110 likes | 290 Views
Belajar Jadi Juru Masak yang Baik. Oleh Arief Santosa.
E N D
Belajar Jadi Juru Masak yang Baik Oleh Arief Santosa
Rubrik resensi buku di media massa kini menjadi lahan yang banyak digarap para penulis. Pasalnya, selain banyak media cetak menyediakan rubrik resensi buku, ruangan itu amat terbuka untuk diperebutkan. Maka, tak mengherankan bila media yang memberikan ruangannya pada kegiatan apresiasi buku ini selalu dibanjiri kiriman tulisan resensi dari berbagai penjuru daerah. Apalagi, imbalan (honorarium) yang disediakan untuk peresensi cukup untuk ’’menyambung’’ hidup atau membiayai kuliah. Memang, tulisan resensi semula hanya ’’didominasi’’ para penulis dari kota-kota tertentu. Terutama dari Jogja, Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Malang. Tapi, belakangan, kegiatan ulas-mengulas buku ini sudah merambah penulis di pelosok-pelosok daerah. Dan, yang menarik, salah satu kantong penulis resensi di daerah-daerah itu ternyata ada di pesantren-pesantren.
Mencermati perkembangan dunia resensi dalam lima tahun terakhir memang menggembirakan. Selain secara kuantitatif lebih banyak ruang yang disediakan media dan lebih banyak penulis lahir, secara kualitatif juga lebih baik. Gambaran itu membuktikan bahwa rubrik resensi di koran atau majalah bukan lagi ruang baca yang asal ada atau sekadar untuk mengisi halaman saja. Tapi, bisa jadi, sudah menjadi sebuah ’’kebutuhan’’ media untuk mengadakannya. Namun, apakah gambaran itu juga menunjukkan bahwa dunia perbukuan kita semakin maju? Apakah minat baca masyarakatt kita semakin baik?
Dari sisi jumlah buku yang terbit dan beredar, memang semakin banyak. Jumlah masyarakat pembaca kita juga meningkat. Tapi, dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang terus bertambah hingga menembus 200 juta jiwa, tentu jumlah buku dan jumlah pembaca buku itu ’’belum seberapa’’. Karena itu, seorang penulis resensi punya tugas memberi gambaran kepada pembaca tentang isi sebuah buku, sekaligus memberi pertimbangan tentang baik-buruknya buku tersebut kepada masyarakat yang belum sempat atau belum tertarik membaca buku. Dengan demikian, sebuah resensi diasumsikan bisa menjadi guiding bagi pembaca ketika memilih sebuah buku. ***
Meresensi buku, boleh dibilang kegiatan gampang-gampang sulit. Bagi yang sudah tahu cara dan strateginya, tentu merupakan pekerjaan yang mudah. Tapi, bagi mereka yang masih pemula, soalnya jadi lain. Resensi akan menjadi aktivitas yang menyulitkan, menguras tenaga, waktu, dan pikiran. Itu pun belum tentu hasilnya memuaskan. Karena itu, sangat penting mengetahui kiat-kiat menulis resensi yang baik. Buku apa saja yang ’’layak’’ diresensi? Bagaimana cara ’’menembus’’ media? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi kedua terbitan Balai Pustaka dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1991), kata ’’resensi’’ berarti pertimbangan atau pembicaraan buku, atau ulasan buku yang baru terbit. Dari definisi itu sebenarnya sudah terkuak tiga elemen dasar kegiatan resensi. Yakni, adanya teks buku, adanya unsur waktu baru, dan adanya pertimbangan atau penilaian. Artinya, tanpa tiga elemen itu, aktivitas kita melakukan ulasan buku, jadi kurang bermakna.
Kalau tiga elemen itu sudah terwakili, maka tahap berikutnya adalah proses menimbang/memilih buku yang ’’layak’’ diresensi. Memang, tidak setiap buku baru otomatis ’’layak’’ mendapat apresiasi yang setimpal di media massa. Diutamakan adalah buku-buku yang ’’berbobot’’, yang punya nilai pembelajaran hidup bagi masyarakat. Tapi, buku yang ’’berbobot’’ tidak ada artinya kalau unsur kebaruannya sudah hilang. Banyak kasus, sebuah tulisan resensi yang bagus akhirnya masuk keranjang sampah redaktur gara-gara buku yang diulas sudah kedaluwarsa. Lalu apa yang dimaksud buku ’’baru’’ itu? Memang relatif. Dalam kasus buku resensi adalah buku-buku yang terbit maksimal 3-4 bulan terakhir. Artinya, jika buku itu terbit sebelum bulan-bulan itu, kecil kemungkinan untuk bisa dimuat. Sang redaktur akan dengan gampang menyeleksi kiriman penulis yang ’’terlambat’’ sampai di mejanya. Bahkan, di beberapa media, unsur kebaruan buku itu lebih ketat lagi. Hitungannya bisa mingguan atau bahkan harian. Semakin baru sebuah buku semakin punya nilai lebih.
Format fisik buku juga termasuk menjadi pertimbangan layak-tidaknya resensi itu tampil di halaman koran atau majalah. Buku yang kemasannya amburadul, apa adanya, tentu tidak mengundang daya tarik bagi calon pembacanya. Sebaliknya, buku yang mulai sampul depan didesain dengan cantik –gambar, jenis huruf, maupun tata letaknya– tentu punya ’’magnet’’ kuat bagi calon pembacanya. Dalam berbagai kasus, penulis sering mengabaikan format buku ini. Pokoknya, asal buku baru diresensi. Dia tidak begitu memperhatikan unsur kemasan tersebut. Ibarat orang memilih buah, kalau kulit luarnya sudah busuk, hampir pasti calon pembeli akan melewatkannya. Sebaliknya, bila buah yang dipilih kulitnya halus, segar, dan enak dipandang, pasti akan menjadi incaran pembeli.
Selain itu, unsur ’’ketokohan’’ penulis buku juga turut menentukan nilai sebuah resensi. Buku yang ditulis Umar Kayam atau Romo Mangun secara ’’ketokohan’’ tentu lebih menarik dibaca dan diresensi dibandingkan karya Pak Guru atau Arief Santosa, misalnya. Kalau toh isi buku Pak Guru ternyata lebih baik dibandingkan buku Umar Kayam, itu soal lain. Yang jelas, pertimbangan orang memilih sebuah buku, di antaranya karena ketokohan penulis bukunya. Dalam proses pertimbangan baik buruk buku inilah seorang penulis resensi dituntut memiliki tingkat pemahaman yang lebih baik dalam membaca teks buku. Sebab, proses pembacaan-pemahaman ini akan menentukan hasil resensi. Sebuah resensi bukan merupakan ringkasan atau sinopsis isi buku, lho; atau tulisan yang terdiri atas rangkaian kutipan-kutipan buku. Banyak kasus, penulis pemula mengartikan resensi seperti itu.
Itu sebabnya, sebuah resensi akan semakin berisi bila penulisnya mempunyai referensi lain sebagai ’’bumbu’’ tulisan. Tanpa ’’bumbu’’, jelas, resensi akan terasa hambar. Tetapi, jika ’’bumbu’’-nya terlalu banyak, rasanya juga jadi tidak keruan. Jadi, dalam hal ini, ’’juru masak’’-lah yang harus pandai-pandai menentukan seberapa garamnya, seberapa gulanya, seberapa lomboknya, dan seterusnya, agar ’’masakan’’ itu jadi lezat dan bergizi. Seperti seorang kritikus sastra atau seni rupa, peresensi adalah seorang kritikus buku. Ulasan atas buku yang diresensi diharapkan tidak hanya menampilkan sisi-sisi yang baik saja. Menampilkan kelemahan atau kekurangan buku termasuk bagian dari kerja resensi. Hanya, proses penampilannya hendaknya tidak dipahami sebagai sesuatu yang harus diadakan. Kalau buku itu –di mata peresensi– memang perfect, mengapa harus mencari-cari celah kelemahannya.
Memang, sulit mencari buku yang sempurna. Ada saja sisi kekurangannya. Karena itu, cukup beralasan bila peresensi punya ’’kewajiban’’ moral untuk mengkritisi sisi-sisi lemah buku itu. Yang selama ini terjadi –paling tidak resensi yang dikirim ke Jawa Pos– penulis hanya menyodorkan puji-pujian atas buku yang diresensi. Cukup jarang ada resensi yang dengan tegas mengkritisi substansi buku. Umumnya tulisan resensi akan diakhiri dengan kalimat, ’’Buku ini layak dibaca…’’ Jarang ada yang berani mengatakan, ’’Buku ini perlu direvisi karena…’’ atau ’’Buku ini tak layak dikoleksi…’’ Dengan penilaian seperti itu diharapkan pembaca mendapat panduan yang pas ketika akan memilih sebuah buku. Jangan sampai pembaca terkecoh oleh ’’madu’’ puji-pujian peresensi, sementara bukunya sendiri ’’tak seindah warna aslinya’’. Banyak kasus, pembaca kecewa membeli sebuah buku gara-gara terkecoh tulisan resensi di media. ***
Resensi buku mempunyai imbas positif bagi pihak-pihak terkait. Bagi peresensi, banyak manfaat akan diperoleh. Dia bakal mendapatkan banyak ilmu dari buku-buku yang dibaca, akan menjadi bagian dari pergaulan komunitas buku, dan tidak sedikit yang bisa hidup dari ’’profesi’’ sambilan itu. Sebab, setiap resensi yang dimuat di media, ada honorarium yang lumayan. Sedangkan bagi pembaca akan mendapatkan panduan praktis tentang buku yang diresensi. Apa isinya, apa kelebihan dan kekurangannya, dan sebagainya. Jangan lupa, resensi juga punya dampak terhadap pemasaran buku tersebut, sekaligus mendongkrak atau mematikan nama si penulis buku. Sekali lagi, semua bergantung bagaimana sang juru masak menyajikannya. (*) *) Makalah ini diolah dari pengantar buku Kiat Sukses Meresensi Buku di Media Massa karya Nurudin (Cespur Malang, 2003) **) Redaktur budaya-buku Jawa Pos