350 likes | 663 Views
Tantangan Bagi Bisnis Indonesia. Patologi Desentralisasi:. Mohtar Mas’oed Universitas Gadjah Mada 2009. Orde Baru: Sekedar Mengingatkan Anda. Kantor Kepresidenan sbg inti, didukung oleh Militer ; Teknokrat dan politisi sipil; Bisnis besar, lokal & internasional.
E N D
Tantangan Bagi Bisnis Indonesia Patologi Desentralisasi: Mohtar Mas’oed Universitas Gadjah Mada 2009
Orde Baru: Sekedar Mengingatkan Anda • Kantor Kepresidenan sbg inti, didukung oleh Militer ; Teknokrat dan politisi sipil; Bisnis besar, lokal & internasional. • Sentralisasi pembuatan kebijakan • Massa dikebiri • Repressi utk menangani oposisi • Daerah berperan sebagai apendiks
Kesepakatan Pasca-Soeharto • Sejak 1999, disepakati reformasi menuju desentralisasi radikal. • Agenda: • Pemilihan Kepala Daerah secara langsung. • Devolusi layanan publik pokok ke kabupaten/kota. • Relokasi (“reassignment”) 2,5 juta pegawai. • Peningkatan transfer dana ke PemDa. • Reformasi teritorial (pembentukan, pemisahan, penggabungan dan penghapusan wilayah) • Tujuan: • Pemberdayaan PemDa melalui “diskresi dan sarana demi pelayanan masyarakat dan pembangunan yang sesuai dengan keperluan dan kepentingan lokal.” Sumber: USAID-DRSP, “Stocktaking on Indonesia’s Recent Decentralization Reform”, Jakarta: August 2006
Bagaimana proses itu berlangsung? • Utk evaluasi proses reformasi desentralisasi, tiga kasus berikut bisa jadi ilustrasi: • PILKADA-L • Pemekaran wilayah • Desentralisasi fiskal dan de facto resentralisasi urusan fiskal.
(1) PILKADA-L:Juni 2005 – Mei 2006 • 232 PilKaDa-L (9 Gub; 33 Walikota; 190 Bupati) • Banyak kontestan: 153 Pilkada diikuti oleh 4-7 pasangan kandidat; hanya di 28 daerah yang diperebutkan oleh 2 pasangan kandidat. • Di lebih dari separuh dari 232 Pilkada itu, yang peroleh suara lebih dari 35% adalah “incumbent”. Walaupun di 86 dari 210 Pilkada “incumbent” kalah, hasil ini tetap menunjukkan bahwa “incumbency” merupakan faktor penting dalam memenangkan Pilkada. • Mengapa? • Karena pemilih puas dg prestasi “incumbent”? ATAU • Sang “incumbent” bisa berpengaruh lebih besar pada birokrasi dan elit lain sehingga mudah mengkampanyekan dirinya? Sumber: USAID-DRSP, “Stocktaking on Indonesia’s Recent Decentralization Reform”, Jakarta: August 2006
PILKADA-L (Lanjutan) • UU 32/2004 memberi ParPol peran strategis dalam PilKaDa. Kandidat diharuskan peroleh dukungan satu atau sekelompok ParPol (yang menguasai 15% kursi DPRD atau memenangkan 15% suara dalam Pemilu). • Penetapan kandidat diputuskan melalui proses berlapis-lapis: • Pertama-tama, di tingkat lokal, melalui “fit-and-proper test” (untuk menjamin kemampuan dan integritas), atau konvensi Parpol (untuk menjamin “akseptabilitas” di kalangan anggota ParPol). • Sesudah itu ketingkat lebih tinggi sampai ke tingkat paling atas, dimana keputusan akhir diambil oleh DPP.
PILKADA-L (Lanjutan) • Karena utk jadi kandidat harus dapat dukungan parpol dan karena parpol selalu hadapi kesulitan finansial, pimpinan parpol menggunakan peluang itu utk mencari dana dg “menjual” pencalonan kepada “penawar” paling tinggi (“money politics”). • Kandidat KaDa Kab/Kota bukan hanya harus sumbang DPD di tingkat kab/kota, tetapi di tingkat prop dan bahkan DPP. • Akibatnya, prosesnya sangat elitis. Hanya yang berpunya yang berpeluang ikut serta.
PILKADA-L (Lanjutan) • Dengan demikian, PILKADA-L menghidupkan kembali praktik buruk PilKaDes tradisional, terutama di Jawa. Misalnya, sindroma bandar. • Bandar ini tidak hanya bertaruh untuk kemenangan “jago”-nya, tetapi juga berbuat apa saja, dg gunakan kekuatan uangnya, agar “jago”-nya menang cukup besar. Sumber: Mohammad Nur, “Makna Penting dan Cara Kerja Praktik Politik Uang Dalam Pemenangan Pasangan Calon Kepala Daerah” (Disertasi, UNAIR, 2007)
PILKADA-L (Lanjutan) • PILKADA-L terbukti sangat mahal. Biaya utk jadi KaDa di Jawa Timur mulai dari Rp.5M sampai lima kali lipatnya. Ini utk membiayai: sumbangan pada parpol & pimpinannya, kampanye, penggalangan massa & humas, kaos oblong dan seragam utk pendukung muda, dll. Sumber: Mohammad Nur, “Makna Penting dan Cara Kerja Praktik Politik Uang Dalam Pemenangan Pasangan Calon Kepala Daerah” (Disertasi, UNAIR, 2007)
PILKADA-L (Lanjutan) • Bagi mereka yg tidak punya cukup dana, ada bandar yg siap membantu. Tugas bandar menjamin kemenangan si “jago”. Ini meliputi: • Pembiayaan. • “Pengaturan” sehingga jadi kandidat • Manipulasi proses PilKaDa-L. • Kampanye HuMas Sumber: Mohammad Nur, “Makna Penting dan Cara Kerja Praktik Politik Uang Dalam Pemenangan Pasangan Calon Kepala Daerah” (Disertasi, UNAIR, 2007)
(2) Reformasi Teritorial • Pembentukan, pemecahan, penggabungan dan pembubaran wilayah. • Tujuan: Peningkatan kesejahteraan warga melalui: • Layanan yang lebih baik • Peningkatan kehidupan demokratis • Percepatan pertumbuhan ekonomi • Peningkatan keamanan & ketertiban • Keselarasan hubungan antar-daerah (PP No.129/2000, pasal 2) Sumber: USAID-DRSP, “Stocktaking on Indonesia’s Recent Decentralization Reform”, Jakarta: August 2006
Dalam Praktik: Pemekaran Wilayah • Pembentukan daerah baru dg memecah daerah yang sudah ada. • Berlangsung dg sangat cepat (konon, masih ada lebih dari 100 usulan menunggu) • Masalah muncul: Perbedaan jumlah penduduk sangat mencolok • Propinsi: Gorontalo (<800,000 jiwa); Jawa Timur (>35 juta jiwa) • Kabupaten/Kota: Supiori (11,800 jiwa); Kabupaten Bandung (4.1 juta jiwa)
Pemekaran WilayahTabel 1: Pembentukan Daerah Baru di Indonesia, 1950-2005 Sumber: USAID-DRSP, “Stocktaking on Indonesia’s Recent Decentralization Reform”, Jakarta: August 2006
Perbedaan Jumlah Penduduk Mencolok Sumber: USAID-DRSP, “Stocktaking on Indonesia’s Recent Decentralization Reform”, Jakarta: August 2006
Tabel 2: Pertumbuhan Daerah Baru sampai 2004 Sumber: USAID-DRSP, “Stocktaking on Indonesia’s Recent Decentralization Reform”, Jakarta: August 2006
Untuk Apa Pemekaran? • Apakah memang untuk mendekatkan proses pemerintahan pada rakyat dan mendorong modernisasi daerah? • ATAU demi “material interest”? • Memanfaatkan insentif fiskal yang menyertai transfer dana dari Pusat? • “Rent-seeking” birokratik? (Jabatan & akses ke sumberdaya baru?
Untuk Apa Pemekaran? (Lanjutan) • “Identity politics” untuk “material interest”? • Homogenitas penduduk demi hegemoni etnik lokal & peningkatan posisi tawar politik elit lokal? • Re-tradisionalisasi? Aristokrasi lama dihidupkan kembali dg dukungan APBD? Promosi putra daerah? Dengan akibat eksklusivisme & polarisasi? • Demi memenuhi kebutuhan mobilitas vertikal tokoh lokal? • Keperluan tokoh nasional akan dukungan lebih banyak “wakil daerah” dalam pol parlementer?
Konsekwensi Negatif Pemekaran • Inefisiensi administrasi krn biaya penyeleng- garaan pemerintahan meningkat luarbiasa. • Kemerosotan kapasitas menyelenggarakan fungsi2 dasar yg menjadi kewajiban semua kab/kota. • Peningkatan parokialisme dan potensi konflik antar-kelompok (etnik, agama) yg dimanipulasi oleh elit tradisional lokal. • Pembentukan Propinsi Maluku Utara dan Kabupaten Sambas di KalBar diikuti oleh konflik berdarah. Sumber: USAID-DRSP, “Stocktaking on Indonesia’s Recent Decentralization Reform”, Jakarta: August 2006
Kelemahan Pemekaran? • Pemerintah tidak punya “garis besar rancangan” tentang bagaimana menyelenggarakan pemekaran wilayah. • Pemerintah sekedar menerima dan memproses usulan yang datang dari daerah. • Yang lebih teruk: Pendukung usulan pemekaran cenderung me-lobby DPR agar dijadikan UU pembentukan daerah baru.
(3) Resentralisasi Fiskal Mekanisme Transfer: • Dana Alokasi Umum (DAU) • 25% dari Pendapatan Domestik Pemerintah Pusat (2.5% utk propinsi; 22.5% utk kabupaten/kota) • Bagi-Hasil • Dari sumber daya alam • Dana Alokasi Khusus (DAK) • Penyaluran dana utk tujuan khusus. • Penyaluran dana pinjaman dan bantuan asing ke PemDa. • Bagi-Hasil dengan Daerah Otonomi Khusus (Aceh & Papua) • Dua daerah ini memperoleh bagian lebih besar dari pendapatan SDA Sumber: ADB, Country Governance Assessment Report: Indonesia (2004)
Problema dasar Transfer Dana • Transfer dana tidak diikuti dg devolusi wewenang ttg pendapatan, yaitu wewenang mencari pendapatan sendiri, terutama melalui pajak. • Sebagian besar dana yang secara formal ditransfer ke daerah pada akhirnya kembali ke Jakarta, dalam bentuk pembelian barang dan jasa (karena tidak bisa dipenuhi oleh pasar lokal) atau melalui berbagai saluran yang tidak jelas.
“The Lessons Learned”? • Struktural: Aturan main bagi desentralisasi yang sehat belum memadai. • Behavioral: Para pemimpin berperilaku politik terlalu pragmatis, dengan wawasan sempit berjangka-pendek dan menekankan pamrih pribadi. Dengan kata lain: Peluang mengembangkan demokrasi substantif yang otonom di tingkat lokal dikorupsi
MONOPOLI + DISKRESI - AKUNTABILITAS = KORUPSI Sumber: Robert Klitgaard, Controlling Corruption (Berkeley: Univof California Press, 1988)
MONOPOLI plus DISKRESI ↓↓ MENGGEROGOTI PARTISIPASI KOMPETITIF Contoh: Pejabat menentukan pemenang tender berdasar besarnya komisi yang diterimanya. Politisi yang menggunakan petugas keamanan untuk mengintimidasi pengawas Pemilu Sumber: Robert Klitgaard, Controlling Corruption (Berkeley: Univof California Press, 1988)
DISKRESI minus AKUNTABILITAS ↓↓ MENGGEROGOTI INSTITUSI RESMI Contoh: Keputusan kebijakan yang diperjual-belikan. Aturan main pol.& eko yg adil tidak ditegakkan. Tokoh kuat di bidang pol & eko merampok yang lain. Yang menentang melalui saluran resmi ambil resiko besar. Sumber: Robert Klitgaard, Controlling Corruption (Berkeley: Univof California Press, 1988)
INSTITUSI & PARTISIPASI • Idealnya ada keseimbangan • Antara keterbukaandengan otonomi institusi dan elit yang menjalankannya. • Antara peluang berpartisipasi dalam bidang politik dengan peluang dalam ekonomi • Seharusnya • Institusi terbuka pada masukan/umpan-balik dari berbagai pihak, tetapi tetap bisa bertindak otonom dalam menerapkan kebijakan.
Peluang Berpartisipasi • Kalau peluang politik (memperoleh kekuasaan) lebih kecil dibanding peluang ekonomi (menumpuk kekayaan), orang akan menggunakan kekayaan untuk membeli kekuasaan. • Kalau peluang ekonomi lebih kecil dibanding dengan peluang politik, orang akan menggunakan kekuasaan politik untuk menumpuk kekayaan. • Ketimpangan ini mendorong korupsi.
EMPAT SINDROMA KORUPSI INSTITUSIONALISASI Terbuka pada masukan/pengaruh Otonom dari pengaruh luar Interest- group bidding Elite hegemony Peluang ekonomi lebih besar dp peluang politik PARTISIPASI Fragmented clientelisme Patronage machine Peluang politik lebih besar dp peluang ekonomi Adaptasi dari: Michael Johnston, “Corruption and Democratic Consolidation”(2000)
EMPAT SINDROMA KORUPSI (Lanjutan) • Interest-group bidding • Kel kepentingan swasta kuat, elit politik bisa dipengaruhi; kompetisi ekonomik; kekayaan = sarana utk pengaruh; korupsi individual, tidak sistemik (Mis.: Negara2 demokrat liberal) • Fragmented clientelism • Elit yg pecah-belah & lemah secara politik himpun pengikut pribadi yg tidak disiplin & tidak stabil; mafia, kekerasan & intimidasi bisa terkait dg korupsi (Mis.: Russia; Indonesia sejak 1999) • Elite hegemony • Elit yg sangat kuat jual akses politik yang langka demi kekayaan (Mis.: Cina, Korea Selatan, Jepang jaman LDP). • Patronage machine • Elit yg kuat kontrol partisipasi massa & batasi kompetisi via patronase, dan manipulasi kemiskinan pengikut; monopoli politik; partai dan pengikut pribadi terorganisasi hierarkis dan dikendalikan dg ketat; partai meluaskan cengkeraman ke negara dan masyarakat (Mis.: Malaysia, Indonesia jaman Suharto) Adaptasi dari: Michael Johnston, Corruption and Democratic Consolidation (2000)
Persoalan Umum Kita . . . • “Fragmented clientelism” • Ketimpangan institusi: Otonomi pemerintah rendah, kelompok kepentingan lebih mudah mendikte • Ketimpangan partisipasi: Peluang peroleh kekuasaan politik besar, peluang ekonomi kecil. • Akibatnya: kekuasaan politik dipakai untuk menumpuk kekayaan. Dalam kondisi begitu, penerapan desentralisasi bergaya Amerika adalah resep “banca’an-politik” bagi elit lokal.
Solusi? • Penyeimbangan Otonomi Pemerintah dengan Efektivitas Partisipasi Masyarakat • Cara: • Tingkatkan otonomi pemerintah sehingga bisa menjamin efektivitas penerapan kebijakan. • Perbesar peluang ekonomi melalui pertumbuhan ekonomi berbasis-luas.
Kondisi & Pemicu • Keruwetan akibat proses desentralisasi yang tidak terarah menciptakan kondisi bagi munculnya potensi konflik sosial yang beragam. • Potensi konflik itu akan segera menjadi aktual ketika muncul pemicu yang bisa datang dalam berbagai bentuk, misalnya persoalan identitas.
Sementara di tingkat nasional kekuasaan tidak “solid • Pemilu tidak bisa menghasilkan landasan elektoral cukup kuat bagi munculnya pemerintah yang demokratik dan efektif. • Pemilu 1955, pemenang hanya dapat 22% suara; 1999 = 34%; 2004 = 21%. Nampaknya “norma” politik kepartaian Indonesia adalah fragmentasi dan ketidakmampuan menciptakan suatu “winning coalition”.
Konflik berkobar di daerah(1998-2001) • Pelimpahan wewenang ke daerah dan demokratisasi proses politik lokal (termasuk pemilihan kepala daerah) mendorong peningkatan dinamika persaingan yang semakin sengit di tingkat lokal, terutama dalam perebutan peluang meng-akses sumberdaya yang dikuasai negara.
Konflik di daerah 1998-2001 (Lanjutan) • Banyak konflik (termasuk Poso, Ambon, Sambas, Maluku Utara & Kalimantan Tengah) berkaitan dg PilKaDa, pemekaran wilayah, pemilihan anggota DPRD atau kombinasi dari ketiga dimensi desentralisasi itu. • Konflik itu melibatkan warga kelas menengah lokal yang kariernya tergantung pada negara. • Kebijakan publik apa yang bisa memberi: • Peluang mobilitas politik ke atas bagi kelas menengah di tingkat lokal? • Jaminan akses ke sumberdaya bagi seluruh masyarakatnya?