Saya bertaubat atas semua dosa dan kemaksiatan yang pernah saya lakukan. Mata saya ini, ya…, mata saya ini telah banyak melihat dosa dan kemaksiatan; telah mendorong saya untuk melakukan dosa dan kemaksiatan kepada Allah Swt. Saya berdoa kepada-Nya agar saya diberi kebutaan saja. “Butakan kedua mata saya, duhai Allah. Butakanlah. Dan, terangilah hati saya dengan cahaya-Mu….” Doa saya terkabul.
Beberapa lama setelah saya tidak bisa melihat, Allah mengutus seorang gadis yang hatinya amat luhur dan mulia. Allah mempertemukan kami. Dia mencintai saya apa adanya. Beberapa tahun hidup bersamanya adalah saat yang paling indah yang pernah saya rasakan. Tetapi, takdir Allah telah menentukan batas kebersamaan saya dengannya. Istri saya meninggal dunia. (Halaman 86-90). Sambil mengusap air matanya dengan ujung jilbab-nya, Bu Istiqomah mengatakan sesuatu yang seakan-akan dapat meledakkan tubuhku, “Tahukah engkau, siapakah bapak tua yang engaku ceritakan itu? Dialah Pak Burhan. Pak Burhan, Nak!!” “Apa?! Aku terkejut, sangat terkejut. “Pak….Pak Burhan?”. (Halaman 95-96). “Ternyata, masih ada orang yang mengalami kepahitan hidup lebih pahit dari kita,” kata ibu di akhir ceritaku. “Pahitnya hidup kita ternyata lebih pahit dari kehidupan Bu Faudah, Bu Istiqomah, atau Pak Burhan yang engkau ceritakan itu, Nak….” (Halaman 116).
Malam ini, kubersimpuh di hadapan-Mu. Berilah cahaya kepada hidupku yang dengannya menjdi terang jalan yang mesti aku lalui. Apakah pilihanku sekarang ini adalah bekerja apa saja, demi membantu kedua orang tuaku, adikku, dan hidupku sendiri? Atau, aku harus mencari-Mu agar aku menemukan diriku sendiri? Pekerjaan apakah yang bisa kudapatkan di mana dengannya aku pun memiliki kesempatan untuk menjadi hamba-Mu yang baik? Apakah menjadi seorang muslimah yang baik itu berarti selalu melaksanakan ibadah shalat, puasa, zakat, dan haji? Apakah selalu harus membaca al-Qur’an? Cukupkanlah hal itu, ya Allah? (Halaman 157). Aku bertemu dengan seseorang yang berada di agen itu, lalu mengatakan maksud kedatanganku. Aku ingin menjual koran, kataku. Apa bisa, tanyanya. Bisa, jawabku. Apa tidak malu, tanyanya lagi. Kenapa malu, aku berganti bertanya. Engkau kan seorang perempuan, dia berkata. Seorang perempuan tidak ada larangan untuk menjual Koran, kan? Tanyaku. “Tapi aku tidak bisa menggajimu. Bayaranmu tergantung pada Koran-koran yng bisa kamu jual. Setiap Koran, tiga ratus rupiah pemasukannya. Semakin banyak kamu bisa menjualnya, semakin besar pemasukannya. Tinggal kau kalikan saja. Bagaimana ?”
“Siap, Pak,” jawabku, mantap. (Halaman 161) Begitulah hidup di Dunia ini, hidup hanya sementara. Tak ada yang kekal. Tak pula ada yang abadi. Hanya wajah Allah sejalan yang kekal dan abadi. Suka dan duka, tangis dan tawa, menjadi waran dalam hidup ini. Barang siapa tidak pernah melupakan-Nya, dia pasti tidak akan pernah meninggalkan hamba-Nya. Orang-orang shalih cepat atau lambat pastidipanggil-Nya. Orang-orang yang buruk akhlaknya pun akan dipanggil-Nya pula. Kedua-duanya sama-sama dihadapkan pada pengadilan-Nya. Ya Allah… Ya, Rabbi… Pernah kutinggalkan Engkau karena diriku terlena oleh kehidupan ini,. Dan, ketika kudekati Engkau, Engkau ambil satu per satu orang-orang yang aku cintai. Malam ini aku bersimpuh di hadapan-Mu. Aku bersujud di kemahaan-Mu. Kupasrahkan hidupku dan hidup ayah, ibu, dan adikku dalam rengkuh kasih-Mu aku memohon kepada-Mu dengan cinta dan sabar menerima takdir-Mu. Inilah senandung munajatku; yang coba terbang dengan sayap-sayap cintaku. Terimalah adikku di sisi-Mu, ya Rabb. Terimalah. Kuatkan diriku untuk selalu bersabar kepada-Mu… Allahuma shali ala Muhammad wa aali Muhammad.