670 likes | 2.49k Views
Pendidikan Formal dalam Perkembangan Seni Rupa Indonesia Baru Pertemuan 9. Matakuliah : U0032 | SEJARAH SENI RUPA DAN KEBUDAYAAN INDONESIA 2 Tahun : 2009/2010. BERDIRINYA PENDIDIKAN SENI FORMAL.
E N D
Pendidikan Formaldalam Perkembangan Seni Rupa Indonesia BaruPertemuan 9 Matakuliah : U0032 | SEJARAH SENI RUPA DAN KEBUDAYAAN INDONESIA 2 Tahun : 2009/2010
BERDIRINYA PENDIDIKAN SENI FORMAL Perkembangan seni rupa di Indonesia dapat dikatakan menjadi lebih bersifat formal ketika institusi-institusi pendidikan di seluruh Indonesia mulai berdiri setelah perang kemerdekaan. Institusi yang mulai menyelenggarakan pendidikan seni pada periode awal antara lain adalah : ITB (Bandung) – 1947, ASRI (Yogyakarta) – 1950 dan IKJ (Jakarta) – 1970. Berdirinya sekolah-sekolah seni tersebut mendeklarasikan perkembangan akademis seni Indonesia dan juga menandai munculnya seniman-seniman dengan pendidikan teoritis. 3
BERDIRINYA PENDIDIKAN SENI FORMAL Setiap institusi menentukan filosofi pengajarannya masing-masing. ITB berusaha untuk menguasai teknologi baru yang ditawarkan dunia Barat. ASRI dengan latar belakang tradisional dan nasionalismenya melanjutkan wacana seni dengan identitas nasional. IKJ yang berafiliasi dengan Pusat Kesenian Taman Ismail Marzuki menjadi tempat berkembangnya seni-seni modern. 4
BERDIRINYA PENDIDIKAN SENI FORMAL Pada masa itu, yang diajarkan di ITB adalah dasar seni lukis dan teori seni lukis. Sedang kan pendidikan di ASRI adalah diperuntukkan bagi mereka lulusan SLTP menjadi Seniman Pertama sedang kan untuk lulusan SLTA dicalonkan menjadi Guru Gambar. Tahun 1958 ASRI berubah menjadi STSRI (Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia) dan tahun 1984 menjadi ISI (Institut Seni Indonesia) dengan memiliki fakultas Seni Lukis, Tari, Karawitan, Musik dan Disain. 5
BERDIRINYA PENDIDIKAN SENI FORMAL Lembaga-lembaga pendidikan mengikuti perkembangan gerakan seni modern, seperti abstrak, figuratif, dekoratif, kubisme, ekspresionisme, dan kelak juga photographic realisme. Tidak hanya lukis, bentuk seni lainnya juga berkembang dalam pendidikan formal, seperti seni patung, seni grafis, seni instalasi, seni fiber/ serat, keramik, dan kelak, desain, fotografi, film, digital art dan mix media. Ini menjadikan seni tidak lagi berbatas. 6
BERDIRINYA PENDIDIKAN SENI FORMAL Seni Lukis Kontemporer Indonesia berawal dari berdirinya sanggar-sanggar yang lebih fokus mengajarkan individu calon pelukis. Tujuan sanggar: bercita-cita dapat mendirikan lembaga pendidikan senirupa dan disain. 7
ASRI • Seni Lukis Akademis di Indonesia mulai terwujud dengan didirikan ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia) 1950 (sekarang menjadi ISI Yogyakarta). • Lembaga ini terdiri dari 2 jurusan: • Jurusan Seni Lukis pimpinan Hendra Gunawan & Kusnadi • 2. Jurusan Guru Gambar pimpinan oleh R.J. Katamsi dan Djajeng Asmoro Widayat| 1983 Upacara di Kuil Besakih 8
ASRI Seniman asal Yogyakarta yang terkenal adalah: Widayat, Fajar Sidik, Danarto, Irsam dan Aries Sudarsono. Widayat |Jungle Queen 9
ITB Bandung sebagai ibu kota Jawa Barat dan pusat kesenian Sunda memiliki ikatan kuat dalam sejarah seni. Pada thn 1950 populasinya 3x jumlah penduduk Jogjakarta. Dengan lingkungan pegunungan, menyebabkan bangsa Belanda sangat menyukai daerah ini & menjadi tujuan utama para seniman mancanegara. Salah satunya adalah seniman lukis asal Belanda: Ries Mulder. Bandung 10
ITB Akademi Seni didirikan oleh pem. kolonial Belanda untuk melatih para murid bangsa Indonesia untuk menjadi Guru Seni. Sjafei Sumardja, tokoh yang memegang diploma gambar dari Belanda adalah orang pertama yang memimpin Fakultas Teknik Bandung yang secara bertahap (1951-1961) dibawah kepemimpinannya memiliki beberapa jurusan: jurusan lukis, pahat, keramik, grafis, disain interior, disain produk & kursus komunikasi visual. Lalu berkembang menjadi Institut Teknologi Bandung. 11
ITB Dengan banyaknya pengaruh kolonial Belanda, menyebabkan Bandung memiliki potensi besar untuk mengenal seni modern bergaya barat dibandingkan dengan kota lainnya. Guru-gurunya juga memiliki cara pengajaran yang sama seperti halnya sekolah di Belanda. Lukisan Popo Iskandar 12
ITB Terlebih lagi sebagian besar guru yang mengajar di ITB hampir lulusan sekolah barat (Srihadi, Sadali, Moctar Apin, But Muchtar dan Sudjoko). Sehingga hasil karya lukisnya memiliki gaya barat yang kuat. Terlebih lagi pengaruh dari Ries Mulder yang memperkenalkan gaya abstrak kepada seniman lokal Bandung. Menambah kental nilai Barat di sekolah ini. Popo Iskandar |Kucing |1975 13
ITB Mereka banyak melukis figur, potret, still life dan landscape atau pun bergaya figuratif-geometrik merupakan seni yang sangat bergaya barat. Sehingga saat para murid berpameran di Jakarta thn 1954, disebutlah oleh kritikus bahwa ITB adalah “Laboratorium Barat”. Seniman asal ITB : AD Pirous, Achmad Sadali, Srihadi Sudarsono, But Muctar, Mochtar Apin, Sudjoko, Yusuf Affendi. Cosmic Mountain | Achmad Sadali | 1978 14
ITB Sadali | BintangBiru | 1980 Sadali |Bintang Hijau | 1980 15
ITB Contemplation I – Umi Dachlan Beratapkan Langit dan Bumi Amparan | A.D. Pirous |1990 16
YOGYA Srihadi Sudarsono |Borobudur II |1982 Mochtar Apin |Wanita | 1967 17
GAYA BANDUNG VS GAYA YOGYA GAYA BANDUNG GAYA JOGJA Realis Menampilkan aspek masyarakat dalam bentuk dekoratif, naturalis dan surealis Mengacu ke arah Barat Cendrung menghasilkan karya bercorak modern, figuratif, abstrak & kubisme 18
GAYA BANDUNG VS GAYA YOGYA GAYA BANDUNG GAYA JOGJA Symbolic Art A.D. Pirous Abstract Art But Mochtar Nyoman Gunarsa Abas Alibasyah • Nilai identitas nasional • Dekoratif dan ekspresif 19
MEDIA & KRITIK SENI Kebangkitan Seni Rupa Indonesia didukung dengan terbitnya majalah Disain dan Seni Rupa yaitu majalah “Indonesia” (1951) atau majalah Budaya (1952) yang berisi tentang kritisi dari para kritikus seperti Trisna Sumardjo, Baharudin MS, Osman Effendi. Sehingga memicu kreatifitas seni dari para seniman lokal. 20
DAFTAR PUSTAKA & SUMBER GAMBAR Soemantri, H. (1998). Indonesian heritage vol. 7 - Visual art. Archipelago Press. Jakarta. Hadisudjatmo, S. (1991). Streams of Indonesia art, from prehistoric to contemporary. KIAS. Jakarta. 21