2k likes | 3.09k Views
TAFSIR SURAH AL- iNSAN HIFZ AL-QURAN KWK2022 HAIZURAN MOHD JANI PENSYARAH JABATAN DAKWAH. Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan yang dapat disebut? (QS. 76:1). AYAT PERTAMA.
E N D
TAFSIR SURAH AL-iNSANHIFZ AL-QURANKWK2022HAIZURAN MOHD JANIPENSYARAH JABATAN DAKWAH
Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan yang dapat disebut?(QS. 76:1) AYAT PERTAMA
Dalam ayat pertama ini Allah menegaskan tentang proses kejadian manusia dari tidak ada menjadi ada, pada saat manusia belum berwujud sama sekali. Disebutkan bahawa manusia berasal dari tanah yang tiada dikenal dan disebut-sebut sebelumnya, apa dan bagaimana jenis tanah itu tidak dikenal sama sekali. Kemudian Allah meniupkan roh kepadanya, sehingga jadilah dia makhluk yang bernyawa.
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setitis mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), kerana itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat.(QS. 76:2) AYAT KE-2
Ayat kedua ini menerangkan unsur-unsur yang membentuk manusia (setelah lewatnya masa ciptaan pertama) yakni bahawa manusia diciptakan dari sperma (nutfah) laki-laki dan ovum perempuan yang bercampur. Berasal dari sulbi laki-laki dan tulang-tulang dada perempuan dan keluar secara berpancaran (surah At Tariq: 6-7).
Maksud Allah menjadikan manusia untuk mengujinya dengan membebankan kepadanya berupa perintah (taklif) dan larangan setelah dia mencapai usia dewasa. Dengan kata lain maksud penciptaan manusia adalah untuk menjunjung tegaknya risalah Allah di atas dunia ini. Untuk menguji mereka itu boleh pula dalam bentuk apakah mereka (manusia) boleh bersyukur pada waktu senang dan gembira, sebaliknya apakah sanggup sabar (tabah) ketika menghadapi musuh.
Maka yang dimaksud dengan "amsyaj" (bercampur) dalam ayat ini ialah bercampurnya sperma laki-laki yang berwarna keputih-putihan dengan sel telur perempuan yang kekuning-kuningan. Campuran itulah yang menghasilkan segumpal darah ( 'alaqah ) kemudian segumpal daging ( mudgah ) , lalu tulang belulang yang dibungkus dengan daging, dan seterusnya, sehingga setelah 9 bulan dalam rahim ibu lahirlah bayi yang sempurna.
Kerana kelahiran manusia pada akhirnya bertujuan sebagai penjunjung amanat Allah, kepadanya dianugerahkan pendengaran, penglihatan yang memungkinkan dia menyimak dan menyaksikan kebesaran, kekuasaan dan besarnya nikmat Allah. Manusia dianugerahi, pendengaran dan akal fikirannya itu, sebagai bukti tentang kekuasaan Allah SWT. Disebutkan secara khusus pendengaran, penglihatan, kerana keduanya adalah indra yang paling berfungsi mengamati ciptaan Allah yang membawa manusia mentauhidkan-Nya.
Dengan alat penglihatan, pendengaran dan dilengkapi pula dengan fikiran (akal) tersedialah dua kemungkinan bagi manusia. Apakah ia cenderung kembali kepada sifat asalnya sebagai makhluk bumi sehingga ia sama dengan makhluk lainnya seperti haiwan, tumbuh-tumbuhan, atau ia cenderung untuk menjadi makhluk yang Ilahiyah, yang berpikir yang memperhatikan tentang kebesaran Nya?.
Demikianlah setelah dia menjadi manusia yang sempurna pancainderanya yang memungkinkan dia untuk memikul beban (taklif) dari Allah, maka diberikanlah kepadanya dua alternatif jalan hidup seperti disebutkan dalam ayat berikutnya.
Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.(QS. 76:3) Ayat ke-3
Ayat ini menerangkan bahawa sesungguhnya Allah telah menunjuki ke jalan yang lurus, ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir. Maka dengan bimbingan wahyu-Nya yang disampaikan lewat Nabi Muhammad SAW manusia telah ditunjuki jalan yang lurus dan mana pula jalan yang sesat Allah menunjukkan kepadanya kebaikan dan kejahatan.
Dari perkataan "Sabil" yang terdapat dalam ayat ini tergambar keinginan Allah SWT terhadap manusia yakni membimbing manusia kepada hidayah-Nya sebab Sabil lebih tepat diertikan sebagai “petunjuk" berbanding “jalan”. Hidayah itu berupa dalil-dalil keesaan Allah dan kebangkitan Rasul yang disebutkan dalam kitab suci.
Sabil (hidayah) itu dapat ditangkap dengan pendengaran, penglihatan dan pikiran. Tuhan hendak menunjukkan kepada manusia bukti-bukti kewujudan-Nya melalui penglihatan terhadap diri (ciptaan) manusia sendiri dan melalui penglihatan terhadap alam semesta, sehingga fikirannya merasa puas untuk mengimani-Nya.
Akan tetapi memang sudah merupakan kenyataan bahawa terhadap pemberian Allah itu, sebagian manusia ada yang bersyukur tetapi ada pula yang ingkar (kafir). Tegasnya ada yang menjadi mukmin yang berbahagia, ada pula yang kafir. Dengan sabil itu pula manusia bebas menentukan pilihannya antara dua alternatif yang tersedia itu.
Pada ayat lain disebutkan: Ertinya: Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (Q.S. Al-Mulk: 2)
Ertinya: Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menguji kamu agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar di antara kamu; dan agar Kami menyatakan (baik buruknya) hal ehwal mu. (Q.S. Muhammad: 31)
Bahawa manusia diciptakan atas fitrah, dan hidayah yang terlebih dahulu diterimanya kemudian datang godaan untuk mengingkari Allah, disebutkan dalam suatu ayat: Ertinya: (Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. (Q.S. Ar Rum: 30)
Dalam suatu hadis disebutkan: Ertinya: "Tiada seorang pun yang keluar (rumah), kecuali di pintunya ada dua bendera: Bendera (yang satu) di tangan malaikat dan bendera (yang lain) di tangan setan. Jika seseorang keluar kerana mengharapkan apa yang dicintai dan disenangi Allah, nescaya ia diikuti oleh malaikat dengan benderanya.
Ia senantiasa berada di bawah bendera malaikat sampai ia kembali ke rumahnya. Dan jika seseorang keluar kerana mencari apa yang dimurkai Allah, nescaya ia diikuti oleh syaitan dengan benderanya. Ia senantiasa berada di bawah bendera setan sampai ia kembali ke rumahnya".
Sesungguhnya Kami menyediakan bagi orang-orang kafir rantai, belenggu dan neraka yang menyala-nyala.(QS. 76:4) Ayat ke-4
Ayat ini menerangkan bahawa sesungguhnya Allah telah menyediakan bagi orang-orang kafir rantai, belenggu dan neraka yang menyala-nyala. Orang yang kafir di sini maksudnya orang yang mengingkari nikmat dan pemberian yang telah dianugerahkan kepadanya bahkan selain mengingkari juga membantahnya.
Azab yang disediakan bagi mereka berupa: rantai, belenggu dan neraka yang bernyala-nyala. Rantai mengikat kaki supaya tidak lari, sedang belenggu untuk merantai tangan dan leher yang diikat ke neraka. Neraka Sa'ir (yang bernyala-nyala) seperti disebutkan dalam keterangan surah yang lalu adalah neraka yang nyalaanya tidak dapat dibandingkan dengan jenis api mana pun di atas dunia ini
Ayat lain menyebutkan: Ertinya: Ketika belenggu dan rantai dipasang di leher mereka, seraya mereka diseret. (Q.S. Ghafir: 71)
Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebaikan mereka akan minum dari gelas (berisi minuman) yang campurannya adalah air kafur,(QS. 76:5) Ayat ke-5
Ayat ini menerangkan balasan Allah kepada orang yang berbuat kebaikan yaitu berupa minuman dari gelas yang berisikan air yang campurannya adalah air kafur, iaitu nama suatu mata air di syurga yang airnya putih dan baunya sedap serta enak rasanya.
(Iaitu) mata air (dalam syurga) yang daripadanya hamba-hamba Allah minum, yang mereka dapat mengalirkannya dengan sebaik-baiknya.(QS. 76:6) Ayat ke-6
(Iaitu) mata air (dalam syurga) yang darinya hamba-hamba Allah minum, yang mereka dapat mengalirkannya dengan sebaik-baiknya. Jadi kafur itu berasal dari mata air yang airnya diminum oleh para hamba Allah yang muqarrabin (yang dekat kepada-Nya). Mereka dapat mengalirkan air sungai itu menurut kehendak hati tanpa ada yang menghalang. Mereka bebas menikmati air itu sepuas-puasnya. Air itu akan mengalir ke tempat-tempat yang mereka kehendaki, ke dalam kamar, mahligai atau ke dalam kebun-kebun yang mereka inginkan.
Mereka menunaikan nazar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana.(QS. 76:7) Ayat ke-7
Dalam ayat ini Allah menyebutkan beberapa sifat orang-orang “abrar” itu, yakni: Mereka menunaikan nazar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana. Menunaikan nazar adalah menepati sesuatu kewajiban yang datang dari peribadi sendiri dalam rangka mentaati Allah
Berbeza dengan kewajiban syara' (agama) yang datang dari Allah, maka nazar bersifat pembebanan yang timbul kerana keinginan sendiri dengan niat mensyukuri nikmat Allah. Baik nazar mahupun syara' kedua-dua hukumnya wajib dilaksanakan.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Malik, Bukhari dan Muslim dari 'Aisyah, Rasulullah SAW bersabda yang ertinya: "Barang siapa yang bernazar mentaati Allah, hendaklah ia mematuhi (mentaati) nazar itu, (tetapi) janganlah mendurhakai-Nya (janganlah penuhi nazar itu)"
Lebih lanjut soal nazar ini disebutkan dalam beberapa hadis antara lain dapat diperoleh ketentuan, yakni: 1. Hadis riwayat Bukhari dari `Aisyah menjelaskan bahawa nazar yang bermaksud hendak menaati Allah wajib dipenuhi, sedangkan nazar dengan niat mendurhakai Allah tidak boleh dipenuhi. Demikian pula hadis-hadis riwayat Tirmizi, Abu Daud dan An Nasa'i.
2. Rasulullah SAW memerintahkan kepada Saad bin Ubadah agar membayar puasa nazar yang pernah diucapkan oleh ibunya yang telah meninggal. Demikian diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Sa'ad bin Ubadah.
Selain dari menyempurnakan janji, orang "abrar" itu adalah orang yang mahu meninggalkan segala perbuatan terlarang ( muharramat ) kerana takut akan dahsyatnya pembalasan yang harus diterima di Hari Kiamat akibat mengerjakannya. Sebab pada hari itu segala kejahatan dan kedurhakaan yang pernah dikerjakan seseorang disebarluaskan. Hanyalah orang-orang yang dikasihi Tuhan saja yang selamat dari keadaan yang mengerikan itu.
Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan.(QS. 76:8) Ayat ke-8
Selanjutnya ayat ini menerangkan bahawa orang "abrar" ini memberikan makanan yang sangat diperlukan dan disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Memberikan makan kepada orang miskin, anak yatim dan tawanan (pada musim perang) bererti pula memberikan bantuan dan sokongan kepada orang yang memerlukan.
Disebutkan di sini makanan, kerana makanan itu merupakan keperluan utama hidup seseorang. Boleh jadi pula memberikan makanan bererti berbuat baik kepada orang yang sangat memerlukannya dengan cara dan bentuk apa jua pun.
Boleh jadi pula yang dimaksud dengan memberikan makanan bererti pula berbuat baik kepada makhluk yang sangat memerlukannya dengan cara dan bentuk apapun. Disebutkan secara khusus memberikan makanan kerana inilah bentuk ihsan (kebaikan) yang paling tinggi nilainya.
Bentuk insan lain yang juga tinggi nilainya disebutkan dalam ayat lain, yakni:
Ertinya: Dia mengatakan: "Aku telah menghabiskan harta yang banyak". Apakah dia menyangka bahawa tiada seorang pun yang melihatnya? Bukankah Kami telah memberikan kepadanya dua buah mata, lidah dan dua buah bibir. Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan. Maka tidaklah sebaiknya (dengan bertanya itu) ia menempuh jalan yang mendaki lagi sukar?. (Q.S. Al-Balad: 6-11)
Dari ayat ini dapat diambil kesimpulan memberikan bantuan (pertolongan) diutamakan kepada orang yang kuat berusaha mencari keperluan hidupnya, namun penghasilannya tidak memenuhi keperluan hidupnya sehari-harian. Atau miskin juga bererti orang yang tidak berharta sama sekali dan kerana keadaan fiziknya tidak memungkinkan untuk berusaha mencari nafkah hidup.
Adapun orang yang ditawan, selain tawanan perang musuh dapat pula bererti: orang yang sedang dipenjarakan (kerana melanggar ketentuan syara' atau berbuat kesalahan), atau budak yang belum dapat memerdekakan dirinya dan yang patut dibantu. Dengan demikian bantuan berupa makanan kepada orang yang memerlukan tidaklah harus dilihat dari sudut agama apa yang dipeluk orang tersebut, tidak harus dia beragama Islam. (Tafsir Khazin, VII: 159)
Disebutkan bahawa latarbelakang turunnya ayat ke 8 ini adalah demikian; Seorang laki-laki Ansar bernama Abu Dahdah pada suatu hari mengerjakan puasa. Ketika saat berbuka, datanglah berkunjung ke rumahnya seorang miskin, seorang anak yatim, dan seorang yang sedang dalam tawanan. Ketiga-tiganya dijamu oleh Abu Dahdah dengan tiga potong roti.
Untuk keluarga dan anak-anaknya hanya tinggal sepotong roti saja lagi (padahal dia hendak berbuka puasa). Untuk menghargai perasaan insaniah dan ingin menolong orang seperti dicontohkan Abu Dahdah, Allah menurunkan ayat di atas.
Riwayat lain mengatakan bahawa sahabat Ali bin Abi Thalib R.A. mendapat upah bekerja dengan seorang Yahudi berupa Karung gandum. Sepertiga gandum itu dimasak, ketika siap dihidangkan datanglah seorang miskin memintanya. Tanpa berfikir panjang Ali langsung saja memberikannya. Kemudian dimasaknya sepertiga lagi. Setelah siap dimakan, datang pula seorang anak yatim meminta bubur gandum itu. Ali pun memberikannya.
Kali ketiga sisa gandum itu dimasak semuanya, dan secara kebetulan datang pula seorang tawanan yang masih musyrik dan mohon dikasihani. Ali memberikan lagi sisa bubur gandum itu, sehingga untuk dia sendiri tidak ada lagi. Demikianlah untuk menghargai sikap sosial itulah Allah menurunkan ayat ke 8 ini. (Tafsir Al-Qasimy, XVIII: 6012) Yang perlu diingat oleh seseorang yang hendak beramal sosial seperti itu adalah keikhlasan dan kejujuran hati dalam mengerjakannya tanpa diminta upah dan balasan.
Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.(QS. 76:9) Ayat ke-9
Ayat ini menerangkan keikhlasan orang-orang "abrar" yang menyatakan bahawa mereka memberikan makanan kepada orang miskin, anak yatim dan tawanan hanyalah untuk mengharapkan keridaan Allah semata-mata, tidak menghendaki balasan dan tidak pula mengharapkan ucapan terima kasih.
Jadi di saat hendak memulai usaha sosial itu hendaklah hati dan lidah berniat ikhlas kerana Allah tanpa dicampuri oleh perasaan lain yang ingin menerima balasan yang setimpal atau mengharapkan pujian dan sanjungan orang lain.