120 likes | 313 Views
TUMPANG TINDIH UNDANG-UNDANG SEKTORAL TERHADAP UNDANG-UNDANG OTONOMI DAERAH, MASALAH DAN SOLUSINYA. Drs. Agun Gunandjar Sudarsa , Bc.IP.,M.Si. Pendahuluan
E N D
TUMPANG TINDIH UNDANG-UNDANG SEKTORAL TERHADAP UNDANG-UNDANG OTONOMI DAERAH,MASALAH DAN SOLUSINYA Drs. AgunGunandjarSudarsa, Bc.IP.,M.Si
Pendahuluan • Point penting dalam otonomi daerah yaitu hubungan antara pusat dan daerah yang antaranya mengenai pembagian urusan dan pembagian wewenang pemerintahan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. • Pembagian urusan pemerintahan terdiri atas; 1. Urusan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat; 2. Urusan yang dibagi antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan, yang selanjutnya dikenal adanya urusan pemerintah daerah terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan. • Point inilah yang akan menentukan sejauhmana pemerintah pusat dan pemerintah daerah memiliki wewenang untuk menyelenggarakan urusan-urusan pemerintahan. Dan lebih lanjut, objek urusan pemerintahan bisa sama, tetapi wewenang atau ruang lingkupnya berbeda.
B. Permasalahan Dalam hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, terdapat permasalahan pokok yaitu bagaimana mensikronkan hubungan kewenangan dalam menyelenggarakan urusan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, baik urusan yang diatur dalam UU Pemerintahan daerah dan UU Perimbangan Keuangan, maupun urusan-urusan yang diatur dalam berbagai UU sektoral, sehingga selaras dengan prinsip otonomi yang luas.
C. Pembahasan Masalah Pelaksanaan otonomi daerah telah berjalan belasan tahun dan mendapat apresiasi, na-mun masih banyak kekurangannya, salah satunya yaitu kewenangan yang tumpang tindih seperti: * Adannya tumpang tindih perijinan di sektor pertambangan akibat disharmonisasi Per - Undang-Undangan yang berdampak:
Arsip pendataan terhadap perijinan dibidang kehutanan termasuk bidang pertambangan di beberapa wilayah terkadang tidak terdata sehingga kabupaten baru hasil pemekaran tersebut tidak terdaftar • Tidak adanya koordinasi antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah dalam penentuan suatu areal yang akan dijadikan sebagai pencadangan wilayah arean suatu perijinan dibidang pertambangan sehingga mengakibatkan ijin lokasi yang diberikan tumpang tindih dengan perijinan lainnya. • Belum jelasnya tata batas atau peta penunjukan wilayah kabupaten, sehingga terjadi Kepala daerah memberikan perijinan diluar wilayah kewenangannya, menjadi salah satu faktor terjadinya tumpang tindih perijinan.
Adanya ketentuan penerbitan ijin yang saling berkaitan maupun bersinggungan dalam pengelolaan berbagai pertambangan, seperti: * UU No. 4 tahun 2009 tentang Mineral dan batubara; * UU No. 32 tahun 2004 tentang otonomi daerah; * UU No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan; * UU No. 5 tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistem; * UU No. 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; * UU No. 26 tahun 2007 tentang penataan ruang;
Dengan adanya kondisi yang demikian tersebut maka dampak implementasi nya di lapangan adalah terjadi disharomonisasi dalam penerbitan perijinan, seperti contohnya: • Belum serasinya antara Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRW). • Terjadinya konflik aturan hukum dan disharmoni mengenai tata kelola sektor keuangan antara pusat dan daerah yang diidentifikasikan dengan sebagai berikut: 1. Kurang efektifnya koordinasi antara Departemen Keuangan, Departemen Teknis, dan Pemerintah Daerah dalam menentukan besarnya realisasi Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam (SDA) sehingga penyalurannya terlambat. 2. Tidak adanya harmonisasi dan konsistensi antara ketentuan Pasal 4 ayat 3 Peraturan Presiden Nomor 104 Tahun 2006 tentang Penetapan Alokasi DAU dengan peraturan yang lebih tinggi sehingga beberapa daerah mendapat alokasi DAU lebih daripada seharusnya.
Solusi agar hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah itu dapat berlangsung dengan adil dan selaras jika dipenuhi beberapa aspek: 1. Selalu mengedepankan agenda reformasi birokrasi dalam mengakomodasi prinsip-prinsip tata pengelolaan pemerintahan yang baik dari mulai tingkat pusat hingga daerah (good governance) dimana konsep tersebut tercermin dalam semangat UU No.39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Dengan mengimplemetasikan UU No.39 Tahun 2008 tersebut maka diharapkan dapat terwujud reformasi birokrasi dari mulai tingkat pusat hingga daerah sehingga terjadi efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan Pemerintahan.
2. Apakah Pemerintah Pusat telah menyerahkan sumber-sumber keuangan yang cukup terutama yang berhubungan dengan pajak daerah, retribusi daerah, dan bagi hasil pajak dan SDA. Pemberian sumber-sumber penerimaan tersebut akan mencerminkan kemampuan atau potensi di bidang keuangan dari suatu daerah. 3. Sejauh mana pemerintah pusat memberikan subsidi yang adil dan terukur kepada masing-masing daerah untuk membiayai kekurangan dana.
4. Terkait dengan Otonomi Daerah, jelaslah bahwa keberadaan UU No.39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara merupakan Support yang mengakomodasi tuntutan penguatan pelaksanaan otonomi daerah atau yang disebut Desentralisasi Pemerintahan, sesuai dengan amanah daripada UU 39 Tahun 2008 BAB VII tentang Hubungan Kementerian Dengan Pemerintah Daerah, Pasal 26.
Berdasarkan uraian di atas maka hal yang perlu menjadi perhatian adalah : Arah kebijakan reformasi dan reorientasi dalam penyelenggaraan Pemerintah Daerah di Indonesia seharusnya mengacu kepada berbagai permasalahan yang selama ini selalu dijadikan bahan perdebatan dalam melakukan kajian terhadap hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah antara lain adalah distribusi kewenangan yang tergambar sebagai piramida terbalik. Dimana kewenangan ditingkat pusat sangat besar dan di tingkat daerah semakin mengecil terlebih-lebih pada Daerah Tingkat II. Kondisi ini akibat adanya alasan pembenar yang ber-asumsi bahwa Pemerintah Daerah belum dianggap mampu untuk melaksanakan sebagian besar urusan-urusan pemerintah, karena dihadapkan pada Sumber Daya Manusia yang terbatas.
D. Penutup Guna mengantisipasi dan melakukan perbaikan terhadap peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih, pemerintah perlu menyiapkan suatu kebijakan yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010 – 2014 untuk melakukan efektifitas peraturan perundang-undangan nasional. Sehingga pada akhirnya salah satu misi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tertuang dalam Rencana Jangkan Panjang Nasional (RPJPN) 2005 – 2025 yaitu mewujudkan masyarakat demokratis berdasarkan hukum dapat terlaksana. Sekian TERIMAKASIH