560 likes | 895 Views
BELAJAR DARI CHARLES DE FOUCAULD. BIOGRAFI SINGKAT CHARLES DE FOUCAULD.
E N D
BIOGRAFI SINGKAT CHARLES DE FOUCAULD Charles de Foucauld lahir dari keluarga Katolik taat di Strasburgo, Perancis, pada tanggal 15 September 1858. Ayahnya, Joseph François-Edouard, adalah seorang mantri hutan. Ibunya, Elisabet Beaudet de Morlet adalah seorang pendidik. Kedua orang tua Charles de Foucauld merupakan orang saleh dan taat. Pada tahun 1864, ayahnya meninggal, disusul beberapa bulan kemuadian ibunya juga dipanggil Tuhan. Charles de Foucauld tidak lagi dikelilingi oleh orang-orang yang taat dan beriman mendalam. Ia menjadi anak yatim piatu. Bersama saudara perempuannya, dia diasuh oleh kakek-nenek mereka. Kelahiran dan Masa Kanak-kanak
Masa Remaja • Pada akhir tahun 1872, Charles de Foucauld masuk sekolah menengah, tidak lagi dikelilingi oleh pribadi-pribadi yang taat dan saleh. Kurangnya kesaksian iman dari orang-orang yang dekat dengan dia menimbulkan kesulitan bagi penghayatan iman dan kehidupan rohani. Kekeringan iman itu juga diakibatkan oleh melimpahnya buku-buku bacaan filsafat dan sejarah yang dia baca. Iman Charles semakin goncang, memang dia tidak menyangkal keberadaan Allah, tetapi mulai ragu akan bagaimana memahami bahwa Allah ada.
Masa Kemiliteran • Sesudah tamat sekolah menengah ia masuk pendidikan militer. Selama pendidikan, sekalipun termasuk anak yang cerdas tetapi malas. • Sesudah lulus pendidikan, ia pernah dikirim ke Aljazair, ia berangkat dengan membawa teman perempuan. Karena aturan militer tidak memperbolehkan membawa perempuan dalam dinas, komandan memeritahkan untuk meninggalkan perempuan itu. Tetapi ia tidak mematuhi perintah komandan, dan ia dipulangkan ke Perancis.
Esplorasi Rahasia • Setelah bebas dari tugas kemiliteran, Charles de Foucauld merencanakan penjelajahan rahasia di Maroko. Pada waktu itu Maroko adalah negara Islam yang amat tertutup, belum pernah ada orang Eropa berhasil menyusup ke sana. Charles de Foucauld merencanakan penyusupan itu dengan baik. Ia mempelajari peta wilayah, bahasa, sejarah dan budaya orang Maroko. Ia ingin penjelajahannya menghasilkan sesuatu yang berguna dan bukan hanya sekedar piknik. • Benar, dari tanggal 10 Juni 1883-23 Maret 1884, ia menyusup ke Maroko, dengan menyamar sebagai seorang rabi. Selama pengembaraan itu ia belajar dan mencatat banyak hal secara detail. Misalnya: ia mencatat baik keadaan tanah di sana, tumbuhan yang hidup, warna dan jenis tanah serta bebatuan, dia catat dengan lengkap dan teliti. Pengalaman penyusupan itu ditulis menjadi sebuah buku: Reconnaissance au Maroc, 1883-1884. Buku itu meraih penghargaan medali emas dari Departemen Kebudayaan dan Geografi Perancis.
Pertobatan • Pengalaman bersentuhan dengan iman kepercayaan muslim itu membuat gelisah hati Charles de Foucuald. Dalam kesendiriannya, ia ingat pengalaman saat di Maroko: setiap hari kaum muslim meluhurkan nama Allah, bahkan sehari sebanyak 5 kali Allah dimuliakan dalam adzan, nama Allah selalu disebut dalam setiap pembicaraan dst., membawa pada sebuah pertanyaan reflektif, “Dan saya, betapa aku tanpa agama apapun!” Kenyataan ini mendorong Charles de Foucauld melakukan pertobatan kedua. • Menjelang akhir tahun 1888, Bapa Rohani mengundang Charles de Foucauld untuk mengadakan perjalanan untuk mengunjungi Tanah Suci. Ia tinggal di Tanah Suci sekitar 3 bulan. Selama itu dia amat terkesan dengan kota kecil Nazareth, tempat Yesus hidup tersembunyi selama 33 tahun.
Masa di Biara Charles de Foucauld masuk ke biara pertama-tama untuk mencari tempat terakhir. Pada tanggal 16 Januari 1890, ia masuk ke pertapaan di Notre-Dame-des-Neiges, di keuskupan Viviers, Perancis Pada tanggal 26 Juni 1890, Charles de Foucauld pindah ke biara Notre-Dame-du-Sacré-Coeur di Siria. Sebuah biara yang lebih miskin dan sederhana. Ia tinggal disana selama 6 tahun, namun tidak berhasil menemukan cara hidup Yesus, hidup tersembunyi, mengambil tempat terakhir, miskin seperti Yesus dari Nazareth. Pada bulan Oktober 1896, ia dikirim ke Roma untuk tugas belajar. Di sana ia belajar fisafat dan teologi. Pada tanggal 17 Februari 1897, Charles de Foucauld mengucapkan kaul kemurnian dan kaul kemiskinan.
Di Nazareth • Pencarian cara hidup tersembunyi dan tempat terakhir dari Yesus berlanjut. Pada tanggal 23 Januari 1897, ia menggabungkan diri dengan biara Claris di Nazareth. Ia tidak menjadi bagian dari komunitas biara itu, tetapi hanya mendompleng. Ia mendirikan “gubug” kecil di sudut biara Claris. Ia ingin hidup menurut tata cara biara tetapi tidak mau terikat pada regola dari biara. Yang dicari adalah cara hidup tersembunyi dan tempat terakhir dari Yesus. Charles de Foucauld tinggal di Nazareth selama 3 tahun.
Ditahbiskan Imam • Dalam bimbingan Bapa Huvelin, Charles de Foucauld mempersiapkan tahbisan imam di biara Notre-Dame-des-Neiges. Pada tanggal 9 Juni 1901, Charles de Foucauld ditahbiskan menjadi imam di Seminari Tinggi Vivier oleh Mgr Montéry, Uskup tituler Béryte. Sesudah ditahbiskan ia minta dikirim ke Aljazair, menjadi pastor bagi mereka yang paling ditinggalkan. Misi ke Aljazair sebenarnya hanya menjadi batu loncatan agar dia bisa masuk kembali ke Maroko. Ia bercita-cita untuk menjadi imam bagi orang-orang Maroko, umat yang paling terlupakan.
Masa Padang Gurun Beni Abbes Tanggal 28 Oktober 1901, ia sampai di Beni Abbés, sebelah utara Orano. Charles de Foucauld memilih tempat itu karena: pertama, belum pernah ada seorang imam yang tinggal bahkan sekedar melewati tempat itu. Kedua, untuk melayani dan memelihara jiwa-jiwa para tentara Perancis. Ketiga, Beni Abbés merupakan pintu utama masuk ke Maroko. Charles bercita-cita untuk masuk kembali ke sana sebagai seorang misionaris.
Tamanrasset • Pada tanggal 13 Agustus 1905, ia tiba di Tamanrasset. Dia memilih tempat itu karena lebih tersembunyi dan lebih terakhir. Dalam catatan harian, dia menulis, “Saya memilih Tamanrasset... di pusat Hoggar, pusat dari suku Tuareg, jauh dari pusat-pusat penting. Saya rasa di sana tidak dijumpai baik tentara, telegraf maupun orang Eropa. Saya memilih tempat yang ditinggalkan itu dan saya akan tinggal di sana, mohon pada Yesus untuk menguduskan tempat itu bagi hidup saya seturut teladan hidup-Nya di Nazareth”.
SukuTuareg Pada bulan Agustus 1905, ia mendirikan biara di sana. Di Tamanrasset Charles de Foucauld memulai pekerjaan ilmiah yaitu mendalami Bahasa Tuareg, mengumpulkan lagu-lagu dan puisi-puisi Tuareg. Selama di Tamanrasset ia berhasil menyusun kamus Perancis Tuareg dan Tuareg Perancis.
Kematian Beatifikasi Charles de Foucauld mendapat beatifikasi dari Paus Benediktus XVI pada tanggal 13 November 2005. • Pada tanggal 13 September 1914, Charles de Foucauld mendapat kabar bahwa di Eropa sedang ada perang. Atas sarang Jendra Laperrine, ia tidak pulang ke Perancis namun tetap tinggal di Tamanrasset. Saat itu situasi di Tamanrasset aman dan tenang. Charles de Fouculd masih sibuk menggeluti puisi-puisi Tuareg, saat datang sekelompok orang Tuareg yang dipimpin oleh seorang Sunni, menangkap dan menganiaya dia hingga meninggal.
PILAR-PILAR HIDUP ROHANI SETURUT SPIRITUALITAS NAZARETH • Charles de Foucauld sangat terinspirasi dengan misteri inkarnasi Allah ini. Dia selalu ambil tempat paling rendah: “...apabila kamu diundang pesta, pergilah duduk di tempat yang paling rendah” (Luk 14:10). Hal itu yang Dia lakukan saat ambil bagian dalam “pesta kehidupan dunia”. • Bagi Charles, hidup berarti: “Datang ke Nazareth, tempat hidup tersembunyi, hidup sehari-hari, tempat hidup keluarga, hidup doa, tempat bekerja, tempat susah payah, tempat keheningan, tempat memberi kesaksian kepada Allah, sanak-saudara dan teman-teman dekat, tempat dimana hidup kudus, hidup rendah hati, hidup untung, hidup malang, hidup yang dialami oleh sebagian besar manusia, dan Dia telah memberi teladan selama 30 tahun”.
Maka sesudah sebuah retret dia membuat komitmen-komitmen yang selalu berkiblat pada Nazareth: Kembali pada komitmen mengikuti Yesus yang hidup dan tinggal di Nazareth Kembali pada mati raga, pada penyangkalan diri, pada salib Yesus di Nazareth Kembali pada kemiskinan Yesus di Nazareth Kembali pada kerendahan dan pada kerja kasar dari Yesus di Nazareth Kembali pada hidup mengundurkan diri, pada keheningan hidup Yesus di Nazareth Kembali untuk menjauhkan diri dari dunia dan segala sesuatu tentang dunia dari Yesus di Nazareth. Kembali pada komunitas hidup rohani, pada kebaktian dan adorasi, pada hidup doa, pada berjaga-jaga dari Yesus di Nazareth.
Tinggal bersama Yesus Mengikuti Jejak Kristus Dalam sebuah meditasi, dia merumuskan: “Datang ke Nazareth, tempat hidup yang tersembunyi, tempat hidup keseharian, tempat hidup sebuah keluarga, tempat doa, kerja dan matiraga, tempat hidup dalam keheningan, tempat berbuat baik tanpa diketahui siapapun, selain oleh Allah dan oleh keluarga atau teman-taman dekat, tempat untuk hidup kudus, hina, murah hati, tersembunyi, hidup yang dihayati oleh sebagian besar umat manusia, dimana Yesus memberi teladan selama 30 tahun…”. • “Barangsiapa ingin hidup seturut semangat (spiritualitas) Nazareth, regola atau aturannya adalah bertanya dalam segala situasi apa yang dipikirkan, dibicarakan dan dibuat Yesus jika Dia ada pada posisimu, dan buatlah itu. Berusahalah terus menerus menjadi serupa dengan Tuhan Yesus, ambillah kehidupan-Nya di Nazareth sebagai model dalam setiap situasi”.
Hidup sebagai pertapa – misionaris Selama di padang gurun, Charles de Foucauld berusaha untuk menerjemahkan inkarnasi hidup Allah dalam konteks padang gurun. Ia ingin menghayati hidup Nazareth yang dihadirkan di padang gurun. Cara hidup yang ditemukan yaitu sebagai pertapa sekaligus misionaris. Hidup Yesus di Nazareth dihadirkan dengan menghayati hidup sebagai seorang pertapa, sekalipun tanpa clausura, artinya tidak terikat pada biara tertentu. Semangat hidup pertapaan itu yang ingin dihadirkan sebagai bentuk dari cara hidup tersembunyi dari Yesus di Nazareth. Hidupnya diisi dengan doa, kerja tangan dan karya misi. Karya misi dijalankan tidak dengan berkotbah, tetapi dengan perjumpaan dan percakapan setiap hari dengan semua orang. • Selama di padang gurun (Beni Abbés, Tamanrasset, dan Asekrem), Charles de Foucauld ingin merealisasikan cara hidup mengikuti jejak Yesus secara lebih radikal, ditempat yang tersembunyi sebagaimana di Nazareth. René Voillaume menuliskan, “…misteri Nazareth terungkap, terutama dalam keseluruhan integritas dan hakekat dari kodrat manusiawi Yesus.” Charles de Fouculd ingin mengikuti Yesus dalam menjalani kehidupan manusiawi.
Adorasi Sakramen Mahakudus • Charles de Fouculd meyakini dengan sungguh bahwa Sakramen Mahakudus yang ditahtakan adalah Yesus yang bekerja demi pengudusan. Dalam surat pada bibinya, dia menulis, “Kehadiranku di tempat ini cukup baik. Kalau bukan aku, Sakramen Mahakudus yang ditahtakan yang hadir. Yesus tidak mungkin tinggal di suatu tempat tanpa memancarkan sinar kehadiran-Nya”.
Tinggal bersama Uskup dan Imam Lain Selalu Kontak dengan Uskup “Barangsiapa ingin hidup seturut semangat (spiritualitas) Nazareth menggabungkan diri pada arah dasar Gereja setempat, berusaha memberi kontribusi sesuai dengan panggilan, setiakawan (solider) pada mereka yang berada di tempat terpencil dan bekerjasama sebagai saudara”. Sekalipun Charles de Foucauld tinggal sendirian sebagai seorang pertapa di padang gurun Aljazair, dia tidak pernah lepas kontak dengan Uskup untuk Tanah Misi. Dia selalu mempresentasikan terlebih dahulu program-program kerasulannya kepada Mgr. Guerin. Baru sesudah diberi ijin oleh uskupnya, dia menjalankan program itu. Surat menyuratnya dengan Mgr Guerin ada banyak sekali.
Selalu kontak dengan Bapa Rohani • “Memilih Bapa Rohani adalah hal mendasar dan penting, karena seorang murid membutuhkan guru. Bapa Rohani haruslah seorang saleh, bijaksana, terpelajar dan cakap. Sekali memilihnya setelah giat berdoa pada Allah, kita harus percaya, meminta nasihat dan taat padanya”. • Sesudah pertobatan, Charles de Foucauld memilih Bapa Huvelin menjadi Pembimbing Rohani, sampai beliau wafat. Charles de Foucauld rutin mengadakan bimbingan rohani. Bahkan ketika dia sudah ditahbiskan iman dan bertempat tinggal di padang gurun, ia masih tetapi dalam kontak dengan Bapa Huvelin. Bimbingan Rohani tidak dijalankan dengan perjumpaan muka dengan muka tetapi melalui surat. Setiap gerakan hati, setiap keputusan yang akan diambil, bahkan kesulitan, keluhan dan kelemahan diceritakan pada Bapa Rohani. Bapa Huvelin selalu memberi peneguhan, penghiburan dan petunjuk jalan mana yang harus dipilih dan diambil.
Tinggal bersama Umat Beriman Tinggal diantara tentara Perancis. • Sebagai seorang imam di tanah jajahan, Charles de Foucauld memberikan pelayanan sakramen terutama pada para tentara Perancis. Banyak diantara mereka ditugaskan ditempat terpencil dan jauh dari jangkuan imam. Charles de Foucauld melihat peluang itu sebagai usaha untuk merawat dan mencari domba yang hilang. Selain pelayanan sakramen, dia juga mengajar mereka.
Tinggal bersama dan mendirikan “Persaudaraan Hati Kudus Yesus” Selama di padang gurun, Charles de Foucauld menciptakan kontak persahabatan dan persaudaraan dengan orang-orang di Beni Abbés yang nota bene muslim. Dia menciptakan tempat untuk berjumpa itu, semacam rumah, yang dia beri nama Fraternità, artinya Persaudaraan. Siapa saja boleh datang ke Fraternità, baik orang pribumi, tentara, orang miskin, pengembara dst. Roh dari rumah Persaudaraan itu adalah kasih persaudaraan universal. Dalam Fraternità itu Charles de Foucauld berkarya: membagikan sedekah, membagikan obat, menerima tamu (pengembaran) yang datang, memberi singgahan pada orang miskin dst. Tempat itu terbuka bagi semua orang, Kristiani, Yahudi dan Islam. Mereka bisa bertemu, bercakap-cakap, ngobrol atau yang lain di rumah Persaudaraan itu.
Tinggal di antara penduduk yang paling terlantar. Pelayanan bagi para budak Para budak menjadi keprihatinan utama di Beni Abbés. Banyak diantara mereka yang sakit, terlantar, putus asa, tak dianggap sebagai manusia, terutama mereka yang sudah tua. “Untuk para budak ini, saya mempunyai sebuah ruangan kecil, dimana mereka bisa berkumpul, beristirahat, dimana tersedia makanan secukupnya, terlebih persaudaraan, pelan-pelan akan diajar berdoa pada Yesus” • Opsinya sebagai imam di keuskupan padang gurun adalah mencari tempat tersembunyi, dimana orang tidak seorang pun mengambilnya. Mereka yang terlantar dan tersembunyi itu juga pantas mendapat keselamatan. Salah satu contoh program pelayanannya ditulis pada tanggal 4 Ferbruari 1902. Program ini dipresentasikan pada Mgr. Guerin. Kata kunci untuk mengerti surat itu adalah kalimat : “Karya-karya untuk pemeliharaan jiwa-jiwa di Beni Abbés adalah sebagai berikut…”.
Pelayanan bagi para pengembara miskin Pelayanan bagi orang sakit dan orang tua yang terlantar. Di sana juga banyak ditemukan orang-orang tua dan sakit yang ditinggalkan dengan begitu saja, tidak ada orang yang peduli apalagi mengurus. Orang-orang ini menjadi kelompok yang tidak lagi berguna karena mereka tidak mampu lagi bekerja. Pada orang-orang itu, Charles de Foucauld memberi perawatan, dengan memberi penampungan sementara, obat dan makanan. Mereka dikumpulkan di Fraternità, sejauh masih mungkin ditampung di sana. Selain para budak, di Beni Abbès juga dijumpai banyak para pengembara miskin. Mereka tidak punya tempat sekedar untuk membaringkan diri dan beristirahat, mereka tidak punya juga makanan. Pada mereka, akan diberi tempat untuk sekedar berteduh dan makan seadanya. Dasar tindakan itu adalah, “Apa yang kau lakukan pada salah seorang yang paling hina ini, kamu lakukan bagi-Ku”.
Tinggal bersama Masyarakat Menjadi bagian dari masyarakat • Charles de Foucauld menjadi bagian dari masyarakat dimana dia tinggal. Bahkan membaktikan hidupnya untuk masyarakat itu. Di Tamarasset diantara suku Tuareg, Charles de Foucauld belajar bahasa Tuareg, mengumpulkan teks-teks lagu Tuareg, bahkan mengarang kamus Tuareg – Perancis, Perancis – Tuareg. • Di Tamanrasset, Charles de Foucauld kembali pada semangat Nazareth, ia meneladan Yesus yang berinkarnasi demi keselamatan manusia. Inkarnasi itu yang menjadi kata kunci. Inkarnasi berarti berbelarasa, tinggal bersama dalan kemiskinan dan kesederhanaan mereka. Dia menjadi bagian dari mereka, dan bukan datang sebagai orang asing yang lebih berkuasa dari mereka. Dalam segala hal, Charles de Foucauld menyesuaikan diri (berinkarnasi) pada orang-orang Tamanrasset.
Menjadibagianmasyarakat • Dalam sebuah surat pada Pater Antonin Julliet, seorang pertapa, trapisti yang pernah dikenal ketika mereka bersama-sama di biara trapis. Charles menerangkan “kehidupan Nazareth” di Tamanrasset dengan menulis: “Sebuah cara hidup pertapa-misionaris yang didasarkan pada tiga pilar: mengikuti cara hidup tersembunyi dari Yesus, adorasi Sakramen Mahakudus yang ditahtakan, tinggal di antara orang tidak beriman (kristiani) yang paling terlantar, berbuat apa saja yang mungkin bagi pertobatan mereka”.
Tinggal bersama orang beriman lain Dialog berarti berbicara banyak. “Berbicaralah banyak dengan orang-orang pribumi, jangan berbicara hal-hal yang biasa tetapi terlebih hal-hal yang berkaitan dengan Allah, tidak mungkin berkotbah tentang Yesus, karena mereka akan menolak ajaran itu, persiapkanlah mereka pelan-pelan untuk menerima-Nya, berkotbahlah dengan mempercakapkan agama-agama asli… Berbicaralah banyak.. bimbinglah jiwa-jiwa menjadi lebih baik, menjadi lebih dekat dengan Allah, siapkanlah tanah bagi Injil, Kabar Gembira”. • Komitmen dialog dan evangelisasi dibangun saat dia tinggal di Béni-Abbès. “Saya ingin membiasakan semua penduduk, baik yang Kristiani, Muslim, Yahudi dan Penganut Kepercayaan, mengganggapku sebagai saudara mereka, saudara semua orang.. Semua orang mulai menyebut rumah itu “La Fraternita” dan hal itu membuatku amat senang, menyadarkanku bahwa orang-orang miskin mempunyai saudara di sini, tidak hanya orang-orang miskin, tetapi semua orang”.
Evangelisasi dengan kotbah diam Dialog, karya kasih dan karitatif. Dia memaknai dan mengangkat karya karitatif itu sebagai media evangelisasi. Bantuan karitati ditangannya mempunyai nilai lebih dari sekedar nilai material. Dalam buku hariannya dia menulis: “Kita harus memberi nilai bantuan karitatif demi keselamatan jiwa-jiwa, dengan berbicara tentang Allah dan dengan mempersembahkan nasihat-nasihat rohani kepada mereka yang menerima bantuan material”. Dalam buku hariannya, dia menulis: “Kita harus mengambil “kepercayaan” mereka, kalau mungkin malah mengatasi orang-orang yang kerapkali mengindoktrinasi mereka. Untuk itu perlu tiga hal: 1) menjadi orang yang benar-benar suci, 2) memancarkan kesucian itu pada orang-orang pribumi, dan 3) berbicara banyak dengan mereka. Jika kesucian yang ditampakkan, maka hidup kita akan menjadi sebuah kotbah dalam diam”.
Dialog dan pengudusan. • Merenungkan kisah kunjungan itu, dia menulis, “…yaitu apa yang dibuat oleh Santa Maria dalam kunjungannya, bukanlah sekedar sebuah kunjungan untuk menguatkan dan memberi penghiburan pada Elizabet, atau sekedar saling membagikan karya besar Allah yang terjadi diantara mereka, atau sekedar kunjungan untuk membantu secara material dalam mempersiapkan kelahiran sang bayi, tetapi bernilai lebih dari itu semua. Kunjungan itu merupakan tindakan pengudusan pada santo Yohanes, tidak dengan kata-kata, tetapi dengan membawa Yesus dalam keheningan… Demikianlah dibuat oleh para misionaris kontemplatif, pengudusan tanah misi. Mereka menguduskan dan mengevangelisasi orang-orang bukan kristiani tanpa kata-kata (kotbah), tetapi dengan membawa Yesus ke tengah-tengah mereka secara diam-diam, membawa Dia dengan perantaraan Sakramen Mahakudus, dengan perantaran hidup injili mereka yang menjadi contoh dan kehadiran hidup Yesus”.
Demi Pemeliharaan jiwa-jiwa. • Berkatian dengan tugas pemeliharaan terhadap jiwa-jiwa, kita bisa belajar dari suratnya pada Mrg Guerin. Dalam surat tertanggal 30 Juni 1903, dia menulis: • “Untuk keselamatan jiwa-jiwa, kita hidup di sini, seperti hidup Yesus “Sang Penyelamat”, saya tidak bisa berbuat yang lebih baik selain pergi membawa jiwa-jiwa semakin dekat pada ajaran-ajaran ilahi, bukan dengan kotbah tapi dengan bercakap-cakap, mempersiapkan lahan bagi misi, memulai evangelisasi diantara suku Tuareg, tinggal bersama mereka, mempelajari bahasa mereka, menerjemahkan Injil dalam bahasa mereka, membangun relasi persahabatan seakrab mungkin”.
Beberapa komitmen terhadap jiwa-jiwa seturut semangat Nazareth yang dia buat sesudah menjalani sebuah retret: • “Kembali pada komitmen bagi jiwa-jiwa, membangun kelompok yang berhimpun di sekitar Sakramen Mahakudus, di daerah yang belum beriman Katolik, sebuah keluarga kecil yang mengikuti pola hidup Yesus di Nazareth. • Kembali pada komitmen pada jiwa-jiwa, pada karya kasih, pada kebajikan, melakukan perbuatan-perbuatan baik bagi semua manusia, seperti Yesus di Nazareth • Kembali pada komitmen bagi jiwa-jiwa, melalui perendahan diri, kerendahan hati, pengampunan saat dihina, sabar saat tidak dimengerti, seperti Yesus di Nazareth • Kembali pada komitmen bagi jiwa-jiwa, melalui teladan hidup baik, seperti Yesus di Nazareth • Kembali pada komitmen bagi jiwa-jiwa, melalui hidup doa, mati raga, dan kesucian diri, seperti Yesus di Nazareth • Kembali untuk membiarkan hati Yesus hidup dalam diriku, sehingga bukan aku lagi yang hidup tetapi hati Yesus yang hidup dalam diriku, seperti kehidupan di Nasareth”.
Pendukung Kehidupan RohaniSpiritualitasNazareth Kitab Suci – Injil Dari Kitab Suci kita diajak untuk belajar mengejar kesempurnaan dengan meneladan Sang Guru. “Kesempurnaan terjadi ketika “menjadi serupa pada Sang Guru”. Membebaskan diri dari segala kebodohan dan dosa, yang dipikirkan adalah bagaimana bisa menjadi seperti Dia. Siapa yang bisa seperti Allah? Jangan menginginkan lebih dari apa yang pernah dialami Yesus. Sang Guru dihina, murid tidak semestinya dihormati, Guru miskin, murid tidak semestinya kaya, Guru bekerja kasar, murid tidak semestinya hidup dari persembahan, Guru pergi jalan kaki, murid tidak semestinya menunggang kuda. Sang Guru mencari teman orang kecil, miskin dan pekerja, murid tidak semestinya mencari teman orang kuat, Guru menampilkan diri ditengah para miskin, murid tidak semestinya menampilkan diri ditengah kaum kaya. Guru dihina, murid tidak semestinya dipuji. Sang Guru berpakaian sederhana, kekurangan makanan, tinggal ditempat sederhana, murid tidak semestinya berpakaian elegan, makan enak, tinggak dirumah mewah. Guru bekerja tanpa kenal lelah, murid tidak semestinya memikirkan istirahat. Guru ingin menjadi kecil, murid tidak semestinya ingin menjadi besar”.
Perayaan Ekaristi – Adorasi “Para imam hendaknya mempersembahkan Yesus pada Bapa, di atas altar, untuk kemuliaan Bapa dan keselamatan manusia melalui Ekaristi, seperti Dia sendiri mempersembahkan diri pada Perjamuan Malam terakhir; dan hendaknya mempersembahkan diri bersama Yesus pada Bapa untuk kemuliaan-Nya, untuk kemuliaan Yesus dan keselamatan manusia, menderita di kayu salib bersama Yesus yang menderita dan wafat, hal itu dilakukan seperti dikehendaki Yesus yang mengundang untuk meminum piala penderitaan dan menjadi korban bersama Dia”. • “Ekaristi Kudus: adalah Yesus, semua itu Yesus.. Dalam Ekaristi Kudus kamu menjumpai-Ku secara lengkap, secara hidup, Yesus yang Terkasih, sama seperti ketika berada di rumah dalam keluarga kudus Nazareth.. Oh, tidak pernah kami lepas dari kehadiran Sakramen Mahakudus, tidak pernah kami kehilangan kesempatan sesaat dari Yesus yang ditahtakan”. • “Ekaristi, adalah Yesus, hadir di atas altar kita yang kudus, setiap hari sampai akhir zaman, benar-benar “Allah beserta kita”, yang hadir, setiap waktu, di semua sudut dunia, pada semua pandangan kita, dalam adorasi kita, dalam kasih kita, siap mengubah, melalui kehadiran-Nya yang abadi, kegelapan hidup kita diubah menjadi terang yang kemilau.
Hidup Doa – Meditasi Kamu mengajarkan 3 hal penting dari pernyataan itu: 1) bahwa doa vocal adalah doa yang layak untuk memuji nama-Mu, akan menyukakan hati-Mu hanya saat hati ikut berdoa bersama dengan bibir yang mengucapkan kata-kata doa; 2) bahwa untuk berdoa kami tidak harus mengucapkan kata-kata, tetapi cukup berbicara dalam hati dengan-Mu, yaitu dengan doa batin; 3) bahwa untuk berdoa pada-Mu, tidak dibutuhkan, pun pula doa batin, tetapi cukup hadir dihadapan-Mu, mengkontemplasikan diri-Mu, berlutut dihadapan-Mu, menyatukan rasa perasaan dengan-Mu, memuji dan memuliakan-Mu, berbelarasa dengan-Mu, ingin memandang wajah-Mu, yang pada akhirnya menumbuhkan kasih. Seperti yang dikatakan santa Teresa, doa tidak tergantung pada kata-kata yang banyak, tetapi dalam kasih yang besar…”. • Ada banyak renungan tentang doa dari Charles de Foucauld, tetapi inti dari doa adalah untuk semakin mengenal Yesus dan bersatu dengan-Nya. Misalnya ketika meditasi teks Mat 6:7, “Lagipula dalam doamu itu janganlah kamu bertele-tele seperti kebiasaan orang yang tidak mengenal Allah. Mereka menyangka bahwa karena banyaknya kata-kata doanya akan dikabulkan”, dia menulis: “Doa dengan kata-kata atau bibir tidak dilarang… Tapi Kamu ingin agar hati juga berdoa sama seperti bibir mengucapkan kata-kata doa.
BahanRefleksi:Bagaimana “Nazareth” (duniakita) dewasaini? • Apa yang menjadiisu-isu global, nasionaldanlokal yang mewarnai “Nazareth” kitajamanini? • BagaimanaperutusanGereja (imam diosesan) bagiduniadewasaini? • SpiritualitasDiosis (imam diosesan) macamapa yang bisakitakembangkan?
ZamanEdan pancen wolak-waliking jaman amenangi jaman edan ora edan ora kumanan sing waras padha nggagas wong tani padha ditaleni wong dora padha ura-ura beja-bejane sing lali, isih beja kang eling lan waspadha
sungguh zaman gonjang-ganjing menyaksikan zaman gila tidak ikut gila tidak dapat bagian yang sehat pada olah pikir para petani dibelenggu para pembohong bersuka ria beruntunglah bagi yang lupa, masih beruntung yang ingat dan waspada