160 likes | 440 Views
Lesson 3 for April 19, 2014. KRISTUS DAN TRADISI KEAGAMAAN. ORANG FARISI: PEMELIHARA HUKUM. Siapakah orang Farisi ?.
E N D
Lesson 3 for April 19, 2014 KRISTUS DAN TRADISI KEAGAMAAN
ORANG FARISI: PEMELIHARA HUKUM SiapakahorangFarisi? “Sekte agama konservatif atau kelompokagama Yahudi padamasaintertestamental (masaantara PL dan PB) dan PerjanjianBaru. Tampaknya secarapasti bahwa mereka adalah penerus dari Hasidim (Chasidim atau Assideans), ‘yang saleh.’” (SDA BibleDictionary) Orang-orang Farisi menolak untuk mengikuti kebiasaan-kebiasaanYunani yang berlawanandenganHukum Musa. Mereka mendukung revolusi Makabe melawan Yunani. Mereka dengan cepat menjadi standarmoral dariorangYahudi.
AHLI TAURAT: MENGAJAR HUKUM Mereka disebut sebagai kelompok yang lain daribangsaYahudi(Mat 23:2), namun mereka adalahorang-orang Farisi yang ditugaskan untuk misi khusus, menafsirkan hukum. AhliTaurat yang paling terkenal adalah Hillel dan Shammai (yang hiduppadamasaHerodes Agung) dan Gamaliel (guru Paulus) Mereka biasanya disebutsebagai "Rabi" (guruku)
KEKUATAN DAN KELEMAHAN DARI AHLI TAURAT DAN ORANG FARISI KekuatanorangFarisiakhirnyamenjadikelemahanterburukmereka.
KEKUATAN DAN KELEMAHAN DARI AHLI TAURAT DAN ORANG FARISI KekuatanorangFarisiakhirnyamenjadikelemahanterburukmereka.
TRADISI PARA PENATUA “Mengapamurid-murid-Mu melanggaradatistiadatnenekmoyangkita? Merekatidakmembasuh tangan sebelummakan.” (Matius 15:2) Adalah hal yang baik untuk mencuci tangan sebelum makan, tetapi tidak ada hukum Ilahi yang menuntuthalitu. “Membasuh tangan seseorang” dalam ayat ini merupakanupacarayang ketat. Mereka berpikir bahwamereka harus menyucikan diri kalau-kalau mereka telah menyentuh sesuatu yang najis. Jika tidak ada air, seseorang bisa meniru membuatgerakanritual membasuhtangan. Itu adalah suatutindakan “membasuhtangan / wudhukering” yang sah. Yesus menghadapkantradisi itukarena Dia ingin kita untuk memelihararoh yang benardalam hati kita, dan bukan untuk mencari penampilan agama belaka.
“Mereka membawa begitujauhperaturan tentangmakan dan minum sehingga pikiran tetappadasesuatu yang dipaksakansecaraterus-menerus untuk membedakan antara apa yang dianggap haram dan halal, dan membawaorangbanyak terhadapperintah yang dibebankanataudipaksakanoleh para imam. Air tersebuttelahdisaring, jangan sampai kehadiran setitik nodaatau serangga terkecilbisamembuat air tersebutnajis, sehingga air itu tidak layak untuk digunakan. Demikianlahorang-orangtersebuttetapdidalam rasa takut yang terus-menerusterhadapmelanggar adaistiadatdan tradisi yang diajarkan kepada mereka sebagai bagian dari hukum; dan hidupdibuat menjadisebuahbeban dengan upacara dan larangan-laranganini. Dengan bentukdarirentetan yang takberujung, orang-orang Farisi menetapkanpikiran orangbanyakpada pelayanan yang tampaksecaraluar, untuk mengabaikan agama yang benar. Mereka gagal untuk menghubungkan pikiran Kristus dengan upacara mereka; dan, setelah meninggalkan sumber air hidup, mereka membentukbagi diri mereka sendiri sumur rusak yang tidakdapatmenampung air.” EGW (The Signs of the Times, June 9, 1887)
TRADISI DAN HUKUM “Yesusberkata pula kepadamereka: “Sungguhpandaikamumengesampingkanperintah Allah, supayakamudapatmemeliharaadatistiadatmusendiri.” (Markus 7:9) Yesus ditanya tentang melanggar adat istiadat nenek moyang. Dia menjawab dengan menetapkan prioritas. Pertama, hukum Ilahi; kemudian, tradisi penatua. • HukumIlahi: “Hormatilahayahmudanibumu.” (Kel20:12; 21:17) • Tradisi: “Kalauseorangberkatakepadabapanyaatauibunya: Apa yang adapadaku, yang dapatdigunakanuntukpemeliharaanmu, sudahdigunakanuntukkorban -- yaitupersembahankepada Allah --, makakamutidakmembiarkannyalagiberbuatsesuatu pun untukbapanyaatauibunya.”
“Hukum Allah mewajibkan bahwa seorang anak harus menghormati orang tuanya, dan menyediakan kebutuhan mereka, dan denganlemahlembut merawat mereka ketika mereka sudah tua. Tapi guru-guru palsu mengajarkan bahwa adalah jauh lebih penting bagi anak-anak untuk mengabdikanhartamilikimereka dengan bernazarterhadappelayanan bait suci. Kemudian ketika orang tua memohon pada anak-anak mereka mengenaibantuan, mereka dapat mengatakan, "Ini adalah korban, dikhususkan untuk Allah." Mereka mengajarkan bahwa itu adalah pelanggaranuntukmenarikkembalihartamilik yang diberikan ke bait sucidan menggunakanhartaituuntuk kebutuhan orang tua. Ketika sumpah seperti itu dibuat, itu dianggap suci; itu harus dipenuhi; untuk, kata mereka, bukankahAllah menyatakan, "Apabila engkau bernazar kepada TUHAN, Allahmu, janganlah engkau menunda-nunda memenuhinya, sebab tentulah TUHAN, Allahmu, akan menuntutnya dari padamu, sehingga hal itu menjadi dosa bagimu."? Demikianlahdi bawah sebuahkemiripandarikesalehan, guru-guru ini membebaskanorangmudadari kewajiban perintah kelima. ” EGW (The Signs of the Times, January 3, 1900)
MENJADI LEBIH BENAR DARI PADA ORANG FARISI “MakaAkuberkatakepadamu: Jikahidupkeagamaanmutidaklebihbenardari pada hidupkeagamaanahli-ahliTaurat dan orang-orangFarisi, sesungguhnyakamutidakakanmasukkedalamKerajaanSorga” (Matius 5:20) KebenaranorangFarisi dibangun di atas usaha sendiri dan perilaku tampilanluar. Mereka mencoba untuk menjaga hukum secaratepat. Kebenaran Yesus berusaha melampaui usaha sendiri, perilaku tampilanluar atau memeliharahukum secaratepat. Hal ini menuntut perubahan batin, penurutan yang penuh dengankasih. “Tetapibeginilahperjanjian yang Kuadakandengankaum Israel sesudahwaktuitu, demikianlahfirman TUHAN: AkuakanmenaruhTaurat-Ku dalambatinmerekadanmenuliskannyadalamhatimereka; makaAkuakanmenjadi Allah merekadanmerekaakanmenjadiumat-Ku.” (Yeremia31:33)
“Sebuah agama yang menekankanhukumtidak cukup untuk membawa jiwa ke dalam keselarasandengan Tuhan. Keras, sifatortodoksorangFarisi yang kaku, miskin terhadappenyesalan, kelembutanhati, atau kasih, itu hanya suatu batu sandungan bagi orang-orang berdosa. Mereka seperti garam yang telah kehilangan rasanya; karenapengaruh mereka tidak memiliki kuasauntuk memeliharadunia dari kehancuran. Satu-satunya iman yang benar adalah yang mana “bekerja olehkasih” (Galatia 5:6) untuk memurnikan jiwa. Hal ini sepertiragi yang mengubah karakter. ” EGW (Thoughts from the Mount of Blessing, cp. 3, pg. 53)