1 / 11

Chl. Kampung Halaman Lama Ku(1)

Kampung Halaman Lama

rb1606
Download Presentation

Chl. Kampung Halaman Lama Ku(1)

An Image/Link below is provided (as is) to download presentation Download Policy: Content on the Website is provided to you AS IS for your information and personal use and may not be sold / licensed / shared on other websites without getting consent from its author. Content is provided to you AS IS for your information and personal use only. Download presentation by click this link. While downloading, if for some reason you are not able to download a presentation, the publisher may have deleted the file from their server. During download, if you can't get a presentation, the file might be deleted by the publisher.

E N D

Presentation Transcript


  1. CHL. «KAMPUNG HALAMAN LAMA KU» 2001 Tahun 2001. Musim winter di salah satu kota kecil Swiss, suhu udara minus derajat celsius, sangat dingin. Di dalam ruang, tepatnya di dalam kamar studie saya, suhunya hangat dan yaman. Melalaui jedela kaca kamar studie, saya menikamati pemandangan alam di sekitar kebun kecil depan rumah. Salju putih bersih berkelit tersinar mata hari. Suasana alam begitu tenang, romantik dan damai. Tak terasa timbullah kenangan yang terjadi empat tahun lalu (tahun 2007) waktu saya balik ke Asia untuk bertemu/berkumpul dengan familie dan kawan2 sekolah menengah saya. Sebelum berangkat, «Boss» saya yang di rumah, mengeluarkan perintah pendek dan sangat jelas: Melancong ke Asia berapa lamapun tidak jadi masalah, tapi sebelum Hari Natal tiba, «harus» sudah kembali rumah! Sebelum tiba di Indonesia, saya mampir di Malaysia, chusus untuk menyambangi kakak perempuan saya satu-satunya dan anak cucuknya. Lalu melaui Surabaya saya ke Denpasar/Bali untuk ber-reuni dengan kawan sekelas SMP Surabaya lulusan 1952 (klas A & B). Sejak tahun 2002 kami dua-tiga tahun sekali berkumpul. Kali ini yang datang ca. 50 orang. Mereka kini ada yang menetap di USA, Kanada, Swiss, China, Hong Kong dan kebanyakan dari empat penjuru Indonesia (Jakarta, Surabaya, Kediri, Krian, Samarinda dan Banjarmasin). Seperti reuini di Batu/Jatim tahun 2005 lalu, kali ini di Denpasar kami berkumpul 5 hari/4 malam. Setiap hari kami bertamasya sekitar pulau Dewata ini, becanda seperti waktu muda, makan minum chas Bali dan Jawa timur. Setelah bubar, masing-masing balik ke tempat tinggalnya. Sebagian kawan seperti saya mampir di Surabaya lagi untuk menyambangi kawan yang karena kesehatan tidak bisa ikut bereuni di Denpasar. Sejak tahun 70-an, sudah tidak terhitung berapa seringnya saya dengan familie menyewa mobil Kijang berikut supir dari Denpasar lewat selat Bali ke Surabaya atau sebaliknya. Kali ini kami kawan SMP, berempat, yang kini menetap di USA, HK, Rogojampi dan saya di Swiss, menyewa mobil Kijang berikut supir dari Denpasar melewati selat Jawa-Bali ke Surabaya. Di tengah perjalanan, kami bermalam di Rogojampi/kota kecil dekat Banyuwangi, kampung halaman kawan sebangku saya sejak SD. Hampir 60 tahun, setelah saya meninggalkan tempat lahir saya , saya tidak pernah lagi menikmati suasana malam di desa kecil. Setalah matahari turun, banyak penjual menawarkan beraneka barang di pinggir jalanan, banyak orang, seolah penduduk sedesa bersantai dan sambil belanja. Ramai sekali tetapi semua

  2. orang tidak tergesa-gesa. Malam itu saya berkesempatan menikmati makanan chas Jawa Timur lagi, sederhana tapi sedap, cocok dengan lidah saya. Hari kedua kami meneruskan perjalanan ke Surabaya. Atas permintaan saya, kami memilih jalan melewati pergunungan desa Kalibaru, daerah perkebonan kopi, dan tidak melewati pantai Pasirputih yang lebih dekat. Chusus untuk mampir di satu desa kecil Kalisat, yang hanya terdiri dari satu jalan besar. Di Eropa, desa sebentuk ini disebut „Ribbon village“ atau bahasa Jerman “Strassendorf“. Penduduk desa Kalisat ini kebanyakan berbahasa Madura dan Jawa. Bahasa Madura dulu sehari-hari saya gunakan, sayang sekali kini bahasa ini saya sudah lupa. Desa Kalisat, jaraknya ca. 15 km dari kota kabupaten Jember. Jembar tempat lahir saya dan di desa Kalisat ini di mana saya dibesarkan, melewati masa kanak-kanak dan masuk sekolah dasar. Di sinipun ibuku dilahirkan, dibesarkan, masuk sekolah, menikah dan kemudian hari mencari nafkah. Saya masih ingat, setiap hari ke sekolah, pulang pergi saya harus melewati lorong sempit di dalam pasar terbuka. «Lewat lorong pasar lebih aman, jangan lewat jalan besar», ujar ajahku selalu, «karena tentara Jepang nyetir mobil cepat sekali seperti orang gila». Waktu itu jaman penjajahan Jepang. Penghidupan sehari-hari sangat sederhana. Pendidikan hanya hingga klas-5 SD. Kami tinggal di «ruko» (rumah di belakang, toko di depan), dalam desa tidak ada dokter badan, hanya bidan atau dukun. Obat yang bisa dapat hanya obat buatan local, jamu bubuk cap «Ibu», cap «Jago», «Bintang Tujuh» atau obat rempah- rempah. Saya masih ingat, bertahun-tahun saya kena penyakit malaria, setiap hari saya harus minum bubuk kinina yang sangat pahit sekali. Bila demam menggigil sekali, biarpun tengah malam, ayah bungkus saya dengan selimut, menyewah dokar kuda langsung ke dokter Barat di kota Jember. Pakaian yang kami setiap hari pakai tipis, Kalisat daerah penggunungan, pagi hawa udara dingin, setelah bangun saya sering langsung ke dapur jongkok di pinggir tumang api. Kesan waktu kecil hingga kini banyak yang saya tidak lupa. Setelah makan siang, kami bawa tongkat bambu sebagai “senjata”, berlari-lari di kampung atau di tengah sawa untuk main perang- perangan. Meskipun dilarang oleh orang tua, kami curi-curi berenang di kali. Dengan bola kaca sebagai modal uang, kami mengadu jangkrik, bila jangkrik takut mau lari, kami jejal cabe rawit supaya jangkrik lebih ‘galak’ lagi. Mengantongi cabe rawit dan garam pergi kekebon orang lain untuk ‘mencuri’ mangga muda dan sebagainya. Penghidupan di desa meskipun sederhana, namun bagi saya yalah masa kanak-kanak yang gembira, tanpa

  3. risau atau sedih. Dihitung dengan jari tangan, hanya sekitar 11 tahun saya dibesarkan di desa ini dan dari tempat tinggal kami kini di Swiss, jarak desa ini seolah ‘di ujung langit’. Namun dalam perasaan saya, bila dibandingkan dengan tempat2 lain, hubungan saya dengan desa ini berbeda. Dalam perasaan saya merasa jauh tapi toch dekat sebagai ‘kampung halamanku’ sendiri, meskipun saya juga tidak bisa bayangkan untuk hidup di desa ini lagi. 2019 Di tahun 1975 saya bawa istri dan anak untuk menyambang ibu dan kakak saya sambil berlibur di Indonesia. Ditemani oleh ibu dan kakak, kami juga ke desa Kalisat. Di sana ibu membawa kami ke kuburan ayah/ibunya untuk bersembayang. Setelah menikah, saya telah menceteritakan kepada istri di mana saya dibesarkan. Dia pertama kali mengunjungi desa ini, melihat lingkungannya merasa sangat heran dan ingin tahu semuanya, saya bagaimana waktu kecil hidup sehari harinya?! Istri pasti bisa bayangkan sendiri saya bagaimana waktu itu?! Karena waktu itu anak kami yang masih kecil kehabisan celana bungkus kertas, barang ini yang tidak bisa dapat di dalam desa ini, istri saya juga bisa mengatasi keperluan darurat ini. Di Swiss istri saya juga juara untuk menyelesaikan secara darurat keperluan sehari hari rumah tangga kami. Mungkin juga karena waktu kecil dia sudah harus mengalami dan balajar. Waktu itu, setelah kalah perang dunia ke-2 di negara Jerman semuanya kekurangan. Setiap penduduk harus bisa mengatasi kesukaran sehari hari, baik yang kecil maupun yang besar. Di tahun 1980-90 an saya berkali ditemani oleh kakak laki, kadang kadang juga dengan familienya atau oleh kakak perempuan saya, menyewa mobil Kijang berikut sopir, dari Surabaya ke Bali untuk berlibur. Kami selalu memilih jalan melewati desa Kalisat. Sewaktu waktu kami menengok kuburan kakek untuk memebersihkan, menyebarkan kembang dan berfoto. Pernah sekali di sana kakak menuturkan, bahwa setiap kali bila ibu mau keluar negeri untuk menengkok saya di Swiss, sebelum berangkat ibu selalu dari Jakarta terbang ke Surabaya dan dengan mobil meneruskan ke sini, chusus ke kuburan Ayah/ibunya untuk meminta dua restunya. Sejak setelah lulus SMA saya meninggalkan rumah untuk studie di lain tempat, saya tidak tahu, bahwa ibu begitu menghormati dan berbakti terhadap orang tuanya. Di tahun 2012, saya dengan putri dikawani oleh keponakan saya yang tinggal di Bali, juga menyewa mobil Kijang berikut sopir, dari Denpasar kewat selat Jawa ke Surabaya. Di tengah jalan juga mampir di desa Kalisat. Waktu tahun 70-an putri saya sudah pernah ketempat ini. Tapi waktu itu dia masih kecil semuanya dia sudah lupa. Saya menunjukkan dia rumah di

  4. mana dulu ayahnya tinggal waktu kecil, juga stasiun desa ini, di mana saya waktu kanak-kanak sering bermain. Dari stasiun ini juga di tahun 1947 saya meninggalkan desa Kalisat untuk semalanya. Sebagai kenangan, putri saya ingin memotret saya di depan stasiun dan juga di depan ramah-toko yang dulu pernah tinggal. Sejak dulu rumah-toko ini jualan barang palen, menjual segala keperluan sehari-hari, seperti beras, kopi, gula, rokok, jamu, pakaian dan lain lain. Putri saya berdiri sesaat waktu di depan ruko ini dan melihat lingkungannya tanpa berkata. Mungkin dia sedang merenungkan dan tidak terbayangkan, bahwa ayahnya mulai hidup di desa di ‘ujung langit’ ini, bisa pergi ke kota Surabaya masuk sekolah menengah, setelah lulus ke Jakarta untuk menyelesaikan SMA dan masuk ITB. Lalu meneruskan studie ke Eropa. Setelah lulus, bekerja dan berumah tangga di sana hingga pensiun. Perjalanan hidup seperti ini pada umumnya bukan jalan selayaknya dan juga tidak automatis bisa terjadi sehari-hari. Saya juga berpikir, bahwa ini bisa terwujud karena semuanya ‘kebetualan’ terjadi. ‘Kebetulan’ saya dapat kesempatan dan saya bisa menangkap mujur yang ‘kebetulan’ sedang lewat ini. Kami meninggalkan desa ini, melewati kota Jembar, tempat lahir saya, terus ke Probolinggo untuk menginap semalam. Di sana kami disambut hangat oleh familie ayah. Mereka membawa kami ke kuburan kakeknya ayahku yang masih terawat baik. Rupanya kakek moyang ayah saya tiba di Jawa di permulaan abad 19-an. Tahun 2015 bulan Mai, saya menghadiri perkawinan familie kami di Surabaya. Setelah selesai, 2 kawan lama waktu sekolah dasar, dengan mobil berikut sopir membawa saya ke Rogojampi, kampung halamannya salah satu kawan itu. 8-9 tahu lalu saya pernah juga ke sana. Di tengah perjalanan kami mampir di Nguling/Probolinggo, chusus untuk menikmati nasi rawon Nguling yang ternama. Melalui jalan pinggir pantai lautan Jawa, kami selama 7-8 jam sambil mengobrol dan menikmati pemandangan sekitar jalan, sore hati kami tiba tujuan. Malamnya kami pergi kepinggir pantai dan makan ikan bakar yang sangat segar, nasi putih, lauk-pauk setempat dan tidak lupa sambelnya. Cocok sekali bagi lidah saya. Esok harinya, setelah sarapan pagi kami melewati jalanan pergunungan Kalibaru balik ke Surabya. Seperti biasa yang terlihat, sepanjang jalan ada kebon kopi, kebon tembakau dan kebun karet yang di antaranya juga ada sewah padi yang padat dan teratur. Mungkin inilah sebabnya mengapa nenek moyang ibu kami di achir abad 18 datang ke daerah ini untuk menjari nafkah, berumah tangga dan menetap di desa Kalisat. Seperti biasa kami mampir di desa ini. Terkenang masa kanak kanak ingin menengok ruko lama. Ruko lama telah dirombak dan di tempat yang sama berdiri rumah baru tingkat dua. Saya tanya kepada penghuni baru, apakah mereka tahu,

  5. bahwa dulu tempat ini bekas rumah ‘familie Chia’? Mereka tidak tahu, bahkan mereka juga belum pernah dengar ‘familie Chia’ itu siapa? Kini saya kini sadar, sebetulnya waktu telah lewat seperti air sungai ke laut, bahwa saya sejak 70 tahun yang lalu telah meninggalkan desa ini. Secara reflek saya mengatakan dalam hati sendiri, kenangan lama cukuplah hingga di sini. Selanjutnya di babak baru menikmati hari tua saya, semoga tetap sehat, aman dan gembira. Dengan mengambil keputusan ini di dalam hati, saya merasa rela dan legah hati meneruskan perjalanan kami ke Surabaya. Melewati kota Jember, tempat lahir saya, di sana masih terlihat pohon asem lama tetap berdiri di samping tempat berhenti bus umum. Di 70 tahun lalu, kami kanak kanak berdiri di bawah pohon asam itu dan menunggu bus datang untuk membawa kami pulang ke desa Kalisat. (CHL, Swiss. Dezember, 2011 - April, 2020) Foto-foto 1971. Pelabuhan Ratu (西爪哇南海)

  6. 1975. Kalisat. Kampung Halaman Lama (东爪哇老乡。加利刹乡村镇) 1981. Lombok. Di tempat tinggal Oom & tante (龙目岛。在姨丈,姨母住家)

  7. 1989. Gunung Bromo. (东爪哇 Bromo 火山) 1995.Bali. Danau Gunung Batu (巴厘岛火山湖)

  8. 1995. Bali. Tanah Lot ( (巴厘岛海神廟) 2007. Bali. Pelabuhan Gilih Manuk (巴厘岛西海港口)

  9. 2007. Selat Jawa-Bali (爪哇-巴里海峡) 2007. Kalibaru. . Daerah krnon kopi (东爪哇村镇 东爪哇村镇 Kalibaru咖啡园地区)

  10. 2007. Kalisat. Rumah bekas tinggal lama (东爪哇老乡,加里刹村镇。故居房屋) 2007. Kalisat. THHK. Gedung sekolah SD (加里刹村镇中华会馆。我第一次入学的母校)

  11. 2012. Kalisat. Stasion kereta api. Di th. 1947 dari sini untuk selamanya kami berangkat pindah ke Surabaya (我旧老乡的车站) 2015. Rogojampi. Dengan kawan seklas sejak SD 1947 di Surabaya. (东爪哇。和两位从 1947 小学时的同学) CHL/Swiss (Augustus, 2021)

More Related