180 likes | 764 Views
KOMISI PEMBERANTAS KORUPSI. SEJARAH LEMBAGA PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA. ORDE LAMA a. Kabinet Juanda
E N D
KOMISI PEMBERANTAS KORUPSI
SEJARAH LEMBAGA PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA ORDE LAMA a. Kabinet Juanda Di masa orde lama terbentuk badan pemberantasan korupsi, yaitu dengan perangkat aturan Undang-Undang Keadaan Bahaya, lembaga ini disebut Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran). Badan ini dipimpin oleh A.H. Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota, yakni Profesor M. Yamin dan Roeslan Abdulgani. Kepada Paran inilah semua pejabat harus menyampaikan data mengenai pejabat tersebut dalam bentuk isian formulir yang disediakan.
b. Operasi Budhi Melalui Keputusan Presiden No. 275 Tahun 1963, pemerintah menunjuk lagi A.H. Nasution, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan/Kasab, dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo dengan lembaga baru yang lebih dikenal dengan Operasi Budhi. Operasi Budhi ini dihentikan dengan pengumuman pembubarannya oleh Soebandrio kemudian diganti menjadi Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (Kontrar) dengan Presiden Soekarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Bohari pada tahun 2001 mencatatkan bahwa seiring dengan lahirnya lembaga ini, pemberantasan korupsi pada masa Orde Lama pun kembali masuk ke jalur lambat, bahkan macet.
2. ORDE BARU Pada masa awal Orde Baru, melalui pidato kenegaraan pada 16 Agustus 1967, Soeharto terang-terangan mengkritik Orde Lama, yang tidak mampu memberantas korupsi dalam hubungan dengan demokrasi yang terpusat ke istana. Pidato itu seakan memberi harapan besar seiring dengan dibentuknya Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), yang diketuai Jaksa Agung. Namun, ternyata ketidakseriusan TPK mulai dipertanyakan dan berujung pada kebijakan Soeharto untuk menunjuk Komite Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa, seperti Prof Johannes, I.J. Kasimo, Mr Wilopo, dan A. Tjokroaminoto.
3. ERA REFORMASI Usaha pemberantasan korupsi dimulai oleh B.J. Habibie dengan mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru, seperti Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), KPPU, atau Lembaga Ombudsman. Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid, membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000. Melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan dengan logika membenturkannya ke UU Nomor 31 Tahun 1999 dan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi.
TUGAS – TUGAS KPK • Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. • Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. • Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. • Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi. • Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
WEWENANG KPK DALAM MELAKSANAKAN TUGAS KOORDINASI • Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi; • Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi; • Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait; • Meminta dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan • Melaksanakan laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi.
PENGERTIAN KORUPSI Ӫ Korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus / politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Ӫ Dalam arti yang luas, korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi.
Untuk pertama kalinya korupsi menjadi istilah yuridis dalam peraturan penguasa militer PRT/PM/06/1957 tentang pemeberantasan korupsi. Di dalam peraturan ini diartikan sebagai “perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan dan perekonomian Negara”.Yang termasuk kategori tindakan korupsi yaitu: • Setiap perbuatan yang dilakukan oleh siapapun juga untuk kepentingan diri sendiri, untuk kepentingan orang lain / untuk kepentingan badan yang langsung merugikan keuangan dan perekonomian negara. • Setiap perbuatan yang dilakukan oleh seorang pejabat yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara dengan mempergunakan kewenangan yang diberikan kepadanya oleh jabatan, langsung atau tidak langsung memberikan keuntungan baginya.
JENIS – JENIS KORUPSI Korupsi transaktif disebabkan oleh adanya kesepakatan timbale balik antara pihak pemberi dan penerima demi keuntungan kedua belah pihak dan secara aktif mereka mengusahakan keuntungan tersebut. Hal ini biasanya melibatkan dunia usaha dan pemerintah atau masyarakat dengan pejabat-pejabat pemerintah. Pemerasan adalah korupsi dimana pihak pemberi dipaksa menyerahkan uang suap untuk mencegah kerugian yang menganca dirinya, kepentingannya, atau suatu yang berharga dari dirinya.
3,. Korupsi definisif adalah perilaku korban korupsi dengan pemerasan, jadi korupsinya dalam mempertahankan diri. 4. Korupsi investif adalah pemberian barang atau jasa tapa memperoleh keuntungan tertentu, selain keuntungan yang masih angan-angan atau yang dibayangkan akan di peroleh di masa yang akan datang.5. Nepotisme atau korupsi perkerabatan meliputi menunjukkan secara tidak sah terhadap saudara-saudara atau teman untuk menduduki jabatan tertentu dalam pemerintahan. Imbalan yang bertentangan dengan norma dan peraturan mungkin dapat berupa uang, fasilitas khusus dan sebagainya.6. otogenik adalah bentuk korupsi yang tidak melibatkan orang lain dan pelakunya hanya satu orang saja.
KONDISI YANG MENDORONG MUNCULNYA KORUPSI • Konsentrasi kekuasan di pengambil keputusan yang tidak bertanggung jawab langsung kepada rakyat, seperti yang sering terlihat di rezim-rezim yang bukan demokratik. • Kampanye-kampanye politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari pendanaan politik yang normal. • Gaji pegawai pemerintah yang sangat kecil. • Kurangnya kebebasan berpendapat atau kebebasan media massa
Menurut Boni Hargenpenyebab terjadinya korupsi terbagi menjadi 3 wilayah yaitu: • Wilayah Individu, dikenal sebagai aspek manusia yang menyangkut moralitas personal serta kondisi situasional seperti peluang terjadinya korupsi termasuk di dalamnya adalah faktor kemiskinan. • Wilayah Sistem, dikenal sebagai aspek institusi/administrasi. Korupsi dianggap sebagai konsekuensi dari kerja sistem yang tidak efektif. Mekanisme kontrol yang lemah dan kerapuhan sebuah sistem member peluang terjadinya korupsi. • Wilayah Irisan antara Individu dan Sistem, dikenal dengan aspek social budaya, yang meliputi hubungan antara politisi, unsur pemerintah dan organisasi non pemerintah. Selain itu meliputi juga kultur masyarakat yang cenderung permisif dan kurang perduli dengan hal-hal yang tidak terpuji.
KENDALA DALAM MENGHADAPI KORUPSI Penegakan hukum yang tidak konsisten dan cenderung setengah-setengah. Taktik-taktik koruptor untuk mengelabui aparat pemeriksa, masyarakat, dan negara yang semakin canggih. Kurang optimalnya fungsi komponen-komponen pengawas atau pengontrol, sehingga tidak ada pengawasan dan keseimbangan. Kurang kokohnya landasan moral untuk mengendalikan diri dalam menjalankan amanah yang diemban. Struktur birokrasi yang berorientasi ke atas, termasuk perbaikan birokrasi yang cenderung terjebak perbaikan renumerasi tanpa membenahi struktur dan kultur.
UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI • Upaya Pencegahan (Prefentive) • Upaya preventif harus dibuat dan dilaksanakan dengan diarahkan pada hal-hal yang menjadi penyebab timbulnya praktik korupsi. Setiap penyebab korupsi yang teridentifikasi harus dibuat upaya preventifnya, sehingga dapat meminimalkan penyebab korupsi. • Upaya Penindakan (Kuratif) • Upaya penindakan yaitu upaya yang dilakukan kepada mereka yang terbukti melanggar dengan diberikan peringatan,dilakukan pemecatan tidak terhormat dan di hukum pidana.
JAKARTA, KOMPAS.com - Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengenakan Undang-undang Pencucian Uang terhadap terdakwa kasus penerimaan suap kepengurusan anggaran di Kementerian Pemuda dan Olahraga serta Kementerian Pendidikan Nasional, Angelina Sondakh. Hasil eksaminasi publik yang dilakukan ICW atas perkara korupsi Angelina Sondakh alias Angie menunjukkan adanya dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU)."Perlu diberlakukan mekanisme pembuktian terbalik terhadap seluruh harta atau aset milik Angie. Apabila tidak bisa dibuktikan soal kepemilikan itu, maka harus dirampas oleh negara," ujar Koordinator ICW bidang Hukum dan Peradilan Emerson Yunto di kantornya, Senin (11/3/2013).Dia menjelaskan, dalam surat tuntutan jaksa pada halaman 270 dan 271 ditemukan adanya aliran dana kepada saksi Lindina Wulandari senilai Rp 2.523.724.735. Kemudian pada saksi Anita Elizabete Lalaim, ada aliran uang untuk membayar premi asuransi BNI Life Dollar sebesar US dollar 45.000 secara tunai. Uang tersebut dipakai membeli sebuah mobil Velfire.
"Meskipun tidak diakui Angie bahwa mobil itu miliknya, tapi mobil tersebut menggunakan alamat terdakwa yang merupakan rumah dinas anggota DPR RI," jelasnya.Ia mencontohkan, kasus Wa Ode Nurhayati yang juga didakwa pasal 12 a, pasal 5 (2), dan pasal 11 UU Pencucian Uang. Jaksa menerapkan pasal pencucian uang pada kasus tersebut.Angie telah divonis 4 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp 250 juta subsider kurungan enam bulan. Hakim menilai Angie terbukti melakukan tindak pidana korupsi berlanjut dengan menerima pemberian uang total Rp 2,5 miliar dan 1,2 juta dollar Amerika dari Grup Permai. Vonis Angie lebih rendah rendah dari tuntutan jaksa yakni 12 tahun penjara dan denda Rp 500 juta.Emerson menambahkan, berdasarkan fakta persidangan, Angie harusnya terbukti memenuhi Pasal 12 huruf a UU Tipikor dan dapat dijerat 4 sampai 20 tahun penjara. Kemudian, sesuai Pasal 18 UU Tipikor, mantan Puteri Indonesia itu seharusnya membayar uang pengganti dalam dakwaan jaksa Rp 12,58 miliar dan US dollar 2.350.000 atau sedikitnya yang dinyatakan terbukti oleh hakim senilai Rp 2,5 miliar dan US dollar 1.200.000.