350 likes | 795 Views
MEMBANGUN WAWASAN BHINEKA TUNGGAL IKA Dengan Nilai-nilai Keagamaan. Waryono Abdul Ghafur Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga Dipresentasikan pada tanggal 4 Agustus 2009 Lokakarya Pendidikan Agama “Membangun Wawasan BTI Melalui Penanaman Nilai-nilai Agama” Interfidei.
E N D
MEMBANGUN WAWASAN BHINEKA TUNGGAL IKADengan Nilai-nilai Keagamaan Waryono Abdul Ghafur Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga Dipresentasikan pada tanggal 4 Agustus 2009 Lokakarya Pendidikan Agama “Membangun Wawasan BTI Melalui Penanaman Nilai-nilai Agama” Interfidei
Realitas Empirik Indonesia Sejak awal didirikan/merdeka, Indonesia sudah terdiri dari multiras, etnik, suku, agama, dan kepercayaan yang penduduknya tersebar di kurang lebih pada 17.000 pulau. Itulah Bhineka Tunggal Ika (unity in diversity/ E Pluribus Unum). Semuanya diakui dan menjadi bagian tak terpisahkan dari Indonesia, meski kadang tak cukup mendapat perlindungan
Dari realitas itu, maka: • Sejak awal pula, negara-bangsa ini tidak pernah dimaksudkan hanya untuk warga negara-bangsa dengan agama/kepercayaan tertentu dan etnis tertentu juga. • Ini tentu saja berbeda misalnya dengan Pakistan yang sejak awal didirikan adalah sebuah negara bagi umat Islam sbg hasil dari penerapan teori dua bangsa (two-nation theory) yang digagas oleh Ali Jinnah. • Dengan demikian tidak Bhineka Tunggal Ika. • Meskipun demikian, tidak ada realitas yang benar-benar tunggal.
BTI: Kehendak Siapa? • Bukan saja kehendak sejarah dan sosial, tapi merupakan kehendak Tuhan. Dalam al-Qur’an, Allah berfirman: “Wahai manusia! Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal…(QS. al-Hujurat [49]: 13)
Lanjutan: • Pada ayat yang, Allah juga berfirman: Dan sekiranya Allah menghendaki, niscaya Dia jadikan mereka satu umat,…(QS. asy-Syura [42]: 8). • Maka, BTI adalah realitas yang tidak bisa ditolak atau dinegasikan. Ia harus diterima dan disikapi secara bijak, dimulai dengan proses saling mengenali (lita’a>rafu>) bukan menjauhi, menghindari dan apalagi memusuhi atau berusaha menyeragamkan atau menghilangkan heterogenitas.
Karena itu, dalam rumusan tujuan NKRI ditegaskan bahwa Tujuan didirikannya Indonesia ini adalah: • Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia (dengan keanekaragamannya). • Memajukan kesejahteraan umum • Mencerdaskan kehidupan bangsa • Ikut serta melaksanakan ketertiban dunia
Lalu bagaimana aturan mainnya? • Perlu berangkat dari asumsi yang benar mengenai anak manusia. • Apa saja asumsinya yang dihidupkan? • Selalu positif • Memberi lingkungan yang mendukung tersemainkannya nilai-nilai positif • Mendukung
Asumsi pertama Nilai-nilai universal mengajarkan untuk menghargai orang lain dan bahwa tiap manusia memiliki harga diri. Belajar menikmati nilai-nilai tersebut menciptakan kesejahteraan bagi tiap individu dan masyarakat luas
Asumsi kedua Tiap anak-anak peduli akan nilai-nilai dan memiliki kapasitas untuk berkarya dan belajar secara positif bila disediakan kesempatan
Asumsi Ketiga Anak-anak akan tumbuh berkembang dalam suasana bermuatan nilai di lingkungan positif dan aman yang saling menghargai dan memperhatikan; dalam lingkungan seperti itu anak-anak dipandang mampu belajar membuat pilihan-pilihan sosial
Ingat Tujuan Agama (Maqa>shidus Syari’<ah) • Memelihara/menjaga nyawa (hifdzun nafs) • Memelihara/menjaga akal (hifdzul ‘aql) • Memelihara/menjaga kelangsungan generasi (hifdzun nasl) • Memelihara/menjaga kehormatan (hifdzul ‘ird) • Menjaga/memelihara harta (hifdzul ma>l) • Menjaga/memelihara lingkungan (hifdzul bi<’ah) • Menjaga agama (hifdzud di<n)
Dalam bahasa yang lain, menurut az-Zarqani (penulis Mana>hilul ‘Irfa>n), Tujuan/cita-cita agama seperti terdapat dalam al-Qur’an adalah: • Isla>hul ‘aqa>’idi • Isla>hul ‘iba>dati • Isla>hul akhla>qi • Isla>hul Ijtima>’i (perbaikan segi kemasyarakatan) • Isla>hus Siya>sati aw hukmid dauli • Isla>hul Ma>li (perbaikan segi ekonomi) • Isla>hun Nisa>’i (perbaikan kedududkan perempuan) • Isla>hul Harbi (perbaikan mengenai peperangan) • Muha>rabatul Istirqa>qi (memerangi perbudakan) • Tahri<rul Uqu>li wal Afka>ri (memerdekaan akal dan pikiran)
Untuk terwujudnya tujuan tersebut, maka Islam mengajarkan Prinsip Relasi Sosial Dasar Pijakan: • Manusia adalah makhluk yang termulia (QS.al-Isra’ [17]: 70) • Manusia tercipta dengan ahsani taqwi<m(QS. at-Tin [95]: 4) • Manusia lahir dalam keadaan fithri (yu<ladu ‘alal fitrati) yang dalam perkembangannya dipengaruhi oleh faktor lingkungan: Hadis • Manusia sebagai satu kesatuan (nafsiw wa>hidah): QS. an-Nisa’ [4]: 1 • Manusia tercipta dan memiliki asal yang sama (min tura>b) • Manusia sebagai saudara (ukhuwah insa>niyah/basyariyah) • Manusia dalah makhluk pedagogis/educandum yang dapat dididik dan mendidik (QS. ar-Rum [30]: 30)
Lanjutan: • Manusia sebagai hamba Allah (QS. adz-Dzariat [51]: 56 dan khalifah-Nya (Qs. al-An’am [6]: 165) • Manusia itu setara (musa>wa), kecuali karena kualitas taqwa/prestasinya (QS. al-H{ujura>t [49]: 13 • Semua manusia menerima perjanjian primordial (QS. al-A’raf [7]: 172) • Manusia makhluk interdepedensi (QS. al-’Alaq [96]: 2, min ‘alaq) • Memiliki beban dan tanggungjawab yang sama untuk mewujudkan kehidupan yang baik (h{aya>tan thayyibah) dengan kerja-kerja positif (‘amalan sha>lih{a) (QS. an-Nah{l: 97) • Persamaan penghargaan di sisi Allah (QS. al-Ahza>b [33]: 35)
Oleh karena itu: Manusiasudah seharusnya • Saling mengenal (ta’a>ruf) • Saling menyayangi (irahmu> man fil ard) • Saling bekerjasama dan membantu (ta’a>wanu> ‘alal birri wat taqwa>) (QS. al-Ma>’idah [5]: 2) • Bermitra (QS. at-Taubah [9]: 71), karena manusia adalah pasangan (azwa>j) (QS. Ya>sin [36]: 36) • Saling menghormati (tahiyyah) (QS. an-Nisa>’:86) dan menghargai (tauqi<<r), bahkan lebih dari yang kita terima.
Lanjutan • Saling mengingatkan dengan bahasa yang tidak menyakitkan (tawas>aw) • Musyawarah (QS. as-Syu>ra> [42]: 38) • Perhatian dan empati (ihtima>m) Untuk itulah Islam: • Anti kekerasan dan pengrusakan (mashlah{ah)(QS. al-Anfa>l [8]:1; al-Ma>’idah [32]: 32) • Pantang menghina, merendahkan atau memberi label negatif (taskhi<r dan tana>bazu>) (QS. al-H{ujura>t [49]: 11)
Lanjutan • Menjauhi prejudice (su>’udzan), mencari-cari kesalahan orang lain (tajassus) dan ghibah (QS. al-Hujurat [49]: 12) • Yang kuat melindungi yang lemah (QS. an-Nisa>’: 75). • Tidak berperilaku yang merugikan diri dan orang lain (QS. al-Baqarah [2]: 279) • ‘Adalah/adil (QS. an-Nah{l: 90, al-H{ujura>t: 9, an-Nisa>’: 58) • Bersikap ihsa>n (QS. an-Nahl [16]: 90) terhadap semua
Lanjutan • Bersikap moderat (tawa>suth) dan seimbang (tawa>zun) (QS. al-Baqarah [2]: 143 dan al-Ahzab [33]: 35) • Bersikap toleran (tasa>muh) terhadap perbedaan (QS. al-Mujadilah [58]: 11) • Memberi kebebasan yang bertanggungjawab (al-hurriyah) (QS. al-Kahfi [18]: 29)
Beberapa ajaran di atas adalah apa yang dikenal dengan Islam rahmatan lil’a>lami<n, yaitu: • Islam yang menjunjung tinggi nilai-nilai dasar kemanusiaan tanpa membeda-bedakan. • Islam seperti inilah yang universal dan qat’i yang menjadi referensi bagi Islam yang partikular dan lokal yang muncul dari sebuah mazhab penafsiran terhadap teks-teks keagamaan. • Islam yang partikular dan lokal harus tunduk pada Islam yang universal dan qat’i.
Kita Cermati model Epistemologi Tafsir 1. Tafsir sebagai Proses: al-Qur’an harus terus dikaji ulang dan ditafsirkan. Nasr Hamid menyatakan bahwa al-Qur’an adalah teks bahasa yang secara mandiri tidak mampu melahirkan peradaban apapun, tanpa adanya dialektika antara akal manusia dengan teks dan realitas sendiri. Ini artinya, al-Qur’an sebagai mintij ats-tsaqafah (produsen peradaban) Sebagai proses: tafsir harus disikapi secara kritis, sah untuk dipertanyakan, tafsir bersifat nisbi, relatif, dan temporer
2. Tafsir sebagai Produk • Tafsir merupakan hasil atau produk pemikiran (mumtaj al-fikr) dari seorang mufassir sebagai respon terhadap kehadiran kitab suci. • Sebagai produk: tidak sakral, bersifat historis, relatif dan tentatif (qa>bilun linniqa>s wat taghyi<r)
Curah Pendapat Pertanyaan Kritis • Corak penafsiran mana yang relevan dengan kondisi saat ini? • Apakah corak tafsir tersebut ada dalam tradisi Islam? • Apakah corak tafsir tersebut semuanya diakui dalam Islam?
Jawabnya: • Ada dan diakui, tapi tidak semuanya relevan dan kontekstual dengan sekarang. • Karena itu, hasil pemikiran atau tafsir tersebut tidak sepantasnya disakralkan. Apalagi kalau bertentangan dengan Isla>m Rahmatan lil’a>lami<n.
Demikian • Semoga bermanfaat dan kita semua dengan cara masing-masing dapat berkontribusi untuk mewujudkan wilayah yang aman dan damai untuk semua anak manusia apa pun agama, kepercayaan, suku, etnis atau rasnya. • Wassala>mu’alaikum warahmatulla>hi wabaraka>tuh.