40 likes | 300 Views
Review: Bung Hatta Pribadinya dalam Kenangan Prakata Penulis:
E N D
Review: Bung Hatta Pribadinya dalam Kenangan Prakata Penulis: Saya ingin menuliskan review mengenai sebuah buku tentang tokoh yang luar biasa. Judulnya adalah “Bung Hatta - Pribadinya dalam kenangan”. Buku ini disunting oleh sang putri tercinta Bung Hatta, Meutia Farida Swasono. Serta diterbitkan oleh penerbit Sinar Harapan dan Universitas Indonesia. Buku ini dimulai dari catatan-catatan keluarga terdekat Bung Hatta. Tak heran, keluarga sebagai satuan terkecil sebuah negara. Pembahasan seorang tokoh besar kenegaraan akan mudah dicerna bila dimulai dari satuan keluarga terlebih dahulu. Ini menurut saya. Kita akan lebih mudah mengenal sosok Bung Hatta secara pribadi, apa yang dipikirkan dan dirasakan, bagaimana menangani keluarga dan anak-anaknya. Bagaimana memberikan contoh teladan, menyelenggarakan lingkungan keilmuan bagi anak-anaknya sejak kecil, memberikan praktik disiplin dan jiwa besar,.. dan masih banyak lagi. Saya belum khatam membaca buku ini, baru 10 artikel dari BAB 1 ( total ada 5 BAB ). Sebelumnya, saya pikir saya sudah menghabiskan 10 BAB. Menimbang dan mengingat hasil diskusi di sini, saya coba untuk menuliskannya, sebatas yang saya mampu. Mohon maaf akan bias informasinya ya… Buku ini disusun dari 84 artikel yang ditulis oleh orang-orang yang berbeda, yang menyimpan kenangan pribadi terhadap Bung Hatta. Baik dari keluarga, rumah tangga, rekan seperjuangan, rekan akademis sampai kepada dokter dan perawat. Karena itu, membaca buku ini menjadi begitu menarik, jauh dari kesan dokumenter kaku yang penuh dengan tanggal-menanggal. Lebih seperti membaca surat mengenai keluarga yang kita kenal. Mudah dicerna! Kesan saya: amazing. Bung Hatta adalah standing ovation bagi negeri ini. Berikut ulasannya: Baik lawan maupun kawan menaruh sikap hormat terhadap Bung Hatta. 1957, Bung Hatta berkunjung ke RRC atas undangan Pemerintah RRC. Di sana, beliau dan rombongan disambut oleh ribuan rakyat RRC. Rupanya RRC masih memandang Bung Hatta sebagai the great son of his country. Terbukti dengan level penyambutan yang seharusnya diberikan kepada seorang kepala negara, dan ternyata diberikan juga kepada Bung Hatta. Bahkan, Perdana Menteri Chou En Lai sendiri yang menyambut beliau, walaupun saat itu Bung Hatta sudah tidak lagi menjabat. Dan lagi, mereka tahu bahwasanya Bung Hatta menentang prinsip-prinsip PKI di negara Indonesia. Begitupun halnya dengan Jepang dan Belanda, sekalipun berada pada pihak yang berseberangan, rasa hormat itu begitu nampak ditunjukkan kepada Bung Hatta. Teguh Pada PendirianKarena Bung Hatta menentang ide Bung Karno untuk memasukkan unsur komunisme dalam negara, maka dengan tegas beliau meletakkan jabatannya sebagai wakil presiden. Ini masuk akal, mengingat semua saran dan masukan yang diberikan tidak didengar atau dilaksanakan. Apa gunanya wakil presiden yang dianggap tidak bisa melaksanakan fungsinya ? Yap, pelajaran moral buat kita sekarang. Bayangin ambtenaar saat ini yang sibuk mempertahankan posisinya saat terseret masalah..
Bung Hatta Teguh Memegang Rahasia NegaraPada waktu Oeang Repoeblik Indonesia mengalami pemotongan (tahu sendiri berapa ribu rupiah dipotong cuma menjadi sekian rupiah), Bung Hatta di komplain oleh istri dan adik iparnya. Jawab beliau : “Yuke, seandainya Kak Hatta mengatakan terlebih dahulu kepadamu, nanti hal itu pasti akan disampaikan kepada ibumu. Lalu kalian berdua akan mempersiapkan diri, dan mungkin akan memberitahu teman-teman dekat lainnya. Itu tidak baik! Kepentingan negara tidak ada sangkut pautnya dengan usaha memupuk kepentingan keluarga. Rahasia negara tetap rahasia negara..” {huuu.. coba bayangin seandainya hal ini menimpa kita di zaman sekarang, apalagi berurusan dengan duit..}Bung Hatta mirip GandhiSehari setelah proklamasi kemerdekaan, Bung Hatta ditanya oleh salah seorang kerabatnya yang khawatir ,”Oom, bagaimana kita menghadapi Belanda setelah Proklamasi ini? Pasti Belanda tidak begitu saja membiarkan kita merdeka. Kita tak punya senjata.” Jawab Bung Hatta dengan penuh keyakinan, ” Ada macam-macam jalan ! Kalau perlu senjata kita adalah pemboikotan dan pemogokan !” Manajemen WaktuBung Hatta terkenal sangat disiplin dalam urusan waktu. 24 jam dalam sehari bisa diaturnya dengan begitu efektif dan efisien. Sudah bukan rahasia lagi bila beliau marah pada orang yang terlambat atau tidak menepati janjinya untuk bertemu dengan beliau. Biarpun ningrat, berpangkat atau rakyat biasa, kalau telat, pasti ditolak. Dalam hal kedisiplinan, Bung Hatta memberikan praktik yang jelas kepada anak-anaknya. Lucunya, bahkan Jonkheer, sang kucing kesayangan pun seolah paham akan disiplin waktu ini. Kapan Bung Hatta pulang kerja, mandi, makan, dan seterusnya. Lingkungan KeilmuanKonon perpustakaaan Bung Hatta merupakan perpustakaan pribadi terlengkap dan terbesar di masa itu. Buku-bukunya sudah mulai dikumpulkan sejak beliau berusia 19 tahun. Beliau sangat menyayangi buku dan ilmu. Dan akan marah pada orang yang kurang menghargainya, seperti melipat halaman buku di tengah-tengah proses membaca. Honoris CausaWalaupun beliau adalah konseptor kebijaksanaan dan filsafat perekonomian negara (khususnya pasal 33 UUD 1945), namun FE UI menolak memberikan gelar HC kepada Bung Hatta, malah FH UI yang memberikan gelar tersebut. Alasan penolakannya, seperti yang disampaikan Dekan Ali Wardhana, bahwa teori ekonomi Bung Hatta telah ketinggalan zaman. (Sebuah pembenaran yang cukup aneh). Walhasil Bung Hatta menerima gelar HC dalam disiplin ilmu hukum, bukan ekonomi! Bung Hatta sendiri tak pernah mengetahui alasan ini. Tak ada yang sampai hati untuk mengabarkannya kepada beliau. Stovia1920, Bung Hatta berada di Jakarta untuk bersekolah di Prins Hendriks School (Sekolah Menengah). Di sana Bung Hatta bertemu dengan beragam pelajar, termasuk STOVIA dan memasuki dunia organisasi. Ya, Jong Sumatranen Bond. Dalam kedudukannya sebagai bendahara, Bung Hatta memperlihatkan ketegasan sebuah disiplin yang tidak kenal kompromi. Beliau menyiarkan daftar mereka yang lama menunggak uang langganan, tak peduli apakah statusnya pembesar masyarakat atau bukan. Tentu saja ini mengakibatkan kehebohan luar biasa, sekaligus memberikan surplus organisasi sebesar 700 gulden.
Perjuangan di Negeri Belanda Tulisan-tulisan Bung Hatta dalam Gedenkboek (Buku Peringatan) di tahun 1923 dalam memperingati 15 tahun Indonesische Vereeniging dan majalah Indonesia Merdeka selalu tajam dan bermutu tinggi. Bahkan tak sungkan membuka polemik dengan J.E Stokvis yang terkenal dari Partai Sosialis - Demokrat mengenai gunanya non-koperasi, dengan pemerintah kolonial Belanda tentang kemerdekaan Indonesia. (Bung Hatta menguasai empat bahasa asing secara aktif : Belanda, Inggris, Jerman, dan Prancis). Yang lebih mengesankan adalah pidatonya saat diangkat menjadi Ketua Perhimpunan Indonesia (1926) yang berjudul Economische Wereldbouw en Machtstegenstellingen (Susunan Ekonomi di Dunia dan Pertentangan-pertentangan Kekuasaan). Bayangkan, saat itu usia beliau baru 23 tahun! Dan pidato ini seolah menjadi pendant disertasi Mr. F.M Baron van Asbeck, Onderzoer naar de Juridische Wereldbouw (Penelitian mengenai Susunan Hukum di Dunia) (yang nantinya kemudian dimuat dalam buku Verspreide Geschriften (Kumpulan Karangan) Bung Hatta di tahun 1952). Ini membuktikan betapa tinggi mutu kecerdasan Bung Hatta di usianya yang ke 23 itu! Satu hal yang secara gigih dipertahankan oleh Bung Hatta (dan rekannya Mas Bardjo) adalah soal kebangsaan (nasionalisme) yang sangat penting artinya. Saat itu Ernest Renan memiliki teori nasionalisme yang ditulis berjudul Qu’uest ce qu u’une nation (Apakah Bangsa Itu) di Universitas Sorbonne, Paris (Penggemar LP pasti tahu universitas ini). Teorinya (subjektif) berbunyi, bukan tanda-tanda fisik yang dapat disaksikan oleh pancaindra (objektif) seperti persamaan ras, keadaan geografis yang menentukan adanya suatu bangsa (nation) melainkan semata-mata terdapatnya kehendak bersama untuk memiliki suatu negara, berdasarkan pengalaman menerima nasib yang sama dalam suka dan terutama dalam duka, sehingga timbul keinginan untuk hidup bersama-sama untuk selama-lamanya senasib dan sepenanggungan. Inilah yang terjadi pada bangsa Indonesia yang menuntut haknya untuk menentukan nasib sendiri. (sebaliknya, ditempat dan waktu yang lain, Bung Karno berpendapat sebaliknya. Teori Renan sudah usang, hanya geopolitislah satu-satunya faktor yang menentukan). Bung Hatta menghadiri Kongres Menentang Imperialisme dan Penindasan Kolonial (10-15 Februari 1927) mempertahankan dengan gigih hak bangsa Indonesia untuk merdeka. Kehadirannya dalam kongres itu, ditambah dengan tulisan-tulisannya yang selalu menyerang Belanda, membuat ia (bersama Nazir Pamontjak, Ali Sastroamidjojo, dan Abdul Madjid Djojoadiningrat) ditangkap dan diadili di Den Haag. Di sini beliau memperlihatkan hal yang mengesankan lagi: pidato pembelaannya (pledooi) yang bejudul Indonesia Vrij (Indonesia Merdeka) menjadi dokumen penting mengenai busuknya imperialisme yang patut dipelajari hingga sekarang. Dokumen ini setara dengan pledooi Bung Karno yang berjudul Indonesia Menggugat (1930). *** Demikianlah, buku ini masih mengulas banyak mengenai periode kehidupan Bung Hatta. Banyak sekali episode yang tak mungkin saya kupas habis di sini. Mengenai PKI, pembubaran PNI, konflik Dwi Tunggal, pertempuran Surabaya, pasca menjabat, menjadi dosen, mendidik kader (Des Alwi adalah didikan Bung Hatta sejak kecil - di Bandaneira), mencetak blue print perjuangan, karya-karya ilmiahnya, dan masih sangat banyak sekali. Sungguh sebuah buku yang luar biasa, dan saya rekomendasikan untuk memiliki dan menyerapnya. (Sungguh, saya berharap bahwa buku ini seharusnya diapresiasi sejak bangku sekolah! Banyak hikmah mengenai pembentukan karakter manusia Indonesia dalam buku ini, yang harusnya diukirkan pada generasi muda kita.)
Akhirulkalam, walaupun Bung Hatta telah mendahului kita, semoga Bung Hatta ini bukanlah Bung Hatta terakhir yang terlahir bagi negeri ini. Semoga banyak Bung Hatta-Bung Hatta lain yang akan lahir dan bersinar bagi Indonesia. Amiin dan Merdeka !! Oleh: Dadan Bung Hatta Pribadinya Dalam Kenangan Penulis: Meutia Farida Swasono Kategori: Biografi Tahun Terbit: 1981 Bahasa: Indonesia Penerbit: Sinar Harapan dan Universitas Indonesia ISBN: am103512w Halaman: 727 Berat Buku: 885,00 gram Cover: Hard Cover Dimensi: 22×15,5 Harga: Rp 87.500 (bekas)