E N D
GURU Guru… Saya benci guru. Saya tidak percaya guru adalah orang yang arif. Bohong kalau guru singkatan dari orang yang pantas “digugu lan ditiru”, orang yang seharusnya menjadi suri teladan. Itulah perasaan saya saat duduk di kelas tiga SD. Waktu itu, karena nakal dan suka bolos, saya tidak naik kelas. Agar saya tidak malu pada teman-teman yang naik kelas, orangtua memindahkan saya ke sekolah swasta di bilangan Jalan Diponegoro, Surabaya. Baru dua hari, saya sudah bisa merasakan bahwa saya “makhluk aneh” di lingkungan itu. Sepatu Bata saya terlihat kumal ketika bersanding dengan sepatu-sepatu mahal murid lain saat upacara. Baju putih saya segera terlihat kekuningan akibat “dicuci dengan sabun biasa”. Hampir semua murid ke sekolah diantar naik mobil. Saya dibonceng paman naik sepeda tua yang sering copot rantainya. Belum lagi denyit roda yang kerap membuat orang menoleh untuk melihat asal suara. Ban kempes di tengah jalan sudah jadi makanan sehari-hari. Karena malu, saya sering minta diturunkan 15 meter dari gerbang sekolah. Awalnya saya merasa takjub bagaimana ibu saya bisa mencemplungkan saya ke sebuah sekolah yang seakan ada di planet lain. Tapi, setelah dewasa kelak, saya baru tahu kalau saya bisa masuk sekolah “elit” itu lebih karena faktor belas kasihan.
Kepala sekolahnya adalah pelanggan yang sering menjahitkan bajunya ke ibu. Karena jahitan ibu memuaskan, sang kepala sekolah jadi pelanggan setia. Ibu lalu minta tolong agar saya bisa bersekolah di situ. Tetap bayar tapi dengan harga “miring”. Sejak dulu ada tiga mata pelajaran yang paling saya sukai dan sangat saya kuasai. Menggambar, mengarang, dan prakarya. Untuk pelajaran yang terakhir, saya dinilai sangat kreatif dan sering mendapat pujian guru. Maka, pada minggu pertama di sekolah baru, ketika mata pelajaran prakarya, malamnya saya tidak bisa tidur. Rasanya tak sabar menunggu matahari terbit. Rasanya tak sabar ingin membuat teman-teman dan guru di sekolah baru itu takjub melihat kreasi saya. Di sekolah lama, murid tidak boleh menyelesaikan prakarya di rumah. Bahan-bahan boleh disiapkan, tapi pengerjaannya harus di sekolah dan disaksikan guru. Maka, ketika hari yang dinanti tiba, saya kaget. Begitu masuk kelas, guru segera meminta semua murid mengumpulkan hasil prakarya. Serentak seisi kelas maju sembari membawa “prakarya” mereka masing-masing. Saya terpana. Ada yang menyerahkan patung bali dari kayu mengkilap, ada asbak ukiran dari gading, kapal layar di dalam botol, lampu duduk berukir berbahan kuningan dan sejumlah barang lain yang sering saya lihat dipajang di etalase toko. Mata saya semakin terbelalak ketika dengan tenang sang guru menerima, memeriksa, kemudian memberi nilai. “Bagus, saya beri nilai sembilan,” ujarnya diikuti senyum bahagia dari sang murid. Begitu seterusnya.
Tiba giliran saya, kaki gemetar, jantung rasanya berhenti berdegup. Semangat sudah melayang entah ke mana. Mata guru menatap heran ke materi yang saya perlihatkan. Saya minta waktu untuk menyelesaikannya tapi sang guru menggeleng. Dia minta saya tetap mengumpulkan prakarya “prematur” itu lalu membubuhkan angka empat. Tak ada sedikit pun keinginan bertanya apa yang ingin saya ciptakan dengan bahan-bahan itu. Saya kecewa. Saya marah. Besoknya saya tak sudi sekolah lagi. Ibu putus asa berusaha membujuk. Saya tidak peduli. Ibu mengalah. Akhirnya saya dipindah sekolah ke Malang. Sekian tahun kemudian, ketika sekolah di Jakarta, saya merasa hancur hati pada dua guru. Ketika ujian kenaikan, kedua guru itu membocorkan bahan ujian. Imbalannya sungguh sederhana. Guru pertama cukup diberi “uang biskuit”. Guru kedua dengan mantap menyebut 10 sak semen untuk memperbaiki rumahnya. Sulit menerima kenyataan “guru juga manusia”. Lama perasaan marah dan kecewa itu saya pendam dalam hati. Namun setelah menjadi wartawan dan melihat lebih banyak, penilaian saya berbalik. Saya kini lebih bisa melihat guru dari perspektif yang berbeda. Banyak dari mereka yang terpaksa mengorbankan perasaan demi mempertahankan hidup. Ada yang jadi tukang ojek, tukang becak, satpam, penjual makanan, penjual jamu, bahkan sampai nekad mencuri soal untuk dijual.
Karena itu, saya sungguh terharu dan bahagia ketika pada ulang tahun pertama Kick Andy melihat keceriaan guru-guru honorer yang diundang saat rekaman di studio. Dari dialog dengan mereka, saya menjadi bisa lebih memahami dan berempati terhadap nasib guru-guru di Indonesia. Sekarang jika ada guru yang melakukan “kesalahan”, saya tidak semata-mata melihat apa yang mereka lakukan, tapi mencoba memahami mengapa mereka melakukannya. Dengan demikian saya bisa menerima guru apa adanya. Termasuk memahami mengapa guru saya di SD dulu lebih menghargai “prakarya” yang memiliki nilai ekonomis ketimbang prakarya saya. • Sulit menerima kenyataan “guru juga manusia”. Lama perasaan marah dan kecewa itu saya pendam dalam hati. Namun setelah menjadi wartawan dan melihat lebih banyak, penilaian saya berbalik. Saya kini lebih bisa melihat guru dari perspektif yang berbeda. Banyak dari mereka yang terpaksa mengorbankan perasaan demi mempertahankan hidup. Ada yang jadi tukang ojek, tukang becak, satpam, penjual makanan, penjual jamu, bahkan sampai nekad mencuri soal untuk dijual. Karena itu, saya sungguh terharu dan bahagia ketika pada ulang tahun pertama Kick Andy melihat keceriaan guru-guru honorer yang diundang saat rekaman di studio.
Dari dialog dengan mereka, saya menjadi bisa lebih memahami dan berempati terhadap nasib guru-guru di Indonesia. Sekarang jika ada guru yang melakukan “kesalahan”, saya tidak semata-mata melihat apa yang mereka lakukan, tapi mencoba memahami mengapa mereka melakukannya. Dengan demikian saya bisa menerima guru apa adanya. Termasuk memahami mengapa guru saya di SD dulu lebih menghargai “prakarya” yang memiliki nilai ekonomis ketimbang prakarya saya.