E N D
KONSTRUKSI SOSIAL PORNOMEDIA DAN KEKERASAN PEREMPUAN DI MEDIA MASSAPergeseran konsep porno dan Varian Porno KontemporerOleh:Burhan Bungin, Prof., Dr., S.Sos., M.Si.Guru Besar Sosiologi Komunikasi UNTAG SurabayaPeneliti/Penulis Buku:-Erotika Media Massa (2001)-Pornomedia (2003-2005)-Sosiologi Komunikasi (2006)
Berawal dari Wacana Seksdi Media MassaAdanya dua kutup dalam menilai tubuh manusia (terutama perempuan) sebagai obyek seks.Pertama:kelompok yang memuja-muja tubuh sebagai obyek seks serta merupakan sumber kebahagian, kesenangan, keintiman, status sosial dan seni. Kelompok ini memuliakan seks sebagai karunia tuhan kepada manusia. Seks sebagai sumber ketenangan batin, sumber inspirasi dan salah satu tujuan akhir perjuangan manusia..
Kedua:kelompok yang menuduh seks sebagai obyek maupun subyek dari sumber malapetaka bagi kaum perempuan itu sendiri.(a) kelompok yang mewakili pemikiran feminis radikal, yang menganggap jenis kelamin sebagai sumber persoalan seksisme dan ideologi patriarki. Pemikiran ini menuduh laki-laki secara biologis maupun politis menguasai tubuh perempuan. Laki-laki secara politis menciptakan ideologi patriarki sebagai dasar penindasan dalam sistim kirarki seksual dimana laki-laki memiliki kekuasaan superior dan privillege terhadap perempuan..
(b) Kelompok feminis marxis melihat bahwa ideologi kapitalis adalah sumber penguasaan seks terhadap perempuan. Jatuhnya status seks perempuan disebabkan karena perubahan dalam sistem kekayaan. Era private property yaitu era hewan piaraan dan pertanian menjadi awal bagi perdagangan dan produksi untuk perdagangan.Karena laki-laki mengontrol produksi untuk perdagangan maka mereka menguasai hubungan sosial dan politik sedangkan perempuan direduksi sebagai bagian dari property, dengan demikian laki-laki memiliki kontrol terhadap seks atas perempuan sebagai bagian dari kekuasaan sosial laki-laki.
Pemikiran-pemikiran di atas mendasari semua argumentasi dan polemik tentang seks sebagai obyek porno di masyarakat baik sebagai alasan memuja-muja seks maupun alasan penguasaan obyek seks.
Walaupun kedua alasan itu hanya berbeda pada cara mereka mengekploitasi seks akan tetapi target ekspolitasi tetap saja adalahseks sebagai obyek.
Pada tahun 2 sebelum Masehi, pujangga Romawi Ovidius menerbitkan buku Seni Cinta, yang isinya adalah memuji-muji seks. Baru kemudian pada awal tahun Masehi seks sebagai suatu kebebasan dan kesenangan jasmani semata, dicela Santo Agustinus, seorang guru retorika..
Pada umumnya perubahan sikap masyarakat menerima seks secara terbuka, secara revolusioner baru pada abad ke 20-21 ini.
Di Inggris, pada zaman Ratu Victoria, seks tertutup menjadi adat yang dipatuhi oleh masyarakat, namun pasca Ratu Victoria, seks mulai dipahami secara terbuka.
Paus Paulus III, terkesan dan berlutut untuk berdoa pada saat peresmian lukisan Pengadilan Terakhir (sebuah lukisan yang mempertontonkan ketelanjangan manusia) karya Michelangelo tahun 1541, Tetapi pada tahun 1558, Paus Paulus IV meminta agar menambah lukisan kain untuk menutup bagian-bagian tubuh yang “merangsang” pada lukisan tersebut. Dan pada masa Kontra Reformasi, lukisan kain ituditambah lagi dengan rok dan celana
Ketika Ciuman karya patung Auguste Rodin. Pada saat karya tersebut dipamerkan di Paris tahun 1898, seorang pengritik mengatakan: “sebuah karya besar!” Namun karya tersebut pada dasawarsa yang sama tidak jadi dipamerkan di Amerika yang pada saat itu memiliki adat yang ketat mengenai masalah seks. Lalu karya Rodin itu disingkirkan kedalam kamar tersendiri pada Pekan Pameran Dunia dan bagi siapa yang akan melihatnya, harus memperoleh ijin khusus..
Karya-karya lain seperti Pagi di Bulan September karya Paul Chabas tahun 1912, melukiskan seorang gadis telanjang yang sedang bermain di kali dan lukisan Bersantap Siang di Rumput karya Edouard Monet yang melukiskan seorang gadis telanjang duduk di rumput bersama dua orang lelaki yang rancak dandanannya. Kedua lukisan ini mendapat sorotan tajam dan bahkan dianggap melawan hukum pada saat itu.
Pada kenyataannya sehari-hari seperti masyarakat suku Shavante di Brasilia Tengah yang hidup tanpa busana. Dianggap oleh masyarakat tersebut, bahkan orang lain sebagai suatu kewajaran sub-kultur, karena nilai-nilai masyarakat itu tidak melihatnya sebagai suatu porno.
Perempuan kosmopolitan:"Lebih senang” dieksploitasi atau mengeksploitasi dirinya sebagai obyek porno. Rok mini, jean ketat, you can see, produk iklan yang mayoritas didominasi oleh wanita, perek atau free sex, dan bahkan pelacuran yang banyak ditemui di kota.
Pergeseran Konsep PornografiMasyarakat belum terbuka:Bentuk pencabulan atau tindakan-tindakan yang jorok dengan menonjolkan obyek seks disebut dengan kata porno. Ide-ide porno dilukis atau diukir pada lembaran-lembaran kertas atau kanvas dan terutama ketika penemuan mesin cetak di abad ke 14 sehingga masyarakat telah dapat memproduksi hasil-hasil cetakan termasuk gambar-gambar porno, maka istilah pornografi menjadi sangat sering digunakan untuk menandai gambar-gambar porno saat itu sampai saat ini.
Masyarakat sudah terbuka, kemajuan teknologi komunikasi terus berkembang, maka konsep pornografi juga telah bergeser dan berkembang. Wacana porno atau penggambaran tindakan pencabulan (pornografi) kontemporer, di bagi menjadi beberapa varian: seperti pornografi, pornoteks, pornosuara, pornoaksi. Dalam kasus tertentu semua kategori konseptual itu dapat menjadi sajian dalam satu media, sehingga melahirkan konsep baru yang dinamakan pornomedia.
PornografiPornografi adalah gambar-gambar perilaku pencabulan yang lebih banyak menonjolkan tubuh dan alat kelamin manusia. Sifatnya yang seronoh, jorok, vulgar, membuat orang yang melihatnya terangsang secara seksual. Pornografi dapat diperoleh dalam bentuk foto, poster, lieflet, gambar video, film, dan gambar VCD, termasuk pula dalam bentuk alat visual lainnya yang memuat gambar atau kegiatan pencabulan (porno)..
PornoteksKarya pencabulan (porno) yang ditulis sebagai naskah cerita atau berita dalam berbagai versi hubungan seksual, dalam berbagai bentuk narasi, konstruksi cerita, testimonial, atau pengalaman pribadi secara detail dan vulgar, termasuk pula cerita porno dalam buku-buku komik, sehingga pembaca merasa seakan-akan ia menyaksikan sendiri, mengalami atau melakukan sendiri peristiwa hubungan-hubungan seks itu. Penggambaran yang detail secara narasi terhadap hubungan seks ini menyebabkan terciptanya theatre of the maind pembaca tentang arena seksual yang sedang berlangsung, sehingga fantasi seksual pembaca menjadi “menggebu-gebu” terhadap obyek hubungan seks yang digambarkan itu.
PornosuaraYaitu suara, tuturan, kata-kata dan kalimat-kalimat yang ducapkan seseorang, yang langsung atau tidak langsung, bahkan secara halus atau vulgar melakukan rayuan seksual, suara atau tuturan tentang obyek seksual atau aktivitas seksual. Pornosuara ini secara langsung atau tidak memberi penggambaran tentang obyek seksual maupun aktivitas seksual kepada lawan bicara atau pendengar, sehingga berakibat kepada efek ransangan seksual terhadap orang yang mendengar atau penerima informasi seksual itu..
PornoaksiAdalah suatu penggambaran aksi gerakan, lenggokan, liukan tubuh, penonjolan bagian-bagian tubuh yang dominan memberi rangsangan seksual sampai dengan aksi mempertontonkan payudara dan alat vital yang tidak disengaja atau disengaja untuk memancing bangkitnya nafsu seksual bagi yang melihatnya. Pornoaksi pada awalnya adalah aksi-aksi subyek-obyek seksual yang dipertontonkan secara langsung dari seseorang kepada orang lain, sehingga menimbulkan rangsangan seksual bagi seseorang termasuk menimbulkan histeria seksual di masyarakat..
PornomediaDalam konteks media massa, pornografi, pornoteks, pornosuara dan pornoaksi menjadi bagian-bagian yang saling berhubungan sesuai dengan karakter media yang menyiarkan porno itu.Pornografi (cetak-visual)-pornoteks, Pornoaksi-pornografi (elektronik) Pornosuara- bersamaan muncul dalam media audio-visual seperti televisi, ataupun media audio semacam radio dan media telekomunikasi lainnya seperti telepon. Varian-varian porno ini menjadi satu dalam media jaringan seperti internet cybersex, cyberporno.
Konsep pornomedia meliputi:Realitas pornoyang diciptakan oleh media seperti antara lain gambar-gambar dan teks-teks porno yang dimuat di media cetak, film-film porno yang yang tayangkan di televisi, cerita-cerita cabul yang disiarkan di radio, provider telepon yang menjual jasa suara-suara rayuan porno. Proses penciptaan realitas pornoitu sendiri seperti proses tayangan-tayangan gambar serta ulasan-ulasan cerita tentang pencabulan di media masa, proses rayuan-rayuan yang mengandung rangsangan sesksual melalui sambungan telepon, penerbitan teks-teks porno dan sebagainya..
Konstruksi Sosial PornomediaKonstruksi sosial media massa (the social construction of mass media) memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam mengkonstruksi agenda pemberitaan media di masyarakat sehingga agenda itu menjadi konstruksi pengetahuan di masyarakat pada umumnya. Kekuatan konstruksi sosial pornomedia terletak pada kekuatan media massa itu sendiri sebagai media penyebaran informasi yang sangat cepat, luas, serentak, suddenly dan dapat mengkonstruksi citra yang amat berkesan terhadap obyek pemberitaan di masyarakat..
Proses konstruksi sosial pornomediamelalui tiga proses:(a)Proses eksternalisasi terhadap obyek dan proses pencabulan terjadi dengan cepat sebagai akibat dari penyesuaian diri yang sangat cepat dari masyarakat yang terbuka untuk menerima informasi baru melalui media massa termasuk infomasi-informasi pencabulan.
(b)Proses obyektivasi, dimana masyarakat informasi yang terbuka dengan pola-pola interaksi yang terbuka pula akan memudahkan terciptanya proses intersubyektif yang dilembagakan, sehingga informasi porno yang disebarkan oleh media massa, akan dengan mudah mengalami proses institusionalisasi di masyarakat, sehingga seakan informasi porno telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masayarakat itu sendiri, bahkan akan menstruktur dalam kehidupan masyarakat pada umumnya..
(c)Proses internalisasi, dimana masyarakat yang sudah terobyektivasi dengan pornomedia akan mengidentivikasikan dirinya sebagai bagian fungsional dari informasi itu sendiri, dengan demikian masyarakat akan menjadi terbiasa dengan kehidupan porno..
Aktivitas pencabulan dalam masyarakat macam ini (dimana konstruksi sosial pornomedia telah melampuai tiga tahap) telah menjadi bagian fungsional yang sangat efektif menjadi komoditas juga menjadikan masyarakat pathologis..
Alasan pornomedia sebagai kekerasan (eksplotasi) perempuan terbesar di media massa(a)media dengan sengaja menggunakan obyek perempuan untuk keuntungan bisnis mereka, dengan demikian penggunaan pornomedia dilakukan secara terencana untuk mengabaikan, menistakan dan mencampakan harkat manusia, khususnya perempuan. (b) obyek pornomedia (umumnya tubuh perempuan) dijadikan sumber kapital yang dapat mendatangkan uang, sementara perempuan sendiri menjadi subyek yang disalahkan.
(c)media massa telah mengabaikan aspek-aspek moral dan perusakan terhadap nilai-nilai pendidikan dan agama serta tidak bertanggungjawab terhadap efek-efek negatif yang terjadi di masyarakat.(d)selama ini berbagai pendapat yang menyudutkan perempuan sebagai subyek yang bertanggungjawab atas pornomedia tidak pernah mendapat pembelaan dari media massa dengan alasan pemberitaan dari media harus berimbang.(e)Media massa secara politik menempatkan perempuan sebagai bagian kekuasaan mereka secara umum.
Penelitian yang dilakukan oleh penulis:Tahun 1995 Populasi :774.000 orang remaja sekolah di SurabayaSampel : 338 (400) orangTeknik sampling AcakTeknik pengumpulan data: AngketHasil penelitian sikap seks: 18,5 % yang menerima perilaku seks diluar pekawinan
Penelitian yang dilakukan oleh penulis:Tahun 2000 Populasi :mahasiswa semester 1 di Surabaya Sampel :400 orangTeknik Sampling :insidentilTeknik pengumpulan data: Angket22% remaja mengatakan setuju seks sebelum nikah
Penelitian yang dilakukan oleh penulis:Tahun 2005 Populasi penelitian mahasiswa di Surabaya Sampel :400 orangTeknil sampling: insidentilMetode Pengumpulan data: Angket34% mahasiswa yang menerima seks diluar ikatan perkawinan.
Bahaya Pornomedia: Tingkat pertama : Merubah perilaku normal menjadi abnormal (disorder) Tingkat kedua : Meningkatkan kebiasaan menelusur dan mengkonsumsi pornomedia dan menjadilkan perilaku anomali sebagai kebiasaan Tingkat tiga : Menumpulkan pandangan tentang pornomedia dan merubah pandangan normal terhadap anomali pornomedia Tingkat empat : Mencari kepuasan pornomedia di dunia nyata Tingkat lima : Sikap terhadap pencarian kepuasan pornomedia di dunia nyata dan anomali seksual sebagai tindakan normal dan wajar (order).