E N D
Tapak Bisnis Kalla (3) Proyek Jakarta Monorel juga merupakan salah satu proyek besar yang dikaitkan dengan PT Bukaka. Proyek yang sedianya digarap pada 2003 ini, semula diserahkan kepada perusahaan Malaysia, MTrans, pembangun Monorel Kuala Lumpur. Konstruksi akan dibangun pada Juni 2004, tetapi tertunda hanya setelah berjalan beberapa minggu. Kesepakatan MTrans dibatalkan dan proyek diberikan kepada konsorsium utama Singapura Omnico, yang mengusulkan menggunakan teknologi maglev oleh perusahaan Korea Selatan ROTEM. Pada Juli 2005, proyek ini berganti tangan lagi dengan kesepakatan baru yang diberikan kepada sebuah konsorsium perusahaan Indonesia yang dipimpin oleh PT Bukaka Teknik Utama, PT INKA, dan Siemens Indonesia. Omnico menentang ini. Proyek monorel ini juga menjadi awal dari perbedaan pendapat antara Jusuf Kalla dan Boediono. Jusuf meminta pemerintah menjamin proyek ini agar segera terlaksana. Namun, Boediono menolak memberikan jaminan proyek ini karena melabrak banyak aturan yang berlaku, khususnya aturan tentang perkeretaapian. Berdasarkan undang-undang, semua proyek perkeretaapian hanya dikelola oleh PT Kereta Api. Tidak ada peluang sama sekali bagi swasta. Menurut Boediono, agar dapat menjamin proyek ini, maka undang-undang harus diubah terlebih dahulu. Hal itu membutuhkan beberapa waktu agar swasta bisa masuk dalam pembangunan sarana dan prasarana kerata api. PT Bukaka juga disorot sebagai salah satu perusahaan yang diuntungkan karena masalah yang terjadi di Poso. Saat itu, Bukaka sedang membangun sebuah Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yang berdampak buruk terhadap desa-desa disepanjang sungai di Poso dan beberapa kelompok perusahaan lain dengan penempatan tentara sebanyak-banyaknya ke Sulawesi Tengah bagian Timur. Fakta ini diungkapkan oleh George Junus Aditjondro (GJA) dari Poso Centre kepada Radio Nederland Wereldomroep. Aditjondro menilai Jusuf Kalla telah lalai dan sengaja mengulur-ngulur penyelesaian konflik Poso. Jusuf dinilai baru mengungkapkan konflik tersebut sebagai bukan konflik komunal, melainkan sisa-sisa radikalisme pada 2006. Padahal mestinya Jusuf sudah menyikapi hal tersebut sejak Deklarasi Malino pada 9 Desember 2001. Aditjondro menyebutkan bahwa orang yang mengenal konflik Poso telah mengetahui bahwa ini bukan lagi konflik antara komunitas Kristen dan komunitas Islam. “Yang jadi sasaran adalah komunitas Kristen. Tapi komunitas Kristen juga tidak melihat bahwa yang menyerang mereka atau berbagai tindakan penembakan misterius dan lain-lain itu dilakukan oleh komunitas Islam. Mereka lebih melihatnya itu sebagai tindakan orang-orang yang terlatih. Baik dari dalam aparat sendiri, maupun orang-orang yang dilatih oleh unsur-unsur militer dan polisi,” katanya. Perusahaan lain yang selalu dikaitkan dengan bisnis JK adalah PT Bosowa Energi, yang dipimpin Erwin Aksa, keponakan Kalla, yang mengambil alih proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi di Gunung Patuha. Proyek itu dihentikan Pemerintah Indonesia setelah krisis moneter pada 1997. Akibat penghentian sepihak, pemerintah didenda Rp 30 triliun oleh Lembaga Arbitrase Internasional. Bosowa juga mendapatkan proyek pembangunan PLTU Jeneponto, Sulawesi Selatan, yang memiliki kapasitas 2×100 MW dengan tafsiran biaya bernilai 200 juta dolar tanpa melalui tender. Sejumlah pihak menduga bahwa sejak menjadi wakil presiden, bisnis Jusuf Kalla semakin mendapatkan banyak order. Di Sulawesi Selatan, Bukaka mendapat order pemabngunan PLTA Ussu di Kabupaten Luwu Timur yang berkapasitas 620 MW, PLTA senilai Rp 1,44 triliun di Pinrang, PLTA berkapasitas 1 MW di Desa Mappung, Tompobutu, di perbatasan Kabupaten Gowa dan Sinjai, PLTA berkapasitas 8 MW di Bantaeng, serta PLTA kecil di Salu Anoa di Mangkutana, Kabupaten Luwu Utara. Bukaka juga membangun PLTA dengan tiga turbin di Sungai Poso, Sulawesi Tengah, yang akan berkapasitas total 780 MW. Sementara di Kolaka, Sulawesi Tenggara, Bukaka mendapatkan order pembangunan PLTA berkapasitas 25 MW. Bukaka juga terlibat dalam pembangunan pipa gas alam oleh PT Bukaka Barelang Energy senilai 750 juta dolar atau setara dengan Rp 7,5 triliun. Pipa ini terentang dari Pagar Dea, Sumatra Selatan, ke Batam. Proyek-proyek lainnya adalah pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) senilai 92 juta dolar atau Rp 920 miliar di Pulau Sembilang, dekat Batam, pembangunan PLTG di Sarulla, Tarutung, Sumatra Utara, yang dapat menghasilkan 300 MW, serta pembangunan 19 PLTA berkekuatan 10.000 MW. Keluarga Kalla memiliki proyek terbaru di Makassar, yaitu Trans Studio. Awalnya, Para Group, perusahaan milik Chairul Tanjung, menggandeng Kalla Group untuk membangun pusat hiburan terpadu Trans Studio Resort seluas 12,7 hektare di Tanjung Bunga, Makassar. Para Group memiliki saham 55 persen, sedangkan Kalla dengan 45 persen saham. Megaproyek dengan bendera PT Trans Kalla Makassar ini membutuhkan investasi Rp 1 triliun. Proyek ini berisi taman hiburan indoor dengan 23 permainan ala Disneyland, pusat belanja, resor bintang lima, dan perkantoran Mega Tower, kantor operasional Bank Mega di Indonesia Timur. Tanjung Bunga sendiri dimiliki Lippo Group. Ini adalah kota mandiri seperti Lippo Karawaci di Tangerang. “Tanjung Bunga satu-satunya perumahan yang memiliki view pantai,” kata Direktur Tanjung Bunga, Trilaksono. Seperti biasa, Lippo memboyong unit bisnisnya Hypermart ke kota Makassar. Di tempat hiburan seluas 2,7 hektare itu, sekalipun siang hari, suasana yang dihidangkan selalu ‘malam’. Begitu kepala mendongak ke atas, yang terlihat gemerlap bintang. Trans Studio, yang dibangun dengan biaya sekitar Rp 1 triliun dan disuplai listrik 10 megawatt, memang berkonsep indoor. “Ini indoor terbesar di dunia,” ujar Chairul Tanjung. Sekalipun di luar hujan lebat atau terik panas dengan model seperti ini udara tetap sejuk berkat, antara lain mesin penyejuk udara. “Tempat ini diharapkan jadi magnet baru Makassar,” kata Jusuf Kalla. Selain Theme Park yang gemerlap, di Tanjung Bunga ini akan dibangun Trans Studio Walk, pusat belanja, dan dua hotel berbintang. Dengan kosep terpadu inilah, pengunjung bisa menginap, berbelanja di mal, sekaligus menghibur diri di Theme Park. Luas total kawasan wisata terpadu tersebut 47 hektare. Tetapi, magnet semua itu tetap Theme Park. Di sini tersedia 22 wahana hiburan yang sebagian besar diadopsi dari Disneyland dan Universal Studio. Ada roller coaster, bom-bom car, bioskop empat dimensi yang menampilkan petualangan SpongeBob, dan juga dragon’s tower, permainan yang mengangkat pengunjung ke puncak menara setinggi sekitar 18 meter, lalu secara mengejutkan menghempaskan ‘tamunya’ ke bumi. Semua bisnisnya tersebut menjadikan Jusuf Kalla pernah menduduki peringkat ke-30 sebagai orang terkaya di Indonesia versi majalah Forbes Asia pada 2007. Dia memang masih kalah dibandingkan Aburizal Bakrie yang berada di urutan pertama. Menurut majalah itu, Aburizal memiliki kekayaan total 5,4 miliar dolar AS (sekitar Rp 48 triliun), meningkat dari tahun sebelumnya sebesar 1,2 miliar dolar AS. Sumbangan terbesar kekayaan Aburizal berasal dari lonjakan harga saham perusahaan Batubara Bumi Resources milik Bakrie Group. Kekayaan Aburizal juga melebihi nama-nama pengusaha yang memiliki nama lama, seperti Sukanto Tanoto (peringkat ke-2), R. Budi Hartono (3), Michael Hartono (4), Eka Tjipta Widjaja dan keluarga (5), Putera Sampoerna dan keluarga (6), Martua Sitorus (7), Rachman Halim dan keluarga (8), Peter Sondakh (9), Eddy William Katuari dan keluarga (10), Anthoni Salim dan keluarga (11). Sementara Jusuf Kalla, oleh Forbes Asia ditulis memiliki kekayaan 230 juta dolar AS (sekitar Rp 2 triliun), yang antara lain disumbangkan oleh bisnis Group Kalla selama 32 tahun. Group ini menggeluti bisnis penjualan mobil Toyota, perhotelan hingga ikan tuna. Masih ada keluarga Kalla lainnya yang menjadi orang terkaya di Indonesia versi majalah tersebut. Dia adalah Aksa Mahmud. Kekayaan saudara ipar Kalla yang juga menjadi pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) ini ditaksir sebanyak 340 juta dolar AS, atau lebih banyak dibandingkan Jusuf Kalla. Dia kaya berkat bisnisnya di kelompok Bosowa. Aksa duduk di peringkat ke-24. Mari kita lihat sepintas kekayaan Jusuf Kalla. Jusuf pernah merugi ketika membuka stasiun pengisian bahan bakar di Makassar pada dekade 1990-an. “Ya, terus ditutup,” kata Ahmad Kalla, adik Jusuf. Peruntungan Jusuf meluber dari bisnis lain yang dikendalikannya sejak 1982. Menurut Ahmad, sumber pendapatan Daeng Ucu, begitu sapaan Jusuf di keluarganya, berasal dari NV Hadji Kalla, perusahaan keluarga yang berdiri sejak dekade 1950-an. Perusahaan ini menaungi sedikitnya 24 perusahaan. Kontribusi pendapatan terbesar berasal dari PT Bukaka Teknik Utama dan induk perusahaan distributor mobil Toyota. “Daeng Ucu punya saham 50 persen di induk perusahaan,” kata Ahmad. Selain menjadi dealer mobil Toyota, NV Hadji Kalla, yang berkantor pusat di Makassar, juga menjadi penyalur mobil asal Korea, KIA, lewat anak perusahaan PT Makassar Raya Motor. Perusahaan induk juga merambah bisnis infrastruktur jalan, pengairan, serta perumahan lewat PT Bumi Karsa. Sumber: Taufik Adi Susilo, ‘Membaca JK: Biografi Singkat Jusuf Kalla’, Garasi House of Book, 2010.