140 likes | 372 Views
AMALAN HATI : YANG UTAMA DAN TERTINGGI ADALAH IHLAS. satu. Ihlas hakekat agama. IhLas merupakan amalan hati yang utama dan merupakan hakekat agama dan kunci sukses dakwah para rasul as sejak dahulu.
E N D
Ihlas hakekat agama • IhLas merupakan amalan hati yang utama dan merupakan hakekat agama dan kunci sukses dakwah para rasul as sejak dahulu. • “Wamaa umiruu illa liya’budullaha muhlishina lahuddina,.. padahal mereka tidak disuruh, kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam beragama”(al-bayyinat (98):5)
“Ala lillahiddinu al-khalisu, ingatlah hanya agama yang disisi-Nyalah yang murni”.(az-zumar (39):3) • Ihlas itu inti Ibadah, Ibnu hazm mengatakan niat itu rahasia ibadah sedang ihlas itu bak ruh dalam amal perbuatan. Yang dituntut Allah dalam ibadah itu ketulusannya dan kemurniannya mencari ridla Allah, dan itu hanya diperoleh lewat sifat lembut dan toleran atas perbedaan yang ada dalam ummat.
Kata ihlas menunjuk pada makna jernih, bersih dan suci dari campuran dan pencemaran, baik bersifat materi dan nonmateri. Ihlaslah kerana Allah dan tinggalkan riya’ dan pamer kata Al-fairuzzabadi. • Ihlas itu bahasa/istilah Tauhid, mereka (Muhlishiin) adalah hamba yang mengesakan Allah tanpa sekutu sedikitpun, Ia disebut hamba yang terpilih.
Katakanlah: Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku, dan matiku, hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu baginya, dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).(Al-an’am (6):162-163). • Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kalian, siapa diantara kalian yang lebih baik amalnya.(al-Mulk(67):2).
Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal saleh dan janganlah ia mempersekutukan seseorangpun dalam beribadat kepadanya (itulah ihlas).(al-Kahfi(18):110) • Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ihlas menyerahkan diri kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan? (an-Nisa’(4):125)
Jangan menebar kebencian • Wahai orang yang beriman, hendaklah suautu kaum tidak menghina kaum yang lain, karena bisa jadi mereka yang dihina lebih baik dari yang menghina,….. Dan janganlah kalian memanggil dengan gelar yang buruk. Seburuk buruk panggilan adalah panggilan fasik sesudah iman. Barang siapa tidak bertobat, mereka adalah orang dzalim.(Hujurat(49):11
Ayat diatas adalah ayat yang penting dalam membangun etika sosial, terutama kapasitas kita sebagai manusia. Sejatinya dalam ranah sosial harus terbangun keharmonisan sosial, antara satu agama dengan agama yang lain, antara kelompok internal agama dengan kelompok lainnya. Dalam hal ini, teladan ulama fiqh patut dicontoh agar keragaman senantiasa dirayakan dalam konteks membangun kebersamaan dan toleransi.
Perbedaan mesti dijunjung tinggi, karena perbedaan yang didasarkan kebencian bisa menjurus pada konflik. • Alasan penting larangan menebar kebencian, karena bisa jadi mereka yang dibenci lebih baik daripada yang membenci. Menurut imam Zamakhsyari, tidak sepatutnya seseorang membenci orang lain karena Allah mempunyai kalkulasi tersendiri terhadap perbuatan setiap makhluknya. Ada kalanya seseorang yang menebar kebencian terhadap orang lain tidak lebih baik dari yang dibenci disisi Tuhan. Karenanya Tuhan memerintah menebar keihlasaan dan ketakwaan serta menjauhi kebencian terhadap orang lain.
Perbedaan lahiriyah tidak sepatutnya menjadi pendorong bagi meletusnya konflik antara sesama manusia. Dalam masyarakat yang majemuk persateruan dan gesekan merupakan fakta yang tak bisa dihindari. Karena itu diperlukan dorongan etika dan spiritualitas untuk membangun toleransi dan budaya multikulturalis.
Dalam sebuah hadis Rasulullah memberi petunjuk yang dapat mengantarkan kita pada peradaban dialog dan menghargai kelompok lain. “Sesunggguhnya Tuhan tidak melihat kepada wujud lahiriyah dan harta kalian, akan tetapi melihat pada hati dan amal-amal kalian (Hr Muslim dan Ibnu Majah).
Imam al-Qurthubi punya pandangan yang menarik tentang hadis diatas, Tuhan memerintahkan kita agar melihat hati dan amal-amal orang lain, karena amal orang lain merupakan suatu yang bersifat subyektif (amal dhanni), dan tentu saja tidak bersifat obyektif (amal qath’i). Artinya, hendaklah orang tidak bersikap ektrim dan berlebihan dalam menilai amal perbuatan orang lain, baik dan buruk. Seseorang terhina bukan karena dirinya yang tidak baik, melainkan amal perbuatannya yang tidak baik. Seseorang disatu sisi bisa melakukan amal kebaikan, dan sisi lain dapat melakukan amal keburukan.