110 likes | 342 Views
IT'S TRUE Siang ini, udara panas serasa membakar pori-pori kulit. Dari kejauhan, fatamorgana menari-nari di atas jalanan aspal dan bergerumul diantara lalu lalang kendaraan yang melintasi jalan. Langit tampak membiru dengan di hiasi awan-awan
E N D
IT'S TRUE Siang ini, udara panas serasa membakar pori-pori kulit. Dari kejauhan, fatamorgana menari-nari di atas jalanan aspal dan bergerumul diantara lalu lalang kendaraan yang melintasi jalan. Langit tampak membiru dengan di hiasi awan-awan putih bersih bak kapas terbang. Namun karena sinar mentari yang menusuk mata. Akupun harus memicing untuk dapat menatap langit yang silau itu. Sementara itu, kulirik dari jendala kontrakanku, tampak mahasiswa lalu lalang lewat. Ada yang berangkat ke kampus. Ada pula yang pulang dari kampus. Maklumlah, daerahku ini adalah kawasan komplek mahasiswa. Jarak komplek dengan kampus hanya sekitar 500 meter saja. Kulirik lagi para mahasiswa ataupun mahasiswi yang lewat. Dari arah selatan kulihat seorang mahasiswi yang sangat ku kenal sedang menenteng buku-buku tebal. Dia adalah Ayusita. Mahasiswi fakultas syariah progam Al-Ahwal al-syakhsiyah atau hukum perdata Islam. Sepertinya dia begitu sibuk. Itu tergambar dari raut mukanya yang sangat serius. "Kau sudah baikan Rif?" suara Hamdan mengagetkanku "Astagfirulloh, kamu ngagetin aja Ham. Alhamdulilah perutku tak sakit lagi Cuma tubuhku masih lemas." Jawabku sudah tiga hari ini aku tak berangkat ke kampus. Karena terserang penyakit gerd(gastroesophageal reflux disease). Awalnya aku kira terserang penyakit mag. Karena kurasa perih dan mual di lambung. Tapi saat memeriksakan diri ke dokter. Dokter bilang itu gerd. Tanda-tandanya memang sama dengan penyakit mag. "memang pemicunya adalah asam lambung. Tapi gerd itu adalah asam lambung yang menjalar ke kerongkongan. Bila tidak di tanggulangi dengan cepat bisa memicu kanker. Makanya Rif, jangan asal minum obat mag dulu. Periksakan aja dulu. Untung penyakitmu ini baru level A. kalau sudah level D bisa bahaya," kata Dokter itu. Sore harinya, aku duduk-duduk santai di teras kontrakanku sambil membaca buku La Tahzan yang fenomenal itu. Saatku palingkan pandangan, kulihat lagi Ayusita berjalan dengan menenteng buku-buku tebal. Tapi kali ini kulihat dia lebih santai. "Ayusita," panggilku Ayusita menghentikan langkahnya dan berjalan ke arahku. "Arif," ucapnya
"Sepertinya sibuk sekali?" "Ya begitulah. Oh ya, bagaimana keadaanmu? Kau sudah sembuh ya?" "Alhamdulilah." Ayusita seperti biasa, masih perhatian seperti dulu. "Alhamdulilah kalau begitu ya Rif, aku pulang dulu ke kontrakan ya? Capek banget ni. Assalamualaikum," pamit Ayusita "Wa'alaikum salam," aku tersenyum. Aku masih ingat ketika pertama kali Alloh mempertemukanku dengan Ayusita. Pertama kali aku mengenal Ayusita. Adalah ketika kami mengikuti les matematika di rumah guru SMA ku, Bu Aini namanya. Ayusita yang selalu tampak anggun dengan jilbab besar dan baju yang serba rapat itu, kukira adalah Muslimah kebanyakan yang selalu menjaga jarak dengan pria hip hop sepertiku. Tapi ternyata dugaanku salah. Dia begitu ramah,santun,smiler dan tak sungkan untuk menyapaku jika bertemu. Tak seperti temannya, Laila. Dia selalu terlihat menjaga jarak dengan pemuda sepertiku. Mungkin di otaknya berkecamuk perspektif negative tak karuan tentangku. Pria bejat, korban westernisasi, rajin nonton film porno, berpakaian aneh. Dan sering kulihat dia membuang muka ketika bertemu denganku. Mungkin dia sering melihatku nongkrong di perempatan jalan. Main gitar,ngrokok,suit-suit cewek yang lewat dan apalah itu. Waktu itu dirumah Bu Aini. Jalan panjaitan nomor 35 itu, di kebun asri belakang rumah yang tertata dengan rapi dan indah macam bunga-bunga. Bunga Aglaonema terbaris rapi di sudut utara, sementara bunga Peperomia berada anggun melingkar di sebelah timur, dan bunga Nervilia di tata bertingkat di sebelah barat. Dan kami, para murid yang belajar ilmu hitung yang di gubah Al-kwarizmi dan Archimedes itu, duduk di antara bunga-bunga tadi dan melongo dengan penjelasan Bu Aini. Saat kami diberi tugas untuk mengerjakan soal-soal secara mandiri. Inilah saat yang kutunggu tunggu. Biasanya Ayusita yang biasa ku panggil Sita itu, selalu bersedia membantuku jika ku butuh bantuan. "Apa yang kau tak paham Rif?" "Yang ini Sit. Susah banget," jawabku biasanya Sita akan segera memberi jawaban yang indah.
"Ini namanya Integral tak tentu Rif. Suatu rumus turunan fungsi akan di peroleh beberapa fungsi asal yang berbeda konstantanya. Supaya lebih mudah kamu beri lambang C. ini konstanta integrasi." Aku hanya tersenyum dengan penjelasannya. Suaranya seintah tiupan angin malam yang menggetarkan jiwa. Wajahnya teduh bak lentera yang menyinari kegelapan yang mencekam. Kegelapan yang mencekam itu mungkin adalah hidupku. "Coba lihat ini Rif, f(x)=8x3. fungsi f(x) ini bisa kamu cari dengan cara ini f(x)={f(x)dx={8x3dx nah jadi 8/3+1 x3+1+c,' lanjut Ayusita Kadang aku berfikir. Apa yang ada di benak Ayusita tentang pria sepertiku? Kenapa dia bisa begitu dekat denganku seperti keakrabannya dengan teman-teman rohisnya?. Padahal dia tahu jelas tentangku. Anak broken home, pecinta kebudayaan barat, penganut liberalisme dan korban dari arus globalisasi yang mengancam. Dan suatu kesempatan, Alloh memberiku kesempatan untuk mempertanyakan itu semua pada Ayusita. Saat itu, dia tengah duduk membaca buku the true power of love karangan Imam Ghazali bersama teman dekatnya Lailia yang sangat illfil denganku itu. Aku mendekati Ayusita dan lantas mempertanyakan pertanyaan itu. "Kamu ini ngomong apa sih Rif?" jawab Ayusita Sementara Lailia semakin menampakkan muka ingin muntah melihatku. dan Ayusita menutup bukunya lalu mengumbar senyum. Selanjutnya menjelaskan lagi padaku. "Bisa akrab dengan semua orang itu indah Rif. Bukankah kita itu sama? Dan belum tentu pula di mata Alloh aku ini lebih baik darimu kan? Nggak ada yang bisa kusombongkan Rif," "Tapi kan kau tahu Sit, aku ini .." "Udahlah Rif. No body's perfect. Just don't worry. Aku akan tetap menjadi temanmu. Aku juga nggak ingin jadi Al-mutakhayyilat," "Apa itu Sit?' "Al-mutakhayyilat adalah wanita-wanita yang bangga atas dirinya sendiri dan menyombongkan diri. Al-khyyala' itu adalah sinonim dari kata al ujub dan al-kibr yang berarti keangkuhan dan kesombongan. Aku nggak ingin jadi orang sombong Rif," jelas Ayusita Aku terperangah mendengar kata-kata Ayusita. Sungguh beruntung rasanya aku di pertemukan Alloh dengan wanita itu. Yang selalu ramah dengan semua orang, senyumannya indah dan bisa memadamkan api amarah serta membawa perdamaian.
Dan kini, kami telah menjadi mahasiswa. Kami memang satu universitas. Namun berbeda fakultas. Aku di fakultas IP progam bahasa dan sastra Indonesia, sementara Ayusita di fakultas hukum syari'ah. Sampai saat ini pun hubungan kami masih berjalan sangat baik. Setelah Alloh mempertemukanku dengan Ayusita. Aku telah mengalami banyak perubahan. Yang biasanya hobi dugem dan nongkrong tak jelas, kini telah sirna. Yang awalnya malas mempelajari ilmu agama, kini aku mulai mendapat hidayah untuk mempelajarinya. Itu karena Alloh mempertemukanku dengan muslimah hebat seperti Ayusita. Sebenarnya dulu aku memiliki teman pesantren yang cukup banyak. Tapi mereka cenderung jaga jarak dengan orang sepertiku. Mungkin takut terpengaruh atau apa. Tapi mungkin pula Alloh mempertemukanku dengan Ayusita untuk menyampaikan pesan ini. KAMU MASIH PUNYA HARAPAN UNTUK MENJADI ORANG BAIK ARIF. Keesokan harinya, akhirnya aku bisa berangkat ke kampus. Meski tak ada jam kuliah, tapi cukuplah aku mengobrak abrik perpustakaan kampus karena tugas yang di limpahkan dosenku, Prof.Dr. Syamsir Zuhri, sudah menggunung. Aku duduk di kursi dekat jendela. Menghadap kearah Bu Ayu, penjaga perpustakaan itu. Di deretan kursi samping kananku sudah penuh oleh Mahasiswa taupun Mahasiswi. Mungkin tugas mereka juga menggunung. "Assalamu'alaikum,' suara perempuan menyapaku "Aku mendongakkan kepala yang daritadi menunduk Karena hendak mencatat bab-bab penting dari buku-buku yang telah susah payah aku cari dari tadi. "Wa'alaikum salam," jawabku Ternyata Perempuan itu adalah Ayusita yang tengah berdiri di depanku bersama temannya. Karena semua kursi sudah penuh, hanya tinggal dua kursi di depanku saja. 'Boleh aku duduk disini?" pintanya "Boleh lah, perpustakaan ini kan bukan milikku saja," jawabku sedikit bercanda Ayusita dan temannya duduk di depanku. Kulihat dia membawa buku berjudul women. Tak seperti biasa. Biasanya kulihat ia membawa buku-buku tebal seperti
peradilan Islam,hakim-hakim dalam Islam, ilmu hukum, hukum syariah dan apalah itu pokoknya tentang hukum. "Kayaknya sibuk banget Rif?"Tanya Ayusita "Iya, maklumlah Sit, tiga hari nggak ngapa-ngapain. La kamu? Tumben nggak bawa buku hukum?" tanyaku sambil tersenyum "Alhamdulilah sudah selesai Rif tugasku selama seminggu ini. Sekarang santai aja dulu," jawabnya "Wah hebat banget dah selesai?" Ayusita hanya tersenyum dan mulai membaca bukunya. Saat tangannya membuka buku itu, tak sengaja aku melihat sebentuk cincin tersemat di jari manisnya. Cincin yag tak biasa kulihat. Cincin itu di hiasi dengan hiasan hati yang sampingnya berlubang dan membentuk tanda panah. Cincin itu sepertinya memiliki pasangan. "Cincin kamu bagus juga?" komentarku Ayusita tersenyum dan pipinya kemerah merahan. Lalu ia menjawab. "Alhamdulilah kalau begitu Rif, ini cincin khitbah." Aku terkejut. Cincin khitbah? Siapa gerangan orang yang melamarnya? "Tiga hari yang lalu, Ustad Yahya melamarku Rif," lanjut Ayusita "Ustad Yahya?" "Iya Ustad Yahya." "Ustad Yahya yang kepala Madrasah Ibtidaiyah Darusslam itu?" "Iya kenapa?" Aku kaget tak alang kepalang. Ustad Yahya adalah seorang duda yang sudah memiliki tiga putra. Dan bila dilihat dari faktor usia, Ustad Yahya 16 tahun lebih tua dari Ayusita. Apa yang ad di otak Ayusita sebenarnya. "Kenapa Rif? Aku tahu kamu pasti terkejut Rif. Iya kan?" Aku tertunduk. Entah mengapa kata-kata Ayusita tadi seperti sebuah duri yang menusuk dada. Sakit rasanya dada ini. "Ke .ke napa nggak ya .yang le ..lebih mu .mu .da?" tanyaku dengan terbata-bata Ayusita kulirik tersenyum. Sementara aku masih menundukkan kepala.
"Iya sih Rif. Tapi Ustad Yahya itu lebih dulu melamarku dan aku tak punya alas an untuk menolaknya." "Tak punya alasan untuk menolaknya?" "Iya Rif, kamu tahu kan. Ustad Yahya itu adalah orang yang berilmu? Di segani banyak orang, berwibawa. Aku nggak punya alasan untuk menolak orang yang begitu mencintai ilmu pengetahuan itu. Bukankah orang-orang yang berilmu di istimewakan disisi Alloh," jelasnya Aku semakin tertunduk. Semakin Ayusita memuji Ustad Yahya, dadaku semakin sakit. Apakah ini yang namanya sakit hati? Bukankah hati ada di sekitar perut? Tapi mengapa dadaku yang sakit?. "Meskipun orang itu duda dan memiliki tiga Anak Sit?" tanyaku lagi Ayusita menghela nafas lalu menjawab. "Tidak bijak rasanya kalau aku menolak lamarannya Ustad Yahya hanya karena Ia seorang duda atau sudah tua. Fisik,materi bukanlah prioritas utama bagiku. Karena bila kita menempatkan cinta hanya pada fisik dan meteri belaka, itu hanya bersifat sementara Rif. Liburan semester nanti Insya Alloh kami akan ijab qobul. Mohon doanya ya if." Aku semakin terkejut. Jantung ini serasa mau berhenti berdetak dan nadi ini rasanya mau berhenti berdenyut. Aku segera merapikan buku-buku dan pamit dari hadapan Ayusita dan temannya. Jujur aku tak sanggup berada dalam situasi seperti ini. "Sit, aku ijin pulang dulu. Assalamu'alaikum," pamitku sambil bergegas pergi dari hadapannya sampai-sampai aku tak mendengar Ayusita menjawab salamku. Aku rebahkan tubuh di atas ranjang kamarku. Dadaku semakin sakit,sesak ketika ku mengingat kata-kata Ayusita tadi. Seperti api yang membakar. Entah mengapa aku tak rela bila Ayusita akan dimiliki orang lain. "Ya Alloh, apa yang terjadi?"pekikku Otakku seperti tak dapat berfikir. Apa yang kulihat serasa suram. Tugas-tugas yang menggunungpun terpaksa aku abaikan. Karena tak kuat dengan kondisi ini, aku pergi kebelakang untuk mengambil air wudhu. Mungkin saja ini bisa memadamkan api yang tengah membakarku. Dan ternyata, air wudhupun tak bisa memadamkan sepenuhnya api yang tengah berkecamuk di dadaku ini. Aku lanjutkan dengan sholat, kebetulan juga sudah masuk waktu dzuhur. Aku awali dengan sholat qobliyah. Tapi saat aku melantunkan takbiratul ikhrom, bayangan Ayusita tak jua sirna dari otakku.
"Alloh hu " Kucoba lagi dan lagi. Tapi, ah setan apa yang tengah merasuki tubuhku ini? Sampai-sampai cintaku kepada sang maha Penciptapun terbagi. Bayangan Ayusita terus menjelma. Aku tak kuasa menepisnya. Kudengar suara adzan dari masjid sebelah. Masjid sebelah itu, selalu adzan lebih lambat dari waktu aslinya. Akupun langsung memutuskan untuk berjalan menuju masjid itu. Mungkin berada di masjid bisa membuatku lebih tenang. Meski tak sepenuhnya menghilangkan api itu dari dalam jiwaku. Tapi di masjid ini aku bisa menjalankan sholat rowatib dengan tenang dan duduk menunggu Muadzin mengumandangkan iqomat dan sholat dhuhur berjamaah di mulai. Seusai sholat dhuhur, aku kembali ke kontrakan. Aku kembali termenung. Aku masih bingung mengapa diriku ini begitu terluka ketika Ayusita bilang kalau seseorang telah melamarnya. Apa aku? Apa kau jatuh cinta padanya?. Aku keluar kamar. Kulihat Imron, teman satu kontrakanku itu, sedang makan siang sambil duduk di depan televisi. Aku ingin bertanya sesuatu padanya. "Imron," sapaku "Oh iya kang, ada apa?" "Boleh aku bertanya sesuatu?" "Monggo, boleh kang. Emang apa?" "Kau pernah jatuh cinta Ron?" Imron menghentikan makannya dan matanya beralih menatapku dengan curiga. "Jatuh cinta?" tanyanya lagi "Iya," "Ya pernah lah kang, namanya juga manusia kan? Tapi aku tak pernah ambil pusing kang. Kalau jatuh cinta gitu, aku biarin aja," "Kamu biarin?" "Iya kang, buat apa kita ngejar-ngejar dia? Toh, jodoh kan udah di tentukan Alloh? Yok opo ta kang? Sampean jatuh cinta ta? Hayo?" "Oh, yo ndak opo opo kok Ron. Yo wes matur suwun yo? Terusno lak mu mangan wae," jawabku sambil meninggalkan Imron.
Aku berfikir-fikir. Benar juga kata Imron ya. Jodoh kan sudah di tentukan Alloh? Kenapa aku musti takut kalau Ayusita di miliki orang lain? Kalau memang Ayusita itu jodohku? Kan nggak kemana?. Kalau toh bukan pasti kan Alloh sudah mempersiapkan yang pas buatku. "Alhamdulilah," pekikku Akhirnya aku bisa tenang. Api yang sedari tadi membakarku. Serasa padam seketika. Terimakasih ya Alloh. Dan akupun bisa melanjutkan tugasku yang tengah menumpuk tadi., Keesokan harinya, saat baru tiba di kampus. Sebuah kabar mengejutkan kudengar dari Sofyan. Sofyan adalah teman SMA ku yang saat ini satu fakultas dengan Ayusita. "Bro Loe dah denger lom Ayusita kecelakaan?" ucaap Sofyan Jantungku berdegub kencang mendengar hal itu. "Apa? Ayusitaa " "Iya." "Kapan? Dimana dan bagaimana keadaannya?" "Denger-denger sih kemarin sewaktu pulang dari rumah temennya. Bus yang ia tumpangi kecelakaan. Kalau keadaannya sih aku kurang tahu bro, soalnya aku juga belom jenguk dia." "Innalilah, kalau begitu sekarang aja kita jenguknya yuk." "Eh, gue bentar lagi ada kuliah ini." "Ah." Aku berlari meninggalkan Sofyan dan bergegas menuju rumah sakit. Tapi aku lupa bertanya di rumah sakit mana Ayusita di rawat. Akupun kembali lagi. "Oh ya Sof, Ayusita di rumah sakit mana?" tanyaku "Rumah sakit harapan, ruang mawar nomor 75 A, Insya Alloh," Aku bergegas menuju rumah sakit harapan. Dari kampusku, naik angkot jurusan pasar senin nanti pasti bisa turun tepat depan rumah sakit. Aku tak sabar menunggu angkot yang lamban itu. Bukannya lamban sih, tapi karena kota Malang yang sangat ramai oleh lalu lalang kendaraan yang lewat.
" Ya Alloh, lindungilah Ayusita," batinku Perasaanku sangat tak karuan. Aku takut terjadi apa-apa pada Ayusita. Bagiku, Ayusita adalah lentera yang dikirim Allah untuk menerangi gelapnya hidupku. Dan akhirnya aku sampai di rumah sakit harapan. Setelah hampir setengah jam berada di angkot. Aku segera berlari menuju ruang mawar nomor 75 A, tempat Ayusita di rawat. Terus terang, aku sangat kawatir dengannya. Ketika aku berada di depan pintu kamarnya, kulihat di dalam sudah banyak orang. Aku mengurungkan niat untuk masuk dan memutuskan untuk menunggu di kursi yang biasa disediakan di luar kamar pasien. "Loh kak Arif kan?" suara Gadis menyapaku "Khumaira," Khumaira adalah adik kandung Ayusita. Khumaira duduk disampingku. Mungkin dia juga mengurungkan niatnya untuk masuk karena di dalam penuh. "bagaimana keadaan kakakmu May," tanyaku "Alhamdulilah tak terlalu serius Kak. Kak Sita hanya terkena pecahan kaca Bus di bagian Wajahnya." "bagian wajah?" "iya, dan sekarang wajahnya masih di balut perban. Sementara luka lainnya hanya benturan kecil saja." "Alhamdulilah kalau memang tak membahayakan jiwanya." Aku sedikit lega setelah mengetahui kondisi Ayusita tak mengancam jiwanya. Dan tak lama kemudian orang-orang yang ada di dalam kamar Ayusita tadi keluar. "Ayo Kak masuk," ajak Khumaira Aku dan Khumaira pun masuk. Kulihat Ayusita sedang duduk bersandar dengan kaki telentang. "Kak, ini ada Kak Arif menjenguk," ucap Khumaira "Arif,' sapa Ayusita "Iya Sit, gimana keadaan kamu?" "Alhamdulilah Alloh masih memberiku umur panjang Rif." Aku hanya tersenyum. Meski wajahnya di balut perban hingga tak tampak kecuali hidung dan bibirnya. Namun, aura kecantikan Ayusita takkan pernah pudar.
2 BULAN KEMUDIAN Akhirnya liburan semester tiba. Mungkin saat ini adalah hari-hari yang menyibukkan bagi Ayusita, karena dia harus mempersiapkan pernikahannya yang telah di jadwalkan liburan ini. Tapi sampai saat ini, aku belum juga mendapat undangan darinya. Tapi entahlah, bagiku kebahagiaan Ayusita adalah kebahagiaanku pula. Seandainya Ayusita tak mengundangku pun, aku tak keberatan. Sementara liburan ini, aku manfaatkan untuk silaturahmi hari ini aku berkunjung ke rumah Bu Aini. Guru matematika SMA ku. Bagaimanapun juga, karena ikut les di rumah Bu Aini lah aku dipertemukan Alloh dengan Ayusita. "Kau sudah banyak berubah ya Rif?" komentar Bu Aini "Berubah baik atau apa Bu?" candaku "Ya baik donk." Aku tersenyum saja. "Alhamdulilah kalau begitu Bu. Oh iya, Ibu sudah dapat surat undangan dari Ayusita?" "Undangan pernikahan?" Aku menganggukkan kepala sambil menyeruput teh hangat yang di suguhkan Bu Aini. Bu Aini sudah seperti Ibu kandungku sendiri. "Kasihan Ayusita Rif,' ucap Bu Aini "Kasihan? Maksud Ibu?" " Kemarin Ayusita Silaturahmi kesini. Dia cerita banyak pada Ibu, termasuk tentang pernikahannya yang batal." "Batal? Kenapa Bu?" "Ayusita sendiri juga bingung. Ustad Yahya, calon suaminya itu membatalkan pernikahan tanpa alasan yang jelas. Tapi kau tahu kan, Ayusita itu adalah gadis yang tegar." "Apa Ustad Yahya membatalkan pernikahan karena wajah Ayusita yang sekarang cacat akhibat kecelakaan itu Bu?" "Ibu kurang tahu Rif. Tapi Ayusita berkata, setelah Ustad mengetahui wajahnya cacat, keesokannya harinya Ustad Yahya membatalkan pernikahan itu."
Hatiku remuk redam. Kalau memang Ustad Yahya membatalkan pernikahan dengan Ayusita karena wajah Ayusita yang saat ini cacat. Begitu kurang ajar sekali dia. Berarti selama ini dia menilai Ayusita hanya sebatas fisik. Aku benar-benar marah pada Ustad Yahya. Aku langsung pamit pulang pada Bu Aini. Aku ingin menemui Ustad Yahya dan membuat perhitungan padanya. Aku tak perduli dia mau Ustad,Kyai,Ulama atau apalah. Bagiku dia tak lebih dari preman kampung yang mengejar-ngejar gadis cantik dan membuangnya bila sudah keriput. Aku tiba di madra_