260 likes | 946 Views
Ahli Waris. Para ahli waris dalam hukum adat yang Parental atau Bilateral : 1. Ahli waris sedarah dan tidak sedarah. Ahli waris yang sedarah terdiri dari anak kandung, orang tua, saudara dan cucu, sedangkan ahli waris yang tidak sedarah, yaitu
E N D
Ahli Waris • Para ahli waris dalam hukum adat yang Parental atau Bilateral : 1. Ahli waris sedarah dan tidak sedarah. Ahli waris yang sedarah terdiri dari anak kandung, orang tua, saudara dan cucu, sedangkan ahli waris yang tidak sedarah, yaitu anak angkat, Janda/Duda. 2. Kepunahan atau nunggul pinang. Apabila pewaris tidak mempunyai ahli waris (punah) atau lazim disebut nunggul pinang, maka barang atau harta peninggalannya akan diserahkan kepada desa.
Ahli Waris Djojodigoeno : alur pewarisan menurut Hukum Waris Adat dengan menggunakan falsafah AIR MENGALIR KEBAWAH dan dalam distribusinya (pembagiannya) menggunakan TEORI KRAN AIR, artinya kematian seseorang menjadikan kran air menjadi terbuka, sehingga air menjadi mengalir mengikuti pipa air dengan prinsip seperti air, yaitu selalu mengalir ketempat yang lebih rendah. Apabila tempat yang rendah tersebut tertutup (tidak ada ahli waris) maka air akan naik lagi, selanjutnya akan mencari kran yang terbuka dan mengalir kembali mengikuti prinsip air mengalir kebawah, sampai ahli waris asal lainnya sampai derajat yang lebih jauh.
Konsekuensi secara yuridis dari prinsip air mengalir kebawah dan teori kran :apabila ada anak yang meninggal lebih dulu dari orang tuanya pada saat warisan terbuka, posisinya digantikan oleh anak-anaknya dengan bagian mereka sebesar yang diterima oleh orang tuanya (lembaga penggantian tempat ahli waris).
DERAJAT KEKERABATAN MASYARAKAT JAWA • saudara kandung (keturunan derajat pertama) • saudara misan (satu kakek dan nenek) • saudara mindo (kakek dan nenek ke dua) • cucu (keturunan derajat ke dua) • buyut (keturunan derajat ketiga) • canggah (keturunan derajat ke empat) • wareng (keturunan derajat ke lima) • udeg-udeg gantung siwur (keturunan derajat ke enam) • petarangan bubrah (keturunan derajat ketujuh)
Anak • Anak-anak yang dimaksud disini adalah anak kandung memiliki kedudukan selaku ahli waris adalah kuat, dalam arti tidak mudah diputuskan atau sulit kehilangan hak mewarisnya. Hal ini didasarkan pada dasar hubungan kodrat, yaitu hubungan yang membuat bukan manusia akan tetapi hubungan yang dibuat oleh Tuhan. • Apapun yang terjadi hak mewaris anak dilindungi oleh hukum, setiap usaha dari orang tua yang menyebabkan anak selaku ahli waris menjadi kehilangan hak mewarisnya adalah tidak sah, dan batal demi hukum. • Sesuai dengan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 18 – 3 – 1959 No. 391 K/Sip/1958 menyatakan : Menurut Hukum Waris Adat yang berlaku di Jawa Tengah dilarang pencabutan hak untuk mewaris.
Terhadap anak yang sakit ingatan, sakit berat atau diusir oleh orang tuanya karena nakal, atau anak yang pergi merantau tanpa berita, hak mewarisnya tetap dilindungi oleh hukum, hanya saja secara teknis pelaksanaannya bisa bervariasi karena bisa terjadi mereka telah memiliki suami/isteri dan anak-anak. • Asas yang menyebutkan “Para ahli waris memiliki hak dan bagian yang sama terhadap harta peninggalan orang tuanya”, Menurut Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 1–11– 1961 No. 179 K/Sip/1961 menyatakan : Anak perempuan dan anak laki-laki dari seorang peninggal warisan bersama berhak atas harta warisan dalam arti, bahwa bagian anak laki-laki adalah sama dengan anak perempuan.
Putusan MA. RI. tanggal 18 – 11 – 1976 No. 400 K/Sip/1976 menyatakan : Barang gono-gini harus jatuh pada anak kandung, bukan kepada anak gawan, oleh karena itu hibah tanpa sepengetahuan yang berkepentingan patut dibatalkan. Dari Putusan MA. RI. tersebut dapat dirinci ada 2 (dua) hal penting, sebagai berikut : 1. Mengenai hak yang berorientasi pada kualitas anak selaku ahli waris berhadapan dengan anak gawan; 2. Adanya tindakan orang tua yang berupa hibah kepada anak gawan, dalam pandangan hukum sebagai patut dibatalkan. Ke dua hal tersebut di atas menjelaskan bagaimana kedudukan anak selaku ahli waris adalah kuat.
Mencabut hak mewaris anak bisa terjadi dan dibolehkan oleh hukum • Membunuh atau berusaha menghilangkan nyawa pewaris atau anggota keluarga pewaris; • Melakukan penganiayaan atau berbuat merugikan kehidupan pewaris; • Melakukan perbuatan tidak baik, menjatuhkan nama baik pewaris atau nama kerabat pewaris karena perbuatan tercela; • Murtad dari agama atau berpindah agama dan kepercayaan.
ANAK KANDUNG & ANAK SAH • Anak kandung berorientasi pada konsep biologis, yang artinya adalah anak yang beribu wanita yang melahirkannya dan berayah laki-laki suami ibunya dan yang penyebab kelahiran dia. • Sedangkan Anak Sah berorientasi pada konsep yuridis, artinya adalah anak yang lahir selama dan sebagai akibat perkawinan yang sah.
Anak luar kawin atau anak tidak sah (anak kampang, anak haram jadah, anak kowar), • Anak dari kandungan ibu sebelum terjadi pernikahan; • Anak dari kandungan ibu setelah bercerai lama dari suaminya; • Anak dari kandungan ibu tanpa melakukan perkawinan sah; • Anak dari kandungan ibu karena dberbuat zina dengan orang lain; • Anak dari kandungan ibu yang tidak diketahui siapa ayahnya.
Anak Tiri • Anak tiri yang di Jawa dikenal sebagai anak gawan adalah Anak yang dibawa masuk ke dalam perkawinan yang baru oleh suami atau isteri. Jadi pada hakekatnya anak tiri adalah anak dari suami atau isteri dengan isteri atau suaminya yang terdahulu, akan tetapi dibawa masuk ke dalam perkawinan yang baru, karena orang tuanya kawin lagi. • Menurut Hukum Waris Adat Anak tiri hanya mewaris dari orang tua kandungnya saja anak tiri tidak mewaris dari orang tua tirinya. Namun dalam kehidupan sehari-harinya ia dapat ikut menikmati kesejahteraan rumah tangga bersama bapak tirinya atau ibu tirinya bersama-sama dengan saudara-saudara tirinya. • Putusan Mahkamah Agung Republik IndonesiaI. tanggal 18 – 11- 1976. No. 400K/Sip/1975, yang menyatakan : Barang gono gini harus jatuh pada anak kandung, bukan kepada anak gawan, oleh karena itu hibah tanpa sepengetahuan yang berkepentingan patut dibatalkan.
Anak Angkat • Pada masyarakat patrilinial : hubungan antara anak angkat dengan orang tua kandungnya secara kelembagaan menjadi putus. Si anak angkat menjadi masuk ke dalam marga orang tua angkatnya, sehingga anak angkat tidak mewaris dari harta peninggalan orang tua kandungnya. • Pada masyarakat parental : Secara kelembagaan masih ada hubungan anak angkat dengan orang tua kandungnya (masih memiliki dua orang tua), oleh karena itu si anak angkat mengambil air dari dua sumber yaitu dari orang tua angkatnya dan orang tua kandungnya.
Dampak Pengangkatan Anak • Perwalian sejak putusan diucapkan oleh pengadilan, maka orang tua angkat menjadi wali dari anak angkat tersebut. Sejak saat itu pula, segala hak dan kewajiban orang tua kandung beralih pada orang tua angkat. Kecuali bagi anak angkat perempuan beragama Islam, bila dia akan menikah maka yang bisa menjadi wali nikahnya hanyalah orangtua kandungnya atau saudara sedarahnya. • Waris Khazanah hukum kita, baik hukum adat, hukum Islam maupun hukum nasional, memiliki ketentuan mengenai hak waris. Ketiganya memiliki kekuatan yang sama, artinya seseorang bisa memilih hukum mana yang akan dipakai untuk menentukan pewarisan bagi anak angkat.
Hukum Adat Bila menggunakan lembaga adat, terjadi hubungan hukum antara orang yang mengangkat dengan anak yang diangkat, hubungan hukum sama dengan hubungan hukum yang terdapat antara orang tua dengan anak kandung, kecuali ada 2 (dua) hal yaitu : 1. Anak angkat boleh mengawini anak kandung dari orang tua angkatnya, jika antara mereka tidak terdapat larangan perkawinan karena hal lain. 2. Anak angkat boleh mengawini anak kandung dari orang tua angkatnya, jika antara mereka tidak terdapat larangan perkawinan karena hal lain.
Hukum Islam Dalam hukum Islam, pengangkatan anak tidak membawa akibat hukum dalam hal hubungan darah, hubungan wali-mewali dan hubungan waris mewaris dengan orang tua angkat. Ia tetap menjadi ahli waris dari orang tua kandungnya dan anak tersebut tetap memakai nama dari ayah kandungnya. • Peraturan Per-Undang-undangan Dalam Staatblaad 1917 No. 129, akibat hukum dari pengangkatan anak adalah anak tersebut secara hukum memperoleh nama dari bapak angkat, dijadikan sebagai anak yang dilahirkan dari perkawinan orang tua angkat dan menjadi ahli waris orang tua angkat. Artinya, akibat pengangkatan tersebut maka terputus segala hubungan perdata, yang berpangkal pada keturunan karena kelahiran, yaitu antara orang tua kandung dan anak tersebut.
KEDUDUKAN DAN HAK MEWARIS ANAK ANGKAT • Anak angkat memiliki kedudukan yang sama dengan anak kandung, hanya perbedaannya adalah anak angkat hanya menjadi anggota keluarga dari orang tua yang mengangkatnya saja, tidak memiliki hubungan dengan keluarga besarnya (tidak termasuk ahli waris genealogis), .kecuali di beberapa daerah tertentu yang dilakukan dengan upacara adat setempat, akan memiliki keterkaitan dengan masyarakat adat yang mengangkatnya • Sebagai konsekuensi dari kedudukan tersebut dalam keluarga orang tua angkat, maka anak angkat menjadi ahli waris bersama dengan anak kandung terhadap harta bersama orang tua angkatnya.
PUTUSAN M.A. RI HAK MEWARIS ANAK ANGKAT • Menurut Hukum Adat Periangan seorang anak kukut atau anak angkat tidak dapat mewaris barang-barang pusaka (asli) dari orang tua angkatnya. Barang pusaka itu hanya dapat diwaris oleh ahli waris keturunan darah (dalam perkara ini saudara-saudara) dari yang meninggal (Perkara : Ahmad K. lawan Ny. Rukmini Cs. MA. No. 82 K/Sip/1957 tanggal 5 Maret 1958). • Menurut Hukum Adat di Jawa Tengah anak angkat hanya diperkenankan mewarisi harta gono-gini dari orang tua angkatnya, jadi terhadap barang pusaka (asli) anak angkat tidak berhak mewarisinya (Perkara : Ny. Suriyah lawan Kartomejo k.Cs. MA. No. 37 K/Sip/1959 tanggal 18 Maret 1959). • Menurut Hukum Adat yang berlaku seorang anak angkat berhak mewarisi harta gono-gini orang tua angkatnya sedemikian rupa, sehingga ia menutup hak mewaris para saudara orang tua angkatnya (ahli waris asal) – Perkara Kasrim lawan Ny. Siti Maksum Cs. MA. No. 102 K/Sip/1972 tanggal 23 Juli 1977. Dari putusan M.A. R.I. di atas terlihat jelas bahwa hak mewaris dari anak angkat dirumuskan sebagai berikut : • Anak angkat berhak mewaris terbatas pada harta gono-gini (harta bersama). • Anak angkat tidak berhak mewaris terhadap harta pusaka (asli). • Anak angkat bisa menutup hak mewaris ahli waris asal
JANDA • Janda Bukan Ahli Waris Mengingat pengertian pewarisan : proses penerusan, pengoperan, peralihan harta kekayaan materiil dan immateriil dari satu generasi ke generasi berikutnya. - Janda adalah satu generasi dengan pewaris (suaminya almarhum). - Dalam masyarakat genealogis tidak termasuk sebagai anggota masyarakat genealogis dari suaminya. - Tujuan pewarisan adalah mempertahankan eksistensi masyarakat genealogis, maka janda bukan sebagai ahli waris terhadap harta peninggalan suaminya.
Secara sosiologis, kematian suami merupakan suatu keadaan yang memberatkan bagi seorang janda karena akan dihadapkan kepada : 1. Para ahli waris asal apabila dalam perkawinannya tidak menghasilkan anak. 2. Para ahli waris anak (anak-anaknya sendiri). Hal itulah yang menjadi potensi untuk timbulnya sengketa antara janda dengan ahli waris almarhum suaminya, sebab dengan meninggalnya suami maka : 1. Warisan menjadi terbuka. 2. Hak ahli waris menjadi terbuka, artinya ahli waris dapat menuntut dibaginya warisan. 3. Muncul kepentingan yang saling berhadapan antara janda dengan para ahli waris. 4. Apabila harta peninggalan suaminya hanya harta asal dan tidak ada harta bersama, sedangkan dari perkawinannya tidak ada harta bersama, maka bisa menjadi tidak berkuasa lagi atas harta peninggalan suaminya tersebut. 5. Selanjutnya si janda berada dalam posisi terjepit antara kepentingannya untuk dapat hidup layak dan kepentingan para ahli waris terhadap harta warisan tersebut.
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI JANDA Dengan memberikan jaminan berupa hak yang bersifat sementara untuk penghidupan secara layak sepeninggal suaminya yaitu : 1. Hak untuk menikmati harta peninggalan suaminya sampai ia kawin lagi atau mati. 2. Hak untuk dapat menunda dibaginya harta peninggalan suaminya untuk kepentingan hidup janda, sampai ia kawin lagi atau mati Persoalan menjadi berkembang apabila anak-anak masih kecil si janda kawin lagi, lantas bagaimana pengelolaan harta warisan anak-anaknya ?
KESIMPULAN SECARA UMUM • Dasar dari status janda sebagai ahli waris adalah pandangan keadilan atas dasar persamaan kedudukan antara pria dan wanita. • Nilai Hukum Adat yang bersifat komunal, mulai terkikis secara bertahap oleh nilai baru yang bersifat individualis. • Bagian mewaris janda sama dengan hak mewaris anak. • Hak mewaris janda tidak sama dengan hak mewaris anak. • Anak dapat menutup hak mewaris ahli waris asal.
Janda tidak dapat menutup hak mewaris ahli waris asal, apabila tidak ada anak. • Janda disamping sebagai ahli waris dengan bagian sama dengan bagian anak, juga menerima ½ bagian harta bersama atas haknya sendiri. • Belum ada kejelasan lebih lanjut hak mewaris janda apabila dihadapkan pada harta asal dari suaminya. • Pemberian hak mewaris kepada janda secara penuh akan semakin menyebabkan semakin terkikis nilai-nilai kemasyarakatan menurut Hukum Adat. • Apakah bisa diproyeksikan bahwa dengan nilai baru tersebut, struktur kemasyarakatan Patrilinial dan Matrilinial suatu saat akan berubah menjadi masyarakat Parental, atas dasar persamaan kedudukan antara pria dan wanita.