10 likes | 311 Views
Bola Lampu dan Orang Kecil Pada malam harinya, kami menghadapi meja makan di ruangan yang pada sudutnya agak gelap. “Halida, tolong nyalakan lampu,” kata Ayah. Lampu dinyalakan tetapi tetap padam karena bola lampu sudah menghilang, padahal baru minggu yang lalu dilengkapi oleh Ibu.
E N D
Bola Lampu dan Orang Kecil Pada malam harinya, kami menghadapi meja makan di ruangan yang pada sudutnya agak gelap. “Halida, tolong nyalakan lampu,” kata Ayah. Lampu dinyalakan tetapi tetap padam karena bola lampu sudah menghilang, padahal baru minggu yang lalu dilengkapi oleh Ibu. “Suli, mana booglam-nya…? Dimakan kucing…?!” tanya Ayah yang jengkel karena masih ingat jawaban Pak Suli sore tadi tentang kecoa. Diluar dugaan kami, jawabannya adalah, “Ya!” Mungkin karena bingungnya, Pak Suli asal menjawab saja. Anak-anak yang mendengar tertawa terbahak-bahak, tetapi Ayah cepat menyetop kami, “Sssst, akh!!!” dengan alisnya yang “bertabrakan”. Bagi Ayah, wibawa tetap harus dipertahankan kalau sedang memarahi orang, jadi betapapun lucunya, beliau tidak tertawa. Sebaliknya, kami bertiga dan ibu diam seketika, sambil berpandang-pandangan. Badan terguncang-guncang menahan ketawa, hidung ditutup erat-erat dengan serbet makan agar suara tertawa tidak keluar. Bagaimana dengan Ayah sendiri…? Beliau tetap saja menunduk melihat piringnya dan makan dengan tenang. Beberapa saat kemudian, setelah rasa geli hati mereda, saya berkata, “Lucu.. ya Yah?” Tetapi Ayah cepat menjawab, “Ndak!” sambil menggeleng. Tampaknya Ayah tak suka bila kami menertawakan pembantu, orang kecil yang pasti tidak mampu membalas olok-olok kami. Betapapun keterlaluannya Pak Suli, ia adalah seorang pembantu yang setia, dan tampaknya Ayah menerimanya sebagaimana adanya. Ayah paling sering menegurnya, sebaliknya Pak Suli pun adalah orang yang paling kebal terhadap teguran Ayah. Tetapi ia tahu betul apa yang menjadi kesayangan Ayah di Megamendung, yaitu si Rabun, ikan mas yang panjangnya sekitar 50 sentimeter. Waktu si Rabun yang telah amat tua itu mati terjepit di antara dua buah tong bunga teratai kolam, Pak Suli menjadi takut. Maka dibawanya bangkai si Rabun ke Jakarta untuk melaporkan kematiannya kepada Ayah. Biaya penguburannya tentu saja menjadi sangat mahal, karena Ayah terpaksa mengganti ongkos perjalanan Pak Suli pulang-pergi ke Jakarta. Meutia Farida Swasono, Pribadi Manusia Hatta, Seri 2, Yayasan Hatta, Juli 2002