E N D
Mohammad Hatta dalam Renungan Menginjak masa merdeka the politics of romanticism Hatta berubah menjadi tragedi Hatta. Kalau masa Belanda politik ini menyebabkan dia dibuang Belanda, maka dalam masa merdeka politik ini menyebabkan dia membuang dirinya sendiri ke dalam pembuangan politik. Ketika dia dilupakan orang, publik politik Indonesia juga menguncinya dalam pengasingan politik. Hanya sekali-sekali pintu itu dibuka lagi kalau bangsa ini ingin memeriksa nuraninya. Sejarah Hatta adalah a history of political exile. Kalau massa menjadi histeris pada saat wafatnya, maka semua orang, seluruh bangsa sebenarnya menjawab romantisme anakronis Hatta dengan suatu romantisme yang tidak kurang anakronisnya, yaitu melepas rindu terhadap sesuatu yang mereka sendiri tidak mampu merumuskan, sesuatu yang akan hilang dan sesuatu yang justru tidak mereka hargai pada saat dia hidup. Ketika Bung Karno meninggal pada bulan Juli 1970, penulis pribadi rasakan rasa geram yang lebih karena tidak berdaya sebagai rakyat. Pikiran yang mengusik adalah bagaimana mungkin the founding father harus menghembuskan napas terakhir di dalam pengasingan politik. Namun kalau massa menjadi histeris pada hari meninggalnya Soekarno agak lebih mudah dipahami karena Soekarno hanya hidup di tengah massa dan sebaliknya massa berubah jadi api bila di tengahnya ada Bung Karno dalam tubuhnya yang bernyawa atau dalam jasadnya yang tak bernyawa. Namun bagaimana menjelaskan histeris massa pada saat meninggalnya Bung Hatta sepuluh tahun berselang? Hatta tidak pernah memiliki kemampuan untuk menyulap massa jadi api. Ketajaman akalnya lebih sering diselimuti kekeringan analisisnya, hal yang tidak mungkin menyulut sumbu pembakar massa. Namun ketika Bung Hatta meninggal penulis juga mengambil bagian dalam rasa yang sama seperti yang dirasakan semua massa rakyat lainnya yaitu rasa hampa, an existential vaccuum. Kalau Bung Karno -dalam hidup dan mati- mengandung karisma untuk mengubah massa menjadi api, wafatnya Bung Hatta dalam ketenangan mengubah massa jadi hampa. Lantas ke sana bayu bertiup memenuhi hukum alam biasa. Namun, justru karena Hatta di ruang hidup hampa yang menghisap bayu maka bayu pun berubah jadi badai. Mungkin itu yang bisa menjelaskan histeris massa padat saat Bung Hatta dikuburkan. Pribadi Hatta adalah pribadi kompleks penuh paradoks yang tidak dia selesaikan dalam hidupnya. Dia orang pusat yang gelisah bila daerah bergolak. Kegelisahannya bukan terhadap perpecahan suatu bangsa tetapi sebaliknya yaitu kesatuan akan menjadi kesatuan berdarah dan menyiksa sepanjang masa. Penyelesaian pusat terhadap persoalan daerah hanya akan menghasilkan kebersatuan yang tidak memberikan peluang kepada tumbuhnya kekuatan lokal yang justru diperlukan oleh suatu negara kesatuan. Dia orang yang percaya bahwa kekuatan bukan terletak dalam keseragaman karena persatuan yang demikian disebutnya “persatuan”. Hanya dengan menumbuhkan keragaman suatu nasion bisa bertumbuh kuat. Simpatinya terhadap daerah berdiri atas dasar ini. Karena itu dialah sebetulnya orang daerah yang berdiri sekukuh-kukuhnya di pusat. Dia seorang demokrat yang tidak sabar. Dia orang Barat yang rasional dan demokratis di dunia Timur yang tidak bisa dipahami akal tetapi hanya bisa didekati rasa, seorang romantik di dalam dunia yang penuh disilusi. Romantikanya itulah yang menyebabkan dia dibuang Belanda, dibuang oleh dirinya sendiri, dan terakhir dibuang oleh bangsanya sendiri. Kalau sekiranya “Sawito Affair” adalah perjalanan politik terbuka terakhir bagi Bung Hatta, maka politik romantisme dan romantisme terakhir itu membuka kembali pintu besi yang lama itu jua -mungkin yang sama dengan cat baru- yakni pintu pengasingan politik dan politik pengasingan untuk Hatta. Dari sana dia tidak pernah kembali! Daniel Dhakidae Kepala Litbang Kompas Sumber: Bung Hatta, Penerbit Buku Kompas, Oktober 2003.