240 likes | 634 Views
Peran Kunci Bahan Bakar Nabati (BBN) di dalam Mewujudkan Ketahanan Energi Nasional. Tatang H. Soerawidaja
E N D
Peran Kunci Bahan Bakar Nabati (BBN) di dalam Mewujudkan Ketahanan Energi Nasional Tatang H. Soerawidaja Ketua Umum Ikatan Ahli Bioenergi Indonesia (IKABI), Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), Anggota Dewan Riset Nasional (DRN), Staf Pengajar Program Studi Teknik Kimia, Institut Teknologi Bandung (ITB) Seminar Insinyur Kimia 2014 “Terobosan Pengelolaan Sumber Daya Alam untuk Meningkatkan Ketahanan Energi dan Pangan serta Pengembangan Industri” Jakarta, 13 Februari 2014
Pengantar • Ada 2 macam energi final yang dibutuhkan masyarakat : Listrik, dan Bahan-bahan bakar bermutu tinggi atau high quality fuels (untuk transportasi, rumah tangga, usaha komersial, dan industri kecil-menengah). • Kendala teknis : Tersedia aneka teknologi untuk mengkonversi bahan bakar (terutama yang cair) menjadi listrik; Tak ada teknologi yang mampu mengkonversi (surplus) listrik menjadi bahan bakar cair. Ditinjau dari segi pencadangan ketersediaan menghadapi keadaan darurat, bahan bakar cair lebih strategis daripada listrik!.
Keterjaminan pasokan bahan bakar cair adalah persoalan utama ketahanan energi nasional kita !. • Konsumsi domestik naik dengan pesat, sebagian juga akibat dari terus dipertahankannya subsidi besar pada Bahan Bakar Minyak (BBM). • Karena kapasitas kilang domestik stagnan (sudah 20 tahun), imporBBM (bensin dan solar) dari tahun ke tahun membubung. • Wood Mackenzie Inc. : Indonesia akan menjadi importir bensin terbesar di dunia pada tahun 2018. Impor BBM adalah yang nomor 1 di dalam daftar penyebab-penyebab utama defisitnya neraca pembayaran negara di tahun 2012 dan 2013. Juga menjadi penyebab terdevaluasinya nilai rupiah terhadap US$.
Nilai strategis bahan bakar nabati (BBN) • Dibuat dari sumber daya nabati (bioresources). Jauh lebih bersih (ramah lingkungan) daripada bahan bakar fosil seperti BBM. • Nilai strategis : Sumber daya nabati adalah satu-satunya sumber energi terbarukan yang bisa menghasilkan bahan bakar. BBN-BBN cair yang telah dikembangkan dapat dicampurkan ke dalam BBM padanannya ( tak butuh infrastruktur perniagaan baru!). Indonesia adalah negeri berkeaneka-ragaman hayati terbesar di dunia dan berlahan potensial (darat + laut) luas. BBN bisa menjadi produk energi unggulan Indonesia!.
BBN oksigenat versus BBN drop-in • Oksigenat (= beroksigen) : dicampurkan pada persentase terbatas (10 – 20 %-volume); membuat emisi kendaraan lebih bersih. • Drop-in : hidrokarbon; bisa dicampur sampai persentase berapa saja
Status komersialisasi aneka teknologi BBN cair • Teknologi produksi BBN dari minyak-lemak nabati adalah yang paling siap komersial!. • Paling sedikitnya dalam jangka pendek-menengah, minyak-lemak nabati (pangan maupun non-pangan) memiliki peran penting di dalam penyediaan BBN biohidrokarbon.
Status produksi dan pemanfaatan BBN di Indonesia • Indonesia baru melaksanakan produksi dan pemanfaatan biodiesel generasi 1 (EMAl/FAME : ester metil asam-asam lemak / fatty acids methyl ester, campuran solar) dan bioetanol (campuran bensin). • Pemanfaatan wajib (mandatori) diatur dengan Permen ESDM no. 32/2008 yang diperbaharui dengan Permen ESDM no. 25/2013 (merespons krisis nilai tukar rupiah di bulan Agustus 2013). • Implementasi tersendat-sendat (terutama dalam hal bioetanol), karena ketetapan harga dari pemerintah untuk pembelian BBN oleh Pertamina membuat para produsen BBN enggan memproduksi [ada tekanan/intervensi dari mafia pengimporan BBM?]. Kebijakan harga (pricing policy) BBN perlu diperbaiki!.
Sekalipun demikian : • Biodiesel dan bioetanol memang membantu mengurangi peningkatan impor solar & bensin, tetapi hanya 10 – 20 %. Sisanya tetap harus diimpor dan menyebabkan tekanan berat terhadap neraca pembayaran negara dan upaya pengadaan US$ ( krisis akan berulang secara periodik). • Di lain pihak, BBN tipe drop-in dapat dicampurkan tanpa batasan kadar (bisa sampai 100 %). SOLUSI : substitusi bensin dan solar impor dengan memproduksi biohydrofined diesel (BHD) dan biogasolinesebagai BBN drop-inyang melengkapi biodiesel EMAL/FAME dan bioetanol generasi 1.
Garis besar teknologi produksi bensin nabati (biogasoline ) dan green diesel (atau biohydrofined diesel, BHD) • Pada proses FCC, untuk tiap liter produksi biogasoline (green gasoline ) akan terproduksikan pula 1/3 liter (green) light cycle oil yang bisa dicampurkan ke dalam solar. • Pada proses hidrodeoksigenasi, untuk tiap liter produksi green diesel akan terproduksikan pula 18/100 liter bioavtur.
Teknologi hidrodeoksigenasi sudah commercially proven; di seluruh dunia sudah ada paling sedikitnya 6 pabrik yang telah beroperasi dengan kapasitas 3800 – 16000 BPSD (Barrel Per Standard Day). Satu di antaranya berada di Singapura (milik Neste Oil, Finlandia, kapasitas 16000 BPSD). • Teknologi FCC minyak nabati belum ada pabrik komersialnya, tetapi sudah banyak diteliti dan FCC merupakan teknologi yang sangat populer serta sudah sangat dikenal di dunia petroleum refining. Melalui pembelian 1 pilot plant FCC (yang tersedia komersial) dalam tahun 2014 dan pengoperasiannya, pabrik FCC minyak nabati komersial karya bangsa Indonesia sendiri diyakini sudah akan bisa dirancang dan dibangun dalam tahun 2014 – 2016, dan beroperasi pada tahun 2017.
Contoh skenario kontribusi BBN untuk mengendalikan impor BBM*) • Target : Mempertahankan volume impor BBM bensin dan solar pada level/nilai konstansesudah 2016. • Penyediaan biodiesel FAME dan bioetanol menuruti/selaras dengan Permen ESDM no. 25/2013. • Data proyeksi produksi BBM diperoleh dari PT Pertamina. • Data proyeksi konsumsi bahan bakar tipe solar dan bensin diambil “nilai-nilai terbesar dari proyeksi yang dibuat BPPT, Kemen ESDM, dll”. *)diambil dari laporan kajian BBN yang disampaikan penulis kepada Pusat Kebijakan Pendanaan Perubahan Iklim dan Multilateral (PKPPIM), Badan Kebijakan Fiskal (BKF),Kemen Keu RI, Nop. 2013.
Jadwal pemanfaatan wajib BBN menurut PerMen ESDM no. 25/2013 (persentase minimum terhadap konsumsi total ) * PSO = Public Service Obligation; PPO = Pure Plant Oil = Minyak Nabati Murni (MNM)
Kapasitas optimum pabrik bensin nabati (biogasoline) maupun green diesel adalah 8000 BPSD (Barrel Per Standard Day) minyak-lemak nabati umpan. • Kebutuhan investasi tiap pabrik : US$ 300 juta (grass root). • Sebagai rujukan ketersediaan bahan mentah : tersedia 16 juta ton (2013) – 21 juta ton (2020) CPO (yang jika tak dimanfaatkan di dalam negeri, diekspor). • Sumber-sumber minyak nabati non-pangan potensial yang ada di dalam negeri (pongam, nyamplung, nimba, kemiri sunan, kapok, dll) tentu sangat perlu dan urgen dikembangkan ( kerahkan semuanya!).
Skenario Selaras Permen ESDM 25/2013 :Proyeksi Konsumsi dan Pasokan Bensin Dalam juta kL • Produksi 7,618 juta kL biogasoline membutuhkan 15,6 juta ton minyak nabati (CPO), 38 kilang FCC minyak nabati, masing-masing berkapasitas 8000 BPSD (Barrel Per Standard Day) umpan. • Total Investasi : 38 x US$ 300 juta. • Produksi 7,618 juta kL biogasoline akan menghasilkan pula : 2,514 juta kL light cycle oil (campuran solar).
Skenario Selaras Permen ESDM 25/2013 :Proyeksi Konsumsi dan Pasokan Solar • Dalam juta kL • Produksi 3,512 juta kL green diesel membutuhkan 4,1 juta ton minyak nabati (CPO), 10 kilang hidrodeoksigenasi minyak nabati, masing-masing berkapasitas 8000 BPSD. • Total investasi : 10 x US$ 300 juta. • Produksi 3,512 juta kL green diesel akan menghasilkan pula : 632 ribu kL bioavtur.
Evaluasi : • Skenario menunjukkan bahwa menahan nilai impor BBM solar dan bensin agar tak bertumbuh lagi sesudah tahun 2016 merupakan upaya yang sangat berat, tetapi bukan tak mungkin untuk dilaksanakan. • Menurut skenario selaras Permen ESDM no. 25/2013, pada tahun 2020 kita harus sudah memiliki sekitar 38pabrik/kilang biogasoline via FCC minyak nabati dan 10 pabrik/kilang BHD via hidrodeoksigenasi minyak nabati. ( ada skenario yang lebih baik!). • Butuh investasi sekitar US$ 300 juta (Rp. 3,3 triliun) per pabrik; total sekitar US$ 14.400 juta (Rp. 172,8 T). • Sangat besar!. Tetapi ingat, subsidi BBM saja kini sudah mencapai Rp. 200 T per tahun!. • JADI : Why not?.
Catatan tambahan :Pengembangan sumber daya minyak nabati non-pangan • Semua skenario pengendalian impor BBM melalui produksi domestik dan pemanfaatan BBN mengisyaratkan urgensi pengerahan pengembangan semua sumber minyak-lemak nabati non pangan potensial yang ada di dalam negeri: pongam, nyamplung, nimba, kemiri sunan, kapok, mikroalga, dll. • Banyak di antara kita tak menyadari keunggulan komparatif yang kita miliki (lihat slide berikut!). • Berbagai pakar energi dunia sudah memproyeksikan peran penting minyak-lemak nabati pangan maupun non-pangan. Fasilitasi supaya tiap propinsi di Indonesia bisa mengembangkan sumber daya minyak-lemak nabati yang paling sesuai dengan kondisi daerahnya!.
Perbandingan tanaman penghasil minyak di wilayahtropik dan wilayah 4 musim (wilayah dingin atau temperat) • Karena menyadari potensi hasil minyak dan biomassanya, India aktif membudidayakan pohon2 penghasil minyak (Tree borne oilseeds policy )!. • Minyak untuk BBN, biomassa untuk pembangkitan listrik nabati.
“Dalambeberapa dekademendatang, peranan minyak-lemaknabatidalam perekonomianakansepenting dan seperkasa minyak bumi dewasa ini” Bernard Tao, Professor Ilmu Pangan dan Rekayasa Pertanian/ Biologikal, Universitas Purdue (USA).
PENUTUP • Produksi domestik dan pemanfaatan BBN berperan kunci di dalam mewujudkan ketahanan energi nasional, yaitu karena bisa meminimalkan ketergatungan sektor energi kita kepada luar negeri. • Pengembangan industri BBN untuk menahan nilai impor BBM solar dan bensin agar tak bertumbuh lagi sesudah tahun 2016 merupakan upaya yang sangat berat, tetapi bukan tak mungkin untuk dilaksanakan. Nilai total investasi sampai 2020 lebih kecil nilai tahunan subsidi BBM (padahal sebagian investasi bisa diserahkan ke pihak swasta). • Pemerintah RI perlu mengasuh dan membina industri BBN, agar tumbuh kuat dan dinamik, terutama melalui kebijakan harga yang tepat. • Kita perlu juga mengembangkan semua tree borne oilseeds yang ada di bumi pertiwi.
SekiandanTerimaKasih hstatang@yahoo.com / tatanghs@che.itb.ac.id