90 likes | 439 Views
KOMUNITAS CILIWUNG MERDEKA. Saksikanlah: “ CILIWUNG LARUNG ” PEMENTASAN BUDAYA TEATER MUSIKAL CILIWUNG MERDEKA Komunitas Remaja Bantaran Sungai Ciliwung Bukit Duri – Kampung Pulo, Jakarta Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki Jakarta Tanggal 5, 6 Juli 2011
E N D
KOMUNITAS CILIWUNG MERDEKA
Saksikanlah: “CILIWUNG LARUNG” PEMENTASAN BUDAYA TEATER MUSIKAL CILIWUNG MERDEKA Komunitas Remaja Bantaran Sungai Ciliwung Bukit Duri – Kampung Pulo, Jakarta Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki Jakarta Tanggal 5, 6 Juli 2011 “KISAH PERJUANGAN KOMUNITAS RUANG SISA” Prolog “Ciliwung”, bukan sekedar nama sungai, tapi juga mengandung pengertian keseluruhan lingkungan tata ruang hidup, terutama yang mengartikulasikan harkat dan martabat hidup komunitas-komunitas warga pinggiran penduduk di sepanjang bantaran sungai Ciliwung. “Larung”. Bahasa Jawa “dilarung” difahami sebagai “dihanyutkan” di sungai atau di laut. Tapi bukan dalam arti “dibuang” atau “dienyahkan”, melainkan dalam arti “disucikan”, “disempurnakan”, yang dalam bahasa Jawa juga kadang pengertiannya sama dengan istilah “diruwat”, yaitu seseorang/sekelompok orang, atau benda, atau peristiwa, dimasukkan dalam alam ritus/upacara penuh doa permohonan agar diberkahi Tuhan, supaya sungguh bisa lebih bebas-merdeka, lebih hidup, tumbuh dan berkembang, bangkit. Perjuangan kebangkitan yang disucikan! Maka “Ciliwung Larung” merupakan ekspresi kesadaran dan kerinduan kolektif seluruh realitas hidup, baik manusia komunitas-komunitas warga pinggiran bantaran kali Ciliwungnya, maupun alam raya lingkungan hidupnya yang serba heterogen saling membutuhkan dan melingkupinya, justru karena serba terpinggirkan, cenderung dijauhkan dan diasingkan dari akses sosial, ekonomi, politik dan budaya. Tujuannya agar warga dan lingkungan itu sungguh dapat merdeka, dijauhkan dari berbagai bencana alam dan tragedi belenggu pemiskinan serta ketidakadilan, sehingga komunitas-komunitas basis kemanusiaan di sepanjang bantaran sungai Ciliwung dapat lebih diberdayakan martabat dan haknya melalui berbagai bentuk ikhtiar “survival system” proses pendidikan alternatif-kreatif yang diselenggarakan secara bersama, penuh kesadaran kritis, solidaritas-partisipatif, mandiri-otentik, bebas-otonom dan berkelanjutan.
“Ciliwung Larung” pada hakekatnya adalah kisah “perjuangan komunitas-komunitas ruang sisa” warga pinggiran bantaran kali Ciliwung, dari pengalaman keterpurukan karena diasingkan dari akses sosial, ekonomi, politik dan budaya, dari ketidakpastian dan ketakutan akan ancaman “penggusuran paksa” karena adanya Rencana Program Normalisasi Kali Ciliwung 2009-2012, menjadi terjaga sadar dan bangkit untuk mewujudkan program-program nyata swadaya kebangkitan jiwa anak-anak, remaja dan warga komunitas Bukit Duri dan Kampung Pulo. Pengalaman dan proses transformasi kehidupan warga pinggir kali Ciliwung, dari keterasingan, keterpurukan, menuju perubahan, pembebasan dan kebangkitan bersama. “Ciliwung Larung” adalah ekspresi seni budaya kerinduan kolektif dan aspirasi jiwa otentik komunitas-komunitas warga pinggiran bantaran kali Ciliwung dalam wujud pagelaran sinergis pementasan teater, musik, tari, tulisan/sastra, film dokumenter dan pendidikan alternatif-kreatif, yang diciptakan dan dimainkan oleh sekitar 75 anak-anak, remaja dan warga Bukit Duri dan Kampung Pulo. Sinopsis Siti Nurani, adalah perempuan pinggiran. Seorang ibu, janda muda dengan satu anak. Siti adalah anak ketiga atau anak bungsu Mak Dukana. Mak Dukana dalam kisah ini juga menjadi tokoh sentral, karena dialah “The God Mother”, “Super Mak”, pemimpin moral-spiritual sejati bagi warga bantaran kali Ciliwung, Bukit Duri dan Kampung Pulo. Siti sudah lama ditinggalkan oleh suaminya yang menikah lagi. Kemudian karena pergaulannya sebagai aktivis kampung, Siti berkenalan, berpacaran dan menikah dengan Gibon, ketua pemuda kampung yang sangat dinamis, vokal dan atraktif. Siti memang lahir, dibesarkan dan menjadi dewasa sebagai perempuan di kawasan keprihatinan bantaran kali Ciliwung, Bukit Duri, Tebet, Jakarta Selatan. Pengalaman konflik dan krisisnya mengemuka ketika ia dilindas oleh belenggu ketidakadilan dan stigma sebagai perempuan miskin di kawasan kumuh di ibu kota Jakarta. Kisah perjuangan Siti dan Mak Dukana menjadi masalah komunal yang kritis di dua kampung itu ketika mereka menjadi simbol perjuangan tata-bangkitkomunitas masyarakat pinggiran itu dalam menghadapi keserakahan beberapa gelintir konglomerat pemodal kartel pengembang-pembangunan ibu kota, yang telah berhasil menyandera para birokrat Pemprov DKI yang mengirim polisi, aparat Sat-Pol PP, dan para preman yang menjadi perpanjangan tangannya sebagai garda depan proses penggusuran-paksa serta pemerintah pusat yang lebih diwakili oleh para politisi selebritis pengambil keputusan, selain para birokrat pemerintah pusat yang cenderung mengambil keuntungan di tengah penderitaan rakyat. Berawal dari kesadaran naïf Siti Nurani yang ditawan oleh belenggu kemiskinan, ketidak-adilan dan sistem nilai feodal-patriaki, Siti tanpa sadar berusaha untuk “menolak” adanya segala kenyataan dan tantangan pahit itu, dengan menghayati hidup semu penuh ketaatan-ketakutan pada segala otoritas yang menindas di lingkungannya. Hidup bagaikan mabok dan mimpi. Siti kehilangan kepercayaan diri. Namun dalam perkembangannya kemudian, ketika tekanan hidup sudah tak terperi, Siti mulai terjaga dan memberontak, protes. Setidaknya ada 4 kali tragedi yang melindas komunitas-komunitas warga Bukit Duri dan Kampung Pulo. Yang pertama krisis ekonomi akibat kenaikan harga BBM. Kedua banjir besar yang melanda sungai Ciliwung setiap 5 tahun sekali. Ketiga, penggusuran-paksa I akibat proyek Normalisasi Kali Ciliwung. Keempat, penggusuran-paksa II yang terakhir, yang habis-habisan yang meluluh-lantakkan 2 kampung di bantaran kali Ciliwung: Kampung Pulo dan Bukit Duri.
Kemudian diiganti dengan pembangunan pusat perbelanjaan, mall, gedung perkantoran mewah, dlsb., sebagaimana selalu begitu dalam proses pembangunan kota super-blok Jakarta. Selalu atas nama kepentingan umum, kepentingan rakyat. Sirnalah segala harapan terhadap janji-janji manis pak Lurah, pak Camat, pak Wali kota daan Pemprov DKI, bahwa mereka akan memperoleh rumah dan tanah pengganti. Ya karena kalau toh ada, sudah menjadi pengetahuan umum, Rumah Susun yang dijanjikan itu harus disewa dengan biaya yang mahal, harga yang tak mungkin terjangkau warga pinggiran kelas bantaran kali. Dan bukankah sudah jamak difahami oleh sebagian besar oleh para pengembang-pemilik modal, aparat Pemprov DKI, dan masyarakat menengah ke atas, bahwa warga pinggiran seperti warga bantaran kali ini memang tak mempunyai hak untuk memperoleh tempat tinggal, tempat bekerja yang layak, tempat dan fasilitas pendidikan yang memadai untuk anak-anak mereka. Ya karena mereka hanya dianggap warga ilegal, dianggap tak menguntungkan bagi kepentingan ekonomi Pemprov DKI. Wujud gerakan perlawanan mereka terhadap rencana penggusuran-paksa yang brutal itu bukanlah perjuangan dengan kekerasan. Siti, Gibon, Mak Dukana, Slamet, Sakinah, dan seluruh warga serta solidaritas warga masyarakat lainnya, terutama anak-anak muda remaja, bahkan anak-anak kecil, melakukan perjuangan aktif tanpa kekerasan. Prinsip sikap moral yang tegas berdasarkan hati nurani, keyakinan iman. Dengan solidaritas dan keswadayaan, berdiri di atas kaki sendiri. Selama ini mereka telah mengerjakan program-program pemberdayaan, misalnya program-program kerja Ciliwung Merdeka 2011-2012: (1) Pendidikan Alternatif-Kreatif (PA), (2) Pendidikan Swadaya Kesehatan Masyarakat (PSKM), (3) Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH), (4) Pendidikan Tata Ruang Kampung Swadaya (PTRKS), (5) Pendidikan Swadaya Ekonomi Masyarakat (PSEM), (6) Pendidikan Seni Budaya Rakyat (PSBR), (7) Pusat Latihan Daya Pinggir (PLDP). Mak Dukana, Siti dan Gibon mulai mempengaruhi dan mengorganisir para ibu, teman-teman tetangganya untuk menggugat. Meski dengan kecenderungan hanya menggunakan kekuatan dan kemauan serta pendapat pribadinya sendiri. Inilah masa ketika Mak Dukana, Siti dan Gibon bersama beberapa aktivis warga kampung mulai dijuluki “si tukang ngomel”, menjadi cenderung mudah marah pada orang-orang sekitar, marah pada lingkungan, pada pemerintah. Cenderung hanya menyalahkan pihak lain. Bahkan marah pada Sang Penyelenggara Kehidupan. Mak Dukana, Siti dan Gibon serta para warga lainnya menjadi galau dan gelisah karena deritanya tak juga terjawab. Kesepian jiwa. Mereka merasa ditinggalkan oleh kehidupan. Terutama setelah kampungnya hancur luluh-lantak digusur-paksa. Dan persis ketika di saat-saat akhir penggusuran jahanam itu, tepat pada detik-detik Siti akan melahirkan anaknya dengan Gibon, Mak Dukana, ibu kandungnya, orangtua yang luar biasa setia mendampinginya dan menjadi “ibu” bagi seluruh perjuangan kampung selama ini, meninggal dunia. Hidup bagai tanpa rasa, tanpa karsa, tanpa jasa, tanpa masa depan, tanpa cinta. Maka Siti pun mulai melakukan tawar-menawar dengan kehidupan, dengan Tuhan: “Tuhan, kalau Engkau memang ada dan hidup, tolonglah aku, lindungilah kami dari kemiskinan, dari ketakukan, dari penggusuran-paksa yang biadab ini!” Tapi saat itu bagi Siti, Tuhan seperti diam saja.
Dalam pengalaman kesunyiannya yang suntuk, Siti Nurani masuk dalam “percakapan menyeluruh” (total conversation) dengan berbagai masalah hidup sehari-hari yang dihadapinya. Ia mencakup baik masalah nafkah hidup, biaya makan, biaya sekolah anak, masalah pendidikan, masalah tempat tinggal, masalah ancaman penyakit demam berdarah, busung lapar, hidup perkawinan, masalah tata hidup bertetangga, masalah lingkungan hidupnya yang serba kumuh, masalah tata ruang, masalah kehidupan berkomunitas, masalah sorotan media massa, dll. Dari proses dialog kehidupan yang intensif itulah kemudian lahir kesadaran baru, kesadaran kritis pada hati nurani Siti Nurani, yang disimbolkan dengan kelahiran bayi mungil buah cinta Siti dan Gibon. Hidup ini harus diperjuangkan, diretas, dibebaskan. Hidup harus diberi makna baru!Tumbuhnya kesadaran kritis, kesadaran baru bahwa hidup adalah perjuangan, sungguh merupakan rahmat dari Allah Sang Pembebas. Maka segala rahmat itu harus kita amini, kita syukuri, kita rayakan bersama! Adalah sebuah momentum ketika Siti, Gibon, dan semua Sisa-sisa Laskar Pinggiran, merayakan pengalaman kebangkitan bersama! RANGKAIAN ACARA PEMENTASAN BUDAYA “CILIWUNG LARUNG” Senin, 4 Juli 2011 14.00 – 16.00 : Pameran Program Kerja Ciliwung Merdeka 2011 16.00 – 17.00 : Konperensi Pers 19.00 – 21.00 : Gladi Resik Pementasan Budaya “Ciliwung Larung” Selasa, 5 Juli 2011 14.00 – 17.00 : Pameran Program Kerja Ciliwung Merdeka 2011 19.00 – 21.00 : Pementasan Budaya “Ciliwung Larung” 21.00 – 22.00 : Tanggapan & Diskusi Publik Rabu, 6 Juli 2011 14.00 – 16.00 : Pameran Program Kerja Ciliwung Merdeka 2011 16.00 – 18.00 : Pemutaran Film Dokumenter dan Diskusi Publik “Kisah Perjuangan Komunitas Ruang Sisa” 19.00 – 21.00 : Pementasan Budaya “Ciliwung Larung” 21.00– 22.00 : Tanggapan dan Diskusi Publik Teirimakasih! Salam, I.Sandyawan Sumardi sandyawan@gmail.com, 087777882431 Sekretariat Ciliwung Merdeka Jl. Kebon Pala II No. 7c RT/RT 04/04 Kel. Kampung Melayu, Kec. Jatinegara, Jakarta Timur Telp/Fax. +62 21 85 9003 10 Email: ciliwung@cbn.net.id
CILIWUNG LARUNG (Sebuah lagu rakyat kolaboratif tradisional Jawa, Bali, Sunda dan Batak, dengan suasana serba agung, mitis, dinamis-ritmis, riuh missal) Lagu dan Syair: I.Sandyawan Sumardi Ciliwung larung lagaku Bergejolak air suci jiwaku Kurengkuh nadi sudraku Kutambatkan biduk ragaku Hoo... ooo…oo…o… (2X) Reff: Bangkit, bangkit saudaraku! Patah, pecah belenggu penjara Jiwa raga sampai ujung juang! Cahaya Suci di sukmaku Sidoarjo, Jawa Timur, 16 Desember 2009